Share

30 Hari Mencintaimu
30 Hari Mencintaimu
Author: E. K

RENCANA PERNIKAHAN

“Dara, ini Adam calon suamimu.”

Dara terkejut saat Mala—ibunya menyerahkan foto seorang pria yang katanya adalah calon suaminya. Dara mengambil foto tersebut lalu menatap lekat wajah orang yang ada dalam selembar foto tersebut.

Pria yang terlihat jauh lebih tua darinya, dengan kumis hitam melekat di atas bibirnya. Terlihat kolot bahkan dia yakin saat bersanding dengannya, akan terlihat seperti Om dan keponakan. Sungguh dia bukanlah tipe pria idamannya.

“Ibu gak lagi mimpi kan? Dia? Dia calon suami Dara?” tanya Dara seraya memperlihatkan kembali foto yang ada di tangannya kepada Mala. Dari nada bicaranya sudah dipastikan Dara setengah tak percaya, bahkan terkesan mengejek.

“Iya, memang kenapa? Dia itu calon suami ideal buat kamu. Meskipun dia sederhana tapi dia pintar, dia lulusan Al Azhar Kairo. Ibu yakin dia bisa membuat kamu bahagia dan bisa membuat kamu berubah.” Terang Mala menjelaskan keunggulan Adam.

Dara berdecak, sejenak ia memalingkan wajahnya lalu kembali menatap Mala.

“Kenapa sih, itu lagi yang ibu bahas. Dara tanya memang ibu maunya Dara seperti apa? Tiap kali bicara sama ibu, selalu saja yang dibahas berubah. Perasaan tidak ada yang mesti Dara ubah dari diri Dara. Dan satu hal lagi ..... Dara gak mau nikah dulu. Dara mau mewujudkan cita-cita Dara,” tolak Dara, ia bersikukuh untuk menolak perjodohan ini.

Dara kesal, pasalnya ibunya selalu meminta dirinya berubah. Berubah jadi wanita baik-baik yang bisa menutup auratnya dengan sempurna. Serta menjadi wanita yang lemah lembut.

Kekesalan Dara akan berlipat-lipat, saat Mala selalu membandingkan diri dengan Rani—adik perempuan—yang terpaut dua tahun lebih muda darinya.

Kakak beradik ini memiliki sifat berbeda jauh. Padahal, Mala dan Radit merasa mendidik kedua putrinya dengan sama. Namun, kenapa Dara justru berubah menjadi Dara yang suka keluar malam dan sering memperlihatkan auratnya? Mereka tidak mengerti.

“Lihat adikmu, Dara! Dia menutup auratnya dengan sempurna, dia tidak suka keluar malam keluyuran seperti kamu. Mungkin dengan kamu menikah bisa sedikit banyaknya mengubah kebiasaan kamu.”

“Rani, Rani, Rani lagi! Kenapa sih ibu selalu membandingkan Dara sama Rani? Apa jangan-jangan Dara ini bukan anak kandung ibu sama ayah? Sampai-sampai apa-apa dibandingin sama Rani. Lagian kenapa gak dia aja yang Ibu nikahkan? Dara masih ingin melanjutkan pendidikan modeling, Dara mau ke Inggris, Bu “

Mala menggelengkan kepalanya, ia sama sekali tidak setuju dengan rencana Dara. Jika dia tidak terpantau justru kelakuannya akan menjadi.

‘’Tidak bisa Dara! Pokoknya kamu harus menikah secepatnya. Lagi pula Adam sudah setuju, dia mau menikahi kamu. Terlebih ayahmu dan ayah Adam sudah memiliki tanggal yang cocok untuk pernikahan kalian.”

“Apa?!" Dara terkejut bukan main, mendengar penuturan dari Mala.

“Ibu sama ayah apa-apaan sih?! Kenapa mengambil keputusan tidak melalui persetujuan Dara? Dara belum bilang iya, tapi kenapa tanggal pernikahan Dara sama si pria tua itu malah sudah direncanakan. Ini gak adil, Bu.” Lanjut lagi Dara ia mulai protes.

“Keputusan kami sudah mutlak, Dara. Ini jalan satu-satunya supaya kamu mau berubah. Jika di tangan ibu dan ayah kamu masih tetap seperti ini, mungkin di tangan suamimu, kamu mau sedikit mendengarkan perkataannya.”

“Apa pun keputusan Ayah sama Ibu, Dara tetap tidak mau menikah. Apa Lagi dijodohkan dengan pria seperti dia. Langkah Dara masih panjang, masih banyak rencana yang sudah Dara susun. Apa iya harus putus di tengah jalan begitu saja?”

Dara merajuk, dia bahkan kembali memalingkan wajahnya. Enggan bersitatap dengan wajah sang ibu. Bisa-bisanya kedua orang tuanya sudah menentukan tanggal pernikahan dirinya dengan pria yang bernama Adan, tanpa persetujuannya.

Padahal dia belum bilang setuju, dia juga belum mengenal siapa sosok Adam. Mana mau dia menikahi pria yang sama sekali tidak ia kenali.

“Ibu sama ayah melakukan ini demi kebaikan kamu, Dara. Ibu yakin dengan kamu menikah dengan Adam kamu jauh lebih baik. Ibu sama Ayah sudah angkat tangan. Ibu menyerah! Berulang kali ibu sama ayah mengingatkan kamu, menasehati kamu, apakah ada satu saja yang kamu dengar? Apa ada satu saja yang kamu lakukan? Ini bukan berarti ibu dan ayah lepas tanggung jawab. Tapi ini demi kebaikan bersama.’’

Dara kesal, saat Mala justru mengatakan jika dirinya tidak pernah mengikuti apa yang dikatakan oleh ibu dan ayahnya. Oke, dia mengakui. Tapi tidak semua yang ayah dan ibunya perintahkan tidak ia turuti.

“Ibu jangan pura-pura lupa, bukankah Dara selalu mengikuti apa permintaan ayah sama ibu? Hanya dua hal itu yang tidak dapat Dara lakukan. Tidak bisa mundur dari keinginan Dara untuk menjadi seorang model, yang kedua adalah Dara tidak bisa untuk berkerudung seperti Rani. Ingat, Bu. Dara bukan Rani.”

“Kenapa kamu nggak bisa, Dara? Apakah sesulit itu? Buang semua kebiasaan buruk kamu.”

“Ibu tolong, jangan memaksakan sesuatu yang tidak Dara inginkan, tidak sesuai dengan hati Dara. Misalkan saja seperti ini , coba Ibu perintahkan Rani untuk membuka kerudungnya. Lalu berpakaian seperti Dara. Apakah dia mau? Dara yakin Rani tidak akan mau, begitu juga dengan Dara. Ibu jangan maksa Dara untuk berpakaian seperti Rani atau bersikap seperti Rani. Karena itu bukan diri Dara. Dan sekarang? Dara malah dengar berita pernikahan ini.”

“Ibu tahu, mungkin ibu sama ayah terkesan memaksakan. Tapi apa yang Ibu sama ayah paksakan ini adalah kebaikan bukan keburukan. Apa iya Ibu sama ayah harus membiarkan anak Ibu berpenampian seperti ini? Apa kamu tahu? Wanita itu menentukan, suami, Ayah, adik atau Abang laki-lakinya dan kakeknya itu masuk neraka atau masuk surga. Bukankah ibu sama ayah pernah mengatakan berulang kali. Selangkah kamu keluar tanpa menutup aurat, itu artinya kamu sama saja menjerumuskan Ayah, suamimu, kakekmu dan saudara laki-laki mendekat ke neraka.”

Dara menggelengkan kepalanya, seraya menutup kedua telinga. Dia tidak mau mendengarkan perkataan ibunya itu. Ia tahu dan sering mendengar kata-kata seperti itu. Tapi jika hatinya belum terketuk dia harus apa? Dia nyaman dengan penampilan yang seperti ini.

“Bu stop! Sudah jangan bahas ini dihadapan Dara! Dara juga tahu, tapi butuh proses untuk berubah. Tidak semudah yang ibu bayangkan.”

“Tidak mudah? Tapi kamu memang tidak memiliki niat untuk berubah, kamu masih ingin berpenampilan seperti ini. Betulkan yang Ibu katakan Dara?”

Tidak sepenuhnya apa yang dikatakan oleh Mala itu salah. Karena sebenarnya Dara memang tidak ingin mengubah dirinya, dia nyaman menjadi dirinya yang seperti ini.

Rasanya ia tidak bisa membayangkan, jika harus berpakaian seperti Rani. Pasti gerah dan tidak akan nyaman begitu pikirannya.

“Pokoknya setuju, tidak setuju, kamu tetap harus menikah dan ibu mohon besok kamu temui Ashraf, setelah itu proses pernikahan pun akan berlangsung.”

Setelah berkata seperti itu, Mala pun beranjak meninggalkan anak gadisnya seorang diri. Dalam keadaan benar-benar kesal dan kecewa terhadap keputusan orang tuanya.

Dara menghentak-hentakkan kakinya ke lantai, seraya terus menggerutu dalam hatinya.

“Ini gak bisa dibiarkan! Pernikahan ini gak boleh terjadi. Jika ini terjadi sama saja mimpi yang sejak dulu aku inginkan akan kandas, sia-sia. Tidak akan kubiarkan pernikahan ini terjadi tidak akan!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status