Setelah lima jam perjalanan, akhirnya pesawat pribadi yang ditumpangi oleh Virna dan Tiger mendarat di Jakarta. Virna melihat ke luar jendela, lampu-lampu di landasan pacu begitu gemerlap dan terasa romantis karena ada suaminya berada di sampingnya. Meski tengah sibuk dengan laptop di pangkuan, Tiger tak pernah mengalihkan perhatiannya dari Virna yang sedang mengenakan celana jeans warna hitam dan t-shirt warna senada. Lelaki itu begitu perhatian dan tak pernah mengabaikan Virna sesibuk apapun dirinya.
"Kita ke rumah sakit sekarang," ucap Virna melepaskan sabuk pengamannya lalu berdiri.
"Tidak, sweet heart. Ini sudah malam. Besok pagi saja. Oke?"
Virna mengerucutkan bibirnya. "Aku ingin melihat keponakan ku."
Huuffttt. Tiger menutup laptop dan meletakkannya di meja. Dengan sigap, pria yang berkulit bersih itu menarik tubuh Virna ke atas pangkuannya. "Dengarkan suami mu. Kau harus beristirahat malam ini."
"Apa kamu yakin aku bisa beristirahat?" tanya Virna memegangi tangan Tiger yang ototnya terlihat menonjol. Tangan yang sudah mendarat tepat di dada Virna yang tak mengenakan pelindung.
"Tergantung." Tiger mengerlingkan matanya dan bibirnya tersenyum lebar.
"Kamu rakus sekali bocah kecil!" Virna memencet hidung suaminya. Menatap ke dalam bola matanya yang berbinar. Sementara tangan Tiger, mengelus sesuatu yang menonjol di balik pakaian Virna.
"Aku memang rakus!" sahut Tiger memelintir puncak dada Virna. Perempuan itu mengaduh namun terdengar seperti erangan di telinga suaminya. Seksi sekaligus manja.
"Jaga dulu kerakusan mu, Tuan Tiger!" Virna menjewer telinga suaminya dan memintanya untuk berdiri. Saat ini, ia ingin bertemu dengan saudara kembarnya. Keponakannya yang baru lahir dan menikmati udara di dunia yang disebut dengan bumi ini.
"Oh, lepaskan telinga ku, Sweety! Kau bisa mematahkan daun telinga ku!"
"Tenang saja! Aku akan menyambungkan kembali menggunakan lem alteko!"
***
"Selamat pagi, istri ku," bisik Raymond lembut ketika istrinya terlihat membuka mata. Sejak subuh, Raymond terus berada di samping Tara tanpa tidur, makan atau pun minum. Selesai mengurus bayi yang paling mbontot, Raymond kembali membaringkan tubuhnya di samping istrinya tercinta. Mengawasi setiap gerak geriknya. Mendengar suara napasnya yang berhembus dan membelai rambutnya yang basah oleh keringat.
"Hmmm. Kamu masih di sini?" tanya Tara yang menggeliatkan tubuhnya yang tak bisa bebas bergerak. Pergerakan tubuhnya terbatas dan itu membuatnya sangat tak nyaman.
Tak pernah terpikirkan oleh Tara jika beginilah rasanya melahirkan anak. Normal iya, ditambah harus operasi caesar agar anaknya yang ke empat bisa lahir ke dunia dengan selamat.
Benar kata orang-orang, jika menjadi seorang ibu taruhannya adalah nyawa. Tak heran jika pepatah lama mengatakan bahwa surga seorang anak, adadi bawah telapak kaki ibunya.
"Di mana lagi aku harus berada kalau tidak di samping mu?" jawab Raymond mengelus pipi istrinya yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Ia masih sulit bergerak dan merasa nyeri karena bekas jahitan di perutnya dan juga robekan yang ada di antara pangkal pahanya.
"Bagaimana anak-anak?" tanya Tara yang selalu bersemangat kalau membahas soal anak-anaknya. Ia ingin cepat keluar rumah sakit dan merawat buah hatinya. Sembilan bulan lebih mereka ada di perut Tara hingga perempuan itu sulit berjalan dan beraktifitas. Dan kini, saatnya untuk mengajari mereka hidup. Kehidupan yang keras. Kehidupan yang sesungguhnya.
"Ares, Hermes dan Ades tidur nyenyak. Ngompol saja mereka tidak menangis. Beda sekali dengan Cleo. Seperti kau waktu bayi. Rewel!" celetuk Raymond memencet hidung Tara dengan gemas. Sementara itu, perempuan yang kini telah sempurna karena telah menjadi seorang Ibu itu mengernyitkan dahi kemudian bertanya pada suaminya.
"Memangnya kamu tahu bagaimana aku saat masih beyi?"
"Ummm ... aku hanya menebaknya saja." Raymond salah tingkah kemudian turun dari ranjang. "Kau haus, kan? Akan aku ambilkan minum."
"Kamu sungguh mencurigakan, Mr. Rowan ...." Tara memonyongkan bibirnya.
"Tapi aku tetap mencintai mu." Raymond mengerlingkan mata sambil menuangkan segelas air putih dan memberikannya pada Tara.
Perempuan itu langsung mengambil gelas yang diberikan oleh suaminya lalu membasahi tenggorokannya dengan air langsung membasahi setiap aliran darahnya yang mengering. "Apa sakti dan Mala datang?"
"Tidak," jawab Raymond singkat. Lagipula, Raymond tak peduli mereka datang atau tidak. Karena jika mereka mengunjungi istrinya, tujuannya hanya satu. Uang.
Beberapa kali Raymond ingin mengatakan hal yang sesungguhnya pada Tara tapi selalu urung karena tak ingin membuat wanita itu bersedih dan merasa ditipu. Merasa ditipu oleh sahabatnya dan juga suaminya. Seandainya saja Tara membuka kotak yang diberikan Raymond padanya sebelum lelaki itu bertandang ke Cina, pasti tak akan begini jadinya.
"Tidak. Mereka bahkan tidak menghubungi mu," jelas Raymond sekali lagi dan membetulkan selimut yang menutupi tubuh istrinya.
"Kamu sudah menyelidiki tentang Sakti, kan? Bagaimana hasilnya?" tanya Tara yang curiga karena setiap ditanya, Raymond selalu mengelak. Mereka bukan pengantin baru lagi dan Rantara sendiri tahu siapa dan apa yang dilakukan oleh suaminya. Dia tak akan pernah lupa bagaimana peluru yang menyambar bahunya hampir membuat nyawa Tara melayang. Ia juga belum lupa bagaimana Virna diculik. Dan kesimpulannya adalah bukan hal sulit bagi seorang Raymond Rowan untuk mencari tahu informasi tentang seseorang.
"Istriku?" Raymond duduk di tepi ranjang dan membelai pipi istrinya dengan sangat lembut. "Sekarang tugas mu adalah istrihat. Jangan memikirkan hal lain. Oke?"
Tara merekangkan kakinya kemudian berkata, "Benar juga! Kebetulan sekali kaki ku sangat pegal! Oh ... Tuhan. Ternyata melahirkan adalah hal yang melelahkan!"
Secepat kilat, Raymond langsung memposisikan dirinya ada di dekat kaki Tara dan memijit perlahan kakinya.
"Bagaimana? Kau merasa nyaman?" tanya Raymond memastikan bahwa pijitannya tidak terlalu keras.
Sementara itu, Tara hanya bisa merem melek. Nikmat dan sangat nyaman. "Lebih keras lagi, suami ku. Jangan lupa bagian jarinya. Pijit satu demi satu ... dan uhhhhh ... tolong pencet bagian telapak kakinya ... ahhhh ... nyaman sekali. Benar. Terus begitu," oceh Tara tak henti-hentinya.
"Kalau kau mengantuk, tidurlah," suruh Raymond dengan lembut dan sesekali menciumi telapak kaki istrinya. Kaki itu, adalah kaki yang akan membantu anak-anak mereka melangkah dengan tegap dalam mengary kehidupan.
"Geli ... jangan lakukan itu, Mr. Rowan."
"Aku tidak bisa menahannya, istri ku," jawab Raymond terus menciumi kaki Tara hingga perempuan itu kegelian dan berusaha melepaskan kakinya dari tangan suaminya. "Aku terlalu mencintai mu."
Ya ampuuuuuun! Tara menepuk jidatnya. Ia melihat ke arah suaminya. Tubuh tinggi tegap, rahang kokoh, otot liat dan nampak sangar tapi sangat manis dan sangat lembut terhadap istrinya. Tara tak ingat bahwa suaminya pernah memarahinya. Tara terenyum dan meminta suaminya untuk mendekat.
"Terima kasih karena telah mencintai ku," ucap Tara memeluk Raymond dengan hati-hati agar jahitan di perutnya tidak terbuka.
"Seharusnya aku yang berterima kasih, sayang. Terima kasih karena telah mau menjadi istri ku. Terima kasih karena telah melahirkan anak-anak ku. Dan terima kasih karena kau berjuang untuk terus terus hidup," balas Raymond sambil mengelus rambut istrinya. Dan tanpa terasa, air matanya pun membasahi pipi. Tara dan anak-anaknya adalah hal yang sangat berharga baginya dan tak akan pernah bisa ditukar dengan apapun. Bahkan, oleh segunung emas dan berlian sekalipun.
"Ehem!" Suara Virna terdengar di kamar Tara dan dia pun langsung melihat ke arah pintu. Di sana, telah berdiri kakaknya, saudara kembarnya, Virna.
"Mbak Virna!" teriak Tara.
"Apa aku mengganggu kalian, Tuan Putri? Kalian seperti pengantin baru saja."
"Jangan bilang kamu iri pada ku, Mbak?!"
"Iri? Itu tidak mungkin! Hahaha." Sementara kakak-beradik itu melepaskan rindu, Tiger dan Raymond meninggalkan mereka berdua dan memilih untuk pergi ke kantin.
"Selamat, Bos. Kau telah menjadi seorang Ayah," kata Tiger menyesap kopi yang baru saja ia pesan.
"Thanks. Berapa hari kau di sini?"
"Mungkin hanya sampai besok."
"Kau tidak ingin mengajak Virna ke Cina?"
Tiger diam sesaat. Tentu saja dia sudah mengajak istrinya. Tapi, apa boleh buat? Perempuan itu tak mau selamanya mengekori suaminya. "Dia akan tinggal di sini, Bos. Tolong jaga dia."
"Jangan khawatir. Pikirkan saja bagaimana cara mu memberikan dia anak."
"Bos?"
"Pengertian lah sedikit. Kau tahu, kan Virna ingin sekali memiliki anak?!"
***
Note Author: Novel ini adalah sekuel Kapan Nikah. So,yang belum baca season 1 dan 2, baca dulu agar tidak bingung.
Burung-burung yang bertengger di atas pohon mangga mulai bercicit ketika Raymond baru saja selesai menidurkan Cleo. Seminggu sudah Tara dan anak-anaknya kembali ke kediaman Lewis dan seminggu itu pula Raymond melakukan pekerjaan barunya. Ayah rumah tangga!"Apa dia sudah tidur?" tanya Tara yang baru saja memeras air susu dan dimasukkan ke dalam botol untuk disimpan di lemari pendingin. Ia tak mungkin menyusui keempat anaknya dalam waktu bersamaan. Apalagi Cleo? Dia sama sekali tak ingin minum susu langsung dari ibunya. Bahkan, saat Tara menggendongnya, si mbontot justru menangis."Ya. Sekarang kau istirahatlah. Aku akan menyimpan botol-botol itu," jawab Raymond membetulkan selimut yang menutupi tubuh kecil Cleopatra yang ada di tengah-tengah ranjang. Jika ketiga anak yang lainnya cenderung pendiam dan mau dijaga oleh pengasuh, maka, Cleo sedikit spesial. Dia hanya akan diam menangis jika Papa nya lah yang memintanya diam.
"Kamu yakin suami dan anakmu akan ikut?" bisik Virna di telinga Tara ketika Raymond sedang menyiapkan keperluan Cleopatra. Pria itu bergerak dengan semangat. Memasukkan popok, baju ganti, tissue basah dan kering, dan juga mainan ke dalam sebuah tas yang ukurannya cukup besar. Benar-benar Papa baru yang teladan!"Ya. Aku aku tidak bisa melarangnya," jawab Tara santai sambil memperhatikan Cleo yang ada di pangkuan Mamanya. " ... dan Mbak Virna tahu, kan? Di mana ada Raymond, di situ ada Cleo. Di mana ada Cleo, di situ ada Raymond! Mereka adalah amplop dan perangko! Harus nempel!""Memangnya masih jaman orang pakai perangko?""Entahlah ...." Tara mengangkat kedua bahunya. Kalau Raymond sudah bilang mau ikut, badai yang. Isa mencegahnya. Jangankan lautan yang berisi air asin. Lautan lahar pun akan diseberangi!Raymon
Virna menarik napas dalam-dalam ketika suara Sofi terus saja terdengar oleh telinganya. Kawannya itu memang tak pernah berubah. Cerewet dan memang suka memandang rendah dirinya karena dianggap tidak sekelas. Terlebih, Virna adalah yatim piatu yang hanya mengandalkan otaknya agar bisa kuliah dan mendapatkan beasiswa."Vir, makan, dong. Udah gue ambilin, nih! Gue inget banget waktu kuliah dulu, Lo jarang ke kantin," kata Sofi menyodorkan kimbab yang baru saja diambilnya dengan nada setengah memaksa."Makasih, Fi. Aku masih kenyang." Virna menjawab enggan dan sesekali melambaikan tangan pada kawan-kawan yang menyapa dirinya dari kejauhan."Sarapan apa, Lo? Nasi bungkus sama seperti waktu kuliah dulu? Kerja di mana sekarang? Eh, itu tas KW kan? Emang, sih. Kalau barang tiruan memang murah dan cocok sama Lo! Ya gak, Hans?"
Akhirnya selesai juga. Desah Virna dalam hati ketika ia telah sampai di dalam mobil dan duduk di belakang kemudi setir dengan
"Virna?"Mata Firman terbelalak melihat perempuan yang barusan ditabraknya itu ternyata adalah mantan istrinya. Virna.Tubuh wanita itu kini makin berisi, wajah berseri, terlebih lagi pakaiannya yang terlihat mahal dan makin modis. Pokoknya lebih cantik dari istrinya. Kalau tahu begini, dia tak akan menceraikan mantan istrinya itu. Kalau tahu kehidupannya akan makin runyam begini ... tak akan dia mengkhianati pernikahannya. Tak akan dia bermain mata di belakang Virna. Seandainya waktu bisa diputar kembali, Firman akan dengan ikhlas kembali ke masa lalu. Tapi, tiada guna penyesalan Firman. Kini dia sudah hidup dengan istri, anak, dan calon jabang bayi yang masih ada dalam kandungan."... apakah istrimu hamil lagi?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Virna. Lagipula, tidak mungkin, kan, laki-laki ada di rumah sakit ibu dan a
Virna dan Tiger sedang berada di ruangan Hilma. Seperti biasa, Tiger bersikap tenang setenang wajahnya yang tampan dengan rahang kokoh. Sedangkan Virna, dia sedang harap-harap cemas. Tangannya berkeringat sambil memperhatikan dokter kandungan yang ada di hadapannya itu. Hilma terlihat serius membaca laporan kesehatan Tiger yang ada di tangannya sembari sesekali membetulkan kacamatanya yang bertengger di hidungnya yang cukup tinggi untuk ukuran orang Indonesia. Dia tak mau melewatkan satu huruf pun. Apalagi, laporan ini adalah harapan dari sahabatnya sendiri. "Semuanya normal," kata Hilma begitu selesai membaca laporan kesehatan Tiger. Tak ada yang salah. Pria yang duduk di hadapannya itu tidak kekurangan satu apapun. Kesehatan fisik dan psikis juga oke. Tak ada masalah. &