Sia terbangun karena nama lengkapnya dipanggil dengan lembut oleh Limora Catty.
“Bisakah kita bicara? Aku punya berita baik untukmu.” Limora tersenyum. Keramahan yang tampak memiliki maksud dan tujuan tertentu.
Sia mengangguk. Menarik tubuhnya untuk duduk bersandar di kepala ranjang.
“Kau pasti ingin hidup dengan kedua kakimu sendiri, bukan?”
“Ya, tentu saja.”
Limora tersenyum senang, karena dia menang. “Seseorang membutuhkan tenagamu untuk membantu mereka membersihkan rumah dan memasak. Apa kau bersedia?”
Sia tertegun sesaat, dia harus memikirkan semua kemungkinan terburuk yang akan terjadi di masa depan. Tapi di saat seperti ini apa dia membutuhkan sebuah pertimbangan? Tidak, dia tidak butuh harga diri yang terlalu tinggi untuk bisa menerima pekerjaan itu.
Sia tidak ingat siapa dia yang dulu. Di mana dia bekerja, tinggal, siapa teman-temannya, bahkan nama lengkapnya pun dia baru berhasil mengingat itu saat Limora Catty menanyakannya kemarin.
“Ya. Aku bersedia.”
“Bagus.” Untuk kesekian kalinya, Limora merasa bahwa Sia bukan hanya si berlian berkilau, tapi juga sosok wanita cantik yang polos dan patuh.
Mengejutkan bagi Limora bahwa masih ada wanita secemerlang Sia di saat ini, di zaman hidup penuh kepalsuan dan sikut menyikut satu sama lain untuk bertahan hidup.
Bukan pertama kali Limora berinteraksi bahkan bernegosiasi dengan wanita yang tampak polos seperti Sia. Mereka hanya berusaha menarik simpati untuk bertahan hidup. Tapi Limora sesadar mungkin, tahu bahwa sorot kedua mata Sia tidak menyiratkan itu.
Sia murni, Limora yakin akan hal itu.
*****
Peraturan menyenangkan bagi Sia, bahwa si pemilik rumah menginginkan dia datang membersihkan rumahnya di jam delapan pagi, dan harus selesai di jam empat sore.
Sia tidak perlu menetap. Dipersilahkan pulang setelah semua pekerjaan selesai. Dan yang paling menyenangkan, tentu saja, Sia tidak perlu bertemu siapapun di rumah mewah nan luas itu karena si pemilik rumah tinggal seorang diri, dan hanya seorang pelayan pria yang selalu berada di sampingnya kemanapun si pemilik rumah pergi.
“Jangan ada kesalahan. Ingat, pemilik rumah ini seseorang yang sangat menginginkan kesempurnaan. Kau tidak perlu bekerja tergesa-gesa. Pastikan hasil pekerjaanmu tidak membuatku mendapatkan teguran,” kata Limora, sebelum Sia masuk ke rumah megah di depannya.
Sia mengangguk, “Terima kasih, Catty.”
“Oh, panggilan darimu manis sekali, sayang.” Limora mengerjap-ngerjapkan kedua matanya dengan senang. “Masuklah. Segera kerjakan tugasmu.” Limora mendorong pelan punggung Sia yang menatapi rumah mewah itu tanpa berkedip.
Sia masuk dengan perasaan ragu. Mencoba membiasakan diri dan memulai pekerjaan yang dia sendiri tidak ingat, apakah dia bisa atau tidak. Di rumah Josie, Sia tidak mengerjakan apapun, kecuali membersihkan kamar yang ditempatinya selama ini.
Satu jam, dua jam, dan akhirnya Sia menyelesaikan tugasnya sebelum jam empat sore. Setelah meregangkan tubuh, Sia keluar dari rumah itu dengan perasaan senang karena dia berhasil membersihkan rumah dan menyebabkan lantainya harum hingga menguar ke udara di seluruh rumah.
Tepat ketika Sia menaiki taksi yang akan mengantarkannya pulang, mobil si pemilik rumah memasuki gerbang.
Rigel Auberon, si pemilik rumah, keluar dari mobilnya bersama Yoan Bailey si pelayan setia yang siap sedia mengambil tas Rigel dan membawanya dengan hati-hati.
Hidung Rigel mengendus aroma segar apel hijau yang membuatnya tenang. Dia memandang lantai rumahnya yang bersih dan mengkilap, seolah tak ada cela yang tergambar di sana. Setiap sudut rumah dia periksa dan hasilnya, sempurna.
“Kerja bagus!” seru Rigel, mengejutkan Yoan yang mengikutinya dari belakang.
“Ya, Tuan?”
“Aku senang kau berhasil menemukan seorang pekerja yang sekompeten dirimu. Beri dia bonus setiap akhir bulan dan hari libur dua hari dalam satu bulan.” Rigel mengusap meja makan dengan kelima jari-jari tangannya, dan tidak menemukan sedikitpun debu di sana.
“Baik, Tuan.”
“Apa kau menyuruhnya membersihkan kamarku juga?”
“Tidak, Tuan. Seperti keinginan Anda sebelumnya.”
Rigel duduk di sofa dengan tenang, merasakan kesempurnaan dalam setiap sudut rumah besarnya. “Mulai besok, katakan padanya untuk membersihkan kamarku juga. Dan jangan ubah letak benda-benda walau itu benda yang kecil sekalipun di kamarku.”
“Baik, Tuan.”
Sementara Sia bersiap turun di pemukiman kumuh, Limora menghubunginya melalui ponsel butut yang diberikan Limora secara cuma-cuma tadi pagi, sebelum mereka tiba di gerbang rumah tempat Sia bekerja.
“Sia, sebaiknya kau tidak pulang ke Lauht. Aku sudah menyewa sebuah rumah kecil tak jauh dari tempatmu bekerja. Jadi tinggallah di sana. Aku akan datang setiap bulan untuk membayarkan gajimu,” jelas Limora dari seberang.
“Oh, begitukah?” Sia menutup kembali pintu taksi.
“Ya, kenapa? Apa ada masalah?” Limora di seberang, baru saja kedatangan seorang tamu. Dia bukan sedang berada di Lauht, tapi di sebuah bar tempatnya bekerja.
“Tidak, tidak ada.”
“Kau sudah mendapatkan bayaran di muka. Jadi aku sudah meninggalkan amplop berisi sejumlah uang yang akan lebih untukmu hidup, sampai bulan depan.” Limora melirik tamunya yang sudah duduk di hadapannya, memberi isyarat agar si tamu mau menunggu. “Kurasa itu saja untuk saat ini. Aku tutup dulu, sampai nanti, Sia.”
Panggilan berakhir dan sebuah pesan masuk berisi alamat rumah baru Sia, yang jaraknya memang bisa ditempuh dengan berjalan kaki ke tempatnya bekerja.
Sedangkan Limora tersenyum senang, ketika tamunya memesan minuman termahal yang ada di bar itu. Semua seakan berjalan sangat mulus seperti harapan besarnya.
“Berikan nomor si pelayan itu, Limora Catty.” Si tamu mendorong ponsel miliknya ke hadapan Limora.
“Ada apa? Tuanmu ingin memarahinya?” Meski bertanya seperti itu, tapi Limora tetap mengetik dan menyimpan nomor kontak Sia di dalam ponsel si tamu.
“Tidak. Justru aku mendengar Tuan Rigel memuji pekerjaan Anak buahmu. Jadi kurasa, itu pertanda baik.”
“Lalu untuk apa kau perlu nomor kontaknya?” Limora menyerahkan ponsel itu pada pemiliknya.
“Untuk memberi perintah secara langsung. Kurasa mulai sekarang, aku yang akan berkomunikasi langsung dengannya.” Si tamu merogoh sakunya, meletakkan beberapa lembar ratusan ribu, lalu beranjak dari kursinya.
“Aku harap, kau juga akan menghubungiku sesekali,” tawa Limora, dia mendadak tertarik pada pelayan setia Rigel Auberon, Yoan Bailey. Meski Limora sadar, dia lebih tua hampir lima belas tahun dari pria muda berkulit putih pucat itu.
Si tamu, Yoan Bailey berhenti bergerak. Menatap Limora dalam pandangan penuh kehati-hatian. “Aku rasa, kau paham, bahwa aku terlalu muda untukmu.”
“Aku bercanda.” Limora mengibaskan tangannya, beruntung kondisi bar sedang dalam keadaan sepi pengunjung, sehingga rasa malunya tidak terlihat jelas. “Jangan terlalu serius dalam menjalani hidupmu, jika kau tidak ingin cepat mati.”
Setelah mendengus dan memilih tidak menjawab, Yoan berbalik dan benar-benar pergi kali ini.
Di luar, sebelum masuk ke mobilnya, dia menyempatkan diri untuk menghubungi gadis bernama Galexia Pandora. Yoan penasaran pada Sia, gadis yang bisa membuat Tuannya merasakan kesempurnaan seperti yang diinginkan seorang Rigel Auberon.
Bersambung.
“Nona Sia, benar?” Yoan langsung bertanya ketika nada tunggu diseberang menghilang.“Ya, benar. Maaf ... dengan siapa aku bicara?” Sia baru saja melepas mantel hijau tua kumal pemberian Limora—lagi—dari tubuhnya. Berdiri terpaku di sudut ruangan. Khawatir akan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan.“Aku Yoan Bailey, pelayan Tuan Rigel,” jawab Yoan.“Apa? Siapa itu? Lalu ... maksudku, ada hubungan apa—”“Ah, Limora Catty tidak memberitahumu apapun?” sela Yoan. Dia mengusap tengkuk sekilas, merasa sedikit berdebar karena suara halus bergetar dan lembut dari seberang.“Tidak, tidak ada,” jawab Sia cepat. Dia masih berdiri, menatap keluar jendela. Memperhatikan daun-daun berguguran dari pohon samping rumah, sambil berpikir dengan baik, apa ada kesalahan yang telah dia perbuat yang melibatkan Limora, atau tidak.“Akan kujelaskan, singkatnya, kau bekerja di rumah Tuanku yang bernama Rigel Auberon. Mulai hari ini, segala perintah atau hal yang dii
Sia terperanjat saat berpapasan dengan Rigel di halaman samping. Nyaris tersandung gulungan selang air, Rigel mencegah itu terjadi dengan menangkap lengan kanan Sia.Sadar akan kesulitan yang akan didapatkannya, Sia segera menarik kembali tangannya dari cengkeraman Rigel.Mundur dua langkah, Sia gugup karena yakin bahwa pria dihadapannya ini adalah si pemilik rumah. Meski begitu, Sia bersyukur karena dia tidak melihat sesuatu yang buruk tentang majikannya. Masa depan penuh darah atau kecelakaan yang bisa mengancam nyawa.Rigel memandangi telapak tangannya yang baru saja dia gunakan untuk memegang lengan Sia. Baru kali ini Rigel memegang seseorang lebih dari beberapa detik, jika itu menyangkut hal yang mendesak atau mendadak.Di luar itu, dia berusaha untuk tidak menyentuh, apalagi memegang seseorang. Rigel membenci hal itu. Sentuh menyentuh membuatnya muak.“Maaf, Tuan ...” Sia bergetar, menghindari kesalahan, tapi baru saja dirinya justru be
“Kau harus tetap hidup.” Ucapan Yoan membuat Sia membuka kedua matanya. Seakan bagai nyata, dia melihat tubuh Yoan melindunginya dari sesuatu.Kedua mata Sia memicing, keadaan sekeliling memperlihatkan reruntuhan bangunan dari atas satu persatu jatuh ke bawah. Sia berbaring dengan tubuh Yoan di atasnya, melindungi Sia dari reruntuhan.Yakin ini hanya sebuah mimpi, pemberitahuan dari penglihatannya, Sia mengusap darah yang mengalir turun ke pelipis Yoan. “Ya. Aku akan terus hidup bersamamu. Jangan khawatir, mulai sekarang, aku hidup untuk melindungimu.”Sementara di dunia nyata, Yoan sudah membaringkan tubuh Sia di ranjangnya. Dia bahkan tidak meminta Rigel untuk bersedia memberikan kamar tamu agar Sia bisa istirahat di sana.Rigel mengantar Dokter Fredy ke depan pintu dan bicara singkat mengenai tubuh Sia yang kuat, serta dia yang ternyata memiliki riwayat tubuh dalam masa pemulihan, dan memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.Berenc
Berjalan beriringan, Rigel memutuskan untuk mematikan mesin mobil saat Sia memberitahu bahwa tempat tinggalnya, berjarak dekat dari rumah mewah Rigel.“Sejak kapan kau tinggal di rumahmu itu?” Pertanyaan Rigel lebih mirip curiga. Dia memang tidak menyukai segala bentuk pengintaian orang asing terhadap dirinya.“Sehari setelah aku bekerja di rumah Anda.”“Kau sengaja mencari yang dekat dengan rumahku?”“Mungkin, ah, maksudku, bukan aku yang mencarinya, tapi Catty yang menyediakannya untukku.”“Catty? Siapa itu?” Rigel mengernyit. Dia tidak tahu apapun dan memang tidak ingin tahu mengenai kehidupan para pekerja di rumahnya, seharusnya begitu, karena Rigel selalu seperti itu sejak dulu, sudah berlangsung dalam waktu yang lama.Tak perlu peduli, mereka tidak setara. Jika Rigel membuka jalan hingga terbuka, para pekerja itu akan masuk dan merusak dinding penghalang antara keinginan tidak tersentuhnya dengan ketamakan mereka yang menginginkan lebi
Sia gugup, bingung. “Ke rumah Anda, Tuan?”“He-em, ayo cepat. Aku lelah dan ingin segera tidur di ranjangku.” Rigel tanpa sadar mengulurkan tangannya, tidak memberi Sia waktu untuk berpikir, dia menarik tangan Sia. Melangkah santai menyeberangi jalan.Sia tidak keliru, dia sengaja tidak menepis tangannya dari genggaman Rigel, karena ingin mencoba lagi untuk memastikan bahwa memang benar, Sia tidak bisa melihat apapun masa depan buruk dari Rigel meski mereka sudah bersentuhan beberapa menit.Rigel tidak mengerti ada apa dengan dirinya. Sudah selesai menyeberangi jalan, hati dan isi kepalanya bekerja sama untuk tetap menggenggam tangan Sia dengan niat sampai mereka tiba di rumahnya.Genggaman tangan mereka basah. Itu lucu karena kedua telapak tangan mereka sama-sama berkeringat akibat gugup.“Apa aku pria yang semudah ini? Kenapa berpegangan tangan saja sampai membuatku berkeringat dingin?” gumam Rigel kasar, dalam hatinya. Dia melirik Sia yang diam
“Kau cantik. Tidak berniat menjadi model atau bintang iklan?” Rigel masih memperhatikan wajah Sia tanpa malu-malu. “Aku memiliki teman yang bisa membantumu.”Sia terperangah, menyadari kesalahan fatalnya yang lancang mengusap keringat di kening Tuannya. Tapi berhubung Rigel tidak membentaknya, Sia hanya diam dengan tangan yang sudah dia tarik kembali ke samping tubuhnya.“Sepertinya tidak, Tuan.”Rigel tetap mempertahankan kedekatan mereka, mencari-cari kesungguhan di wajah Sia. Biasanya, tidak ada wanita yang menolak saat ditawari pekerjaan menjanjikan tidak hanya dalam segi materi, tapi juga ketenaran.Sia menolaknya. Rigel tidak habis pikir. “Kenapa? Kau mengira aku akan membohongimu?”“Tidak, tidak. Aku sama sekali tidak berpikir begitu, Tuan.”“Lalu?”“Aku sudah cukup senang bisa bekerja di sini. Membersihkan rumah dan memasak untuk Tuan dan Kak Yoan.”“Begitukah?” Rigel mendadak menemukan ide gila. “Kalau begitu, coba pel
Sebuah ciuman mendarat di pipi kanan Sia. Semburat merah muda seketika hadir kembali di wajah si gadis pelayan rumah.“Setelah sarapan, temui aku di alamat ini,” kata Rigel, mendorong kartu namanya ke arah Sia, “cepat ambil.”Dengan malu yang tidak tertahankan, Sia mengambil kartu nama itu dan memasukkannya ke saku gaun semalam yang bahkan tidak dia ganti karena tak ada pakaian wanita di rumah ini. Sia menolak dengan halus saat semalam Rigel menawarinya untuk mengganti pakaian Sia dengan kaus longgar milik Rigel, tapi tanpa bawahan.Itu akan sangat memalukan bagi Sia yang harus tetap membersihkan rumah dengan kaus kedodoran, sementara ada satu orang pria lagi di rumah ini yang bisa melihatnya berpakaian seperti itu.Tapi Sia bingung untuk kesekian kalinya, ketika Rigel mengatakan bahwa dia menyukai aroma Sia. Padahal Sia hanya mandi menggunakan sabun cair yang ada di kamar mandi khusus tamu pagi-pagi sekali tadi dan tidak mengganti pakaiannya.Yoan
Rigel benar-benar tertidur setelah Sia mengusap-usap perutnya yang rata, dalam beberapa menit berlalu. Merasa canggung, Sia perlahan-lahan duduk dan bersandar di kepala ranjang, setelah memastikan bahwa Rigel benar-benar sudah tidur dengan nyenyak.Jantung Sia masih saja berisik. Dia tidak paham apa artinya. Tapi jelas, dia merasa sangat tidak nyaman berada di kamar Rigel berduaan saja. Pikiran Sia menerawang jauh, ada perasaan ingin menyerah dan berhenti bekerja di sini, di rumah mewah milik pria yang kini tertidur pulas di sampingnya.Tapi jika mengingat bahwa ini bukan hanya tentang pekerjaan, tapi tanggung jawab Limora Catty terhadap dirinya di depan Rigel dan Yoan, Sia resah.Sia sama sekali tidak sadar ketika Rigel terbangun dan menatapnya. “Kenapa berhenti?” keluh Rigel. “Lihat, aku jadi terbangun.”“Oh, maafkan aku, Tuan.” Sia panik, kembali merosot dan mendekati Rigel.“Peluk aku.” Tangan Rigel sudah terbentang.Sia ragu, tapi