*
Satu Minggu aku berkenalan dengan Mas Alex, dia orangnya sangat baik dan perhatian tak ayal jika aku pulang dari bekerja, shift 2 dia sering mampir membawakan makanan untuk ku.Aku selalu menolak, namun aku tetap tak bisa menolaknya, jika aku tak mau menerima dia selalu mengatakan, tak menghargai pemberian orang lain, dengan terpaksa aku menerima nya meskipun aku tak mau.
"Silvi," panggil Mas Alex dari luar seraya mengetuk pintu kontrakan ku.
"Iya Mas," gegas aku membuka pintu dan keluar dari kamar kontrakan, "Ada apa Mas?" tanyaku berdiri di ambang pintu.
"Sil, kita jalan yuk!" ajaknya.
"Kemana?"
"Ini kan malam Minggu, Aku ingin mengajakmu jalan! Ada sesuatu yang harus aku katakan sama kamu!" ucap Pria berkemeja putih dan celana jeans hitam penampilan sangat rapi dan wangi.
"Ya, ngomong aja! Disini juga gak apa-apa." Aku tergagap apa yang mau dia katakan, sampai mengajak aku pergi bersamanya.
"Sil, aku mau mengajakmu ke suatu tempat! Mau kan?"
"Eum, ya sudah aku ganti baju dulu." Aku pun kembali masuk ku kenakan dress putih lengan pendek pemberian Mbak Karina waktu itu, rambut panjangku, aku urai.
"Yuk Mas!"
Kami pun berlalu dari rumah kontrakan hingga sampai di suatu tempat, mataku mengedar ke sekeliling tempat ini, dekorasi cafe bernuansa alam di setiap kanan dan kiri tempat duduk para pengunjung.
Di tumbuhi palem raja kursi-kursinya di letakan di luar dengan lampu-lampu kelap-kelip yang di lilitkan di setiap pohon palem ada juga lampu gantung yang indah dan terhubung di atas pohon ke pohon.
"Silvi, ayo!" ajak Mas Alex.
Aku pun mengekorinya dari belakang, kami duduk di pojok cafe yang sudah di pesan Mas Alex sebelumnya.
"Mas, kenapa aku di bawa kesini?" tanya ku.
Mas Alex meraih tangan ku lalu mengusap-ngusap kan ibu jarinya di punggung tangan ku. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Sil," tatapan matanya sangat tajam membuat aku tak sanggup untuk melihat sorot mata indahnya, "Silvi, malam ini aku ingin mengungkapkan perasaan ku!"
"Maksud Mas Alex." Aku mengerutkan kening terheran dengan ucapan Pria di hadapan ku ini, Mas Alex mendehem.
"Silvi, aku suka sama kamu, apa kamu mau menerima cinta aku?"
"Tapi Mas, aku belum mau berpacaran, aku masih ingin fokus bekerja,"
"Kenapa, kamu menolak ku Silvi?"
"Mas, aku bukan menolak mu, tapi aku belum ingin memiliki kekasih,"
"Sil, asal kamu tau, Aku suka sama kamu dari semenjak kita bertemu di cafe itu,"
"Tapi Mas,"
"Apa kamu sudah punya kekasih?" sela Mas Alex.
"Gak Mas, aku belum punya pacar, tapi aku ingin mengejar impian ku dulu, untuk membahagiakan orang tua dan Adik-adik ku, aku tak mau, jika aku memiliki kekasih, dan nantinya aku di ajak menikah, aku tak bisa lagi membantu ekonomi keluarga,"
"Ya sudah, aku gak akan maksa." Mas Alex nampak begitu kecewa dengan penuturan ku, dari raut wajahnya dan juga sikapnya yang mendadak dingin.
"Mas, kamu marah?"
"Gak,"
"Aku butuh waktu Mas, untuk memikirkan semuanya, ku harap Mas Alex mengerti!"
"Ya... Aku ngerti, kamu mau pesan apa Sil?" tanya Mas Alex, sambil melihat menu yang tertera di buku.
"Terserah Mas Alex!"
Aku bingung harus berkata apa, sebenarnya aku suka kepada laki-laki yang ada di hadapanku ini, namun aku ke sampingkan keinginan ku untuk menerima cinta Mas Alex, aku tak mau memiliki kekasih dulu.
Tekad ku hanya satu membahagiakan keluarga, baru aku akan memikirkan kebahagiaan ku. Kami makan malam berdua suasananya sangat romantis, namun aku melihat kekecewaan dari gurat wajah Pria tampan ini.
*
Beberapa hari kemudian, pukul 12.00 di tempat ku bekerja, aku sangat sibuk melayani para tamu, dengan cekatan aku mengantarkan pesanan ke setiap meja pelanggan, aku sudah mahir dengan pekerjaan ku ini, kujalani dengan senang hati meski gaji tak seberapa, aku merasa nyaman dan betah.
"Hai Nona, sini!" ucap Pria yang biasa duduk di kursi paling pojok dekat dinding kaca, tempat favoritnya, setiap hari dia duduk di situ dengan rekannya.
Tak jarang dia meeting dengan klien nya di sini, entah apa pekerjaan Pria itu aku tak tau, dan tak ingin tau, namun yang aku suka dari Pria aneh tapi tampan dan maskulin itu, dia sering memberikan ku uang tip.
Sikapnya kini lebih sopan dan ramah padaku, tak seperti pertama bertemu, namun yang membuat hati ku bertanya-tanya kenapa dia tak mau di layani oleh waitress lain kecuali aku.
"Iya Pak," ucapku ramah sambil mengulas senyuman.
"Bawakan kami dua moccacino ya!" pintanya.
"Baik, apa ada lagi yang mau anda pesan?"
"Tidak, hanya itu saja." Aku pun berlalu dari hadapannya dan kembali membawakan pesanan Pria itu.
"Silahkan Pak!"
Dia mendongak sambil menyunggingkan senyum manis di bibir seksi nya, dia mengusap akar jambang yang menghiasi wajah tampannya. Aku terpanah melihat senyumnya yang memesona.
"Terimakasih,"
"Sama-sama." Aku mengangguk lalu berbalik badan dan melangkah.
"Nona,"
"Apa Pak?" Aku kembali ke hadapannya.
"Kamu meninggalkan ini," ucapnya seraya meletakkan selembar uang kertas berwarna merah.
"Terimakasih Pak."
Dia hanya mengangguk, aku heran ada apa di balik semua ini, kenapa dia baik sekali pada ku, aku pun berjalan menuju dapur.
"Silvi," ada yang memanggilku seperti suara Mas Alex, aku pun menoleh seketika ke arah suara itu.
"Mas."
Aku tersenyum bahagia melihat dia kembali, ku menghambur padanya, hati ku sangat senang bertemu lagi dengan Pria itu, aku merindukan kan nya, selama 3 hari dia ke luar kota, dan kami tak pernah tau kabar satu sama lain.
Karena aku tak memiliki alat untuk berkomunikasi, meski Mas Alex mau membelikan ponsel untuk ku, tapi aku menolaknya, aku tak mau merepotkan orang lain, aku memang belum mengungkapkan perasaan ku padanya.
Aku sangat mencintai dia, tapi aku tak mau ada ikatan di antara kami, cukup menjadi teman dekat saja, sebelum aku mewujudkan impian ku, untuk membahagiakan orang tua dan Adik-adik ku.
"Sil, gimana kabar mu?" ucap Mas Alex kami duduk di kursi meja tamu.
"Baik, kamu sendiri Mas?"
"Lebih baik, apalagi setelah bertemu kamu," ucapan Mas Alex membuat ku tersipu malu, Mas Alex membenahi posisi duduknya dan meraih tangan ku, tatapan mata kami saling bertemu.
"Nona, mana pesanan saya?" teriak Pria yang tadi, aku pun menoleh gegas ku lepaskan tangan Mas Alex.
"Perasa'an dia belum memesan makanan atau minuman lagi pada ku," batinku,
"Tar ya Mas, kita ngobrolnya nanti, setelah aku pulang kerja! Gak enak takut di adukan oleh pelanggan pada Bu Maya, karena aku kurang profesional,"
"Iya, tapi Sil, Mas juga mau pesan minuman!" ujar Mas Alex.
"Ya udah, tar aku bawakan, tapi sebentar, aku mau melayani tamu yang lain dulu! Dia adalah tamu spesial di sini." Aku bangkit, Mas Alex mengangguk menuruti permintaan ku.
Aku berlari ke arahnya, "Iya Pak, mau pesan apa?" ucapku berdiri di depan dua Pria aneh.
"Saya mau pesan steak, yang cepat ya, jangan lama-lama!" Dia menatapku tajam sambil menggebrak meja. Aku tertegun dengan sikapnya yang tiba-tiba kasar,
"Nona, cepat bawakan pesanan saya!" Aku pun mengangguk patuh.
"Baik Pak, apa ada lagi yang mau Bapak pesan?"
"Cukup itu saja," ucapnya dengan sikap dingin, padahal beberapa menit sebelumnya dia begitu ramah padaku, dari tatapan mata Pria itu sepertinya dia tak suka aku berbicara dengan Mas Alex, tapi aku tak tau apa yang sedang dia fikirkan, hanya dia yang tau.
Gegas ku masuk ke dapur dan menginformasikan kepada kepala dapur, tak lama aku keluar membawa minuman untuk Mas Alex terlebih dahulu, sementara steak untuk Pria aneh itu di siapkan.
"Mas, ini jus nya." Aku meletakan gelas berisi jus alpukat untuk Mas Alex.
"Nona," teriak Pria itu lagi, aku berlari ke arahnya.
"Ada apa Pak?"
"Mana pesanan saya?"
"Sedang di siapkan Pak,"
"Hm..." Dia membuang nafas kasar, lalu dia menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan.
Tak berselang lama aku pun kembali mengantarkan steak untuk nya, "Ini Pak," ucapku gugup.
"Kenapa lama sekali? Saya tidak suka di selang oleh orang lain, kenapa kamu berani berbuat seperti itu?"
"Maksud Bapak apa? Saya tak mengerti,"
"Saya pesan duluan, tapi kenapa kamu mengantarkan pesanan kepada Pria itu terlebih dahulu?"
"Tapi Pak, kan saya sudah katakan tadi, pesanan Bapak sedang di siapkan, makanya saya mengantarkan minuman dulu ke pelanggan lain, sementara menunggu pesanan Bapak matang,"
"Saya tidak suka, sikap kamu yang kurang profesional, saya bisa adu kan kamu pada owner, biar kamu di pecat!"
"Tapi Pak, biasanya juga seperti itu, jika pesanan pelanggan sedang di siapkan, kami para waiters mengantarkan pesanan ke pelanggan lain sambil menunggu masakan siap,"
"Saya tidak peduli."
Ya Tuhan, ternyata aku salah menilai laki-laki ini ku kira dia benar-benar baik, tapi dia pemarah, rasanya aku tak mau lagi melayani dia, lebih baik aku melayani semua pelanggan di cafe ini, dari pada melayani dua Pria aneh ini.
"Ada apa ini?" ucap Bu Maya tiba-tiba dia ada di samping ku. Aku menunduk takut akan di marahi oleh Bu Maya.
"Bu, ini pelanggan kita, dia tak mau mengerti, tadi kan pesanan dia sedang di siapkan, Sementara itu aku mengantarkan minuman dulu pada pelanggan lain, tapi Bapak-bapak ini tak mau mengerti, mereka ngotot aku bersikap tak profesional,"
"Ini karyawan Ibu, tak mampu bekerja dengan baik," tukas Pria berjambang itu."Iya kami, merasa tak nyaman dengan pelayanan cafe ini, karena waitress anda kurang profesional, sebaiknya anda memilih karyawan yang bisa di andalkan!" timpal Pria berjas hitam tak memiliki jambang, namun tubuhnya sama-sama besar.Aku menarik nafas kesal, "Bu, kan biasanya kami para waiters, bekerja seperti yang sudah di perintahkan, dan sudah sesuai prosedur yang di tentukan,""Silvi, kamu jangan membantah dan jangan bersikap seperti itu pada Pak Devan dan Pak Reno! Kamu harus mengedepankan dan mengutamakan kenyamanan Pak Devan!" omel Bu Maya."Tapi Bu,""Kamu ikut, ke ruangan saya sekarang!" Bu Maya sepertinya marah besar padaku, dari sikapnya yang ketus, padahal aku tak membuat kesalahan, tapi kenapa dua Pria itu malah mengintimidasi ku, aku benar-benar tak mengerti.Ku melirik pada wajah dua Pria aneh itu, mereka saling menoleh dan tatapannya bertemu, sambil menunju
Kurapikan meja dan kursi bekas tempat duduk Devan dan Reno, makanan yang ia pesan tadi sama sekali belum ia sentuh dan di tinggal begitu saja."Dasar, orang kaya," gerutuku sambil meletakan dua piring berisi steak ke atas nampan, juga gelas berisi Orange jus yang masih penuh ku taruh di sudut meja."Mentang-mentang banyak uang, tak pernah menghargai makanan, dan kerja keras orang lain, kalau dia tak mau memakannya, ya udah, gak usah di pesan, untuk apa coba, dia memesannya padaku, kalau ujung-ujungnya gak di makan, hanya ingin mengerjai ku saja, gara-gara dia, kan aku di marahi sama Bu Maya," omel ku sambil bergumam.Aku tak peduli meski banyak pasang mata para pelanggan memerhatikan ku, karena aku terus saja bersungut-sungut, rasa kesal yang masih berkecamuk di dalam dada ini, membuatku tak puas-puasnya mengomel, gara-gara ulah Pria tampan tapi aneh tadi.Beberapa pengunjung ada yang menggeleng pelan, ada juga yang menatapku dengan tatapan bermacam art
"Mbak, jadi gak nganterin aku ke rumah Devan?""Ma'af ya Sil! Aku lupa, kalau aku gak bisa antar kamu, hari ini aku mau ke rumah Kakak ku, Ma'af ya sekali lagi!" ucap Mbak Ridha sambil menggenggam tanganku."Eum, ya sudah," jawabku sambil memberengut.Aku sedikit agak kecewa karena Mbak Ridha tidak jadi menemani ku ke rumah Devan, kemarin sore dia berjanji akan mengantarkan ku, namun karena dia ada urusan lain, akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri.Sebenarnya aku sangat lelah dan mengantuk, ingin sekali aku merebahkan tubuh ini dan beristirahat sejenak, karena hampir semalaman aku terjaga mataku tak kunjung terpejam, di otakku terus berputar memikirkan perkataan Mbak Ridha, yang mengusulkan ku untuk menerima tawaran kerja dari Devan, agar aku bisa melunasi hutang ibu.Atas dorongan dari Mbak Ridha, akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran Devan, meski aku tak tau pekerjaan apa yang akan aku jalani nanti, memang ada sedikit keraguan di hati
"Sudah Tuan, saya sudah fikirkan semuanya, dan saya akan berhenti dari pekerjaan, saya, besok saya akan kirim surat pengunduran diri,""Eum, baik kalau begitu, jadi, Anda bersedia bekerja dengan saya? Menjadi asisten pribadi saya!" tanyanya lagi meyakinkan."Iya, Tuan, saya bersedia,""Apa Anda bersedia, dengan pekerjaan apapun yang akan saya perintahkan, dan akan Anda turuti! Menjalankannya dengan baik!""Iya,""Nona Silvi, apa Anda sungguh-sungguh?" tanya Devan lagi, itu pertanyaan sudah kesekian kalinya yang keluar dari mulutnya."Siap Tuan," jawabku tegas. Devan menoleh pada Pak Reno seraya menganggukkan kepala di barengi dengan kedipan mata.Aku tak tau maksudnya apa? Dan aku juga tak tau itu kode apa, yang di berikan oleh Devan pada Pak Reno. Devan bangkit dia menggerakkan kepalanya, Pak Reno pun mengambil alih posisinya. Dia duduk di kursi yang barusan di duduki oleh Devan, Pria yang di panggil Bos itu pun berdiri menyaksikan kami.
"Silahkan masuk Nona! Ini kamar Anda,""Iya, terimakasih Bi," jawabku pada perempuan berbadan gemuk rambut pendek sebahu, dengan baju putih tulang dan rok span setengah betis, namanya Bi Rika, sebelum mengantar ku ke kamar ini, aku di kenalkan oleh Devan, dia adalah kepala asisten rumah tangga."Ayo masuk! Tak usah sungkan!" serunya ramah, sambil membukakan pintu kamar, yang berada di lantai dua, rumah Devan yang luas dan megah."Iya Bi," angguk ku dengan rasa canggung, aku berjalan masuk ke kamar yang di tujukan untuk ku, aku mendongak, pandangan ku mengedar ke seluruh ruangan."Non, silahkan istirahat dulu! Kalau mau ganti baju, silahkan ambil! di dalam lemari yang sudah tersedia, Tuan muda sudah mempersiapkan semua kebutuhan Non Silvi, di sini!" ucapnya ramah."Terimakasih banyak, Bi," ucapku, tak ada kata lagi yang harus aku ucapkan selain kata itu."Non, bila mau mandi, kamar mandinya di sebelah sana!" ucapnya lagi menunjukkan jarinya k
Devan membungkukkan badannya kaki dia mulai naik lagi ke atas tempat tidur, mendekati ku satu tangan menumpu, di sisi kanan tubuhku."Saya suka, dengan gadis seperti mu, malu-malu kucing, berpura-pura menolak, padahal kamu menginginkannya bukan? Hm."Tangannya meraih pipi ku, lalu jemarinya menyisir rambut. Dia menarik kepalaku mendekatkan wajahnya dengan wajahku kembali. Nafasku semakin sesak, aku tak tau harus berbuat apa, tanganku mengepal seraya memegang kerah bajuku dengan kuat, satu tanganku meremas sprei putih motif mawar, pembungkus kasur busa yang aku duduki.Tubuhku gemetar, keringat dingin pun bercucuran membasahi pelipis, kakiku lemas, rasanya aku ingin sekali berlari, dan meloloskan diri dari cengkeramannya, namun apalah daya. Aku tak bisa berbuat apa-apa tubuhku seakan membeku, tak ada kekuatan dalam diri ku, untuk melawan Pria bejat di hadapan ku ini."Tolong Tuan, lepaskan saya!" Aku tak bosan-bosannya meminta belas kasih darinya agar di
Aku sangat letih, tenggorokan kupun rasanya sangat haus. Tanganku bertumpu di lantai untuk membantu ku bangkit, lalu ku duduk di tepian ranjang. Aku meraih gelas bening berisi air mineral, dan meminumnya dengan segera hingga tak bersisa, rasanya segar menjalari tenggorokan ku.Ku usap wajah ini, dari atas sampai leher masih terasa bekas ciuman baj*ngan itu, aku sangat jijik benar-benar jijik. gegas ku berlari ke kamar mandi yang berada di seberang tempat tidur, di balik tembok dekat lemari pakaian.Ku putar keran dan air pun mengalir, aku menadahnya dengan tangan, ku basuh muka sampai ke leher, dan mengambil sabun wajah yang berada di depan cermin, ku tuangkan ke telapak tangan dan menggosoknya ku usapkan ke wajah ini hingga berbusa.Wangi dari aroma sabun sangat menyegarkan membuat diri ini rileks, sejenak aku melupakan kejadian yang tadi ku alami, berharap si Devan tak kembali lagi ke dalam kamar ini, setidaknya sampai besok malam, atau beberapa jam kedepan.
"Cukup Tuan! Jangan hancurkan masa depan saya! Apa salah saya?" ucapku dengan suara lirih."Kamu tak punya salah, yang jadi masalahnya, kamu terlalu cantik, dan kau mengingatkan ku pada orang yang pernah mengisi hidup ku, tapi dia kini telah pergi,""Lalu, apa hubungannya dengan saya?"Dia menggeleng sembari menarik sudut bibirnya. Devan membungkukkan badan ke arah ku, menumpu kedua tangannya di sisi tubuhku, kedua kakinya melebarkan paha ku, dalam hitungan detik mahkota ku yang sangat berharga akan segera di renggut oleh pria bej*t ini. Kini aku benar-benar hancur hanya bisa pasrah dengan nasib yang aku alami."Pejamkan mata mu sayang! Rasakan dan nikmati sentuhan yang aku berikan! Aku takkan menyakiti mu, aku hanya ingin membawamu ke dalam puncak kenikmatan!" bisik Devan.Dia mendekap tubuh ku dengan erat, bibirnya menepi di bibirku aku mengatup dan tak sudi membukanya, wajahnya turun menyusur ke leher pangkal janggut dan jambangnya yang kasar menyent