Share

Bab 6. Ketidakpekaan

Rasa bimbang itu muncul saat Saga merasa Lian terlepas dari lingkaran tangannya di bahu dan berjalan cepat keluar ruangan. Di satu sisi, keriuhan yang terjadi ini menyangkut dirinya sebagai pemimpin perusahaan yang sedang dituntut keadilan oleh seorang ibu. Di sisi yang lain, Saga berpikir kemungkinan Lian sakit hati dengan perkataan ibu itu. Namun, sebagai pemimpin perusahaan yang bertanggung jawab, ia tentu harus mendahulukan urusan perusahaannya dulu. Untung saja, saudara perempuan Putra itu mampu mengendalikan kemarahan ibunya dan membujuk untuk pulang.

Setelah dirasa kondusif, Saga langsung berlari mencari Lian. Ia ke taman, ke sisi-sisi kursi ruang tunggu dan tidak ia temukan istrinya itu. Lalu, saat ia melewati toilet perempuan, langkahnya terhenti. Saga hafal suara lirih tangis itu. Ya, itu jelas suara Lian.

Maka, dengan tidak mempedulikan kesopanan, ia masuk ke dalam toilet wanita tersebut dan mengetuk salah satu pintunya.

"Lian." panggilnya lembut.

Tidak ada sahutan, tapi suara tangis yang tertahan itu masih terdengar.

"Lian, kamu di dalam kan?" tanya Saga memastikan dan terus mengetuk pintunya.

Lagi dan lagi, Lian tidak merespon.

"Lian, are you okay? Buka pintunya!" Kali ini kesabaran Saga terkikis.

Ia memaksa pintu itu terbuka dan membuat suara berisik di gagang pintunya. Tak selang lama, Lian pun membukakannya. Perempuan itu menunduk dengan sisa air mata di pipi, hidung dan matanya memerah.

Saga lantas memeluk istrinya dan membawanya keluar. Mereka duduk di kursi tunggu di sisi lorong rumah sakit itu. Saga menangkup wajah Lian dan memperhatikan betapa kusutnya ekspresi wajah itu sambil merapikan rambut yang menghalangi wajah cantik Lian.

"Kenapa?" tanya Saga pelan.

Kemungkinan, penyebab utamanya adalah ibu itu, tapi biasanya Lian tidak sesensitif ini. Lian cenderung akan melawan apabila ada orang yang merendahkannya atau menilainya terlalu dangkal. Ia sangat menjunjung tinggi kehormatannya sebagai wanita. Dan sisi garangnya akan keluar ketika ada yang berucap buruk padanya tanpa etika. Namun sekarang, istrinya ini seolah jadi perempuan paling sensitif dan lemah lembut sedunia. Perasaannya jadi sehalus kapas.

"Ibu tadi itu benar kan Mas? Aku memang tidak tahu rasanya jadi ibu. Tapi aku dengan sombongnya bilang aku mengerti perasaannya. Bodoh!"

Saga menggeleng dan ibu jarinya aktif mengusap lembut kedua pipi Lian. Benar saja, ada hal lain yang Lian pikirkan. Ternyata Lian merasa begitu sensitif dengan perkataan ibu tadi soal menjadi seorang ibu. Ini memang isu yang beberapa hari ini mendominasi rumah tangganya di tengah keputusannya untuk vasektomi juga. Maka, sedikit hati Saga juga tercubit tatkala Lian berkata demikian.

"Lian, dengarkan aku." ujar Saga menaikkan sedikit wajah Lian supaya mata mereka bertatapan. "Value kamu tidak bisa diukur begitu saja hanya dari kamu sudah jadi ibu atau belum. Perempuan ya tetap perempuan dengan segala pengalaman hidupnya, perasaannya, sifatnya, kemandiriannya dan semuanya. Kamu sendiri yang bilang bahwa orang lain tidak boleh menilaimu hanya dari cangkang luarnya saja karena kamu tahu nilaimu melebihi itu. Kamu tetap hebat sayang, jadi ibu atau tidak jadi ibu."

Lian terdiam. Ya, tidak biasanya ia seperti ini. Ia tidak pernah membiarkan orang lain apalagi yang tidak mengenal dirinya membuatnya merasa sekerdil ini. Namun, kali ini berbeda. Kata demi kata yang ibu itu tujukan pada dirinya, sangat meresap di kepala dan terngiang. Merusak sistem pertahanannya sebagai wanita yang tangguh dan pemberani.

Perasaannya campur aduk dan perasaan sedih karena keinginannya jadi ibu, justru dipatahkan oleh kenyataan bahwa Saga akan segera melakukan Vasektomi. Dan Saga bilang apa? Jadi atau tidak jadi ibu? Jelas Saga tidak pernah mengharapkan Lian untuk jadi seorang ibu bukan?

Lian pun menatap Saga penuh kesal dan menurunkan tangan lelaki itu dari wajahnya. Penghiburan Saga hanya terasa seperti bualan belaka. Bukannya membuat Lian tenang, justru malah memperkeruh suasana hatinya. Bagaimana mungkin Saga tidak menyemangatinya dan percaya ia bisa jadi ibu juga?

karena kesal, Lian berdiri meninggalkan tatapan bertanya di mata Saga. "Aku mau pulang sekarang," ujarnya dan berjalan pergi keluar gedung rumah sakit.

Sementara itu, Saga menghela napasnya kasar memandang punggung Lian yang kian menjauh. Ia tahu betul apa yang Lian maksud dengan pulang. Bukan pulang ke kabin, melainkan ke rumah. Saga hafal betul tingkah istrinya ini. Namun, ia tidak bisa begitu saja melarangnya. Hatinya sedang super sensitif sampai Saga tidak bisa membaca pikiran Lian.

***

Saga tentu tidak akan tega membiarkan Lian pulang sendirian. Maka, ia pun memutuskan ikut pulang bersama, meninggalkan beberapa pertemuan dengan beberapa orang di lapangan dan meminta direport via online saja.

Sepanjang perjalanan pulang, Lian masih tetap diam dan tidak mau diajak bicara. Begitulah Lian, tidak mudah terjamah ketika marah. Dan saat itu terjadi, Saga cukup tahu diri lalu membatasi dirinya juga untuk tidak terlalu over. Karena biasanya, semakin Saga berusaha membujuk dan merayu, Lian akan semakin menjauh.

Sesampainya di rumah pukul satu dini hari, Lian turun lebih dulu dari taksi yang mereka tumpangi. Lagi dan lagi, Saga hanya menghela napasnya. Ia harus bersabar hati menghadapai Lian kali ini. Mungkin ada sedikit andilnya juga hingga Lian sesensitif ini. Saga menyadari itu.

Lelaki itu baru menyusul masuk setelah mengeluarkan koper dan mendapati Lian duduk di sofa ruang tengah yang remang dalam diam. Perempuan itu bersandar di sofa dan melipat kedua tangannya di dada sambil menatap layar televisi yang gelap.

Tidak butuh persetujuan hingga Saga mengambil ruang di sisi Lian. Ia menatap Lian dari samping dan menunggu respon perempuan ini. Jika sekiranya Lian sudah baikan, ia pasti akan bicara lebih dulu.

"Mas ... " panggil Lian lirih tanpa menoleh ke arah Saga.

Oke, itu artinya Lian sudah siap untuk bicara.

"Ya, Lian." jawabnya.

"Seberapa penting aku di dihidupmu sekarang?"

Sangat retoris, pertanyaan itu sungguhan dilemparkan dari bibir Sara. Saga sedikit mengernyit, harusnya Lian sudah tahu jawabannya.

"Tidak perlu bertanya, aku yakin kamu tahu jawabannya."

Lian menoleh dan menatap Saga dengan sorotnya yang tajam seperti biasa saat ia sedang tidak suka dengan sesuatu. Apa Saga salah menjawab itu?

"Aku tahu, tapi apa kadarnya menurun? Aku sudah tidak lagi penting kan di hidup mu?"

"Astaga, aku tidak pernah bilang begitu. Kenapa kamu selalu menyimpulkan sendiri?"

"Aku tidak menyimpulkan sendiri, Mas. Aku bicara fakta."

"Sebenarnya kita akan membahas apa sih? Oh jadi kamu begini sejak tadi cuma masalah ini? Kamu merasa aku tidak begitu mementingkanmu?"

"Cuma?" tanya Lian sinis. "Cuma kamu bilang? Aku begini karena perkataan ibu tadi mempengaruhi pikiranku dan kata-kata penghiburan mu itu hanya sama seperti bualan tukang sales minyak urut. Tidak membantu sama sekali. Kamu pikir aku juga tidak kesal denganmu?"

"Ya oke, aku minta maaf jika kamu tidak suka dengan kata penghiburan ku itu. Tapi ini terlalu kekanakan Lian, kita bisa bicara baik-baik. Utarakan apa maumu dan aku harus bagaimana? Supaya kita bisa sama-sama mengerti. Lima tahun Lian, kita membangun rumah tangga ini dengan komunikasi dan kamu tidak pernah seperti ini."

Lian menyorot Saga dengan matanya yang sayu tapi penuh dengan rasa tidak kecewa. Air mata itu hampir jatuh dan Saga sudah hampir sigap menarik Lian ke dalam pelukannya untuk menenangkan perempuan ini. Biasanya perempuan akan mudah ditaklukan dengan phsycal touch, tapi perempuannya satu ini jelas berbada dari kebanyakan lainnya. Lian menepis tangan itu dan memundurkan badannya, memberi batasan.

Saga mengangkat kedua tangannya ke atas, mencoba mengalah.

"Kamu mau aku bilang apa mauku?" tanya Lian di tengah isak tangisnya.

"Ya, supaya aku mengerti."

"Aku mau kamu mendukung aku untuk jadi ibu, bukan malah melakukan hal konyol Mas!"

"Hal konyol?" Saga memajukan tubuhnya dan benar-benar menghadap Lian. "Hal konyol apa yang kamu maksud? Astaga." Saga benar-benar tidak mengerti pola pikir Lian ini. Sangat rumit, melebihi kalkulus.

"Pikir saja sendiri. Aku lelah!!" putus Lian seraya mengusap air matanya kasar dan langsung berdiri, berjalan cepat menuju kamar.

Setelah pintu itu tertutup, Saga sudah sangat yakin, bahwa ia pasti akan lebih akrab dengan nyamuk dan sofa di ruang tengah ini. Lian tidak akan membukakan pintu itu kembali jika malamnya ditutup dengan perdebatan dan belum menemukan titik terang.

Sungguh lelaki yang malang.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status