Share

Bab 5. Kata-kata yang menusuk

Aвтор: Ohmyrum
last update Последнее обновление: 2024-02-12 09:00:07

Setelah makan siang, Lian memilih untuk ikut Saga menemui karyawannya yang kini masih menjalani perawatan di rumah sakit. Sepertinya ini lebih baik daripada ia harus terkurung di dalam kabin kecil itu dan merasa bosan.

Sebagai iktikad baik mewakili perusahaan, Saga mau meminta maaf dan memberikan santunan. Mereka pergi dengan penanggung jawab lapangan dan dua pengawal yang biasanya bersama Saga.

Sesampainya di rumah sakit, Lian cukup sedih melihat kondisi tiga karyawan itu terbaring dengan kaki yang diperban, dengan kepala yang diperban dan juga tangan. Lian memang tidak tahu cerita detailnya, tapi dari yang Saga katakan, ketiga karyawan ini terhantam alat berat saat sedang bekerja.

"Putra rencananya hari ini di operasi pak kakinya. Kalau Deni tangannya sudah baikan dan Aji tinggal pemulihan kepalanya setelah dijahit dua puluh jahitan."

Lian menghela napasnya, sedih mendengar itu.

Saga mengangguk menerima informasi dari penanggung jawab lapangan itu. Lian lantas mengamit lengan suaminya dan mengelusnya, memberi sedikit dukungan. Hal seperti ini pasti juga berat untuk Saga. Ia tidak akan jadi pemimpin kalau tidak memiliki jiwa bertanggung jawab yang tinggi. Saga juga punya kepekaan terhadap sekitarnya dan jiwa sosialnya bagus. Lian yakin, setelah ini, Saga pasti akan super sibuk untuk mengevaluasi kejadian ini dan meeting untuk memperbaiki sistem dan keamanan di area tambang.

Kadang Lian kesal jika Saga selalu mementingkan orang lain terus dibanding keluarganya. Namun di sisi yang lain, ia bangga pada Saga.

"Putra, Deni, Aji. Saya turut prihatin dengan kejadian kemarin. Kalian sudah bekerja dengan sangat baik. Mungkin jika tidak ada kalian, akan lebih banyak lagi korbannya. Saya apresiasi keberanian dan pengorbanan kalian setinggi-tingginya. Dan untuk segala jenis perawatan hingga proses penyembuhan, perusahaan akan tetap bertanggung jawab penuh."

"Terima kasih Bapak Saga sudah datang menjenguk kami. Ini musibah pak, kami tahu risiko yang akan kami hadapi sejak awal kami memilih kerja di tambang. Kami juga sudah ikhlas menerima ini." ujar Putra, lelaki yang lukanya justru lebih berat dari ketiganya.

Saga mendekati ranjang Putra dan menepuk lengan karyawannya yang berjiwa besar itu. Lian terharu melihat itu. Pekerja lapangan terutama di pertambangan memang mempunyai risiko besar dan mereka melakukan itu demi mencari nafkah untuk keluarganya. Tidak dipungkiri gaji yang perusahaan tawarkan juga sebanding dengan pekerjaan mereka. Saga selalu bilang bahwa tidak ada harga batu bara yang sebanding dengan nyawa. Maka, keselamatan itu nomor satu di atas segalanya.

"Cepat sembuh ya, Putra, Deni dan Aji. Semangat, supaya penyembuhan kalian bisa lebih cepat." ujar Lian turut memberikan dukungan.

Ketiganya mengangguk dan berterimakasih juga pada Lian.

"Oh, jadi anda bosnya?!"

Suara menggelegar dengan lantang itu terdengar di ujung ruangan. Entah siapa gerangan, tapi saat mereka semua menoleh, seorang ibu paruh baya berjalan menghampiri mereka dengan mata tajam penuh amarah.

Saga maju satu langkah, diikuti yang lainnya. Sementara Lian mengernyit dan memperhatikan ketiga karyawan Saga yang berekspresi sama paniknya. Perasaan Lian mulai tidak enak dan benar saja, ibu itu menyembur Saga dengan kata-kata kasarnya. Kemarahannya sungguh tanpa alasan. Jika memang ini soal salah satu anggota keluarganya yang terluka, harusnya semua bisa dibicarakan dengan lebih baik dan kekeluargaan. Saga juga tidak menutup komunikasi dan dialog. Lelaki itu jelas akan bertanggung jawab penuh.

"Perusahaan anda yang membuat anak saya kehilangan jari-jari kakinya karena harus diamputasi. Bos macam apa anda? Kalau tidak mampu, sebaiknya turun saja dari jabatan. Memalukan! Atau harus ada nyawa yang hilang dulu baru anda sadar?! Hah?!"

"Maaf, ibu—"

"Oh, sebelum anda bertanya, saya ibu Putra. Puas anda membuat anak saya menderita begini? Puas anda membuat ibu dan keluarga karyawan anda cemas dan khawatir setiap hari?!" Ibu itu memotong perkataan Saga dengan penuh emosi yang meledak-ledak.

"Bu, tenang dulu. Ini di rumah sakit. Ibu tidak boleh berteriak seperti itu."

"Saya tidak peduli. Saya butuh keadilan!"

"Bu!" Putra berusaha menghentikan amukan ibunya, tapi karena ia masih berada di atas ranjang dan tidak bisa beranjak, ibunya tidak mengindahkan.

Suasana semakin carut marut dan chaos tatkala ibu itu mengeluarkan sumpah serapahnya di depan Saga yang berekspresi datar. Ibu itu seolah tidak puas dengan pertanggungjawaban Saga terhadap putranya.

"Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan uang. Jangan sombong anda!" Tunjuk ibu itu tepat di depan wajah Saga.

Ini sudah tidak kondusif. Kedua pengawal itu sudah maju untuk membawa keluar ibu ini tapi dilarang oleh Saga. Lian yang dibelakang Saga juga jadi ikut khawatir. Maka, dengan reflek, Lian maju ke depan dan meraih bahu ibu itu untuk menenangkannya. Mungkin saja sebagai sesama perempuan, ibu ini mau mendengarkan Lian daripada Saga.

"Ibu, tenang dulu ya. Pasti sedih sekali anak ibu terluka, tapi—"

"Diam anda!" Ibu itu menepis tangan Lian menjatuhkannya dari bahu dengan kasar. "Tidak ada yang benar-benar tahu perasaan saya sebagai ibu dan istri yang anak dan suaminya kerja di pertambangan batu bara!!"

"Bu, sudah ... " Putra kembali menyela.

"Saya tahu perasaan ibu, saya juga perempuan seperti ibu." sahut Lian yang terus berusaha kembali menenangkan si ibu.

Ibu itu lantas terdiam dan menatap Lian penuh amarah. Mata bertemu mata. Dua perempuan yang berbeda usia itu berhadapan dengan situasi yang semakin tegang, tapi dalam keheningan.

"Jangan beraninya menasehati saya. Anda tahu apa? Memangnya anda pernah jadi seorang ibu?!" geram ibu itu dengan nada yang dalam dan penuh ketegasan.

Bak petir yang menyambar tepat di ulu hati, Lian terhuyung ke belakang mendengar perkataan ibu itu. Tangannya menekan dadanya yang tiba-tiba sakit. Namun, ia tidak mampu melakukan apapun karena situasi ini sangat kacau. Untungnya, Saga dengan sigap menahan kedua lengan Lian hingga perempuan itu tetap bisa berdiri tegak.

"Ibu! Ibu sudah Bu. Ayo kita keluar."

Seorang perempuan muda berambut ikal tiba-tiba masuk dengan tergopoh-gopoh ke ruangan itu dan menghampiri si ibu. Sepertinya itu adalah saudara Putra. Akan tetapi, ibu itu tidak mau beranjak dari sana. Si perempuan itu terus merayu ibunya dan keriuhan semakin menjadi. Kini, dokter jaga, perawat dan sekuriti pun terpaksa datang untuk mengkondisikan ruangan itu.

Di saat semuanya terlihat fokus pada si ibu, Lian melepaskan diri dari Saga dan melenggang pergi keluar ruangan. Ia pergi ke toilet untuk menumpahkan air matanya di sana, meluruhkan sesak yang menghimpitnya. Ibu itu seratus persen benar. Lian memang belum pernah merasakan menjadi seorang ibu dan sekarang, saat ia ingin jadi ibu dan punya anak, ia justru merasa keinginannya harus ia perjuangkan sendirian.

"Lian, are you okay? Buka pintunya!"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 30 Hari Mendapatkan Benih Suamiku   Bab 62. Berdamai dengan masa lalu

    Sudah terlalu lama Lian berjibaku dengan pikirannya sendiri. Dengan asumsi bahwa setelah Fahri kembali dari menuntut ilmu di luar negeri, lelaki itu tidak akan mengenali Lian lagi. Terbukti, waktu itu Lian diam-diam datang ke rumah Fahri saat lelaki ia sedang liburan dan pulang ke tanah air. Fahri sedang sangat buru-buru memasuki mobilnya. Fahri semakin menawan dengan setelan jas mahalnya. Dari sana, Lian bisa menyadari bahwa ia masih belum bisa bersanding dengan Fahri. Meski perasaannya mungkin tidak berubah, kenyataan menyentaknya untuk berhenti. Berhenti mengharapkan diri kembali pada Fahri dan berhenti berharap. Maka, ia pun pergi dari kompleks rumah itu setelah melihat mobil Fahri menghilang di belokan gang. Ia merasa menjadi manusia yang paling putus asa, saat itu. Ia menaiki bis untuk kembali ke kost-kostannya yang masih empat kali empat itu. Namun, justru takdir mempertemukannya dengan Saga.Seolah alam semesta tidak bekerja sendiri, ada andil takdir juga, ia dan Saga akhirnya

  • 30 Hari Mendapatkan Benih Suamiku   Bab 61. Semesta bercanda

    Selayaknya pagi adalah waktu yang tepat untuk mengawali hari, pertengkaran mereka di malam hari selalu teredam di waktu pagi. Mereka akan baikan dengan sendirinya di pagi hari. Namun kali ini, tidak. Semalam, Saga dengan kemauannya sendiri tidur di sofa ruang tengah setelah mengisolasi diri di ruang kerjanya. Lian juga tidak berinisiatif untuk menawarkan Saga tidur di kamar. Ia hanya membawakan selimut ketika malam telah larut dan Saga sudah terlelap. "Aku berangkat," pamit Saga kepada Lian di ambang pintu kaca pembatas antara ruang tengah dan dapur. Lelaki itu bahkan tidak repot-repot menghampiri dan memberikan kecupan hangat kepada Lian. Jangankan itu, menoleh barang sejenak saja tidak. Saga melenggang pergi menuju carport."Mas ... " Lian menyusul Saga ke carport dan memberikan satu kotak makan. "Aku mungkin tidak bisa ke kantor kamu membawakan makan siang. Hana sudah mengatur kembali jadwal kerjaku. Jadi, bawa ini untuk makan siang."Tanpa berkata apa-apa, Saga meraih kotak maka

  • 30 Hari Mendapatkan Benih Suamiku   Bab 60. Gara-gara Merlot

    "Semua yang ada di kepalamu isinya hanya kamu meragukanku, Lian."Saga lantas meraih laptopnya dan membawanya ke ruang kerja. Sebelum mencapai ambang pintu, Saga menoleh lagi dan berkata sesuatu yang membuat Lian semakin tercengang dan bingung."Segera selesaikan urusan masa lalumu," ujar Saga dengan nada paling dingin yang pernah Lian dengar, membuatnya bergidik.Lelaki itu menutup kasar pintunya tanpa sedikitpun memikirkan perasaan Lian. Ya, apa yang harus dipikirkan setelah kekacauan yang Lian buat sendiri?Kulu berlari menghampiri Lian, naik di atas sofa seolah tahu bahwa pemiliknya kini sedang tidak baik-baik saja. Kulu seolah ingin menghibur Lian dengan mengibaskan ekor berbulu lebatnya dengan gemas. Maka, Lian meraih Kulu dan mendekapnya dengan erat. "Kulu ... " Satu butir air mata jatuh melalui pipinya. "I'm so stupid!"Pukul dua siang, Saga belum juga keluar dari ruang kerjanya. Sementara Lian sudah bersiap akan ke rumah sakit untuk mengecek kakinya dan melepas perban yang ma

  • 30 Hari Mendapatkan Benih Suamiku   Bab 59. Penjelasan semalam

    Lian membuka matanya dengan berat. Ia sudah berada di kamar dan cahaya matahari yang menembus vitrase, lembut menyerbunya. Satu kerjapan, dua kerjapan dan Lian merasa mual. Ia pun menyibak selimut dengan kasar dan berlari ke kamar mandi.Lian menundukkan kepalanya di wastafel dan memuntahkan isi perutnya akibat mabuk semalam. Astaga! Apa yang ia perbuat semalam sampai ia lupa semuanya dan jadi seperti ini? Sudah sekian lama ia tidak mabuk. Rupanya saat kembali mabuk, justru rasanya sekacau ini. Tenggorokannya kering dan napasnya memburu.Ia mendongak, melihat pantulan dirinya di kaca atas wastafel setelah mengusap wajahnya dengan air. Satu kata; berantakan. Rambutnya mencuat kemana-mana. Matanya memerah dan oh shit! Ia hanya mengenakan piyama tipis tanpa terkancing semua.Pasti semalam adalah situasi bencana.Kepalanya pening dan ia menunduk dalam untuk menetralkannya. Lalu, ia mencoba mengingat dengan detail apa yang terjadi hingga tidak sadarkan diri dan bangun di siang bolong begi

  • 30 Hari Mendapatkan Benih Suamiku   Bab 58. Masih soal mantan

    "Kalau begitu, kita menikah muda. Aku janji akan membahagiakanmu. Aku janji tidak akan ada yang berani mengusikmu. Kamu begini pasti terpengaruh dengan orang-orang di sekitarku bukan? Sehingga kamu bisa berpikir begini? Lianda, please! Kita sama-sama sudah dewasa dan tahu apa yang kita rasakan satu sama lain."Lian marah dengan perkataan Fahri yang seenaknya itu. Ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Lalu memalingkan wajah ke lain arah. Ia tidak mampu lagi membendung air matanya."Jika semudah itu, mungkin aku tidak akan banyak berpikir Fahri. Justru kita sudah sama-sama dewasa, kita harusnya tahu bahwa realita ini ada. Kamu terlalu baik untukku, dan aku terlalu buruk untukmu.""Tidak ada yang bilang begitu, Anda!" Suara Fahri meninggi."Aku yang bilang. Aku yang merasakan bahwa ketimpangan ini sangat amat menyiksaku selama ini dan aku sadar, bahwa hubungan ini tidak akan sehat. Please ... " Mohonnya dengan mata yang sudah sepenuhnya basah dan menatap Fahri dengan sayu.Saat itu pul

  • 30 Hari Mendapatkan Benih Suamiku   Bab 57. Flashback

    Flashback On—Sore itu, Lian menangis di sudut kamar kosnya. Kamar yang menjadi saksi bisu, bagaimana perjuangannya masuk ke dunia modeling, bagaimana kerasnya persaingan dan industri, serta bagaimana ia mengetahui karakter orang-orang yang sesungguhnya. Semua perasaan sudah ia lalui dan lampiaskan di kamar yang hanya berukuran empat kali empat meter ini. Kebahagiaan, kehilangan, kesedihan, kekecewaan dan sebagainya.Di ruangan gelap itu, Ia menekuk kedua kaki dan menenggelamkan kepala di sana. Udara malam membelai gorden transparan dan menyalurkan energi dingin d setiap inci tubuh Lian. Saat ini, perasaannya teramat sedih, hancur, marah dan ... patah hati. Baru saja, ada seorang yang mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya. Orang itu mengatakan bahwa Lian tidak memiliki kepantasan sedikitpun. Lian adalah model rendahan dan tidak punya value. Dan juga orang itu mengatakan, Lian tidak punya apa-apa. Lian hanya seonggok manusia yang tidak terlihat dan t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status