Share

Lima

Kurampas cepat kartu nama yang bertuliskan CV Buana. Benar, ini atas nama Ayu Ningtias. Nama yang kusebut dalam ijab kabul sembilan tahun lalu, hanya saja tidak ada bintinya.

"Maen ambil aja, sih," keluh Arman dan mengambil kartu nama itu.

Aku diam membisu. Selama ini Ayu menyembunyikan sesuatu dariku. Dia bekerja tanpa izin suaminya. Mana bisa seperti itu! Sudah jelas aku melarangnya bekerja, kenapa malah dia diam-diam dariku? Pantas saja dia seperti tak membutuhkan aku. 

Aku mendekati Arman yang memulai menelepon Ayu. Beberapa menit ia berbicara, tapi aku masih diam dan tak mengatakan jika itu benar istriku. 

"Oke, Bu Ayu. Kami tunggu datanganya. Kalau bisa datang ke kantor dan bertemu langsung dengan HRD atau CEO kita, bagaimana?" Arman bertanya pada Ayu. Namun, aku tidak tahu apa jawabannya.

"Oke, pukul 15.00. siap, nanti saya kirim alamat kantor kami." Lagi, Arman mengakhiri pembicaraan.

Jadi, hari ini Ayu akan datang ke kantor? Lalu, anak-anak dia taruh di mana? Apa dia bawa apa dia titip ibuku seperti waktu itu?

Pikiran kacau kini berkecamuk membuat aku tak konsentrasi dalam pekerjaan. Menarik napas panjang dan mencoba tenang, tapi tetap saja Ayu benar-benar membuat aku marah. 

Tidak seharusnya dia bekerja. Harusnya dia di rumah bersama anak-anak. Bukan malah keluyuran seperti itu.

"Bro, diam aja. Kenapa?" Arman menyenggol sikuku.

"Ah, nggak. Ngantuk aja," jawabku berbohong.

Sepertinya aku harus tegas dengan istriku. Seperti ini bilang, laki-laki tidak boleh kalah dari perempuan. Jadi, istri harus menurut apa perintah suami. Tanpa terkecuali.

***

Aku seperti menghitung jam sejak tadi. Kulihat pergelangan tangan, jam kini menunjukkan pukul 14.30 dan sebentar lagi Ayu akan datang. Bagaimana caranya aku tahu jika itu istriku?

Napas memburu seperti ingin menumpahkan semua kekesalan. Namun, aku seperti tak berdaya menghadapi keputusa keras kepala istriku. 

Kembali mengingat saat kuputuskan satu tahun lalu setelah Bapak meninggal. Asih sudah masuk ke perguruan tinggi dan ibu berharap ia bisa melanjutkan masa depan dengan berkuliah.

Mbak Laras tidak mungkin membiayainya, begitu dengan Ibu yang menjadi janda. Sebagai anak laki-laki, kuputuskan untuk bertanggung jawab pada adikku.

"Aku nggak setuju. Kamu lihat nilai dia saja jelek, kalau kuliah, apa menjamin dia nggak buang-buang uang?" Ayu menolak dengan alasan Asih tidak pintar.

"Dia adikku, tanggungjawab aku sebagai kakaknya." Kembali aku menegaskannya.

"Pa, sejak mulai masuk sekolah SMA, dia sudah sering membuat ulah. Bolos dan melakukan hal yang tidak baik. Nilainya anjlok, setiap hari main dan main. Tolong pertimbangan lagi, Pa. Kita juga punya anak, kita harus nabung."

Darah berdesir saat mendengar Ayu menolak dan malah menjelekkan adikku. 

"Terserah, Mas. Kalau itu mau kamu, jangan salahkan uang kamu yang terbuang sia-sia!"

Aku tidak peduli dengan pendapatnya. Mulai saat itu aku mengencangkan ikat pinggang demi memasukkan Asih ke perguruan tinggi yang bagus. Uang pangkal yang fantastis mampu membuat satu gajiku habis. 

Namun, demi masa depan adikku. Aku tak masalah. Akan tetapi, mulai dari sana istriku mulai tak bersahabat. Mulai acuh dan tak banyak bicara.

"Bro, dipanggil ke ruangan Pak Erik. Katanya ada yang mau diomongin." Tepukan di pundak membuat aku terkesiap dari lamunan.

"Ada apa, ya?" tanyaku. 

"Nggak tahu." 

Gegas aku ke ruangan bosku. Jantung kok rasanya aneh, debar-debar bagaimana gitu. Membuka pintu setelah dipersilahkan masuk ternyata, wajah yang familiar ada di hadapanku. 

"Pak Damar silahkan," ujar Pak Erik.

Kaki rasanya sulit sekali untuk melangkah. Apalagi netra ini sama sekali tak bisa berkedip. Wanita di dahadapanku mampu membuat aku tak berdaya. 

Lutut semakin lemas, aku mencoba kuat melangkah dan duduk di hadapan Ayu istriku.

Ya, dia sudah datang. Dengan tampilan modis sama seperti gadis dulu. Bersama sang kakak, ia melempar senyum padaku.

"Kita akan bekerja sama dengan mereka, Bu Ayu dan Pak Arfan." Bosku antusias dan tak berhenti memandangi Ayu. Ini yang aku paling tidak suka, ia bekerja dan menjadi pusat perhatian.

Terpaksa aku berjabat tangan. Untuk pertama kalinya Mas Arfan menatapku sengit. Pasti ada sesuatu yang membuat ia seperti itu.

Lama kami berbincang, Ayu masih sama seperti dulu. Kecerdasannya begitu terlihat. Pantas saja kakaknya menggandeng sang adik untuk bisnisnya.

"Hmm ...." Tenggorokan terasa kering saat melihat Pak Erik menjabat tangan Ayu sembari tersenyum. 

"Terima kasih, Pak." Suara Ayu terdengar sangat lembut. Kalau di rumah aja, teriak sama suami.

Aku mengekor saat mereka ke luar. Untung saja Pak Erik tak mengikuti juga. Mas Arfan pamit ke kamar mandi, kesempatan aku bicara pada Ayu.

"Kamu nggak izin aku dulu bekerja seperti ini?" tanyaku memasang wajah marah.

"Untuk apa izin? Pasti nggak boleh, kan?" 

Baru satu jawaban aja sudah bikin hati kremes nih istri. Belum lagi jawaban yang panjang kaya kereta.

"Ya, aku suami kamu jadi---"

"Jadi, harusnya sadar bekerja untuk anak dan istri, bukan hanya untuk keluarga sendiri. Mana bisa saya melihat adik saya diperlakukan seperti tak berharga dengan uang masak yang lebih kecil dari PRT!" 

Kalimatku terpotong oleh Mas Arfan yang tidak aku sangka sudah berada di belakangku. Pantas saja ia sinis, ternyata Ayu sudah menceritakan semuanya. 

Aku mengusap wajah kasar, kenapa harus ada keluarga yang ikut campur? Pasti panjang ini ceritanya. Mampus dah! 

***

"Mas mau kalian menyelesaikan masalah dengan bijak. Dan kamu, Damar, kalau sebagai kepala rumah tangga kamu tidak bisa menyelesaikan masalah kalian, saya tunggu di rumah ibu. Saya yang bantu selesaikan. Masih untung adikku tidak langsung menalakmu. Bisa panik kamu," ungkapnya sambil terkekeh.

Aku menunduk malu, masih sempat Mas Arfan mengejekku. Bukan panik lagi, Mas, tapi bengek aku kalau sampai Ayu seperti itu. Jagan sampe deh.

"Iya, Mas. Terima kasih."

"Biar Ayu pulang dengan saya. Kamu selesaikan saja pekerjaan dengan baik. Jangan sampai, sudah dikasih uang belanja sedikit, malah kamu nggak fokus dan bikin kerjaan berantakan. Nanti malah di pecat, adik saya lagi yang susah," ucap Mas Arfan.

Astaga, semakin lama mereka kakak beradik itu kenapa begitu kompak. Mas Arfan yang biasanya ramah, kini begitu dingin dan tak memandang bulu saat ia mengeluarkan kalimat pedas.

"Anak-anak di mana?" tanyaku.

"Di rumah ibuku. Tenang saja." Ayu menjawab mantap.

Ayu pamit dan melangkah mengikuti Mas Arfan dari belakang. Tiba-tiba saja Bu Dinda menghampiriku. 

"Pak, Bu Ayu dilihatin saja, sudah jauh orangnya. Inget istri di rumah," ujarnya sembari menyikutku.

Aku mengernyitkan kening, jadi ia berpikir aku terpesona dengan istriku sendiri? Ah, aku lupa kalau mereka tidak tahu kalau Ayu istriku. Bu Dinda berlalu setelah tersenyum tidak jelas padaku.

Kepala terasa pening, ruang kerja menjadi tujuan utama. Walau banyak pendingan pekerjaan menumpuk. Benar kata Mas Arfan, jangan membuat diri susah karena terlalu banyak pikiran. 

Ah, semangat Damar, kalau mengikuti arus, pastilah semua pekerjaanmu terbengkalai. Dan, argh ... aku tidak bisa membayangkan diri ini menjadi pengangguran.

Kuremas rambut pelan. Sepertinya kalau aku cuci kepala sambil dipijat enak. Nanti saja aku mampir ke babershop.

"Bro, muka lecek, kenapa?" tanya Arman. 

"Suntuk." Aku menjawab cepat.

"Pak Damar mau dipesankan teh hangat ke OB?" Aku melongok kala Lisa menawarkan minum.

Aku menggeleng cepat, lalu berterima kasih. Untuk kedua kalinya aku menolak tawaran Lisa. Bisa kulihat wajahnya merengut, maaf, aku tidak mau membuat dia berpikir aku membuka jalan perselingkuhan.

Astaga, percaya diri sekali aku. Mungkin Lisa hanya berterima kasih, bukan suka sama suami orang. Aku kembali menenggelamkan kepala di meja. Berharap sedikit menghilangkan rasa pusing ini.

***

Jam pulang kerja sudah tiba, aku gegas melajukan mobil dengan cepat menuju rumah. Berharap bisa bertemu dengan Ayu dan menyelesaikan masalah ini. 

Kepala rasanya pusing sekali kalau belum selesai semua. Tidak tenang yang aku rasakan dan takut jika Ayu pergi lagi. Pernah saat itu ia sedang marah. Tanpa kuduga, ia pergi membawa Anita. 

Kepala rasanya sakit, jantung begitu cepat berpacu saat aku pulang Ayu tak ada di rumah. Saat itu, aku berjanji tidak akan membuat Ayu kecewa. 

Semoga saja Ayu masih berada di rumah dan tidak melakukan hal aneh seperti yang dikatakan Mas Arfan, seperti menggugat cerai. 

Aku tidak berpikir sampai sana karena Ayu masih santai walau dia seperti acuh padaku. Jika Mas Arfan tak mengatakan hal itu, mungkin aku tidak akan berpikir sejauh itu.

Melihat Pak Bos menatap Ayu saja dada ini terasa panas. Sial sekali aku hari ini.

Kutarik napas panjang, akhirnya sampai juga di rumah. Semoga saja semua bisa selesai dengan baik dan Ayu kembali seperti dulu.

"Katanya meeting?" Sebuah pertanyaan terlontar saat aku memasuki rumah.

Ayu belum tidur, sepertinya baru selesai makan. Bekas piring saja masih ia pegang. 

"Batal, mungkin besok," jawabku asal.

Meeting hari ini memang batal karena klien meminta tukar jadwal. Untung batal, jadi aku bisa pulang lebih cepat.

Ayu melangkah ke dapur mencuci tangan dan piring. 

"Ma, kita harus bicara." Aku langsung saja pada pokok pembahasan. Walau tubuh ini sudah gerah, tapi ini harus selesai.

"Kalau masalah pekerjaan tadi, aku nggak mau bahas."

"Kenapa nggak mau? Itu harus, loh. Kamu bekerja tanpa izin padaku, sudah jelas kamu salah. Malah nggak mau bahas." Aku mulai emosi, padahal baru saja sedikit bicara.

"Introspeksi, dong, kamu. Harusnya pikir, kenapa istri malah bekerja. Emang kamu mau tahu kalau uang belanja habis? 1.500.000 kamu kasih, 50.000 sehari. Kamu pikir cukup?" Ayu pun mulai sangat emosi sepertinya.

"Itu, kan, hanya uang makan. Biaya lain-lainnya, kan aku yang bayar," jawabku membela diri.

"Memang, tapi apa kamu mau tahu kalau aku jemput anak-anak sekolah pakai motor dan harus beli bensin? Belum jajan anak-anak, satu lagi, aku butuh juga butuh manjaiin diri. Ke salon dan belanja. Kamu pikir ngurus anak nggak stres?"

Rumitnya permintaan perempuan. Pakai manjaiin diri segala lagi. Sudah punya suami, tidak perlu-lah ke salon segala.

"Sudah laku, ngapain ke salon. Kamu udah cantik, Ma." 

"Emang laki-laki suka asal bicara. Istri udah laku, nggak usah dandan. Nanti, giliran selingkuh, pihak istri sah yang disalahin sama pelakor karena nggak bisa ngerawat diri, jadinya lakinya milih dia." Ayu tersengal-sengal, ia begitu emosi padaku.

Apa aku se-menyebalkan itu?

"Aku nggak begitu, Ma. Aku setia."

"Iya mungkin setia kalau di mulut."

"Ma, jangan meleber ke mana-mana, dong. Bahas saja yang seharusnya di bahas." 

"Oke, kalau mau kamu begitu. Aku minta stop memberikan aku nafkah sekecil itu. Kalau kamu tidak bisa berubah, aku kasih pilihan, kamu mau bawa Anita atau Bagas?"

Apa maksud Ayu? Apa dia meminta cerai dariku?

***Bersambung

Comments (7)
goodnovel comment avatar
BJ Chaniago
ini kayak nya cerita hidup seseorang yg sangat dengan aku. boleh tau ga siapa penulisnya atau narasumbernya.
goodnovel comment avatar
Maria Petra
ha,... ga sanggup juga klu begitu sabar yu
goodnovel comment avatar
Sumi Yatun
rasain emang 50.000,/hr cukup tuk makan ber 4 mikir dong
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status