Share

Bab 2. Memikirkan seorang anak

"Jangan telepon lagi! Bukankah kemarin aku sudah bilang, rescedule jadwalku seminggu ke depan, apa kamu masih kurang paham?!" 

"Hey, hello! Lian sayang, kenapa kamu pagi-pagi sudah marah-marah? Baru PMS? Atau semalam tidak menyenangkan bersama Saga?"

Lian mendengus di balik telepon itu. Mood-nya memang sangat buruk pagi ini, tentu saja ini adalah dampak persoalan semalam dengan Saga. Ia bahkan baru bangun di pukul sebelas pagi karena semalaman ia habiskan untuk menangis.

"Pokoknya jangan ganggu aku hari ini. Masalah kerjaan kita obrolkan lain kali saja!" protes Lian dan menutup sambungan telepon itu sepihak tanpa mau mendengarkan Hana —managernya— lebih lanjut.

Ia melemparkan ponselnya di atas ranjang, mengucir rambutnya asal dan berjalan ke wastafel untuk mencuci muka. Matanya sungguh membengkak dan wajahnya mirip seperti zombie. Ia mengusap kedua pipinya yang kusam karena tidak memoleskan skincare malamnya.

Saat ia keluar kamar dan mau ke dapur untuk mengambil minum, ia menemukan Saga sudah bersiap dengan pakaian rapinya, akan berangkat bekerja. Anehnya, ini sudah hampir pukul dua belas siang. Padahal Lian tahu hari ini Saga bekerja dari rumah. Atau Saga akan ke luar kota lagi? Baru saja dua hari yang lalu lelaki ini pulang setelah tugas di luar kota satu minggu, sekarang harus berangkat lagi? 

Saga yang tahu jika istrinya sudah bangun dan berdiri bersandar di ambang pintu melihatnya bersiap-siap, ia pun menatap Lian dengan datar.

"Aku harus berangkat ke kantor. Ada pekerjaan mendadak. Hanya akan pulang sore karena tugas ke luar kota sudah digantikan Andri." jelasnya tanpa menunggu Lian bertanya.

Lian hanya menatap suaminya tak acuh. Ia meninggalkan sandaran pintu itu dan berjalan menuju dapur. Perasaan marahnya masih ada, tapi tidak terlalu mendominasi meski mood-nya masih tidak tertolong. Diam-diam ia ingin mengunyah suaminya sendiri setelah mengingat berkas yang diberikan Saga semalam. Ia masih berniat mendiamkan Saga, entah sampai kapan. Mungkin sampai lelaki itu sadar bahwa keputusannya itu bodoh.

Memang, harusnya mereka bisa mengobrol lebih baik dan mencari jalan tengah dari persoalan ini, seperti biasanya sebagai dua orang dewasa. Akan tetapi, Lian terlalu malas berbicara dengan Saga yang keras kepala itu.

Satu tangan melingkar di bahunya dan sebuah kecupan mendarat di atas kening Lian saat ia selesai meneguk minumnya.

"Aku berangkat." ujar Saga sedikit kaku.

Biasanya lelaki itu akan mencium Lian terlebih dahulu tidak peduli Lian masih bau mulut dan belum mandi, memeluk erat dan kadang membercandai Lian sampai tertawa lalu Saga akan berangkat sambil melambaikan tangan kepada istrinya. Tak lupa tiga kata sakralnya 'I love you'. Kali ini Saga lebih dingin dari biasanya, Lian pun sama. Ia tidak membalas memeluk suaminya dan berkata hati-hati di jalan.

Lian tidak peduli, karena yang berhak marah sekarang tentu saja adalah dirinya. Ia merasa dicurangi dengan keputusan Saga yang konyol itu. Memang Saga tidak ingat, jika lelaki itu adalah anak tunggal di keluarganya dan selalu merasa kesepian di rumah karena tidak punya saudara lain? Bagaimana mungkin saat mereka tua nanti juga tidak ada satupun anak diantara mereka? Bukankah itu akan menambah rasa kesepiannya?

Setidaknya, Lian berpikir ia tidak mau menua tanpa pernah memikirkan seorang anak.

Lian menatap punggung Saga yang kian menjauh dan menghilang di balik tembok dapur. Tak lama suara mobil Saga terdengar dan menjauh. Selanjutnya, ia tidak bisa berdiam diri di rumah begini. Sebaiknya Lian pergi ke rumah Anggi —kakaknya— dan bermain dengan Miko atau bertemu dengan kedua sahabatnya. Itu akan membantu melupakan sejenak masalahnya dengan Saga.

"Tumben tidak kerja? Sudah kaya ya?" sindir Anggi saat Lian datang ke rumahnya dengan membawa satu box pizza.

"Aku hanya bisa mengamini ucapanmu. Lagian aku sudah minta Hana merescedule jadwalku seminggu ke depan. Jadi aku free."

"Hah? Seorang Lianda Alsyi benar-benar mengambil jeda kerja? Yang benar saja? Demi kecoak bunting, aku terlalu kaget mendengar ini." ucap Anggi dengan wajah yang hiperbola.

Anggi jelas kaget, karena selama ini, Lian memang selalu sibuk. Bahkan untuk datang ke rumahnya saja harus Anggi yang menelepon dulu. Lian susah sekali ditemui. Sebagai model, ia kerja dari pagi ke pagi tanpa kenal waktu dan sekarang meminta managernya mengosongkan jadwal selama seminggu. Bukankah ini adalah keajaiban dunia?

Lian menghela napasnya. "Rencana mau liburan bersama Saga. Tapi—"

"Wah bagus itu. Kalian harus sering-sering liburan berdua. Percuma punya uang banyak tapi tidak pernah dipakai bersenang-senang. Syukur-syukur mulai rencanakan lah punya momongan. Usia kamu masih tiga puluh tiga, it's not bad for have a baby." Anggi memotong ucapan Lian begitu saja dengan antusias.

Lian menurunkan kedua pundaknya. "Mustahil, Nggi."

Anggi menaruh Miko di baby chair-nya dan membiarkan anak itu menyantap buah sebagai cemilannya. Perempuan berambut pendek itu menatap Lian dengan heran. 

"Mustahil kenapa? Heh, Kalian tidak ingat bibi Mondi dan paman Purnomo, tetangga kita di rumah lama? Mereka terpaksa di bawa ke panti jompo karena tidak ada yang mengurus di rumah saat usia mereka sudah senja. Bayangkan usia mu dan Saga sudah tidak produktif lagi, tangan kalian sudah tremor dan kaki kalian letoy, apa iya saat tua nanti kalian tetap bisa mengambil makan sendiri, memegang gelas sendiri tanpa tumpah? Aku tidak yakin. Lagipula, rumah tangga kalian akan lebih harmonis dengan adanya anak. Jadi aku mohon, pertimbangkan soal momongan ini." ujar Anggi panjang lebar sampai lupa bahwa wajah anaknya sudah merah semua karena buah naga. "Oh no! Miko!" jeritnya panik.

Lian hanya bisa menipiskan bibirnya.

"Bilang saja kamu tidak mau membagi kasih sayang anakmu untuk tante dan omnya juga saat sudah dewasa nanti."

Anggi mengelap wajah Miko dengan tissu basah dan sesekali menoleh pada Lian.

"Aku memang berencana punya anak lebih dari dua, tapi bukan berarti saat mereka dewasa harus kerepotan mengurusi dua pasangan jompo seperti aku dan Fadil serta kamu dan Saga. No! Memangnya mereka suster panti jompo? Lebih baik kamu usaha dulu. Kamu kan juga sudah dinyatakan sehat oleh dokter dan tidak menunjukkan kelainan apapun, Saga juga kan?"

"Ya bagaimana, Nggi? Memang mustahil kita punya anak."

"Coba jelaskan kenapa kamu pesimis begini? Perasaan kemarin baru saja menyinggung soal berhenti KB dan riset dokter untuk program."

Lagi-lagi, Lian menghembuskan napasnya kasar. "Nggi, semalam tiba-tiba Saga memberitahuku jika dia mau melakukan tindakan Vasektomi satu bulan lagi."

"Apa?! Vasek-vasektomi?" Anggi mengingat-ingat sebuah istilah yang pernah beberapa kali ia dengar itu. "Tindakan bedah untuk menyumbat sperma dan menjadikan lelaki mandul secara permanen? Saga mau melakukan itu? Kok bisa?!"

Kedua bahu Lian terangkat. "Ya. Kamu saja kaget, apalagi aku sebagai istrinya yang tidak pernah diajak diskusi soal hal ini, tahu-tahu dia sudah memberiku laporan hasil medical check up dan beberapa tes lain."

Anggi menggeleng dramatis. Ia lantas meluruskan badannya dan menghadap Lian. Matanya menatap dengan seksama seolah ada sesuatu hal yang harus Anggi katakan.

"Ini terlalu mengejutkan tapi pasti dia punya alasan dibalik semua itu. Kenapa?"

"Saga mau childfree, katanya dia sudah nyaman dengan ketidakhadiran anak diantara kami. Padahal kamu tahu kan, kita hanya menunda bukan berarti tidak mau punya."

Anggi melongo. Mungkin di kota besar, tindakan vasektomi ini sudah banyak dilakukan pada laki-laki yang ingin menua tanpa kerepotan oleh hadirnya anak. Akan tetapi ia tidak habis pikir ini akan dilakukan oleh adik iparnya sendiri. "Astaga! Aku pikir justru Saga yang paling ingin kalian segera memiliki anak karena dia anak tunggal. Jujur saja ini keputusan besar, Lian. Terus apa yang sudah kamu lakukan? Pasti kamu cuma marah dan nangis semalam. Dasar!" 

Lian benci jika kakaknya sudah menyalahkannya begini. Ya jelas Lian marah dan menangis jika tahu suaminya mau melakukan tindakan itu tanpa persetujuannya.

"Memangnya aku harus melakukan apa?!"

Anggi memutar bola matanya ke atas dan mendengus. "Makanya jangan kelamaan pose di depan kamera terus sampai lupa menggunakan fungsi otak. Coba kamu pikir, apa yang harus kamu lakukan untuk mencegah suamimu melakukan vasektomi!"

Tak selang lama, Lian mendongak dan menatap Anggi begitu serius. "Apa mungkin aku harus menyusun strategi khusus untuk mencegah Saga melakukan tindakan itu?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status