Binar tercengang saat mendengarkan ucapan dari ibunya Tama. Nyonya Diana sengaja mengatakan itu karena sang putra tidak pernah mengenalkan satu wanita pun padanya, kecuali para sekretaris yang menemaninya. Ia hanya ingin melihat reaksi dari sang putra. Namun ternyata reaksinya tetap sama, hanya datar tanpa berekspresi saat menanggapinya. "Berhentilah melakukan hal konyol, Mom." Presdir Tama mengatakan itu sambil duduk. "Jadi yang ini bukan juga? Astaga, padahal Mommy sudah berharap banyak," sahut Nyonya Diana dengan lesu. Tuan besar Angkasa menahan tawanya, istri dan putranya memang sering sekali bertengkar jika sudah menyangkut tentang wanita. Wajar saja, karena sampai detik ini belum ada tanda-tanda mereka akan mendapatkan menantu. Keduanya sudah tua, mereka ingin menyaksikan pernikahan putra mereka satu-satunya. "Sebaiknya kita makan dulu," titah Tuan Angkasa.Para pelayan pun datang menghidangkan beberapa macam makanan. Binar terkejut karena banyak sekali makanan di meja terse
Melihat atasannya sangat antusias, Binar pun tak kalah semangatnya. "Tak banyak, hanya setengah kodi saja!" "Sepuluh orang maksud kamu?" Binar menganggukkan kepalanya, "Sepertinya Tuan Angkasa benar-benar mempersiapkan segalanya dengan matang, Pak Presdir." "Itu jumlah yang banyak …" "Benarkah? Lihat, Pak Presdir. Gadis ini cantik sekali. Apa ini anaknya Presdir Chloe? Sepertinya dia sangat cocok dengan Pak Presdir." Begitulah Binar, tidak bisa membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak saat berbicara dengan lawan jenisnya. Saat menyadari kesalahannya, Binar menutup mulutnya. "Sorry! Saya bercanda, Pak Presdir." "Dari mana kamu kenal dengan Presdir Chloe?" "Saya tidak mengenalnya," jawab Binar langsung. "Lalu?" "Lalu?" Beo Binar sambil memutar matanya. "Lalu apa? Ah, ya, lalu saya tahu nama Presdir Chloe dari tuan besar. Bukannya tuan besar tadi cerita tentang Presdir Chloe, ya?" sambungnya. Presdir Tama tak bergeming, berbicara dengan Binar memang harus memiliki kesab
"Haaa … kena, kalian!" serunya lagi sambil menggebrak meja dengan pelan.Suasana yang tadinya tegang pun menjadi cair kembali saat pria itu malah merapikan rambutnya. Dia adalah Rayyan, atasannya Andin yang terkenal suka merayu wanita."Hayo … ketahuan 'kan, kalian! Ternyata suka ceritain orang tampan." Rayyan kembali melanjutkan ucapannya untuk mencairkan suasana. "Maaf, Pak!" Lirih Binar dan Andin, meskipun Rayyan terlihat baik-baik saja, mereka merasa tidak enak karena sudah lancang membicarakan atasannya tersebut. "Berhubung saya sedang bahagia, saya maafkan. Tahu, nggak? Beberapa jam lalu saya akhirnya dapat nomor teman sekolah saya dulu yang ngejar-ngejar saya.""Kenapa Bapak yang senang? 'kan dia yang ngejar Bapak?" Andin langsung menyambar ucapan atasannya tadi."Karena sekarang dia semakin waw, tak di sangka kecantikannya semakin runcing.""Pisau kali, Pak," protes Andin. "Hei, saya atasan kamu!" oceh Rayyan. Binar tersenyum geli mendengar perdebatan mereka, namun senyumn
Rayyan terbahak-bahak mendengarnya. Sahabatnya memang tak pernah berubah sejak ditinggal sang kekasih dulu. Entah bagaimana caranya agar trauma tersebut berakhir dan Presdir Tama percaya dengan yang namanya cinta. "Bro! Itu terserah kamu. Kamu yang jalanin, kamu juga yang ngerasain. Tapi saran aku, kamu nikmatin aja rencana dari daddy. Kalau kamu nggak suka, bisa kasih aku!" seru Rayyan sambil terkekeh geli. "Pacar kamu sudah satu lusin, Ray. Dan kamu masih mau tambah? Kayaknya kita harus manggil dr. Richard.""Ngapain?""Buat meriksa otak kamu.""Pak Presdir yang terhormat, dr. Richard itu spesialis jantung!""Aku ini Presdir Tama, aku tidak terima penolakan."Rayyan menarik tangan Presdir Tama membuat pria itu beserta Binar terkejut. "Ikut aku!" titahnya, lalu Rayyan pun melirik Binar. "Kamu juga, ikut saya!""Mau ke mana, Pak?" tanya Binar."Kita cari pakaian yang cocok untuk atasan kita ini. Kita harus berikan yang terbaik untuk beliau!" seru Rayyan. Binar mengikuti langkah Ray
Lagi-lagi Binar lupa jika atasannya tersebut lain dari pada yang lain. "Maaf, Pak. ""Apa saja kegiatan kita besok?""Pak Presdir sebenarnya saya —""Ada apa?""Saya ingin mengajukan cuti, satu hari saja. Apakah boleh?""Tidak!""Tapi …, bukankah dalam perjanjian boleh mengajukan cuti satu kali dalam sebulan?""Ya, itu berlaku jika saya mengizinkan."Binar tertunduk lesu, padahal dirinya sudah berjanji pada sahabatnya. Mereka akan bertemu esok hari di sebuah cafe. Namun sayang sekali, atasannya tidak berpihak padanya saat ini."Besok ada meeting dan pertemuan dengan kandidat kedua.""Kandidat?""Maksud saya calon kencannya Pak Presdir yang kedua."Presdir Tama menoleh, ia menatap wajah Binar yang tertunduk dengan lesu. "Jangan pasang wajah datar itu pada saya!""Nggak enak, 'kan, Pak?""Hm."Bagaimana Binar tidak semakin kesal? Padahal pertanyaan Binar tadi hanya sebagai bentuk ledekan untuk pria itu, namun sangat disayangkan respon Presdir Tama diluar dari dugaannya."Pak Presdir! Ha
Padahal dia sendiri yang tidak ingin diganggu oleh atasannya, tetapi dia pula yang kebingungan karena tidak dihubungi Presdir Tama. Aneh sekali, bukan?Binar menaruh ponselnya di kasur, kemudian ia membersihkan dirinya. Jika biasanya Binar mandi dengan kilat, kini ia pun berendam di dalam bathtub. Binar sangat menikmati setiap sentuhan tangannya di kepala sendiri. "Begini rupanya rasanya kepala dipijat! Ah, nikmatnya." Setelah satu jam berendam karena dirinya pun ketiduran, Binar pun langsung membersihkan dirinya. Memakai polesan di wajahnya, memakai wewangian, tak lupa pula memakai baju yang baru saja ia beli dengan harga sedikit mahal dibandingkan baju-bajunya yang lain. "Queen Binar! Kamu cantik juga, ya! Aku bangga dengan kamu." Binar memuji dirinya sendiri. Baginya jika bukan dia yang memuji, lalu siapa lagi?Cia menunggunya di depan apartemen dengan sepeda motor berwarna abu-abu. Binar pun menghampiri sahabatnya tersebut. "Let's go!" Motor tersebut menjelajahi kota Jakarta. P
Hari telah berganti. Binar menyesal karena sudah meminta cuti. Namanya saja yang cuti, tapi ia harus bekerja sepanjang hari. Bayangkan saja, Presdir Tama mengikuti perjalanan Binar kemanapun ia pergi.Binar berjalan dengan lesu hingga sampai di depan mejanya. Sekertaris Andin pun menghampiri Binar, "Ciye yang cuti. Gimana? Seru nggak?""Apaan sih? Nggak asik!""Dih, pagi-pagi udah ngomel. Lagi anu?""Aku anu tiap hari selama kerja di sini, puas kamu!""Kenapa sih? Nggak terima, ya, kalau hari telah berlalu?" Sekretaris Andin menyenggol lengan Binar."Asal kamu tahu, kemarin adalah hari yang horor. Namanya aja yang cuti, tapi harus berurusan dengan Pak Presdir!""Hah? Maksudnya?"Binar menceritakan semuanya, mulai dari dia mengirimkan lokasinya, hingga diantarkan kemanapun ia pergi. Tentu saja hal itu membuat sekretaris Andin tergelitik. Bahkan wanita itu tertawa dengan puas saat ini. "Sekali lagi kamu ketawa … aku tabok, nih!""Wih, galaknya …."Tak lama setelah itu Presdir Tama pun
Wanita cantik memakai dress seksi berwarna kuning membuat mata Presdir Tama sedikit silau memandangnya. Presdir Tama ingin tertawa, namun demi menjaga kesopanan ia pun bersusah payah menahannya. "Tak apa, kami juga baru sampai!" jelas Presdir Tama."Ah, begitu rupanya." Suara seksi tersebut keluar dari mulut gadis tersebut. Gadis itu melihat Binar, "Kamu sekretarisnya, 'kan?" tanyanya pada Binar yang berada di pojokan. Binar menunjuk dirinya, "Saya, Nyonya?""Apa ada orang lain selain kita bertiga?" tanyanya dengan suara yang dibuat-buat. Jangankan Presdir Tama, Binar saja ingin muntah mendengarnya.Binar mendekatinya, "Ada yang bisa saya bantu?""Tolong taruh kursi saya di samping atasan kamu yang tampan ini!"Binar menahan senyumnya, perut Binar tergelitik mendengar ucapan gadis tersebut. "Baik, nyonya. Dengan senang hati!"Sementara itu Presdir Tama sudah memasang wajah datarnya, Binar sangat yakin jika saat ini atasannya tersebut sedang menahan amarahnya. 'Permainan yang seru!'