Share

Bab 3. Persiapan Kerja

Author: Ai Bori
last update Last Updated: 2023-09-15 09:52:54

Binar bertanya seperti itu agar mendapatkan belas kasihan dari Presdir Tama, namun apa boleh buat? Pria dingin itu malah pergi dari ruangannya saat ini. Binar hanya bisa menghela napasnya, cobaan hidupnya sangat berat saat ini.

“Tenanglah, Tama sudah jinak!” kata Rayyan menenangkan Binar.

Binar celingukan melirik kanan dan kiri, melihat situasi supaya atasannya tersebut tidak mendengarkan pembicaraan mereka. “Kamu cari siapa?” tanya Rayyan.

“Pak Presdir.”

Rayyan cekikikan, “Sebegitu takutnya kamu dengan dia?”

“Memangnya Pak Rayyan tidak takut?”

“Saya hanya menghormatinya sebagai atasan, lagian dia aslinya lucu kok.”

“Lucu?” beo Binar. “Agak lain lucu versi Pak Rayyan, ya! Ah, sudahlah. Tolong bantu saya untuk keluar dari sini, Pak!” titah Binar melanjutkan ucapannya sambil memohon.

“Maaf, Binar. Bukan saya tidak ingin membantumu, tetapi ketika para calon asisten menandatangani surat kontraknya, itu tandanya mereka harus siap mental untuk menerima segala konsekuensinya. Lagian, kamu kenapa tidak membaca dulu sebelum tanda tangan?”

“Saya kira nggak sesulit ini, Pak.”

“Ada kalanya kita tidak mengikuti kata hati, untuk apa kita punya otak kalau nggak kita beri fungsinya? Jangan marah! Sebaiknya kamu terima takdir kamu sekarang. Kamu pulang untuk menenangkan diri dan selamat bertempur mulai besok pagi.”

Binar malah meneteskan air matanya, ia menangis di sana. Bahkan lama-kelamaan dirinya juga mengeluarkan suara tangisan yang melengking. Tentu saja Rayyan menjadi bingung, ia khawatir banyak orang langsung melihat mereka saat ini kemudian menuduhnya melakukan hal yang aneh.

“Hey, apa yang kamu lakukan? Kenapa nangis? Tolong hentikan, nanti semua orang dilantai ini akan melihat kita.”

Binar menghentikan tangisannya, namun ia masih tersedu-sedu saat ini. “Ada apa?” tanya Rayyan saat melihat tangisan Binar mulai mereda.

“Gimana saya bisa pulang kalau saya tidak punya uang? Rumah saya jauh, Pak!” ucapnya dengan tersedu-sedu.

Rayyan menghela napasnya, sudah menjadi rutinitasnya menghadapi ribuan drama dari asisten-asisten Presdir Tama. “Saya akan mengantarkan kamu pulang, tenanglah.”

“Bapak nggak mau macem-macem, ‘kan?”

“Untuk apa saya macem-macem? Satu macem saja sudah merepotkan. Lihat ini!” sambil menyerahkan ponselnya, ternyata Presdir Tama mengirimkan pesan padanya untuk membelikan segala keperluan Binar nantinya.

“Se—semua?” tanya Binar terbata-bata, dirinya sedikit heran karena ini kali pertamanya ia bekerja. Menurut film yang ia tonton, tidak ada yang sampai membelikan ponsel seperti yang dialaminya saat ini.

“Tentu saja! Kamu perlu apa? Ponsel? Kendaraan?”

“Kendaraan juga?” tanya Binar heran.

“Ya, kamu harus datang lebih awal, tentunya memerlukan kendaraan.”

Rayyan berjalan lebih dulu dibandingkan Binar, namun wanita itu masih diam ditempatnya. Merasa tidak diikuti, Rayyan pun menghentikan langkahnya, “Kenapa masih di situ?”

“Mak—maksudnya?”

“Kita berangkat sekarang!”

Dengan rasa terkejutnya Binar pun mengikuti langkah Rayyan. Semua orang melihat mereka. Saat berada di lift, Binar menutup matanya, ia masih merasa trauma saat menaikinya.

“Kenapa?” tanya Rayyan.

“Nggak pa-pa, Pak.”

Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah mall yang cukup besar. Binar dipersilakan untuk memilih ponsel mana yang akan ia pakai. Seketika Binar lupa dengan penolakannya tadi, ia melihat sangat bahagia saat ini.

“Pak, bagusan yang mana?” tanya Binar pada Rayyan.

“Lebih mahal yang mana?” tanya Rayyan balik.

“Kata mbaknya yang ini,” sambil nunjuk ponsel yang sebelah kanan.

“Ya sudah, pilih itu!”

“Be—beneran? Apa ini potong gaji? Ah, tidak. Saya nggak mau, Pak.”

“Tenanglah, ini diluar dari gaji kamu! Anggap saja ini sebagai benefit tambahan.”

Setelah memilih ponsel, Rayyan mengajaknya membeli pakaian, sepatu, dan juga kendaraan untuk Binar. Ia seakan diberi banyak sekali fasilitas, baginya ini adalah perusahaan yang aneh, sama anehnya seperti pemiliknya.

Sekitar pukul lima sore akhirnya Binar sampai di rumah. Binar ingin menceritakan semuanya pada Pak Ilyas dan Bu Laila namun kedua orangtuanya belum pulang dari toko kuenya. Setelah dipikir-pikir, Binar tidak akan menceritakan segalanya. Selain akan membuat orangtuanya cemas dan khawatir, ia juga tidak ingin melihat mereka sedih atas kejadian yang menimpanya.

***

Suara ayam berkokok menandakan pagi telah tiba. Namun wanita cantik itu masih berada di dunia mimpinya. Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul enam pagi, akan tetapi tidak ada pertanda gadis cantik tersebut akan bangun saat ini.

Bu Laila mengetuk pintu kamar Binar beberapa kali sampai-sampai ia mengetuknya dengan sangat kuat hingga gadis cantik tersebut terjatuh ke lantai karena sangat terkejut.

Melihat Binar memekik, Bu Laila langsung membuka pintu kamar putrinya. “Astaga, Binar! Kamu ngapain di lantai?”

“Tolongin dulu,” titah Binar dengan lirih.

Bu Laila mengangkat putrinya untuk naik ke atas kasur. “Kamu kenapa tidur di lantai?”

“Ck, ini karena Ibu teriak-teriak dari luar, ngetik pintunya juga kayak orang marah gitu, sakit tahu, Bu.”

“Kamu lihat sudah jam berapa ini! Apa kamu nggak jadi bekerja, Nak?” tanya Bu Laila.

Binar melototkan matanya, “Sudah jam enam, Bu?” pekik Binar. “Kenapa Ibu nggak bilang?” tanya Binar setelah beberapa saat.

Binar langsung mencari ponsel barunya yang ia pakai untuk menonton film kesukaannya tadi malam, “Bu, tolong bantu Carikan ponsel Binar!” titah Binar.

Tak lama kemudian Binar sendiri ‘lah yang menemukan ponselnya tersebut. Bu Laila pun pamit keluar dari kamar sang putri. Merasa sudah aman, Binar memencet nomor Presdir Tama yang sudah disimpannya di ponsel baru itu.

[Selamat pagi, Pak Presdir. Saya Binar.] Kata Binar saat panggilannya sudah diangkat.

[Saya sudah bangun bahkan sebentar lagi akan sampai di perusahaan.]

[A—apa, Pak?]

[Jangan lupa apa tugas kamu selanjutnya!]

Presdir Tama mematikan panggilannya secara sepihak membuat Binar menjadi kesal. Sudah tidak ada waktu untuk berleha-leha, Binar langsung bersiap-siap untuk berangkat kerja.

Begitu siap, ia langsung pergi. Namun saat berada dimeja makan, ia melihat sarapan yang disajikan orangtua Binar sangatlah lezat. Binar memutuskan untuk membawanya ke kantor.

“Banyak sekali,” gumam Pak Ilyas. “Ini untuk kamu sendirian, Nak?” lanjutnya.

“Nggak, Yah. Ini untuk bos Binar, kalau yang pink ini pastinya punya Binar.”

“Kamu nyiapin sarapan untuk atasan kamu juga?”

“Hum,” singkat Binar. Ia tak mau banyak bicara saat ini. Apalagi menceritakan yang sebenarnya.

Binar pun pamit pada orangtuanya membuat Pak Ilyas dan Bu Laila sedikit curiga. Tak biasanya anak gadis mereka menyembunyikan sesuatu seperti itu.

Binar pun keluar dari rumah sambil memakai helm. Ya, dia mendapatkan satu buah motor matic dari perusahaan. Sebenarnya dia sudah ditawarkan sebuah mobil, tetapi karena Binar tidak bisa menyetir akhirnya motorlah yang menjadi pilihannya.

Tiba-tiba ponselnya pun berbunyi, Binar mengangkatnya terlebih dahulu. [Kamu di mana? Saya sudah sampai dari tadi!]

[Apa, Pak Presdir?]

[Kamu tuli?]

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 30 Hari Menjadi Pacar Kontrak Presdir Dingin   Bab 37. Senja akhir cerita

    Senja akhir cerita. Di waktu yang senja, seorang wanita sedang duduk meratapi dirinya. Datang karena pekerjaan, pergi karena cinta. Itulah yang dilakukan Binar beberapa waktu lalu. Awalnya, tidak betah bekerja dan ingin segera pergi dari perusahaan itu. Namun, siapa sangka jika cinta datang karena telah terbiasa. “Andai saja, tidak ada perjanjian itu. Aku akan pergi sebagai seorang miliarder, bukan pemburu cinta!” Teriak Binar. Setelah pergi dari perusahaan milik Presdir Tama, Binar bekerja di salah satu restoran yang berada di pinggir laut. Gaji tak seberapa. Tak pula sebanding dengan yang diberikan Presdir Tama. Pun, juga tidak pantas jika dilihat dari gelarnya bersekolah dulu. Namun, dia tetap harus bekerja, jauh dari kota agar tidak dapat bertemu kembali dengan Presdir Tama. Hari semakin larut, senja mulai hilang. Binar pun beranjak dari pasir pantai itu dan berencana untuk kembali ke kosnya.Binar mengusap air matanya lalu ia berjalan tanpa melihat arah. Karena ia menunduk, i

  • 30 Hari Menjadi Pacar Kontrak Presdir Dingin   Bab 36. Keputusan Binar

    Taman di mansion milik Tuan Angkasa cukup besar. Bahkan juga ada beberapa wahana seperti pelosotan dan ayunan sebagai pelengkap.Saat ini Binar dan Presdir Tama sedang berada di tamat tersebut. Banyak sekali pertanyaan yang ada dibenak Binar. Sedangkan Presdir Tama terlihat dingin menatap lurus ke depan. "Pak Presdir —""Saya mencintaimu!" seru Presdir Tama."Apa?""Anggap saja saya mencintaimu."Binar semakin kecewa, dia mengira lelaki itu benar-benar menyukainya. Tetapi ternyata semua itu hanya bagian dari rencana. Binar menggelengkan kepala, "sorry tapi ini diluar dari kesepakatan kita. Saya tidak setuju! Pernikahan bukanlah permainan, Pak Presdir. Saya tidak bisa mengotori ikatan suci itu dengan perjanjian konyol ini.""Bagaimana kalau kita nikah beneran? Hanya dua tahun saja. Saya tidak akan menyentuhmu. Kita buat pernjanjian secara tertulis lagi. Bagaimana?""Tidak! Saya tidak setuju!""Bagaimana kalau bayarnya 100 kali lipat?""Apa anda sudah gila?" Binar sudah tak dapat lagi

  • 30 Hari Menjadi Pacar Kontrak Presdir Dingin   Bab 35. Lusa harus menikah!

    [Buka pintunya sekarang!]Binar terperanjat kaget, kini kepalanya 'lah yang terbentur oleh lemari kecil yang berada di sebelahnya. Untunglah, panggilan tersebut terputus secara sepihak.Binar membuka pintu apartemen tersebut. Dengan spontan dia mundur kebelakang saat Presdir Tama masuk ke dalam. "Apa kita perlu ke dokter?" tanyanya.Binar menggelengkan kepala. Pria itu memerhatikan gadis cantik di hadapannya dari atas sampai bawah. "A—ada apa, Pak Presdir?""Apa kamu terbentur?""Ya, Pak Presdir nelpon saya, buat saya jadi terkejut.""Kamu menyalahkan saya? Lagian kenapa kamu masih tidur jam segini? Kamu lupa akan bertemu dengan ibu saya?""T—tidak, t—tapi …""Pakai ini!" Sambil menyerahkan sebuah paper bag yang sudah berisi pakaian lengkap. Bahkan tas, sepatu dan aksesoris lainnya juga sudah dipersiapkan. "Jangan ngintip, ya!" Seru Binar sambil berlari ke kamar mandi. "Kamu pikir saya selera?" ketus Presdir Tama. Binar masuk ke kamar mandi dan menyelesaikan rutinitasnya. Satu jam

  • 30 Hari Menjadi Pacar Kontrak Presdir Dingin   Bab 34. Shit!

    Seharian bersama David membuat Binar kenyang, terhibur dan berkecukupan. Hatinya tenang karena tidak memikirkan atasannya yang super menyebalkan. Urusan Presdir marah atau tidak, itu belakangan.Tak terasa, malam pun tiba. Binar diantarkan oleh David ke kamarnya."Lo senang, Queen?""Lo bilang apa, Kak?" Binar melototkan matanya. "Ah, sorry. Gue masih kebawa perasaan. Okay deh, gue ulangin. Lo senang nggak, Binar?"Binar tersenyum, "thanks, Kak.""Lo yakin nggak mau gue antar sampai kamar?""Nggak usah, Kak. Makasih!"David langsung menatap gedung apartemen tersebut. Saat ini pria itu berada di parkiran bersama Binar. Binar benar-benar tidak memberikan izin masuk, meskipun hanya sampai di lobby. Karena menurut Binar, itu tidak pantas. Selain David bukan siapa-siapa, tempat yang ia huni bukanlah miliknya."Tapi Lo hebat, Lo bisa tinggal di apartemen mewah ini. Kemarin Lo beli berapa? Atau Lo nyewa?" "Lo ngeremehin gue, Kak?""Maaf, bukan maksud buat Lo tersinggung. Maaf, bukan itu ma

  • 30 Hari Menjadi Pacar Kontrak Presdir Dingin   Bab 33. Senyum yang dirindukan

    "Kamu ambil cuti cuma mau makan di sini? Sama siapa?" tanya Presdir Tama."Sa—"Olive berdehem membuat Binar menghentikan ucapannya. "Honey, kayaknya dia butuh waktu untuk sendirian. Makannya sendiri doang. Yuk, kita tinggalin!""Saya sama teman dekat saya. Iya!""Teman dekat?" tanya Presdir Tama."Ups! Secepat itu kamu berpaling, Binar? Bukannya kamu kemarin baru saja dekat dengan my honey, ya? Kenapa sekarang ada teman lainnya? Aduh, honey. Pilihan kamu sudah tepat dengan milih aku! Dari pada gadis ini, kamu sudah menyelamatkan diri kamu dari gadis yang berkhianat!"Binar meninggalkan mereka yang sedang berdebat. Dia pergi ke meja David tadi. "Kak David!" panggilnya.Respon David di luar dugaan, dia malah tersenyum lebar sambil menepuk tangan. "Gue tahu, Lo pasti mau minta maaf karena udah kayak tadi sama gue 'kan? Gue maafin!""Ck, tolong gue!""Maksud Lo?"Binar menarik tangan David, "Maaf, nanti gue ceritain!"Keduanya sudah berdiri di hadapan Presdir Tama dan Olive. Dengan terpa

  • 30 Hari Menjadi Pacar Kontrak Presdir Dingin   Bab 32. Lo lagi ... Lo lagi ....

    Berjalan dengan santai, membeli yang dia mau, berfoya-foya, pergi ke spa untuk memanjakan dirinya, nonton di bioskop serta melakukan apa saja yang dia inginkan di sana. Sudah hampir lima jam dia di dalam mall, karena tadi sempat menonton dan ke salon. Kini wanita itu kelelahan, perutnya keroncongan. Tepat di sebuah cafe, dia menaruh bokongnya di kursi berwarna cream. Tempatnya sangat nyaman. Sebelum bekerja, dia sempat ingin ke tempat itu, karena banyak sekali kalangan atas yang memilih tempat tersebut untuk makan ataupun ajang spot foto saja. Dibilang spot foto karena hanya memesan minuman saja, tetapi duduknya sampai berjam-jam. Hayo, siapa yang seperti itu juga? Hehe.Kini dia berhasil ke tempat tersebut, walaupun tidak bersama teman-temannya. Dia memegang sofa yang dia duduki. "Pantas saja apa-apa mahal di sini, duduk aja senyaman ini!" gumam Binar sambil cekikikan sendiri.Tanpa Binar sadari, seorang pelayan sedang berdiri di hadapannya. Dia terus melamun sambil membayangkan y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status