Share

Bab 4. Tugas luar pulau

Lian adalah fighter sejati. Ia ingat perjuangannya menjadi model seperti sekarang tidaklah semulus jalan tol. Ada banyak halangan dan rintangan yang terjadi. Mulai dari ditolak puluhan agensi, ditipu agensi, hampir dilecehkan oleh salah satu kru mesum sampai latihan fisik berminggu-minggu hingga tipes. Belum lagi beban menghadapi senior yang suka membully dan memfitnahnya.

Saat akhirnya Lian berhasil mendapatkan kerjaan pertama menjadi model sebuah iklan produk, ia diharuskan pergi ke luar kota beberapa hari. Dan saat itu juga, Anggi mengabari jika mamanya meninggal dunia. Beberapa bulan setelahnya, karir Lian semakin melejit. Ia dipercaya menjadi brand ambassador beberapa produk dan menjadi bintang sampul majalah wanita terpopuler. Lagi-lagi, ia tidak bisa melihat saat-saat terakhir papanya karena harus pemotretan di puncak dan susah sinyal. Ia pulang dan mendapati papanya sudah tiada. Jika tahu kesuksesannya di model harus mengorbankan waktu untuk bersama kedua orang tuanya disaat-saat terkahir hidup mereka, ia lebih baik menurut untuk menjadi PNS seperti yang papanya mau.

Namun tidak ia lakukan dan tetap memperjuangkan mimpinya.

Kehidupannya sungguh naik turun seperti rollercoaster dan ia masih bertahan hingga sekarang dengan segala kemelut dan masalah yang ada di hidupnya, meski terkadang orang melihatnya sebagai perempuan paling beruntung sedunia. Bukankah Lian adalah pejuang? Tentu. Karena jika tidak, ia sudah berhenti menjadi model dan menganggap model adalah malapetaka baginya karena sudah membuatnya banyak hal buruk menimpanya.

Sekarang, ia hanya butuh kembali mengobarkan semangat pejuangnya untuk mendapatkan benih anak dari suaminya sendiri. Lian tidak menyerah setelah misi pertamanya kemarin gagal. 

Pagi ini, ia membantu Saga mengemasi barang-barangnya untuk di bawa ke luar pulau, di area tambang dan tempat musibah karyawannya terjadi.

Saga sedang di ruang kerjanya menyiapkan laptop dan dokumen yang harus dibawa.

"Kamu udah siap?" ujar Lian saat Saga masuk ke dalam kamar membawa satu tas jinjing hitam.

Saga mengerjap karena ada yang aneh dengan kopernya. "Kok ada dua? Aku cuma di sana dua hari Lian."

"Yang satu punyaku. Aku mau ikut kamu ke sana."

"Buat apa? Aku di sana mengurus kerjaan dan musibah kemarin."

"Ya siapa bilang kamu akan pelatihan sirkus? Aku tidak akan menganggumu kerja Mas. Tenang saja," jelas Lian sambil meraih scarft dan memakainya di leher.

Saga tidak bisa menolak jika Lian sudah mode seperti ini. Bisa-bisa Lian akan tantrum lagi dan saat pulang nanti ia harus tidur di luar. Bahkan nyamuk di ruang tengah sampai bosan dengan keberadaannya saking sering disuruh tidur di luar. 

Saga menghela napas pelan. Perempuan ini memang suka sekali melakukan hal impulsif.

"Tapi Rama hanya booking satu tiket pagi ini. Lagian terakhir kamu ikut ke sana, baru satu malam kamu sudah bosan di kabin. Yakin masih mau ikut?"

Lian mengangguk antusias. "Aku sudah beli tiket sendiri. Di jam yang sama dengan tiketmu. Beda kursi." Lian menunjukkan hasil booking tiketnya melalui layar ponsel itu.

Untungnya, ia sempat bertanya pada Rama —asisten Saga— tadi pagi-pagi sekali.

Sekecil-kecilnya kesempatan, tentu saja harus Lian perjuangkan untuk misinya ini. Ia tidak mau menyesal nantinya. Meski biasanya ikut kerja di lapangan sama sekali tidak ia sukai. Panas, berdebu dan kabinnya banyak nyamuk.

***

Perusahaan ini menyediakan kabin-kabin kecil seperti shelter untuk karyawannya tinggal. Saga punya kabin sendiri. Meski terlihat lebih luas dan mewah dari yang lainnya, bagi Lian ini tetap saja kecil. Ia harus selalu menunduk jika tidak mau kepalanya mentok dengan atapnya. Ruang geraknya sempit dan hanya bisa duduk atau tidur, ranjangnya muat untuk dua orang. Di sudutnya ada meja kecil dan almari untuk menyimpan pakaian atau persediaan makanan. Lalu ada TV flat yang menempel, mesin kopi, mini cooler dan AC.

Cuaca di luar sangat terik dan Saga meminta Lian untuk tinggal di dalam kotak berukuran kira-kira empat kali lima meter dan tinggi dua meter kurang ini. Sungguh sangat menyiksa karena terbiasa tinggal di rumah yang lega dengan AC yang dingin, tapi Lian harus kuat. Ini demi sel telurnya yang harus segera dibuahi. Lian sudah cek kalender dan peroide haidnya masih lama. Meski bukan masa subur, setidaknya selalu ada peluang.

Ponselnya berdering dan nama Sofi —sahabatnya— menari di sana. 

"Ya, Sof?"

"Hai Lian. Ayo kita hangout."

Lian menatap nanar apapun yang ada di sekitarnya. "Sorry, tapi aku sedang ikut Saga ke area tambang. Padahal aku kangen dengan kamu dan Ine."

"Oh begitu. Aku kira Saga ada di sini, soalnya Andri sudah pulang tadi pagi. Ya sudah, kita atur ulang saja nanti kalau kamu sudah pulang."

Andri —suami Sofi— adalah salah satu anak buah Saga di kantor. Mereka sebenarnya adalah teman sebaya dan akrab, bahkan tidak terlihat seperti atasan dan bawahan ketika sedang di luar kantor.

"Oke."

"Li ... "

"Ya?"

"Kabin yang sempit pasti seru untuk bermesraan. Sebelum hamil aku sering melakukannya dengan Andri jika ikut ke sana. Bisa dibilang, bayi di dalam perutku ini adalah produk kabin." Sofi tertawa geli di seberang telepon. "Aku tunggu kabar baiknya ya. Biar aku tidak hamil sendirian. Ine kan sudah mau melahirkan."

Lian hanya terkekeh. Memang tujuannya ikut Saga ke sini satu-satunya adalah untuk itu. "Pantas saja tokcer ya. Pulang-pulang langsung jadi. Baiklah, terima kasih sarannya, Sofi sayang."

"Besok kabari kalau kamu sudah pulang ya."

"Oh tentu. Salon langganan kita sudah melambai-lambai ingin di kunjungi."

Lian menaruh ponselnya tepat ketika Saga datang dengan wajah memerah kepanasan dan berkeringat. Lelaki itu melepaskan helm proyeknya, rompi berwarna neon dan sepatu bootnya. 

"Kamu pasti kepanasan. AC di tempat ini memang tidak berpengaruh banyak karena cuaca terik. Harusnya kamu stay di rumah saja daripada tidak nyaman di sini."

Lian menatap suaminya riang. Ia tidak boleh tampak mengeluh apalagi membebani Saga dengan segala tingkah kekanakannya karena dari hati paling dalam, ia tidak terlalu suka tempat ini.

"Sepertinya aku mulai nyaman di sini. Mungkin aku akan sering menemanimu ke sini jika aku sedang tidak sibuk."

Saga menghampiri Lian dan duduk bersebelahan di atas ranjang yang sangat jauh lebih kecil dari punya mereka di rumah. 

"Aku tidak percaya kamu libur seminggu ini. But it's good for you. Kamu bisa istirahat dan rehat dari pekerjaan. Tapi bukan berarti ikut berpanas-panasan di sini denganku kan?"

Lian meraih tisu di meja sebelahnya dan mulai beraksi menyeka keringat di kening Saga dengan gerakan lembut. Tangannya menyugar rambut-rambut basah Saga ke belakang. Lian sungguh menjelma menjadi istri perhatian dan peka hingga sukses membuat Saga terpaku bingung sambil menatap wajah istrinya.

Lian menangkup pipi kanan Saga dan menatapnya. "Aku memang sengaja. Kita lama tidak me time dan waktu kita tidak banyak untuk bertemu. Jadi tidak ada salahnya kan aku ikut kamu tugas di saat aku free?"

Lengan mereka sudah menempel satu sama lain. Tatapan itu seolah terkunci dan Saga memajukan wajahnya untuk meraih bibir Lian. Kembang api terdengar di kepala Lian. Yes! Intro yang bagus. Lian pun dengan gerakan cepat, berpindah posisi di atas pangkuan Saga. Kedua tungkai kakinya mengapit paha dan tangannya mengalung di leher lelaki itu. 

Untung Lian sudah membuka cardigan dan scarf-nya dan hanya menyisakan blouse tanpa lengannya. Apalagi kedua kancing teratasnya sudah ia buka karena panas. Lian sudah bisa menebak aktivitas mereka akan sampai mana. Peduli setan ini siang terik dan panas bukan main di dalam sini. Kesempatan sudah menghampirinya.

Lalu, Saga memisahkan diri untuk sama-sama mengambil napas.

"Jadi, kamu sudah tidak marah denganku?" tanya Lian. "Aku janji kemesraan kita tidak akan terpengaruh oleh keputusanku untuk vasektomi."

Lian meneguk kasar salivanya sendiri. Mengapa jadi Saga yang merayunya soal itu? Harusnya ia yang memakai kesempatan ini untuk merayu Saga membatalkan keputusan konyolnya.

Perut Lian berbunyi nyaring dan mendistrak obrolan yang akan menjurus ke perdebatan lebih lanjut. Masalahnya, ia menghindari perdebatan dan sudah berjanji menahan diri untuk misinya kali ini. Ia pun mengelus perutnya sambil dalam hati berterima kasih.

"Sayang, aku lapar. Tadi pagi kita belum sempat sarapan. Sebentar lagi jam makan siang kan?"

Saga tersenyum dan masih melingkari pinggang Lian mesra. "Ya, aku juga dengar perutmu yang nyaring itu. Oke, ayo kita makan di aula. Kamu tidak apa-apa kan kita makan bersama karyawan yang lain?"

"Tentu saja." Senyum Lian sedikit masam.

Hari ini akan berakhir dalam dua belas jam lagi. Itu adalah waktu yang lama dan bisa ia gunakan untuk mencoba kembali merayu Saga, nanti. Semua hal bisa terjadi dalam waktu dua belas jam bukan? Lian hanya harus optimis.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status