Bab 6 Kemungkinan yang Tidak Kuinginkan
Selepas bangun tidur di pagi hari, kulanjutkan aktifitas dengan mandi. Aku membersihkan diriku dan melanjutkan dengan sholat shubuh. Setelahnya aku berdoa pada Allah agar aku dapat diberikan kelancaran dan keberkahan dalam hidup.
Belum selesai bermunajat padaNya, aku merasakan pening di kepalaku. Entah mengapa beberapa kali aku merasa pening, terkadang hanya pening saja, kadang pula diiringi dengan mual.
Kulepas mukenah yang kupakai, lalu berbaring sejenak di atas kasur. Kupenjamkan mataku sejenak dan kudengar suara ketukan pintu terdengar. Siapa tamunya?
Apa Reino?
Bisa saja kan semalam pria itu tidak pulang dan menunggu. Meskipun aku tidak tahu ke mana ia menunggu semalaman.
Sambil menahan pening di kepalaku, kubuka pintu depan rumah dengan perlahan. Tidak ada siapapun yang kutemukan kecuali bungkus plastik putih berukuran besar. Saat kulihat ke dalamnya, terdapat kotak makanan berwarna putih. Terdapat secarik kertas di atasnya yang segera kubaca.
[Kamu boleh marah, tapi kamu harus tetap makan. ×Reino]
Aku meremas secarik kertas yang berada dalam genggamanku lalu membuangnya sembarangan. Kubawa masuk plastik berisi kotak makanan itu dan mulai membukanya.
Di dalam ada ayam panggang seperti di menu Restoran Joykarta yang dirintis oleh Reino sejak kuliah. Aku dan Reino memang berpacaran sejak kuliah dan aku tahu benar bagaimana Reino sangat suka membuka bisnis. Dia selalu berbicara tentang masa depannya. Ingin punya banyak cabang Restoran Joykarta hingga ke seluruh kota di Indonesia.
Reino memulai impiannya untuk membuka Restoran Joykarta ketika kuliah semester 5. Setelah KKN ia membuat langkah besar, menyiapkan restorannya dari tabungannya selama ini. Sayangnya tak sampai 5 bulan, restorannya bangkrut. Keuangannya morat-marit dan ia berhutang pada pihak Bank hingga 80 juta rupiah. Ia mengambil pinjaman untuk menutup defisit. Hutang bank pun akhirnya dibayarkan oleh ayahnya. Benar, Reino memang anak orang kaya.
***
Setelah sarapan, aku menghubungi Bella. Hari ini kami berniat jalan bersama, katanya sekalian belanja skincare di Malaikat Store yang ada di CBC Mall.
Bella datang pukul 09.20 pagi sambil membawa satu helm cadangan untukku pakai. Katanya di Cirebon rawan tilang, bahkan Cirebon pernah disebut sebagai Kota Tilang.
"Kamu udah sarapan belum?" tanya Bella sambil memperbaiki make up ala kadarnya.
"Udah, Bel."
"Ehm aku minta maaf ya," kata Bella terlihat begitu merasa bersalah.
"Minta maaf kenapa?" tanyaku bingung.
"Aku yang udah ngasih tahu Reino kalau kamu tinggal di sini," jawabnya, yang berhasil membuatku terkejut. Setahuku, Mama yang sudah memberitahu alamatku di Cirebon pada Reino. Apa Reino sulit menemukan alamatku dan mendapatkan alamat lengkapku dari Bella. "Maafin aku ya, Tit. Sumpah aku sebenernya enggak mau kasih, tapi dia pinter banget ngerayu aku pakai cerita sedih. Emang dasar Reino itu cocok jadi sales asuransi."
Mendengar ucapan Bella, aku jadi tertawa. Teringat bagaimana Bella dulu sering mengatai Reino sebagai sales jika sudah menawarkan barang dan sebagainya.
"Lo kok jadi ketawa sih? Gue keki nih," kata Bella sedikit sebal.
"Udahlah. Mungkin emang udah waktunya Reino tahu gue ada di sini." Aku teringat kalau sudah seminggu lebih berada di Cirebon. Kupakai sendal sepatu berwarna kream lalu berdiri dengan siap. "Yuk jalan. Sumpeg gue di rumah terus."
Tanpa membalas perkataanku, Bella pun ikut bangkit berdiri. Kami pun pergi naik motor menuju CBC Mall. Semoga dengan ini kepenatanku sedikit berkurang.
Sesampainya di CBC Mall, kami pun segera menuju tempat pertama yang ingin kami singgahi yaitu Malaikat Store. Beruntung kami datang saat sedang banyak promo diskon. Ah menyenangkan sekali.
Aku membeli beberapa masker wajah dengan promo beli 2 gratis 1 all varian, toner wajah, dan sunscreen. Bella juga membeli sama sepertiku, bedanya ia juga membeli beberapa alat make up. Di sana kami benar-benar kalap mata. Saat berada di kasir, aku langsung memikirkan tabunganku yang hanya bersisa sekitar 7 jutaan sebelum sampai ujian CPNSku selesai di Cirebon.
Seharusnya aku lebih berhemat agar tidak menyusahkan Mama dan Papa lagi. Tapi tunggu, aku masih memegang kartu debit dari Reino setelah kami tinggal bersama selesai resepsi pernikahan.
Tidak sanggup menggunakan uang tunaiku, aku pun menyerahkan kartu debit dari Reino. Ini adalah kali pertama aku akan memakainya.
Pembayaran selesai. Aku tidak menyangka akhirnya memakai kartu debit milik Reino. Aku membencinya tapi juga membutuhkannya.
Apakah sedikit rasa cinta masih ada? Atau aku hanya menutupi rasa cintaku karena perasaan cemburu buta yang semu?
***
Aku duduk di kursi makan di sebuah caffe yang berada di mall. Bella tidak lama kemudian datang membawakan pesananku. Kami sama-sama memesan kopi susu dengan kemasan kekinian.
"Ngelamunin apa hayo?" tanya Bella padaku.
"Emang gue ngelamunin apa?" tanyaku balik.
"Jangan boong, udah jujur aja."
"Gue cuma mikirin tes buat minggu depan. Kalau gue lulus, gue stay di Cirebon tapi kalo gagal gue bakal balik ke Jakarta. Gitu aja!"
"Ya semoga aja kita lulus." Bella menyemangatiku sambil mengepalkan tangannya ke udara.
"Aamiin," balasku tulus. Aku meminum es kopiku lalu terdiam beberapa saat sambil memperhatikan ke samping kanan dan di kiriku. "Perasaan rada sepi ya."
"Paling kalau rame pas jam pulang kerja."
Aku mengangguk setuju. Memang dasar kami yang tidak punya kegiatan jadi jalan-jalan di jam kerja.
"Udah latihan belum?" tanya Bella sambil menyeruput minumannya.
"Udah, semoga aja lulus tes," kataku dengan nada lemas.
"Eh semangat dikit dong. Bentar lagi kita mau berjuang nih."
"Iya, Bawel. Gue juga tahu. Tapi nanti gue mau periksa dulu deh, gue kadang suka pening sama mual mendadak. Enggak sering sih, tapi rada nganggu."
"Jangan-jangan lo hamil lagi, Tit! Lo sama Reino pernah wikwik enggak."
"Enggak lah. Enggak!" Aku merasa histeris mendengar perkataan Bella. "Lo jangan ngomong sembarangan dong," kesalku membuat Bella terdiam dan terlihat merasa bersalah.
"Sorry, Tita. Kalau gue salah ngomong."
Aku mengusap wajahku dengan frustrasi. "Maaf, Bel. Gue sampai bentak lo."
Bella mengangguk paham. "Udah ya jangan dipikirin lagi omongan gue."
Aku pun hanya terdiam. Rasanya tidak percaya akan hal yang mungkin terjadi pada diriku. Apa bisa jadi aku hamil anak si brengsek Reino itu?
Tapi aku tidak mau punya anak darinya, saat ini aku tidak siap punya anak. Apalagi dengan permasalahan kami. Aku bahkan sudah memaksa Reino untuk menceraikanku meskipun dia masih membisu, dan tidak mau berpisah.
Ya Allah, tolong aku. Semoga aku tidak hamil dulu untuk sekarang. Aku belum siap.
Benar, aku memang pernah sekali Berhubungan dengan Reino. Tapi itu hanya sekali, bagaimana sekali itu bisa membuatku hamil anaknya? Lalu bagaimana dengan perpisahan kami?
***
Bersambung
Bab 7PamitSetelah pulang dari berbelanja ke CBC Mall, penatku selama sendirian di rumah kontrakan rasanya sedikit terobati. Meskipun ada hal yang tidak menyenangkan kami bahas, tapi aku suka saat berbelanja.Selain berbelanja skincare, aku juga berbelanja keperluan rumah yang sudah hampir habis, tidak lupa juga kami membeli pakaian, dompet, dan sepatu yang menarik hati.Selama berjalan-jalan seharian ini aku menggunakan kartu debit yang diberikan oleh Reino. Entah mengapa aku ingin menghabiskan uang pria brengsek itu?"Bel, hati-hati di jalan. Makasih ya buat hari ini," kataku dengan senyum ceria.Bella mengangguk, ia baru selesai memakai helmnya. Ia mengacungkan jempol tangan lalu memutar motornya. Baru saja kukira dia akan pulang, Bella menatapku sebentar. "Mau gue beliin testpack enggak sebelum balik?" tanyanya.Wajahku terasa kaku mendengar pe
Bab 8Pernikahanku dan ReinoTepat tengah malam dan aku masih saja terjaga. Mataku terbuka lebar dan arah pandangku tertuju pada layar laptop di mana aku bersiap melihat kepastian dari masa depanku.Aku berdoa dalam hati dengan penuh kesungguhan. Kuharap, aku lolos CPNS tahun ini dan bisa menjadi Pegawai Negeri Sipil. Cita-citaku memang standar sekali, ingin menjadi seorang guru. Aku memilih pelajaran Bahasa Indonesia karena itulah satu-satunya keahlianku. Pelajaran yang lain, aku harus ekstra belajar. Terutama matematika dan fisika.Kulihat ranking nilai SKD dan melihat -bukan namaku- banyak tercantum di sana. Tunggu sebentar, itu namaku, Tita Silvia. Ya Tuhan, namaku tertera di urutan nomer 3 dari atas. Bukan dari bawah. Apakah aku lolos? Rasa haruku membuncah. Terima kasih, Ya Allah akan rezeki yang Kau berikan kepadaku.Tak berapa lama panggilan masuk, saat kuce
Bab 9Elena*Flashback On*Melihat laki-laki yang kucintai, yang baru beberapa jam yang lalu berubah status dari pacar menjadi suami. Tak kusangka ia tega melakukan ini padaku.Hal yang tidak sanggup kuatasi bahwa Reino melakukan perbuatan itu di hari terpenting kami. Ketika kita seharusnya menjadikan ini momen paling berharga. Namun, ia menghancurkannya dan membuat momen pernikahan kami layaknya panggung pertunjukan yang menyakitkan.Kutahan tangisku sekuat mungkin, tapi kurasakan air mata melewati pipiku dengan cepat. Pria yang kulihat sebelumnya dan berdiri di sampingku hanya terdiam, mematung melihatku yang menangis tersedu. Setelahnya aku pun pergi meninggalkan ruangan itu.Dengan kondisi yang menangis, aku berjalan ke ruangan mempelai wanita. Tak kusangka di sana berdiri orang yang tak asing. "Fatiya?" Aku mengambil tisu yang berada di meja lalu menyeka air mataku p
Bab 10Malam Pertama PernikahankuSetelah pertemuanku dengan Elena, aku banyak berpikir. Apakah benar ucapannya bahwa aku belum mengenal Reino dengan baik? Tapi selama ini, kami sudah berpacaran hingga 4 tahun. Kami jalani semuanya pelan-pelan, mulai dari pendekatan hingga jadian. Semua tidak seinstan itu seperti drama perjodohan.Fatiya masuk kembali ke ruang mempelai wanita dengan beberapa camilan dan minuman. “Tadi aku papasan sama perempuan. Kayak baru dari sini?” tanya Fatiya. Ia pasti bertanya karena jalan menuju ruang mempelai wanita atau pria harus melewati satu lorong.“Perempuan siapa?” balasku berbohong. “Ehm, mungkin salah jalan.”Fatiya pun segera mengangguk, tidak mempertanyakan lebih jauh. Ia meletakkan piring camilan di atas meja di hadapan kami dan 2 gelas minuman yang ia bawa susah payah.“Tadi aku p
Bab 11Menantu Idaman MamaSetelah sarapan yang terdiri dari nasi goreng ekstra telur, ayam goreng, serta tempe dan tahu goreng siap di atas meja makan, aku pun pergi ke kamar untuk bersiap mandi. Meskipun segan, kupanggil Reino yang sedang mengutak-atik ponsel pintarnya dengan serius. Dia pasti mengurusi karyawan restorannya, memberi intruksi tentang masa promo karena pernikahan kami. Aku mengetahui hal itu karena Reino pernah membahasnya denganku sebelum pernikahan kami digelar.“Rei, sarapan udah siap. Sarapan dulu sana.”Reino menatapku sebentar dan aku tidak mempedulikannya sama sekali. Aku mengambil baju ganti dan handuk yang akan kupakai nanti.“Aku juga belum mandi nih,” ujar Reino mengingat dirinya masih belum mandi meskipun sudah sholat shubuh.“Makan dulu aja, enggak apa-apa. Aku mau mandi duluan,” kataku tidak acuh. Kutinggalkan kembali Reino sendirian di kama
Bab 12Beberapa hari setelah menikah, yang kulakukan hanyalah termenung, main hape, dan bersikap kucing-kucingan dengan Reino. Aku masih marah dengan apa yang terjadi, apalagi dengan pengakuannya bahwa ia khilaf. Pertanyaannya, mengapa ia harus khilaf di hari pernikahan kami? Mengapa tidak kemarin saja sebelum kami menikah, biar sekalian aku patah hati dan memutuskan hubungan kami?Jantungku berdegup dengan kencang saat mendapati pesan dari nomer tak dikenal. Jika biasanya aku mendapat pesan Whatsapp tapi kini aku mendapat SMS biasa.[+62 852 4000 1xxx]Selamat siang, Tita. Gimana hubungan kamu dan Reino? Aku lagi ada di Joykarta, nemenin Rei. Restoran penuh banget sekarang. Kamu enggak peduli ya? Oh ya, ini aku Elena.Mendapat pesan dari wanita sundal itu, kepalaku rasanya mendidih. Apa maksudnya mengirim pesan begini? Mau membuatku cemburu?[+62 852 4000 1xxx]&nbs
Bab 13Laki-laki MisteriusAku masih berada di Restoran Joykarta sampai sore, meskipun berada di sana pikiranku terkadang melambung ke kafe di seberang jalan, Coffe Back Donna. Tempat yang akan menjadi tempat pertemuan keduaku dengan Elena Deviana setelah pertemuan pertama kami di pesta pernikahanku.“Liatin jam terus, kamu udah mau pulang?” tanya Julekha setelah selesai melayani pelanggan yang hendak memesan makanan untuk dibawa pulang. Pembayaran dilakukan di restoran ini memang ada dua, bisa melalui kasir, bisa juga langsung meminta pada pelayan.“Udah jam 4 ya?” kataku ambigu, masih ragu antara mau pergi atau tidak. “Reino mana ya? Daritadi enggak kelihatan.” Kepala kutengokkan ke kanan dan ke kiri. Mencari ke segala penjuru restoran.“Oh iya aku lupa ngasih tahu, tadi pas kamu ke musholah, Reino bilang mau pergi ke temp
Bab 14PertengkaranKami tidak saling menatap apalagi mengobrol sampai seorang pelayan memberikan air putih ke meja kami. Selepas kepergian pelayan itu, barulah aku dan Elena saling menatap satu sama lain.“Saya enggak ngerti, kenapa Reino bisa-bisanya nikah sama kamu.” Elena berbicara duluan. “Dia pernah janji mau nikahin saya.”Mendengar pengakuannya perasaanku jadi tidak enak. Bagaimana bisa Reino menjanjikan seorang wanita pernikahan, tapi malah mengingkarinya? Sepengetahuanku, Reino sosok yang bertanggungjawab. Dia juga sangat dewasa dalam beberapa aspek. Selama kami berpacaran, Reino sering mengalah jika aku merajuk. Bahkan saat meminta balikan, Reino selalu sabar menghadapiku.“Mungkin karena kamu cuma masa lalu untuk Reino,” jawabku sarkas.Elena menatapku tajam lalu memaksakan diri untuk tertawa