Share

Bab 3. Persiapan Kerja

Binar bertanya seperti itu agar mendapatkan belas kasihan dari Presdir Tama, namun apa boleh buat? Pria dingin itu malah pergi dari ruangannya saat ini. Binar hanya bisa menghela napasnya, cobaan hidupnya sangat berat saat ini.

“Tenanglah, Tama sudah jinak!” kata Rayyan menenangkan Binar.

Binar celingukan melirik kanan dan kiri, melihat situasi supaya atasannya tersebut tidak mendengarkan pembicaraan mereka. “Kamu cari siapa?” tanya Rayyan.

“Pak Presdir.”

Rayyan cekikikan, “Sebegitu takutnya kamu dengan dia?”

“Memangnya Pak Rayyan tidak takut?”

“Saya hanya menghormatinya sebagai atasan, lagian dia aslinya lucu kok.”

“Lucu?” beo Binar. “Agak lain lucu versi Pak Rayyan, ya! Ah, sudahlah. Tolong bantu saya untuk keluar dari sini, Pak!” titah Binar melanjutkan ucapannya sambil memohon.

“Maaf, Binar. Bukan saya tidak ingin membantumu, tetapi ketika para calon asisten menandatangani surat kontraknya, itu tandanya mereka harus siap mental untuk menerima segala konsekuensinya. Lagian, kamu kenapa tidak membaca dulu sebelum tanda tangan?”

“Saya kira nggak sesulit ini, Pak.”

“Ada kalanya kita tidak mengikuti kata hati, untuk apa kita punya otak kalau nggak kita beri fungsinya? Jangan marah! Sebaiknya kamu terima takdir kamu sekarang. Kamu pulang untuk menenangkan diri dan selamat bertempur mulai besok pagi.”

Binar malah meneteskan air matanya, ia menangis di sana. Bahkan lama-kelamaan dirinya juga mengeluarkan suara tangisan yang melengking. Tentu saja Rayyan menjadi bingung, ia khawatir banyak orang langsung melihat mereka saat ini kemudian menuduhnya melakukan hal yang aneh.

“Hey, apa yang kamu lakukan? Kenapa nangis? Tolong hentikan, nanti semua orang dilantai ini akan melihat kita.”

Binar menghentikan tangisannya, namun ia masih tersedu-sedu saat ini. “Ada apa?” tanya Rayyan saat melihat tangisan Binar mulai mereda.

“Gimana saya bisa pulang kalau saya tidak punya uang? Rumah saya jauh, Pak!” ucapnya dengan tersedu-sedu.

Rayyan menghela napasnya, sudah menjadi rutinitasnya menghadapi ribuan drama dari asisten-asisten Presdir Tama. “Saya akan mengantarkan kamu pulang, tenanglah.”

“Bapak nggak mau macem-macem, ‘kan?”

“Untuk apa saya macem-macem? Satu macem saja sudah merepotkan. Lihat ini!” sambil menyerahkan ponselnya, ternyata Presdir Tama mengirimkan pesan padanya untuk membelikan segala keperluan Binar nantinya.

“Se—semua?” tanya Binar terbata-bata, dirinya sedikit heran karena ini kali pertamanya ia bekerja. Menurut film yang ia tonton, tidak ada yang sampai membelikan ponsel seperti yang dialaminya saat ini.

“Tentu saja! Kamu perlu apa? Ponsel? Kendaraan?”

“Kendaraan juga?” tanya Binar heran.

“Ya, kamu harus datang lebih awal, tentunya memerlukan kendaraan.”

Rayyan berjalan lebih dulu dibandingkan Binar, namun wanita itu masih diam ditempatnya. Merasa tidak diikuti, Rayyan pun menghentikan langkahnya, “Kenapa masih di situ?”

“Mak—maksudnya?”

“Kita berangkat sekarang!”

Dengan rasa terkejutnya Binar pun mengikuti langkah Rayyan. Semua orang melihat mereka. Saat berada di lift, Binar menutup matanya, ia masih merasa trauma saat menaikinya.

“Kenapa?” tanya Rayyan.

“Nggak pa-pa, Pak.”

Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah mall yang cukup besar. Binar dipersilakan untuk memilih ponsel mana yang akan ia pakai. Seketika Binar lupa dengan penolakannya tadi, ia melihat sangat bahagia saat ini.

“Pak, bagusan yang mana?” tanya Binar pada Rayyan.

“Lebih mahal yang mana?” tanya Rayyan balik.

“Kata mbaknya yang ini,” sambil nunjuk ponsel yang sebelah kanan.

“Ya sudah, pilih itu!”

“Be—beneran? Apa ini potong gaji? Ah, tidak. Saya nggak mau, Pak.”

“Tenanglah, ini diluar dari gaji kamu! Anggap saja ini sebagai benefit tambahan.”

Setelah memilih ponsel, Rayyan mengajaknya membeli pakaian, sepatu, dan juga kendaraan untuk Binar. Ia seakan diberi banyak sekali fasilitas, baginya ini adalah perusahaan yang aneh, sama anehnya seperti pemiliknya.

Sekitar pukul lima sore akhirnya Binar sampai di rumah. Binar ingin menceritakan semuanya pada Pak Ilyas dan Bu Laila namun kedua orangtuanya belum pulang dari toko kuenya. Setelah dipikir-pikir, Binar tidak akan menceritakan segalanya. Selain akan membuat orangtuanya cemas dan khawatir, ia juga tidak ingin melihat mereka sedih atas kejadian yang menimpanya.

***

Suara ayam berkokok menandakan pagi telah tiba. Namun wanita cantik itu masih berada di dunia mimpinya. Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul enam pagi, akan tetapi tidak ada pertanda gadis cantik tersebut akan bangun saat ini.

Bu Laila mengetuk pintu kamar Binar beberapa kali sampai-sampai ia mengetuknya dengan sangat kuat hingga gadis cantik tersebut terjatuh ke lantai karena sangat terkejut.

Melihat Binar memekik, Bu Laila langsung membuka pintu kamar putrinya. “Astaga, Binar! Kamu ngapain di lantai?”

“Tolongin dulu,” titah Binar dengan lirih.

Bu Laila mengangkat putrinya untuk naik ke atas kasur. “Kamu kenapa tidur di lantai?”

“Ck, ini karena Ibu teriak-teriak dari luar, ngetik pintunya juga kayak orang marah gitu, sakit tahu, Bu.”

“Kamu lihat sudah jam berapa ini! Apa kamu nggak jadi bekerja, Nak?” tanya Bu Laila.

Binar melototkan matanya, “Sudah jam enam, Bu?” pekik Binar. “Kenapa Ibu nggak bilang?” tanya Binar setelah beberapa saat.

Binar langsung mencari ponsel barunya yang ia pakai untuk menonton film kesukaannya tadi malam, “Bu, tolong bantu Carikan ponsel Binar!” titah Binar.

Tak lama kemudian Binar sendiri ‘lah yang menemukan ponselnya tersebut. Bu Laila pun pamit keluar dari kamar sang putri. Merasa sudah aman, Binar memencet nomor Presdir Tama yang sudah disimpannya di ponsel baru itu.

[Selamat pagi, Pak Presdir. Saya Binar.] Kata Binar saat panggilannya sudah diangkat.

[Saya sudah bangun bahkan sebentar lagi akan sampai di perusahaan.]

[A—apa, Pak?]

[Jangan lupa apa tugas kamu selanjutnya!]

Presdir Tama mematikan panggilannya secara sepihak membuat Binar menjadi kesal. Sudah tidak ada waktu untuk berleha-leha, Binar langsung bersiap-siap untuk berangkat kerja.

Begitu siap, ia langsung pergi. Namun saat berada dimeja makan, ia melihat sarapan yang disajikan orangtua Binar sangatlah lezat. Binar memutuskan untuk membawanya ke kantor.

“Banyak sekali,” gumam Pak Ilyas. “Ini untuk kamu sendirian, Nak?” lanjutnya.

“Nggak, Yah. Ini untuk bos Binar, kalau yang pink ini pastinya punya Binar.”

“Kamu nyiapin sarapan untuk atasan kamu juga?”

“Hum,” singkat Binar. Ia tak mau banyak bicara saat ini. Apalagi menceritakan yang sebenarnya.

Binar pun pamit pada orangtuanya membuat Pak Ilyas dan Bu Laila sedikit curiga. Tak biasanya anak gadis mereka menyembunyikan sesuatu seperti itu.

Binar pun keluar dari rumah sambil memakai helm. Ya, dia mendapatkan satu buah motor matic dari perusahaan. Sebenarnya dia sudah ditawarkan sebuah mobil, tetapi karena Binar tidak bisa menyetir akhirnya motorlah yang menjadi pilihannya.

Tiba-tiba ponselnya pun berbunyi, Binar mengangkatnya terlebih dahulu. [Kamu di mana? Saya sudah sampai dari tadi!]

[Apa, Pak Presdir?]

[Kamu tuli?]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status