Binar bertanya seperti itu agar mendapatkan belas kasihan dari Presdir Tama, namun apa boleh buat? Pria dingin itu malah pergi dari ruangannya saat ini. Binar hanya bisa menghela napasnya, cobaan hidupnya sangat berat saat ini.
“Tenanglah, Tama sudah jinak!” kata Rayyan menenangkan Binar.
Binar celingukan melirik kanan dan kiri, melihat situasi supaya atasannya tersebut tidak mendengarkan pembicaraan mereka. “Kamu cari siapa?” tanya Rayyan.
“Pak Presdir.”
Rayyan cekikikan, “Sebegitu takutnya kamu dengan dia?”
“Memangnya Pak Rayyan tidak takut?”
“Saya hanya menghormatinya sebagai atasan, lagian dia aslinya lucu kok.”
“Lucu?” beo Binar. “Agak lain lucu versi Pak Rayyan, ya! Ah, sudahlah. Tolong bantu saya untuk keluar dari sini, Pak!” titah Binar melanjutkan ucapannya sambil memohon.
“Maaf, Binar. Bukan saya tidak ingin membantumu, tetapi ketika para calon asisten menandatangani surat kontraknya, itu tandanya mereka harus siap mental untuk menerima segala konsekuensinya. Lagian, kamu kenapa tidak membaca dulu sebelum tanda tangan?”
“Saya kira nggak sesulit ini, Pak.”
“Ada kalanya kita tidak mengikuti kata hati, untuk apa kita punya otak kalau nggak kita beri fungsinya? Jangan marah! Sebaiknya kamu terima takdir kamu sekarang. Kamu pulang untuk menenangkan diri dan selamat bertempur mulai besok pagi.”
Binar malah meneteskan air matanya, ia menangis di sana. Bahkan lama-kelamaan dirinya juga mengeluarkan suara tangisan yang melengking. Tentu saja Rayyan menjadi bingung, ia khawatir banyak orang langsung melihat mereka saat ini kemudian menuduhnya melakukan hal yang aneh.
“Hey, apa yang kamu lakukan? Kenapa nangis? Tolong hentikan, nanti semua orang dilantai ini akan melihat kita.”
Binar menghentikan tangisannya, namun ia masih tersedu-sedu saat ini. “Ada apa?” tanya Rayyan saat melihat tangisan Binar mulai mereda.
“Gimana saya bisa pulang kalau saya tidak punya uang? Rumah saya jauh, Pak!” ucapnya dengan tersedu-sedu.
Rayyan menghela napasnya, sudah menjadi rutinitasnya menghadapi ribuan drama dari asisten-asisten Presdir Tama. “Saya akan mengantarkan kamu pulang, tenanglah.”
“Bapak nggak mau macem-macem, ‘kan?”
“Untuk apa saya macem-macem? Satu macem saja sudah merepotkan. Lihat ini!” sambil menyerahkan ponselnya, ternyata Presdir Tama mengirimkan pesan padanya untuk membelikan segala keperluan Binar nantinya.
“Se—semua?” tanya Binar terbata-bata, dirinya sedikit heran karena ini kali pertamanya ia bekerja. Menurut film yang ia tonton, tidak ada yang sampai membelikan ponsel seperti yang dialaminya saat ini.
“Tentu saja! Kamu perlu apa? Ponsel? Kendaraan?”
“Kendaraan juga?” tanya Binar heran.
“Ya, kamu harus datang lebih awal, tentunya memerlukan kendaraan.”
Rayyan berjalan lebih dulu dibandingkan Binar, namun wanita itu masih diam ditempatnya. Merasa tidak diikuti, Rayyan pun menghentikan langkahnya, “Kenapa masih di situ?”
“Mak—maksudnya?”
“Kita berangkat sekarang!”
Dengan rasa terkejutnya Binar pun mengikuti langkah Rayyan. Semua orang melihat mereka. Saat berada di lift, Binar menutup matanya, ia masih merasa trauma saat menaikinya.
“Kenapa?” tanya Rayyan.
“Nggak pa-pa, Pak.”
Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah mall yang cukup besar. Binar dipersilakan untuk memilih ponsel mana yang akan ia pakai. Seketika Binar lupa dengan penolakannya tadi, ia melihat sangat bahagia saat ini.
“Pak, bagusan yang mana?” tanya Binar pada Rayyan.
“Lebih mahal yang mana?” tanya Rayyan balik.
“Kata mbaknya yang ini,” sambil nunjuk ponsel yang sebelah kanan.
“Ya sudah, pilih itu!”
“Be—beneran? Apa ini potong gaji? Ah, tidak. Saya nggak mau, Pak.”
“Tenanglah, ini diluar dari gaji kamu! Anggap saja ini sebagai benefit tambahan.”
Setelah memilih ponsel, Rayyan mengajaknya membeli pakaian, sepatu, dan juga kendaraan untuk Binar. Ia seakan diberi banyak sekali fasilitas, baginya ini adalah perusahaan yang aneh, sama anehnya seperti pemiliknya.
Sekitar pukul lima sore akhirnya Binar sampai di rumah. Binar ingin menceritakan semuanya pada Pak Ilyas dan Bu Laila namun kedua orangtuanya belum pulang dari toko kuenya. Setelah dipikir-pikir, Binar tidak akan menceritakan segalanya. Selain akan membuat orangtuanya cemas dan khawatir, ia juga tidak ingin melihat mereka sedih atas kejadian yang menimpanya.
***
Suara ayam berkokok menandakan pagi telah tiba. Namun wanita cantik itu masih berada di dunia mimpinya. Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul enam pagi, akan tetapi tidak ada pertanda gadis cantik tersebut akan bangun saat ini.
Bu Laila mengetuk pintu kamar Binar beberapa kali sampai-sampai ia mengetuknya dengan sangat kuat hingga gadis cantik tersebut terjatuh ke lantai karena sangat terkejut.
Melihat Binar memekik, Bu Laila langsung membuka pintu kamar putrinya. “Astaga, Binar! Kamu ngapain di lantai?”
“Tolongin dulu,” titah Binar dengan lirih.
Bu Laila mengangkat putrinya untuk naik ke atas kasur. “Kamu kenapa tidur di lantai?”
“Ck, ini karena Ibu teriak-teriak dari luar, ngetik pintunya juga kayak orang marah gitu, sakit tahu, Bu.”
“Kamu lihat sudah jam berapa ini! Apa kamu nggak jadi bekerja, Nak?” tanya Bu Laila.
Binar melototkan matanya, “Sudah jam enam, Bu?” pekik Binar. “Kenapa Ibu nggak bilang?” tanya Binar setelah beberapa saat.
Binar langsung mencari ponsel barunya yang ia pakai untuk menonton film kesukaannya tadi malam, “Bu, tolong bantu Carikan ponsel Binar!” titah Binar.
Tak lama kemudian Binar sendiri ‘lah yang menemukan ponselnya tersebut. Bu Laila pun pamit keluar dari kamar sang putri. Merasa sudah aman, Binar memencet nomor Presdir Tama yang sudah disimpannya di ponsel baru itu.
[Selamat pagi, Pak Presdir. Saya Binar.] Kata Binar saat panggilannya sudah diangkat.
[Saya sudah bangun bahkan sebentar lagi akan sampai di perusahaan.]
[A—apa, Pak?]
[Jangan lupa apa tugas kamu selanjutnya!]
Presdir Tama mematikan panggilannya secara sepihak membuat Binar menjadi kesal. Sudah tidak ada waktu untuk berleha-leha, Binar langsung bersiap-siap untuk berangkat kerja.
Begitu siap, ia langsung pergi. Namun saat berada dimeja makan, ia melihat sarapan yang disajikan orangtua Binar sangatlah lezat. Binar memutuskan untuk membawanya ke kantor.
“Banyak sekali,” gumam Pak Ilyas. “Ini untuk kamu sendirian, Nak?” lanjutnya.
“Nggak, Yah. Ini untuk bos Binar, kalau yang pink ini pastinya punya Binar.”
“Kamu nyiapin sarapan untuk atasan kamu juga?”
“Hum,” singkat Binar. Ia tak mau banyak bicara saat ini. Apalagi menceritakan yang sebenarnya.
Binar pun pamit pada orangtuanya membuat Pak Ilyas dan Bu Laila sedikit curiga. Tak biasanya anak gadis mereka menyembunyikan sesuatu seperti itu.
Binar pun keluar dari rumah sambil memakai helm. Ya, dia mendapatkan satu buah motor matic dari perusahaan. Sebenarnya dia sudah ditawarkan sebuah mobil, tetapi karena Binar tidak bisa menyetir akhirnya motorlah yang menjadi pilihannya.
Tiba-tiba ponselnya pun berbunyi, Binar mengangkatnya terlebih dahulu. [Kamu di mana? Saya sudah sampai dari tadi!]
[Apa, Pak Presdir?]
[Kamu tuli?]
Untuk kedua kalinya panggilan tersebut diputuskan secara sepihak. Belum lagi bekerja, kesabarannya sudah sangat diuji saat ini.“Udah? Gitu aja? Dasar kanebo kering! Dia pikir aku pembantunya? Argh!” Binar terus berbicara sendiri sampai ia kesal dengan dirinya sendiri.Binar pun melajukan motornya dan mengitari jalanan kota. Seperti biasa jalanan sangat macat dan ramai, apalagi jaraknya tidak dekat. Sudah bisa dibayangkan betapa lamanya di perjalanan saat naik motor dari bandung ke ibukota Jakarta.Beberapa jam kemudian Binar sampai di PT. Angkasa Group. Ini kali kedua dirinya berada di sana. Namun sekarang berbeda dengan yang kemarin, perasaan cemas dan khawatir pun melanda saat ini.Binar berlari hingga dirinya sampai di depan lift, namun ia enggan naik begitu pintu tersebut terbuka. “Kok nggak ada karyawan yang mau naik juga?” gumamnya.Akhirnya Binar pergi ke meja resepsionis lagi, “Mbak, maaf. Bisa bantu aku lagi, nggak?”“Naik lift?” tanyanya.“Iya! Bisa, ‘kan? Tolong dong, plea
Binar menggidik ngeri, terkadang ia merasa kantor ini adalah neraka, namun akal sehatnya mengatakan tidak ada neraka semewah ini. Lelaki itu menarik tangan Binar dan menutup pintu ruangannya kembali.“Kamu tunggu di sini!” titahnya.“Tapi, Pak —”“Saya tidak terima penolakan!” potongnya langsung.Dalam rumus Binar, wanita tidak pernah salah, namun kali ini ia malah terjebak dengan rumusnya sendiri. Binar berdiri sambil menghadap ke pintu, padahal Presdir Tama sudah pergi ke ruangan rahasianya untuk berganti pakaian.“Pak Presdir, apa saya juga akan ikut pergi?” tanya Binar dengan menutup matanya.Padahal dirinya sudah berbalik badan, namun rasanya itu masih kurang untuk menutup matanya. “Kacang … kacang … kacang … kacang berapa sekilo?” gumamnya sendiri.“Astaga, benar-benar dikacangin. Ya sudahlah!” gerutunya.Sekitar sepuluh menit kemudian, Presdir Tama sudah selesai berpakaian. Kini ia sudah sangat tampan dan gagah. Jiwa maskulinnya pun terpampang nyata.Lelaki itu berdehem dengan
"Pak Presdir mah kocak!" seru Binar sambil cekikikan. Cukup aneh memang bagi Presdir Tama karena dirinya tidak merasa sedang membuat lelucon saat ini. "Saya serius!" tegas lelaki itu dengan wajah dinginnya.Binar menelan saliva dengan susah payah, wajah atasannya tersebut sangatlah datar. Tida datar aja seram, apalagi tanpa ekspresi seperti itu, pikirnya."Saya tidak mengenal beliau, Pak Presdir. Kalau Pak Presdir tidak mengenalkan saya padanya, mungkin kami tidak kenal. Kalau Pak Presdir tidak mengajak saya pergi, mungkin kami tidak akan bertemu. Kalau Pak Presdir —""Kamu pikir ini lucu?" potong lelaki itu dengan cepat. "Katakan secara singkat!" lanjutnya."Maaf, Pak." Binar menundukkan kepalanya sambil mengutuk dirinya sendiri yang sudah lancang. 'Binar … Binar … sudah tahu atasan kamu itu kayak beruang kutub masuk freezer, bisa-bisanya kamu ngajak bercanda!' batin Binar mengumpat dirinya sendiri. Presdir Tama tidak menimpali lagi, akan tetapi dirinya menatap sang asisten dengan
"Hidup itu serba salah, ya? Lagi kerja, pengennya jadi pengangguran. Nanti giliran nganggur, pengennya kerja di gedongan!" Binar menggerutu sendiri karena ia dirinya hanya tidur satu jam saja setelah membereskan semua barangnya ke dalam apartemen yang kini menjadi miliknya. Meskipun hanya untuk satu tahun, namun tak dapat dipungkiri jika Binar sudah jatuh hati dengan tempat ini. Perpisahannya dengan orangtua memang serba dadakan. Namun tanpa sepengetahuan Binar, sebelum wanita itu sampai di rumah, Presdir Tama sudah menyuruh seseorang untuk mengatakan tujuannya pada orangtua Binar agar mereka tidak terkejut nantinya saat sang putri pulang untuk membawa barang-barangnya. "Ponselku di mana?" Binar mencari ponselnya yang ia taruh di sembarang arah. Setelah beberapa menit, akhirnya ia menemukan ponsel tersebut di bawah kolong kursi santainya. Binar pun mengambil ponselnya dan menekan nomor sang atasan tercinta. [Halo, selamat pagi, Pak Presdir!] Binar berniat untuk membangunkan sang a
"Ibu, Binar ngantuk sekali. Tolonglah, biarkan Binar tidur, satu jam saja!" Wanita itu terus mengigau, mengira yang memanggilnya adalah sang ibu tercinta. Tidak tahu saja dirinya jika atasan yang dingin itu sedang melipat tangannya sambil menatap dirinya. Dengan sengaja Presdir Tama menghempaskan buku tepat dihadapan Binar. Wanita itu pun terperanjat kaget, "Eh, ayam, copot, ayam …" Binar pun menjadi latah. Karena kesal melihat seseorang yang mengganggu tidurnya, ia menggebrak meja kerjanya. "Maunya apa, s— eh, Pak Presdir. Selamat pagi, Pak. Pak Presdir butuh sesuatu?" Amarahnya pun terhenti saat melihat yang mengganggunya adalah atasannya sendiri. "Enak, tidurnya?""Siap, tidak, Pak.""Lalu?""Siap, salah, Pak." Binar malah seperti sedang latihan militer saat ini saking gugupnya. "Apa jadwal kita pagi ini?""Jadwal?" beo Binar, dirinya masih belum sepenuhnya sadar saat ini. Sebagian dari dirinya masih menginginkan untuk tidur, sebagian lagi sudah menyadari waktunya bekerja.Pres
Tiga bulan sudah berlalu, Binar pun sudah terbiasa dengan rutinitasnya. Selama tiga bulan ini dia tidak melakukan kesalahan sama sekali bahkan sang atasan sudah hidup bergantungan dengannya.Sekitar pukul empat subuh, Binar sudah rapi dengan pakaiannya. Di depan cermin, ia sedang merias dirinya. "Ternyata aku cantiknya kebangetan, ya? Pantas saja namaku Queen!"Begitulah Binar, sering sekali ia memuji dirinya sendiri. Itu dilakukannya semata-mata hanya untuk menyenangkan dirinya. Setelah berdandan dengan cantik, Binar menoleh ke arah jam di dinding. Tak disangka ternyata sudah memasuki pukul lima pagi. Cukup lama ia berdandan dan memuji dirinya itu. Binar mengambil ponselnya untuk menghubungi Presdir Tama. Binar memencet nomor atasannya tersebut di layar ponselnya. Tak lama kemudian panggilan pun terhubung pada yang bersangkutan. [Selamat pagi, Pak Presdir. Awali pagi dengan senyuman.][Hm, jangan lupa sarapan!] seru Pak Presdir dari balik layar dengan suara beratnya. Setelah itu ia
Binar tercengang saat mendengarkan ucapan dari ibunya Tama. Nyonya Diana sengaja mengatakan itu karena sang putra tidak pernah mengenalkan satu wanita pun padanya, kecuali para sekretaris yang menemaninya. Ia hanya ingin melihat reaksi dari sang putra. Namun ternyata reaksinya tetap sama, hanya datar tanpa berekspresi saat menanggapinya. "Berhentilah melakukan hal konyol, Mom." Presdir Tama mengatakan itu sambil duduk. "Jadi yang ini bukan juga? Astaga, padahal Mommy sudah berharap banyak," sahut Nyonya Diana dengan lesu. Tuan besar Angkasa menahan tawanya, istri dan putranya memang sering sekali bertengkar jika sudah menyangkut tentang wanita. Wajar saja, karena sampai detik ini belum ada tanda-tanda mereka akan mendapatkan menantu. Keduanya sudah tua, mereka ingin menyaksikan pernikahan putra mereka satu-satunya. "Sebaiknya kita makan dulu," titah Tuan Angkasa.Para pelayan pun datang menghidangkan beberapa macam makanan. Binar terkejut karena banyak sekali makanan di meja terse
Melihat atasannya sangat antusias, Binar pun tak kalah semangatnya. "Tak banyak, hanya setengah kodi saja!" "Sepuluh orang maksud kamu?" Binar menganggukkan kepalanya, "Sepertinya Tuan Angkasa benar-benar mempersiapkan segalanya dengan matang, Pak Presdir." "Itu jumlah yang banyak …" "Benarkah? Lihat, Pak Presdir. Gadis ini cantik sekali. Apa ini anaknya Presdir Chloe? Sepertinya dia sangat cocok dengan Pak Presdir." Begitulah Binar, tidak bisa membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak saat berbicara dengan lawan jenisnya. Saat menyadari kesalahannya, Binar menutup mulutnya. "Sorry! Saya bercanda, Pak Presdir." "Dari mana kamu kenal dengan Presdir Chloe?" "Saya tidak mengenalnya," jawab Binar langsung. "Lalu?" "Lalu?" Beo Binar sambil memutar matanya. "Lalu apa? Ah, ya, lalu saya tahu nama Presdir Chloe dari tuan besar. Bukannya tuan besar tadi cerita tentang Presdir Chloe, ya?" sambungnya. Presdir Tama tak bergeming, berbicara dengan Binar memang harus memiliki kesab