Share

30 Hari Mendapatkan Benih Suamiku
30 Hari Mendapatkan Benih Suamiku
Penulis: Ohmyrum

Bab 1. Keputusan tiba-tiba

“Keputusan ku sudah bulat,” ujar Saga.

Satu bundle kertas disodorkan kepada Lian, perempuan yang sudah ia nikahi selama lima tahun. Lian menaruh sendok makannya dan meraih kertas tersebut. Di atasnya tertera nama sebuah rumah sakit besar dan ada identitas nama suaminya. Perempuan itu lalu membacanya perlahan, mencoba memahami data yang tertulis rapi di sana. Sayangnya, ia sama sekali tidak mengerti, meski tulisan itu menggunakan bahasa Indonesia.

“Apa ini mas?” tanya Lian dengan kening yang mengernyit dan menatap suaminya.

“Hasil medical check up dan beberapa tes untuk tindakan Vasektomi, satu bulan lagi.” Saga menjawab dengan begitu santainya seolah ini hanya persoalan flu.

“Apa?!” Lian menolak paham, informasi macam apa ini?

“Aku sudah riset dan banyak membaca jurnal dan artikel. Aku juga sudah konsultasi dengan dokter berpengalaman. Ini akan banyak manfaatnya, Lian, kita tidak perlu khawatir soal kebobolan dan kamu tidak perlu minum pil KB yang mungkin suatu hari akan mempunyai dampak di tubuh kamu. Ini solusi terbaik untuk kita.” jelas Saga begitu entengnya.

Lian masih setia dengan kernyitan di dahinya. Ia seperti kambing ompong yang hanya melongo tidak tahu apa-apa. Pelan-pelan emosinya justru terakumulasi. Dadanya mulai naik turun setelah mendengarkan penjelasan yang sangat gamblang itu.

“Kamu gila?! Keputusan macam apa ini Mas? Kamu sama sekali tidak pernah menyinggung hal ini sama aku!”

“Lian, ini adalah keputusan terbaik untuk kita berdua.”

Lian tertawa sumbang. “Lalu apa artinya diskusi dan perdebatan kita selama ini? Kita hanya menunda, bukan berarti tidak akan punya anak!” 

Emosi Lian kian tersulut menghadapi Saga yang keras kepala ini. Bagaimana tidak? Ini sama sekali di luar ekspektasinya. Keputusan Saga sangat tidak bijak dan tidak melalui persetujuan kedua belah pihak. Jangankan meminta persetujuan dengannya, Saga saja tidak pernah mengajaknya diskusi soal tindakan ini sebelumnya. Ini terlalu mengejutkan untuk Lian. Bagaimana mungkin suaminya tiba-tiba benar-benar tidak mau memiliki seorang anak?

“Ya, aku setuju soal menunda momongan. Tapi ini sudah lima tahun berlalu dan tanpa sadar kita sudah nyaman dengan keadaan ini. Apa tidak sebaiknya kita lakukan selamanya? Umur kita akan terus bertambah dan memiliki bayi di usia sekarang dengan segala kesibukan kita, tentu akan sangat merepotkan. Kamu harusnya paham itu, Lian.”

Lian berdiri dengan mata yang sudah memerah menahan sesuatu di kelopaknya dan dadanya mulai sesak oleh gemuruh emosi. Ia tidak terima dengan keputusan Saga yang sepihak ini. Ia menggeleng frustasi dan di depan mata Saga, Lian membuang kertas-kertas itu di udara. Saga ikut berdiri dan menatap istrinya tidak percaya.

“Kamu yang tidak paham! Kita sudah mengkomunikasikan ini sejak awal menikah dan kita setuju untuk menunda. Kamu juga tidak pernah menutup kemungkinan kita akan punya anak suatu hari nanti. Tapi kenapa sekarang harus melakukan ini? Kamu sudah tidak cinta sama aku? Jujur mas!”

“Lian, ini tidak ada hubungannya dengan kadar cinta aku padamu. Ini soal lain. Soal masa depan kita. Kamu tahu kita bahkan tidak ramah terhadap anak kecil, kita saja jijik saat Miko memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa susu itu, takut menggendong bayi, soal parenting kita nol besar dan apa kamu yakin kita akan bisa belajar dengan maksimal di usia pertengahan tiga puluh ini? Ayolah, kita sama-sama tahu karakter masing-masing dan menjadi orang tua itu sesuatu yang sangat sulit bagi kita.”

Lian menunduk dan menghembuskan napasnya kasar. Ia menyugar rambutnya yang tergerai dan satu tangannya berkacak pinggang. Ia sangat kecewa dengan keputusan Saga ini. Meski Lian sadar apa yang dikatakan suaminya ada benarnya juga, jika ia dan Saga tidak punya parents material. Namun, memangnya salah jika setidaknya sekali dalan hidup, ia mau merasakan pengalaman menjadi seorang perempuan dan seorang ibu; melahirkan, menyusui dan mendidik anaknya?

"Tidak! Kamu tidak boleh melakukan itu!" tolak Lian dengan tegas.

"Aku tetap akan melakukannya, demi keharmonisan rumah tangga kita," sahut Saga tak kalah tegas.

Kerongkongan Lian seperti tercekat oleh sesuatu. Ia sungguh menahan emosinya di sana hingga sakit. Lalu, Lian menatap mata Saga dalam.

“Asal kamu tahu Mas. Aku sudah mau bilang padamu bahwa aku sudah siap mempunyai anak. Aku bahkan hampir membooking tiket liburan untuk kita honeymoon setelah tahu kamu mengambil cuti akhir minggu ini. Tapi kamu justru memberiku kabar begini, Mas?! Tidak masuk akal!” jelas Lian dengan nada penuh penekanan.

Perempuan itu melenggang dengan terburu, meninggalkan Saga di ruang makan. Saga kira, Lian akan menyetujuinya dengan mudah mengingat sejak awal, mereka telah sepakat menunda momongan dengan alasan kesibukan dan keduanya memang bukan penyuka anak-anak. Lalu apa yang dikatakan Lian tadi? Ia sudah siap mempunyai anak sekarang? Itu lebih tidak masuk akal lagi daripada keputusannya untuk melakukan Vasektomi ini. 

Lagipula, apa yang membuat Lian berubah pikiran dan ingin memiliki anak? 

Saga sungguh tidak mengerti. Yang jelas, untuk saat ini, Lian pasti akan mendiamkannya dan Saga mungkin akan memberikan waktu untuk Lian. Mereka hanya butuh waktu untuk kompromi dan komunikasi. Namun, keputusan Saga ini sudah bulat. Ia sudah mendaftarkan diri dan melakukan serangkaian tes. Kesiapan fisik dan mentalnya sudah hampir sembilan puluh persen. Saga sangat yakin ia ingin childfree saja.

Lian mengunci kamarnya dan bergelung di balik selimut. Ia menumpahkan air matanya. Meski Lian jarang menangis, tapi apa yang dilakukan Saga kali ini sungguh menggores hatinya. Ia merasa seperti perempuan yang tidak diinginkan lagi, tidak dihargai lagi dan Lian seperti kehilangan harapannya untuk jadi seorang ibu.

"Dia memang tidak pernah mengerti aku!" umpat Lian sambil mengeratkan selimut di badannya.

Lian sampai berpikir, mungkinkah sebentar lagi mereka akan berpisah karena visi dan misi mereka kini tak lagi satu? Akankah pernikahan ini sudah diujung tanduk? 

Oh ya Tuhan, mungkinkah ini karma karena menunda momongan yang artinya juga menunda anugerah dari-Nya?

Air mata Lian semakin deras. Tamat sudah pernikahannya dan ia akan jadi janda sebelum mempunyai anak. 

"Lian, sayang." Sebuah ketukan pintu disertai panggilan itu terdengar.

Jelas itu Saga, karena di rumah ini hanya mereka berdua yang menempatinya. Harusnya Saga tahu apa yang telah ia lakukan terhadap Lian dan apa dampaknya. 

"Sayang, boleh aku masuk?" panggil Saga lagi dengan nada yang penuh kelembutan.

Hah! Memangnya Lian akan mudah luluh? Tidak semudah itu. Mau mengetuk sampai jarinya lecet pun Lian tidak peduli. Ia justru mengeratkan selimutnya dan menutup bantal di telinganya. 

Namun, Saga tidak menyerah. Lelaki itu terus mengetuk pintu, sepertinya memang sampai jarinya lecet dan memanggil istrinya dengan suara lembut dan memohon untuk dibukakan pintu. Karena Lian merasa terganggu, akhirnya, ia membuka seluruh selimutnya dan meraih satu bantal. Berjalan menuju pintu, membukanya dan melemparkan bantal itu tepat di wajah Saga.

"Tidur di luar!!" sembur Lian tanpa aba-aba, lalu menutup pintu itu kembali dengan kencang sampai Saga terhenyak kaget.

Nasib memang nasib.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status