“Dara, ini Adam calon suamimu.”
Dara terkejut saat Mala—ibunya menyerahkan foto seorang pria yang katanya adalah calon suaminya. Dara mengambil foto tersebut lalu menatap lekat wajah orang yang ada dalam selembar foto tersebut.Pria yang terlihat jauh lebih tua darinya, dengan kumis hitam melekat di atas bibirnya. Terlihat kolot bahkan dia yakin saat bersanding dengannya, akan terlihat seperti Om dan keponakan. Sungguh dia bukanlah tipe pria idamannya.“Ibu gak lagi mimpi kan? Dia? Dia calon suami Dara?” tanya Dara seraya memperlihatkan kembali foto yang ada di tangannya kepada Mala. Dari nada bicaranya sudah dipastikan Dara setengah tak percaya, bahkan terkesan mengejek.“Iya, memang kenapa? Dia itu calon suami ideal buat kamu. Meskipun dia sederhana tapi dia pintar, dia lulusan Al Azhar Kairo. Ibu yakin dia bisa membuat kamu bahagia dan bisa membuat kamu berubah.” Terang Mala menjelaskan keunggulan Adam.Dara berdecak, sejenak ia memalingkan wajahnya lalu kembali menatap Mala.“Kenapa sih, itu lagi yang ibu bahas. Dara tanya memang ibu maunya Dara seperti apa? Tiap kali bicara sama ibu, selalu saja yang dibahas berubah. Perasaan tidak ada yang mesti Dara ubah dari diri Dara. Dan satu hal lagi ..... Dara gak mau nikah dulu. Dara mau mewujudkan cita-cita Dara,” tolak Dara, ia bersikukuh untuk menolak perjodohan ini.Dara kesal, pasalnya ibunya selalu meminta dirinya berubah. Berubah jadi wanita baik-baik yang bisa menutup auratnya dengan sempurna. Serta menjadi wanita yang lemah lembut.Kekesalan Dara akan berlipat-lipat, saat Mala selalu membandingkan diri dengan Rani—adik perempuan—yang terpaut dua tahun lebih muda darinya.Kakak beradik ini memiliki sifat berbeda jauh. Padahal, Mala dan Radit merasa mendidik kedua putrinya dengan sama. Namun, kenapa Dara justru berubah menjadi Dara yang suka keluar malam dan sering memperlihatkan auratnya? Mereka tidak mengerti.“Lihat adikmu, Dara! Dia menutup auratnya dengan sempurna, dia tidak suka keluar malam keluyuran seperti kamu. Mungkin dengan kamu menikah bisa sedikit banyaknya mengubah kebiasaan kamu.”“Rani, Rani, Rani lagi! Kenapa sih ibu selalu membandingkan Dara sama Rani? Apa jangan-jangan Dara ini bukan anak kandung ibu sama ayah? Sampai-sampai apa-apa dibandingin sama Rani. Lagian kenapa gak dia aja yang Ibu nikahkan? Dara masih ingin melanjutkan pendidikan modeling, Dara mau ke Inggris, Bu “Mala menggelengkan kepalanya, ia sama sekali tidak setuju dengan rencana Dara. Jika dia tidak terpantau justru kelakuannya akan menjadi.‘’Tidak bisa Dara! Pokoknya kamu harus menikah secepatnya. Lagi pula Adam sudah setuju, dia mau menikahi kamu. Terlebih ayahmu dan ayah Adam sudah memiliki tanggal yang cocok untuk pernikahan kalian.”“Apa?!" Dara terkejut bukan main, mendengar penuturan dari Mala.“Ibu sama ayah apa-apaan sih?! Kenapa mengambil keputusan tidak melalui persetujuan Dara? Dara belum bilang iya, tapi kenapa tanggal pernikahan Dara sama si pria tua itu malah sudah direncanakan. Ini gak adil, Bu.” Lanjut lagi Dara ia mulai protes.“Keputusan kami sudah mutlak, Dara. Ini jalan satu-satunya supaya kamu mau berubah. Jika di tangan ibu dan ayah kamu masih tetap seperti ini, mungkin di tangan suamimu, kamu mau sedikit mendengarkan perkataannya.”“Apa pun keputusan Ayah sama Ibu, Dara tetap tidak mau menikah. Apa Lagi dijodohkan dengan pria seperti dia. Langkah Dara masih panjang, masih banyak rencana yang sudah Dara susun. Apa iya harus putus di tengah jalan begitu saja?”Dara merajuk, dia bahkan kembali memalingkan wajahnya. Enggan bersitatap dengan wajah sang ibu. Bisa-bisanya kedua orang tuanya sudah menentukan tanggal pernikahan dirinya dengan pria yang bernama Adan, tanpa persetujuannya.Padahal dia belum bilang setuju, dia juga belum mengenal siapa sosok Adam. Mana mau dia menikahi pria yang sama sekali tidak ia kenali.“Ibu sama ayah melakukan ini demi kebaikan kamu, Dara. Ibu yakin dengan kamu menikah dengan Adam kamu jauh lebih baik. Ibu sama Ayah sudah angkat tangan. Ibu menyerah! Berulang kali ibu sama ayah mengingatkan kamu, menasehati kamu, apakah ada satu saja yang kamu dengar? Apa ada satu saja yang kamu lakukan? Ini bukan berarti ibu dan ayah lepas tanggung jawab. Tapi ini demi kebaikan bersama.’’Dara kesal, saat Mala justru mengatakan jika dirinya tidak pernah mengikuti apa yang dikatakan oleh ibu dan ayahnya. Oke, dia mengakui. Tapi tidak semua yang ayah dan ibunya perintahkan tidak ia turuti.“Ibu jangan pura-pura lupa, bukankah Dara selalu mengikuti apa permintaan ayah sama ibu? Hanya dua hal itu yang tidak dapat Dara lakukan. Tidak bisa mundur dari keinginan Dara untuk menjadi seorang model, yang kedua adalah Dara tidak bisa untuk berkerudung seperti Rani. Ingat, Bu. Dara bukan Rani.”“Kenapa kamu nggak bisa, Dara? Apakah sesulit itu? Buang semua kebiasaan buruk kamu.”“Ibu tolong, jangan memaksakan sesuatu yang tidak Dara inginkan, tidak sesuai dengan hati Dara. Misalkan saja seperti ini , coba Ibu perintahkan Rani untuk membuka kerudungnya. Lalu berpakaian seperti Dara. Apakah dia mau? Dara yakin Rani tidak akan mau, begitu juga dengan Dara. Ibu jangan maksa Dara untuk berpakaian seperti Rani atau bersikap seperti Rani. Karena itu bukan diri Dara. Dan sekarang? Dara malah dengar berita pernikahan ini.”“Ibu tahu, mungkin ibu sama ayah terkesan memaksakan. Tapi apa yang Ibu sama ayah paksakan ini adalah kebaikan bukan keburukan. Apa iya Ibu sama ayah harus membiarkan anak Ibu berpenampian seperti ini? Apa kamu tahu? Wanita itu menentukan, suami, Ayah, adik atau Abang laki-lakinya dan kakeknya itu masuk neraka atau masuk surga. Bukankah ibu sama ayah pernah mengatakan berulang kali. Selangkah kamu keluar tanpa menutup aurat, itu artinya kamu sama saja menjerumuskan Ayah, suamimu, kakekmu dan saudara laki-laki mendekat ke neraka.”Dara menggelengkan kepalanya, seraya menutup kedua telinga. Dia tidak mau mendengarkan perkataan ibunya itu. Ia tahu dan sering mendengar kata-kata seperti itu. Tapi jika hatinya belum terketuk dia harus apa? Dia nyaman dengan penampilan yang seperti ini.“Bu stop! Sudah jangan bahas ini dihadapan Dara! Dara juga tahu, tapi butuh proses untuk berubah. Tidak semudah yang ibu bayangkan.”“Tidak mudah? Tapi kamu memang tidak memiliki niat untuk berubah, kamu masih ingin berpenampilan seperti ini. Betulkan yang Ibu katakan Dara?”Tidak sepenuhnya apa yang dikatakan oleh Mala itu salah. Karena sebenarnya Dara memang tidak ingin mengubah dirinya, dia nyaman menjadi dirinya yang seperti ini.Rasanya ia tidak bisa membayangkan, jika harus berpakaian seperti Rani. Pasti gerah dan tidak akan nyaman begitu pikirannya.“Pokoknya setuju, tidak setuju, kamu tetap harus menikah dan ibu mohon besok kamu temui Ashraf, setelah itu proses pernikahan pun akan berlangsung.”Setelah berkata seperti itu, Mala pun beranjak meninggalkan anak gadisnya seorang diri. Dalam keadaan benar-benar kesal dan kecewa terhadap keputusan orang tuanya.Dara menghentak-hentakkan kakinya ke lantai, seraya terus menggerutu dalam hatinya.“Ini gak bisa dibiarkan! Pernikahan ini gak boleh terjadi. Jika ini terjadi sama saja mimpi yang sejak dulu aku inginkan akan kandas, sia-sia. Tidak akan kubiarkan pernikahan ini terjadi tidak akan!”Sesuai kesepakatan, hari ini adalah hari di mana Dara akan bertemu dengan Adam—calon suaminya. Mereka berdua diberi kesempatan untuk mengobrol dari hati ke hati. Lebih tepatnya untuk memberikan waktu, agar mereka mempunyai waktu berdua untuk saling mengenal satu sama lain.Meskipun calon suami pilihan orang tua Dara bukanlah pria idamannya. Tidak membuat Dara untuk lari dan membatalkan pertemuan ini.Setengah jam lamanya Dara menunggu. Namun, orang yang sedang ia tunggu belum juga datang. Ini membuat Dara kesal setengah mati, alasannya ia paling tidak suka menunggu seseorang.Wajar saja jika pria yang ingin ia temui begitu lama, sebab mereka janjian via WA sekitar pukul sepuluh pagi. Namun, Dara sudah datang sejak pukul sembilan pagi. “Assalamualaikum.”Dara menolehkan kepalanya, saat ada seseorang yang mengucapkan salam tepat di samping tubuhnya. Dara menatap orang tersebut, menelisik dari atas sampai bawah.Sosok pria jangkung dengan perwatakan tegap serta berkumis sedikit tebal.
Malam hari sekitar pukul 10.00 malam usai resepsi pernikahan Dara dan Adam....Tadi siang sudah diadakan acara akad pernikahan antara Dara dan Adam. Hanya pernikahan sederhana, karena Dara ingin pernikahan mereka disembunyikan. Dara belum siap jika orang tahu dirinya sudah menikah namun, lebih tepatnya ia malu karena harus memiliki suami berpenampilan kolot dengan selisih umur mereka 12 tahun. Dia yakin dirinya akan jadi bahan ghibah teman-temannya. Sekarang Dara dan Adam tengah di dalam kamar pengantin. Saling diam tanpa sepatah kata pun terucap. Dara duduk di sofa seraya memalingkan wajahnya menghindari tatapan Adam. Sementara Adam, ia berada di atas ranjang seraya menatap ke arah Dara.“Kita salat isya dulu, ya,” Adam tiba-tiba berbicara seperti itu setelah keheningan tercipta.Bukannya menjawab, Dara malah beranjak dan menghalau Adam agar tidak duduk di atas ranjang.“Minggir!” ucap Dara ketus.Adam tidak mengindahkan seruan Dara. Ia tetap duduk di atas ranjang dengan soro
Dalam hati, Dara bersorak bahagia karena akhirnya Adam setuju dengan kesepakatan yang sudah ia buat. Dara yakin dengan cara ini akan mempersingkat masa pernikahan mereka. Kenapa demikian? Karena Dara yakin dia tidak akan pernah mencintai Adam. Pria yang menurutnya terlihat kolot. Sungguh itu bukanlah pria tipe nya. “Tapi, aku punya satu syarat.” Ucapan Adam yang tiba-tiba itu seketika menjatuhkan angannya. Syarat? Syarat apa? Dara seketika takut, saat syarat diajukan Adam memberatkan dirinya. “Kenapa harus pakai syarat segala? Aku tidak setuju!” tolak keras Dara. “Saya saja sudah setuju dengan kesepakatan yang kamu buat. Apa saya tidak boleh mengajukan syarat?” tanya Adam dan sungguh kata-kata Adam bagaikan sebuah pedang yang menghunus jantungnya dan sangat tepat sekali . Sedikit gelagapan akhirnya Dara pun mau tidak mau harus setuju dengan keinginan Adam, yang mau mengajukan syarat. “Baiklah, memangnya apa syarat yang kamu mau? Ingat ya jangan sampai syaratnya sulit dan banya
Kini Dara sudah berada di rumah Adam. Sebuah rumah sederhana yang jauh dari kata mewah. Rumah yang besarnya hanya sebesar kamar miliknya di rumah mewahnya.Hanya ada satu kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan ruang tengah. Dara terlihat jelas merasa tidak suka dengan apa yang ia lihat sekarang..“Ini rumahmu?” tanya Dara Dengan nada tak percaya.“Menurtmu?” tanya balik Adam.Dara lalu menoleh ke pada Adam yang saat ini tengah memasukkan koper miliknya dan milik adam ke kamar.“Ini bukan rumah.” Jawab Dara dengan ketusnya.Adam tidak merespons. Ia memilih diam.Karena tidak mendapatkan jawaban dari Adam membuat Dara berinisiatif untuk melihat kamar barunya. Ia bisa bayangkan betapa jauh dari kata layak di sebut kamar.Benar saja, Dara langsung dibuat melongo melihat isi kamarnya. Sebuah kamar berukuran 4x4 meter. Dengan satu tempat tidur dan satu lemari plastik. Lalu di sisi dekat pintu ada cermin yang menempel di dinding.“Kau sedang tidak bercanda bukan? Serius aku harus tinggal d
Napas Dara terengah-engah. Kelakuan Adam membuat dirinya semakin membencinya. Bagi Dara tidak ada yang patut dibanggakan dari pria yang bernama Adam. Tidak ada satu pun.Di tengah kekesalannya itu, tiba-tiba Handphone Dara berdering. Tertera nama seseorang yang sudah satu tahun ini mengisi hati dan hidupnya dia adalah Morgan sang kekasih.Tanpa banyak ba-bi-bu lagi, Dara langsung menggeser ikon hijau di layar handphonenya. Dengan nada suara manjanya Dara mulai menyapa sang kekasih."Hallo, Beb," sapa Dara pada Morgan. Sapaannya dibalas Morgan dengan nada suara merajuk."Hallo juga, Beb. Kangen. Kenapa dua hari ini sulit sekali aku hubungi? Selalu saja panggilan dialihkan." Keluh Morgan dari balik telepon.Dara menghela napas, ia mengaku salah. Gara-gara perjodohan sialan itu membuat Dara melupakan sang kekasih."Maafkan aku, beb. Aku lupa ngabarin. Dua hari ini aku disibukkan sama pernikahan saudaraku. Aku jadi panitianya, padahal aku udah nolak. Tapi terus saja dipaksa," adu Dara den
Dara mengirim pesan pada Morgan, ia memberi kabar jika dirinya akan terlambat datang. Cuaca terik ditambah tidak ada taksi yang lewat membuat Dara semakin kesal dan marah tidak jelas.Sialnya lagi, aplikasi WE-CAR- nya tidak bisa ia gunakan karena mengalami maintenance. Dara tidak hentinya mengibas- ngibaskan lengannya untuk mengurangi rasa gerah dan panas."Tuhan! Cobaan apa lagi ini? Argh!!" Dara berteriak Frustrasi.Sekarang Dara harus bisa terbiasa tidak menggunakan fasilitas mewah. Mobil, kartu kredit ataupun kartu debit kini ia tidak memilikinya lagi.Dia benar-benar harus bisa terbiasa, ia pikir mungkin kedepannya akan ada sesuatu yang lebih dari ini. Sial!Mata Dara lalu tertuju ke ujung jalan, di mana terdapat pangkalan ojek. Sempat terlintas untuk menggunakan jasa ojeg tapi tiba-tiba Dara menggeleng cepat. Ia malah menekuk wajahnya dengan mata terus memandangi lengannya dan memegangi wajahnya."Kalau aku naik ojeg, bisa-bisa kulit ku jadi hitam. Tapi ... Diam terus di sini p
Adam menunggu kedatangan Dara dengan cemas. Sudah selarut ini tapi sang istri kecilnya tidak kunjung terlihat batang hidungnya. Berulang kali Adam menghubungi nomor Dara. Tapi hasilnya diluar jangkauan. Adam semakin gelisah, kalau pun ingin mencari Dara, ia harus cari ke mana? Dirinya tidak tahu Dara pergi ke mana.. "Dara,,,, kamu ke mana, kenapa belum pulang?" Gumam Adam. Karena tidak sabar jika ia harus berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Dara. Adam memutuskan untuk mencari Dara meskipun ia tidak tahu cari ke mana. Adam mengambil kunci motornya lalu bergegas pergi untuk mencari Dara. Tujuan utamanya ada klub malam. Tiba-tiba saja ia teringat perkataan ibunya Dara jika Dara sering keluar malam dan biasanya ia pergi ke klub. Pikir Adam tidak masalah jika harus mencari Dara ke tempat itu. Tempat yang tidak pernah sekalipun ia injak , melihatnya saja ia tidak pernah. Satu persatu klub yang ada dikunjungi Adam. Ia masuk seraya terus mencari sosok sang istri. Jika tidak ada mak
Dara mulai mengerjap bulu mata lentiknya terlihat bergerak-gerak. Ia hendak membuka matanya namun kembali ia pejamkan kembali saat cahaya matahari dari celah jendela menyilaukan matanya. Perlahan, ia kembali membuka kedua matanya hingga mata indahnya bisa terlihat dengan jelas. Dara mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Tak lama ia memegangi pelipisnya kepalanya mendadak terasa cenat-cenut tidak karuan. "Aww, apa yang terjadi? Kenapa kepalaku rasanya mau pecah?" gumam Dara lalu ia berusaha untuk bangun. Saat ia sudah terduduk, ia berusaha mengingat sesuatu. Meskipun kepalanya terasa begitu sakit tapi Dara berusaha mengingat sesuatu. Lalu tatkala matanya mengarah pada baju yang ia pakai, bayangan malam itu terlintas. Malam di mana ia dan Morgan pergi ke klub lalu ia minum dan .... "Hah, ke-napa aku aku bisa ada di rumah pria kolot itu? Dan apa ini?...." Dara melihat ke arah baju tidur yang ia gunakan. Dara langsung menyilangkan kedua tangannya di atas dada dan menje