Share

Bab 5. Kata-kata yang menusuk

Setelah makan siang, Lian memilih untuk ikut Saga menemui karyawannya yang kini masih menjalani perawatan di rumah sakit. Sepertinya ini lebih baik daripada ia harus terkurung di dalam kabin kecil itu dan merasa bosan.

Sebagai iktikad baik mewakili perusahaan, Saga mau meminta maaf dan memberikan santunan. Mereka pergi dengan penanggung jawab lapangan dan dua pengawal yang biasanya bersama Saga.

Sesampainya di rumah sakit, Lian cukup sedih melihat kondisi tiga karyawan itu terbaring dengan kaki yang diperban, dengan kepala yang diperban dan juga tangan. Lian memang tidak tahu cerita detailnya, tapi dari yang Saga katakan, ketiga karyawan ini terhantam alat berat saat sedang bekerja.

"Putra rencananya hari ini di operasi pak kakinya. Kalau Deni tangannya sudah baikan dan Aji tinggal pemulihan kepalanya setelah dijahit dua puluh jahitan."

Lian menghela napasnya, sedih mendengar itu.

Saga mengangguk menerima informasi dari penanggung jawab lapangan itu. Lian lantas mengamit lengan suaminya dan mengelusnya, memberi sedikit dukungan. Hal seperti ini pasti juga berat untuk Saga. Ia tidak akan jadi pemimpin kalau tidak memiliki jiwa bertanggung jawab yang tinggi. Saga juga punya kepekaan terhadap sekitarnya dan jiwa sosialnya bagus. Lian yakin, setelah ini, Saga pasti akan super sibuk untuk mengevaluasi kejadian ini dan meeting untuk memperbaiki sistem dan keamanan di area tambang.

Kadang Lian kesal jika Saga selalu mementingkan orang lain terus dibanding keluarganya. Namun di sisi yang lain, ia bangga pada Saga.

"Putra, Deni, Aji. Saya turut prihatin dengan kejadian kemarin. Kalian sudah bekerja dengan sangat baik. Mungkin jika tidak ada kalian, akan lebih banyak lagi korbannya. Saya apresiasi keberanian dan pengorbanan kalian setinggi-tingginya. Dan untuk segala jenis perawatan hingga proses penyembuhan, perusahaan akan tetap bertanggung jawab penuh."

"Terima kasih Bapak Saga sudah datang menjenguk kami. Ini musibah pak, kami tahu risiko yang akan kami hadapi sejak awal kami memilih kerja di tambang. Kami juga sudah ikhlas menerima ini." ujar Putra, lelaki yang lukanya justru lebih berat dari ketiganya.

Saga mendekati ranjang Putra dan menepuk lengan karyawannya yang berjiwa besar itu. Lian terharu melihat itu. Pekerja lapangan terutama di pertambangan memang mempunyai risiko besar dan mereka melakukan itu demi mencari nafkah untuk keluarganya. Tidak dipungkiri gaji yang perusahaan tawarkan juga sebanding dengan pekerjaan mereka. Saga selalu bilang bahwa tidak ada harga batu bara yang sebanding dengan nyawa. Maka, keselamatan itu nomor satu di atas segalanya.

"Cepat sembuh ya, Putra, Deni dan Aji. Semangat, supaya penyembuhan kalian bisa lebih cepat." ujar Lian turut memberikan dukungan.

Ketiganya mengangguk dan berterimakasih juga pada Lian.

"Oh, jadi anda bosnya?!"

Suara menggelegar dengan lantang itu terdengar di ujung ruangan. Entah siapa gerangan, tapi saat mereka semua menoleh, seorang ibu paruh baya berjalan menghampiri mereka dengan mata tajam penuh amarah.

Saga maju satu langkah, diikuti yang lainnya. Sementara Lian mengernyit dan memperhatikan ketiga karyawan Saga yang berekspresi sama paniknya. Perasaan Lian mulai tidak enak dan benar saja, ibu itu menyembur Saga dengan kata-kata kasarnya. Kemarahannya sungguh tanpa alasan. Jika memang ini soal salah satu anggota keluarganya yang terluka, harusnya semua bisa dibicarakan dengan lebih baik dan kekeluargaan. Saga juga tidak menutup komunikasi dan dialog. Lelaki itu jelas akan bertanggung jawab penuh.

"Perusahaan anda yang membuat anak saya kehilangan jari-jari kakinya karena harus diamputasi. Bos macam apa anda? Kalau tidak mampu, sebaiknya turun saja dari jabatan. Memalukan! Atau harus ada nyawa yang hilang dulu baru anda sadar?! Hah?!"

"Maaf, ibu—"

"Oh, sebelum anda bertanya, saya ibu Putra. Puas anda membuat anak saya menderita begini? Puas anda membuat ibu dan keluarga karyawan anda cemas dan khawatir setiap hari?!" Ibu itu memotong perkataan Saga dengan penuh emosi yang meledak-ledak.

"Bu, tenang dulu. Ini di rumah sakit. Ibu tidak boleh berteriak seperti itu."

"Saya tidak peduli. Saya butuh keadilan!"

"Bu!" Putra berusaha menghentikan amukan ibunya, tapi karena ia masih berada di atas ranjang dan tidak bisa beranjak, ibunya tidak mengindahkan.

Suasana semakin carut marut dan chaos tatkala ibu itu mengeluarkan sumpah serapahnya di depan Saga yang berekspresi datar. Ibu itu seolah tidak puas dengan pertanggungjawaban Saga terhadap putranya.

"Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan uang. Jangan sombong anda!" Tunjuk ibu itu tepat di depan wajah Saga.

Ini sudah tidak kondusif. Kedua pengawal itu sudah maju untuk membawa keluar ibu ini tapi dilarang oleh Saga. Lian yang dibelakang Saga juga jadi ikut khawatir. Maka, dengan reflek, Lian maju ke depan dan meraih bahu ibu itu untuk menenangkannya. Mungkin saja sebagai sesama perempuan, ibu ini mau mendengarkan Lian daripada Saga.

"Ibu, tenang dulu ya. Pasti sedih sekali anak ibu terluka, tapi—"

"Diam anda!" Ibu itu menepis tangan Lian menjatuhkannya dari bahu dengan kasar. "Tidak ada yang benar-benar tahu perasaan saya sebagai ibu dan istri yang anak dan suaminya kerja di pertambangan batu bara!!"

"Bu, sudah ... " Putra kembali menyela.

"Saya tahu perasaan ibu, saya juga perempuan seperti ibu." sahut Lian yang terus berusaha kembali menenangkan si ibu.

Ibu itu lantas terdiam dan menatap Lian penuh amarah. Mata bertemu mata. Dua perempuan yang berbeda usia itu berhadapan dengan situasi yang semakin tegang, tapi dalam keheningan.

"Jangan beraninya menasehati saya. Anda tahu apa? Memangnya anda pernah jadi seorang ibu?!" geram ibu itu dengan nada yang dalam dan penuh ketegasan.

Bak petir yang menyambar tepat di ulu hati, Lian terhuyung ke belakang mendengar perkataan ibu itu. Tangannya menekan dadanya yang tiba-tiba sakit. Namun, ia tidak mampu melakukan apapun karena situasi ini sangat kacau. Untungnya, Saga dengan sigap menahan kedua lengan Lian hingga perempuan itu tetap bisa berdiri tegak.

"Ibu! Ibu sudah Bu. Ayo kita keluar."

Seorang perempuan muda berambut ikal tiba-tiba masuk dengan tergopoh-gopoh ke ruangan itu dan menghampiri si ibu. Sepertinya itu adalah saudara Putra. Akan tetapi, ibu itu tidak mau beranjak dari sana. Si perempuan itu terus merayu ibunya dan keriuhan semakin menjadi. Kini, dokter jaga, perawat dan sekuriti pun terpaksa datang untuk mengkondisikan ruangan itu.

Di saat semuanya terlihat fokus pada si ibu, Lian melepaskan diri dari Saga dan melenggang pergi keluar ruangan. Ia pergi ke toilet untuk menumpahkan air matanya di sana, meluruhkan sesak yang menghimpitnya. Ibu itu seratus persen benar. Lian memang belum pernah merasakan menjadi seorang ibu dan sekarang, saat ia ingin jadi ibu dan punya anak, ia justru merasa keinginannya harus ia perjuangkan sendirian.

"Lian, are you okay? Buka pintunya!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status