One kiss could bind two souls in a second.
-Unknown
--
Sudah hampir 10 menit, Dewa hanya diam memandang Hening yang kini duduk bersebrangan dengannya, di VIP Room sebuah restoran, yang memang di pesan khusus oleh Dewa untuk makan siang bersama Hening.
Insting Dewa memang tidak salah, seperti yang pernah ia katakan pada saat pertama kali bertemu dengan Hening. Gadis itu sebenarnya manis, hanya butuh sedikit polesan saja hingga ia bisa tampil luar biasa, seperti saat ini.
Bertemu dan bergaul dengan para wanita cantik nan seksi bagi Dewa adalah hal biasa. Namun, hanya Hening, gadis manis yang punya nyali besar, dan berani menantangnya tanpa ragu, sehingga membuat Dewa penasaran.
Hening menelan saliva dengan pupil mata yang melebar saat melihat satu porsi chicken cordon bleu baru saja di sajikan oleh pelayan di depan matanya. Cacing di perutnya sudah berteriak memberontak, namun Hening masih bergeming, menahan gengsinya.
“Hening.” Akhirnya Dewa membuka mulutnya. Hening melihat Dewa tajam, tatapannya dingin. “Bisa gak, jari-jari lo itu gak mainin bibir dari tadi?”
Hening hanya diam memicingkan matanya. Ia tidak mengerti dengan apa maksud dari kata ‘main’ yang sebut oleh Dewa. Jemarinya sedari tadi memang tidak bisa diam sibuk menghapus lipstick yang terasa berat melekat di bibirnya, tak ada maksud apapun di balik itu.
Tapi tidak bagi Dewa, apa yang dilakukan Hening sedikitnya telah membangkitkan sebuah hasrat untuk bisa memagut bibir yang saat ini sudah tidak berbalut lipstick lagi. Warna pink cerah alami dari bibir Hening semakin menarik perhatiannya hingga ia berdiri menghampiri gadis itu dan duduk di sampingnya.
“Kalau mau ngomong, dari tempat tadi juga bisa, gue denger kok, gak perlu sampe duduk di sini.” Ucap Hening ketus.
Dewa menyeringaikan senyumnya. “Gue, cuma mau ngerasain appetizer dulu kok.”
Kali ini, tangan kanan Dewa terjulur berniat meraih wajah Hening, dan karena sudah hafal apa yang akan dilakukan gadis itu. Dewa segera menahan, lalu mengunci kedua tangan Hening dengan tangan kirinya. Dengan gerakan cepat Dewa meraih tengkuk gadis itu dan menyatukan bibirnya, menyesap sebuah rasa yang sedari tadi menggelitik hasratnya.
Manik Hening membelalak dengan tubuh menegang.
1 detik
2 detik
3 detik
Berlalu namun Hening tidak mampu melakukan apapun. Otaknya kosong dengan bibir yang masih mengatup rapat dan nafas yang tertahan.
Dewa menarik diri. “Nafas, Ning!” Serunya terkekeh melihat ekspresi gadis itu.
Hening menggeleng menyadarkan dirinya. “LO!” berdiri dengan wajah memerah kesal setengah mati menghentakkan kedua kakinya. Tangan kanannya sudah melayang hendak memberikan tamparan untuk Dewa tapi segera ditahan oleh pria itu.
Dewa berdiri menarik tangan Hening menghabiskan jarak antara mereka. “Kalau dicium itu balasnya dengan ciuman juga, bukan tamparan.” Ujarnya tenang.
“Gue gak terima di cium sama lo!” Ucap Hening setengah berteriak marah, mengusap bibirnya dengan punggung tangan berulang kali.
“Kalau gitu gue balikin lagi!” Dewa dengan sigap menarik pinggang ramping Hening. Tapi tidak semudah itu, kaki Hening sudah setengah melayang dan akhirnya ujung high heelnya membentur tulang kering Dewa dengan keras, membuat pria itu kembali merunduk mengaduh mengalami kejadian yang sama saat pertama kali bertemu dengan Hening. Dewa terduduk sembari mengusap kakinya yang telah ditendang oleh gadis itu.
“Gimana?! Enak?! Mau lagi? Gue beri lagi lo, kalau berani macam-macam sama gue!” Hening kesal, marah ingin segera pergi dari sana, tapi … ia lapar! Matanya melirik chicken cordon bleu yang saat ini sudah mulai mendingin, lalu menghela pelan. Hening melangkah mengitari meja dan mendaratkan tubuhnya di tempat duduk Dewa tadi. Dengan cueknya ia memasukkan potongan demi potongan daging ayam yang berisikan keju dan smoked beef itu ke mulutnya. Ia tidak lagi menghiraukan Dewa yang saat ini sedang menatapnya dengan kesal.
Akhirnya Dewa juga menyuapkan potongan daging ayam itu ke mulutnya, mengunyahnya dengan nafas tergesa. Mereka terdiam, tidak ada percakapan karena keduanya sibuk dengan kekesalan dalam hati masing-masing.
“Gue mau balik!” Ketus Hening yang sudah menghabiskan makanannya tanpa sisa.
“Gue yang antar.”
“Gak perlu! Gue ke sini di antar Joni ya balik dia juga yang antar!” Sudah berdiri dan melangkahkan kakinya tanpa mau melihat Dewa.
Langkahnya terhenti saat melihat seorang wanita cantik, tinggi, dengan kulit putih terawat berjalan masuk dengan angkuhnya menghampiri Dewa. Wanita itu mengenakan pakaian seksi yang membalut erat tubuhnya dengan potongan dada rendah yang hampir menumpahkan seluruh isinya. Ia melirik sekilas dengan tatapan tak ramah kepada Hening, berhenti di samping Dewa, merunduk dan memberi kecupan lembut di pipi pria itu.
Hening berdecih, merasa jijik melihatnya.
Dewa berdiri tergesa. “Mau ngapai lo ke sini?” Tanyanya datar memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menyandarkan bokongnya pada tepi meja.
Wanita itu duduk di kursi yang ditempati Dewa tadi, menyilangkan kakinya dengan anggun dan mengekspos paha putihnya yang sangat mulus. “Gue kebetulan ada di sini, tadi kata siska, lo ada di sini juga, gak papa kan gue mampir.”. Pandangannya beralih kepada Hening, meremehkan. “Cewek baru lo, beb?”
Hening bersedekap, menatap tidak suka pada wanita di depannya.
“Gue udah mau pergi, lo masih mau di sini?” Tanya Dewa tanpa mau menjawab pertanyaan wanita itu.
Wanita itu tersenyum miring, berdiri, melangkah menghampiri Hening dan mengulurkan tangannya. “Kenalin, Gue Anira Deandra, mantan istri Dewa. Panggil gue Dea.” Hening tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Seulas senyum licik terbit di wajah Dea. “Oh iya, meskipun mantan, kami sesekali masih tidur bareng loh.” Sambungnya sembari terkekeh.
“Hening.” Ucapnya menjabat uluran tangan Dea dengan cepat, namun wajahnya kini berubah datar beralih menatap Dewa.
Dewa malas menanggapi perkataan Dea, menggamit tangan Hening menautkan jemari mereka. “Sudah kenalannya? gue mau antar calon istri gue pulang dulu.”
“Calon istri?” Dea tertawa mengejek. Menelisik Hening dari ujung rambut sampai kaki. “Lulusan dari mana lo? Keluarga lo, maksud gue, bokap lo kerjanya apa? Pejabat apa pengusaha? Kayaknya gue gak pernah lihat lo keliaran di kalangan kami deh!” Sinisnya.
Rahang Hening mengeras, dan kedua tangannya sudah mengepal erat di mana salah satunya meremas tangan Dewa. Hening merasa di remehkan, di rendahkan dengan semua perkataan Dea. Ia memang bukan siapa-siapa, bahkan tak punya satupun yang bisa di banggakan, mirisnya lagi, ia hanyalah seorang anak dari ketua preman.
Dewa sadar betul apa yang dirasakan Hening saat ini. “Jaga omongan lo De, atau uang bulanan lo gue stop.” Walaupun sudah bercerai dengan Dea, pria itu tetap memberikan uang bulanan sebagai tunjangan hidup untuk Dea.
Dea berdecak kesal, kalau sudah begini ia kalah. Meskipun Dea sendiri juga bisa menghasilkan uang dari pekerjaannya sebagai model, namun, uang bulanan yang di beri Dewa dengan jumlah yang tidak sedikit itu setidaknya bisa menambah pemasukan untuk tuntutan biaya hidupnya. “Lo bener calon istri Dewa?” Dea melemparkan pertanyaan lagi. “Kok gue gak percaya sih?” Tatapannya beralih ke Dewa, bersedekap, membuat bagian dadanya semakin menonjol keluar. “Gue tau selera lo, gak gini Wa.”
Hening reflek menunduk dan memandang dadanya sendiri, spontan pikirannya membandingkan miliknya dengan milik Dea.
Astagaaa … besarnya dua kali punya gue! Lebih dikit pula! Hening membatin, tangannya tanpa sadar terangkat kembali mengusap bibirnya yang masih terasa tidak nyaman dengan bekas lipstiknya. Bibirnya terasa kering hingga harus membasahinya berulang kali dengan mengeluarkan lidahnya. Berat gak sih bawa yang sebesar itu ke mana-mana? Lanjutnya berbicara di dalam hati. Sejenak pikiran Hening teralihkan dengan bentuk payudara Dea, kalau biasanya, ia hanya melihatnya di televisi atau majalah dewasa, tapi tidak kali ini. Hening bisa melihatnya secara langsung dan dari dekat, membuatnya penasaran bagaimana bisa sebesar itu dan seperti apa rasanya bila menyentuhnya.
Hening menggeleng mengenyahkan pikiran absurdnya.
Dewa menatap bingung ke arah gadis itu yang kini masih memainkan bibirnya.. Tangannya sudah tidak di remas erat seperti tadi oleh gadis itu.
Apa yang merubah mood gadis ini begitu cepat pikir Dewa namun tatapannya fokus ke bibir Hening. Dewa tidak tahan, lagi-lagi gadis itu berhasil membangkitkan hasrat Dewa tanpa perlu melakukan apapun kepadanya. Dewa dengan cepat meraih tubuh Hening, menunduk dan melumat bibir gadis itu sekali lagi, dan kali ini Dewa berhasil menyusupkan lidahnya menikmati aroma latte yang masih tersisa di dalam sana.
Dan sekali lagi Hening menahan nafasnya dengan tubuh membeku. Tanggannya kini hanya mampu meremas erat pinggiran kemeja yang di kenakan oleh Dewa. Lama, cukup lama kali ini Dewa memagutnya tanpa mempedulikan kehadira Dea di sana
Sampai akhirnya Dea geram sendiri melihatnya dan memlilih pergi dengan hentakan kesal ujung high hell yang menggema di ruang private tersebut.
Hening segera menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, saat Dewa melepaskan ciumannya dengan memberikan sebuah gigitan kecil pada bibir bawah Hening. Kaki Hening lunglai dan hampir saja terjatuh jika Dewa tidak segera meraih pinggang gadis itu dan menahannya.
“Ck, nafas Ning, nafas! Lo kayak—" Dewa menggeleng pelan menyentuh bibir Hening yang terlihat sedikit tebal dan masih basah itu. Tak dipungkiri kalau ia sedikit kesal karena gadis itu tidak bereaksi apapun atas tindakannya.
“Nafas?!” Sela Hening mengerjab polos, memiringkan kepalanya berusaha menyingkirkan pikirinnya dari sensasi lidah Dewa yang bermain dalam mulutnya beberapa saat yang lalu.
Dewa ikut mengerjab melihat wajah polos Hening, dan terlintas sesuatu di benaknya. “Sebentar.” Katanya dengan tangan membenarkan posisi kepala Hening yang miring, menyadari sesuatu. “Lo belum pernah ciuman?”
Hening melipat bibirnya, diam tak menjawab apapun, namun kepalanya menggeleng pelan dengan semburat rona merah yang tercetak jelas di pipinya.
Dewa tiba-tiba tertawa dengan renyah. Semua rasa kesalnya hilang seketika saat mengetahui bahwa dialah orang pertama yang telah mencium dan yang nantinya akan menyentuh gadis itu.
Dewa kembali menautkan jemari mereka dan membawa Hening keluar berniat mengantarnya pulang. “Lo balik sama gue.”
Mereka berjalan bersisihan seraya bergandengan tangan dalam diam. Kali ini Hening hanya diam menurut dengan Dewa. Ada suatu perasaan yang tidak dimengerti Hening saat ini, dan ia masih berusaha mencernanya.
Sialan! Otak gue buntu! Emang dasarnya udah buntu juga, ditambah ciuman tadi! Lidahnya … astagaa … gue pengen lagi! oh bego lo Hening! BEGO!, Hening tak berhenti mengumpat dalam hatinya.
Sepanjang jalan Hening melangkah bersama Dewa keluar dari restoran, ada sepasang mata yang menatap gusar. Ia hendak mengumpat dan marah, tapi sadar kalau ia bahkan tidak punya hak apapun atas diri Hening.
Sometime, you just need to be honest with your heart and have faith with it-Kanietha“Jadi, lo … duda?” Tanya Hening saat sedang memasang sabuk pengamannya.“Masalah?” Dewa bertanya balik, lalu menstarter mobilnya.“Punya anak?”“Nope.”“Kenapa cerei?”Dewa mengangkat bahunya. “Gak cocok aja.” Jawabnya santai.Satu sudut bibir Hening terangkat miris. “Dea yang mulus dari ujung ke ujung gitu aja lo cerain, apa kabar gue yang gak ada apa-apanya.”Ia kembali teringat pertanyaan yang dilontarkan Dea kepadanya, mengenai latar belakangnya pun keluarganya. Dalam sekejap rasa percaya diri Hening runtuh. Ia tidak pernah merasa sepert ini sebelumnya. Sesaat itu juga terlintas ocehan Esa yang sedang bersitegang di Green Resto dengan Dewa. Esa mengatakan kalau sebaiknya Dewa mencari gadis yang selevel dengannya
There are times when a well-placed pawn is more powerful than a king-Unknown--Reno, asisten sekaligus teman semasa kecil Dewa masuk ke dalam ruang kerja bosnya itu, lalu melempar tumpukan kertas bergambar di atas mejanya. Dewa hanya meliriknya sekilas lalu tersenyum, dan kembali membaca berkas yang sedari tadi ia pegang.“Dewa!”“Hmm.”“Cuma hmm, Wa?!” Reno berdecak frustasi duduk bersebrangan dengan Dewa. “Lo gak tau berapa duit yang gue keluarin supaya foto-foto itu gak muncul di media?”“Duit gue kan?” Dewa mengangkat wajahnya melihat Reno. “Gak papalah, yang penting masih ada sisa buat gue jajan sama gaji buat elo.” Kelakar Dewa yang tak ingin menganggap serius foto-foto dirinya yang sedang berciuman dengan Hening di mobil waktu itu. “Sudah aman berarti?” Reno mengangkat bahunya malas, Dewa meletakkan berkasnya lalu tertawa lepas. &ldqu
Friends are those rare people who ask how we are and then wait to hear the answer.-Ed Cunningham--Hening duduk dengan kaki berselonjor yang di silangkan pada sebuah kursi tunggu atau kursi yang biasa dipakai pengunjung mall untuk beristirahat sejenak dari kegiatan mereka. Gadis itu sedang menunggu rekannya yang sedang mengurus tagihan di salah satu pusat perbelanjaan di sana.“Cabut Ning, udah selesai gue!”“Makan dulu Mei, gue laper.” Ucap Hening memelas.“Food court atas?” Tanya Mei“Pujasera di luar aja, murce, lagi ngirit gue, tagihan sama Pak Dion lusa baru cair.” Keluh Hening yang sudah berdiri memperbaiki letak ranselnya.“Kapan sih, lo gak ngiritnya Ning? Punya pacar kaya itu di manfaatin Ning, jangan di jadiin pajangan doang ...” Mei bersungut pergi meninggalkan gadis itu.Hening berlari dengan cepat menghadang Mei. “Bentar-be
Love is a misunderstanding between two fools.— Oscar Wilde--Hening mengetuk pintu kaca sebanyak dua kali secara perlahan, lalu ia mendorong handle pintunya memasuki ruangan yang berisi dua orang wanita yang keduanya masih muda, tapi jelas usianya lebih tua daripada Hening. Seorang diantaranya sibuk menghitung dan menyusun bergepok kertas berwarna merah dan seorang lagi sibuk berkutat dengan perangkat komputernya.Belum sempat Hening melangkah masuk, wanita yang sedang menghitung tumpukan uang itu mengangkat wajahnya. “Langsung ke atas aja Ning, ketemu Pak Genta!”“Ngapain? Kan Mbak Ade yang nelpon?” Tanya Hening.“Saya nelpon karena di suruh beliau, buru gih ke atas!” Seru Ade yang kembali mengulang hitungannya.“Urusan saya kan biasanya sama Mbak Ade?”“Nurut aja kenapa sih Ning, Pak Genta itu lho baik, gak gigit!” Kekehnya.Sejak pertemuan ke
I won't give up on us, even if the skies get rough-Jason Mraz--Ini sudah kesekian kalinya ponsel Hening yang ia letakkan di meja meeting bergetar, dan untuk kesekian kalinya pula ia segera merejectnya.“Siapa Ning, di reject mulu, sapa tau orang mau pasang iklan.” Mei mendekatkan tubuhnya berbisik di telinga Hening, sedikit melirik Pak Ilham yang masih membahas tentang evaluasi target iklan bulan lalu.“Om brengsek!” Sahut Hening tak kalah pelan.Tak lama seseorang mengetuk pintu untuk menyela breafing yang dilaksanakan oleh divisi iklan setiap paginya.“Maaf Pak Ilham, Mbak Hening di tunggu tamunya di bawah.” Ucap seorang OB yang di suruh untuk menyampaikan pesan oleh bagian front office. “Guaanteng Mbak!” Lanjutnya menyeletuk dengan logat Jawanya yang sangat medok itu.Semua mata otomatis tertuju pada Hening.“Laris lo
You can run with a lie, but ypu can't hide from the truth.-Unknown--Hening kembali berdecak kasar saat ponselnya bergetar dengan memunculkan nomor yang memang sudah ia tidak pedulikan dari kemarin. Namun kali ini, mau tidak mau ia harus mengangkatnya, daripada melihat pria itu muncul kembali di kantornya dan membuat masalah.Tanpa salam dan basa basi ia langsung menyemprot seseorang yang tengah meneleponya itu.“Apaan sih Om! Jangan norak deh, telpan telpon mulu, situ enak gak kerja sama orang, gak bakal ada yang ceramahin kalau buat salah! lah gue, salah dikit aja kenal omel apa lagi yang kayak tadi pagi! Syukur-syukur kan gue gak dapat SP! Bersyukur juga gue gak dipecat saat itu juga! Om kira cari kerja gampang, apalagi cuma lulusan SMA kayak gue!”Nafas Hening sudah naik turun, menggerutu panjang lebar“Tapi enak kan, Ning?”Amarah Hening memuncak, kalau saja Genta saat ini sedang berada d
B'coz ... All I want is ... you!--Genta sudah menunggu di lobi kantor Metro seperti kemarin, mondar mandir di sana menunggu Hening. Sejak semalam Hening tidak bisa dihubungi, bukan karena gadis itu tidak mengangkat ponselnya, namun ponselnya tidak aktif. Dirinya bertambah gusar saat mengetahui gadis itu hari ini tidak datang ke kantor, dan tidak memberikan alasan apapun.Lalu Genta teringat sesuatu. “Kalau Mei, ada, Mbak?” Tanyanya kembali kepada wanita yang bertugas di front office.“Ohh itu Pak, Mbak Mei nya baru turun.” Tunjuk salah satu petugas front office yang duduk di belakang meja.Genta bergegas menghampiri Mei, dan menarik tangannya agar jauh dari peredaran.“Hening ke mana?” Tanya Genta tergesa. “Dari semalam hapenya mati.”Mei mengerucutkan bibirnya memandang Genta. “Ada perlu apa sih Pak, nyari-nyari Hening? Kasihanilah dia Pak, gara-g
Oh, kiss me beneath the milky twilight. Lead me out on the moonlit floor...Lift your open hand. Strike up the band, and make the fireflies danceSilvermoon's sparklingSo kiss me ...... - By Sixpence None the Richer ---“Ish, apaan coba! gue cuma dihargai dua box pizza! Tau gitu kan lanjut tidur aja tadi.” Hening masuk ke mobil Genta dengan tidak berhenti menggerutu. “Ini juga, Om Genta! apaan sih, sudah tau orang lagi kurang sehat, masih aja di ajak ketemuan. Kalau emang mau pasang iklan yang kemarin bisa langsung aja ke Mei. Gue lagi gak mood kerja hari ini.”Genta segera melepaskan jaket denimnya dan membalutkannya ke tubuh Hening. “Jangan di lepas, gue gak kuat lihat lo pake baju gituan, di depan gue, bawaannya pengen …” Hening segera memberi tatapan dingin kepada Genta sehingga pria itu hanya bisa menelan saliva tidak meneruskan kalimatnya. Namun detik selanjutnya