Venus ingat saat ia turun dari podium, setelah Bu Mana mengumumkan dengan gemetar bahwa ia adalah seorang Bizura, seluruh yang ada di ruangan besar itu menjadi sangat hening. Pandangan para murid lain sungguh membuat gadis itu menggigil. Mereka menatapnya dengan sorot mata seakan dia adalah malaikat pencabut nyawa berwujud kalajengking raksasa. Ada ketakutan dan kekhawatiran yang begitu besar dalam tatapan mereka, tetapi yang paling membuat Venus takut adalah sorot kebencian yang tidak dikemukakan secara jelas oleh mereka. Kebencian itu tertutup oleh rasa takut, tetapi kau bisa merasakannya dengan jelas di udara.
Venus berjalan dengan langkah-langkah yang ia usahakan agar tetap tenang. Namun, udara seperti memaksanya untuk berhenti dan bersembunyi. Tatapan ratusan siswa dan belasan krona di ruangan itu menghunjam punggung dan seluruh tubuhnya. Rasa dingin yang menakutkan menyebar hingga ke dalam tulang-tulangnya. Rasanya butuh bertahun-tahun kemudian, sebelum akhirnya Venus tiba di meja tempat teman-teman barunya mengawasi dengan tubuh membeku.
“Lira Blezana.”
Suara Bu Mana terdengar samar-samar di telinga Venus yang memerah. Pemilihan Bakat berlanjut dengan ketegangan yang tak pernah memudar. Saat beberapa siswa mengawasi Venus secara diam-diam, Venus memergoki mereka dan balas menatap. Mereka mengalihkan pandang dengan begitu cepat, seakan dengan menatap saja akan membuat mereka mati di tempat. Sikap mereka padanya sungguh membuat Venus teringat akan tokoh fiksi Lord Voldemort. Saat ia menoleh, ia mendapati Shad yang sedang nyengir seperti biasa. Kenyataan itu membuatnya santai barang sebutir debu.
“Kau luar biasa,” kata Shad, alisnya naik turun dengan jail.
Lou menyeringai dengan tatapan sangat senang, seakan ia baru saja mendapat partner kejahatan langsung dari neraka, yang mungkin saja benar. Ris tampak khawatir, meski tak ada sorot menghakimi di matanya. Sedangkan Virzash cuma diam saja, kali ini Venus tak bisa menebak apa yang dipikirkan anak itu. Wajahnya sedatar kayu.
“Aku baik-baik saja,” ujar Venus, menenangkan Ris dengan agak sinis. “Bukan aku yang minta Bakat Rahasia ini.”
“Jangan jahat begitu, Ven,” tegur Virzash tiba-tiba. “Menjadi Bizura bukan berarti menjadi iblis juga. Kami tahu itu.”
Baru kali ini Venus melihatnya sebagai seseorang. Venus tidak tahu akhir-akhir ini tenggorokannya sering sekali terganjal batu khayali.
“Aku tidak jahat, Bro,” sahut Venus enteng sambil menepuk-nepuk bahu Virzash dengan sok akrab. “Tenang saja.”
“Bizura atau bukan, kau tetap keren,” ujar Shad nyengir, membuat Venus menyeringai.
Mereka berlima mengalihkan pandang ke depan saat Bu Mana bertepuk tangan tiga kali meminta perhatian. Wanita itu merentangkan tangan dan mengucapkan selamat pada siswa-siswi baru yang telah mengetahui Bakat mereka, dan mendoakan “semoga keselamatan bersama kita semua” pada akhir pidatonya yang singkat. Bagi Venus, doa itu terdengar seperti “semoga Venus tidak menyengat kita semua”.
Sebelum kembali ke kursinya, Bu Mana berseru, “Saatnya mengisi perut, Anak-anak!” Dan hampir semua murid bersorak setengah hati, beberapa di antaranya masih mencuri pandang pada Venus. Saat podium berdesis lalu masuk kembali ke bawah lantai, kesebalan Venus yang biasa telah kembali.
“Mereka pikir aku ini bom atau bagaimana?!” Venus bersungut-sungut sendiri.
“Wah, pikiran yang tidak sepenuhnya salah, Putri Bizura,” ejek Lou sambil terkekeh.
Venus sama sekali tidak menghiraukan cewek berambut merah itu.
“Dan mana makanannya?!”
Sedetik kemudian Venus hampir menjungkalkan kursinya. Meja bundar di depan matanya tiba-tiba menyala seperti layar komputer, dan kata-kata “KOSONGKAN MEJA” muncul di permukaannya.
“Apa maksudnya?” Venus bergumam dengan kening berkerut dan penasaran.
“Lihat saja,” sahut Shad balik menggumam.
Pada detik kelima, permukaan meja berteknologi itu padam, lalu kemudian membuka seperti spiral. Venus melongok dan tidak melihat apa-apa selain kegelapan. Ris menarik punggung gadis itu ke belakang, membuatnya berdecak-decak kesal. Decakan itu berubah menjadi kebingungan saat ia mendengar suara berdesing dari dalam meja yang terbuka. Venus melongok lagi.
“Apa itu?”
Tak ada yang repot-repot menyahuti kata-kata Venus, sebab tepat setelah itu beberapa piring makanan perlahan naik dan Venus cepat-cepat menarik kepalanya ke belakang lagi. Piring-piring itu didorong oleh tatakan bundar pengganti permukaan meja yang membuka tadi. Sajian itu berhenti, dan Venus mengawasi saat Shad, Lou, dan Ris mulai makan seperti biasa, seakan tak ada hal aneh yang baru saja terjadi. Suara-suara ah dan oh yang keluar dari bibir murid-murid baru memberitahu Venus bahwa meja modern ini tidak umum di kediaman mereka. Venus bertatapan dengan Virzash, dan si cowok bayi itu hanya mengangkat bahu sebelum kemudian ikut makan.
Piring Venus dan yang lain isinya sama; sepotong besar daging sapi panggang, lima batang asparagus (ada bekas seperti dibakar), beberapa lembar selada segar, irisan tomat (yang tidak disukai Venus), sebonggol jagung rebus, seonggok kacang polong, dan sebongkah sayur tumis (Venus curiga bentuknya seperti kangkung). Di atas piring itu terdapat cawan kecil berisi sambal pedas yang langsung menyenangkan Venus. Sebuah piring lain berisi roti tawar diletakkan di tengah, beserta lima gelas susu. Satu piring lagi memuat puding santan berwarna hijau yang telah dipotong-potong, beserta garpu-garpu kecil untuk menusuknya. Dan yang paling terakhir adalah sekeranjang kecil buah-buahan.
“Enggak ada nasi, ya?” Venus menceletuk sambil menggigit sepotong asparagus dengan takut-takut; ia tak pernah memakan jenis sayur itu.
Lou menatap Venus dan memutar-mutar bola mata, sementara Venus berjengit merasakan asparagus yang ia rasa aneh. Ia berjanji dalam hati tak akan pernah mencoba memakannya lagi.
“Sudah sebanyak ini, dan kau masih mencari nasi?”
Venus mengangkat bahu. Ia mulai memotong-motong daging sapinya.
“Kebiasaan. Maaf.”
Setelah itu yang terdengar hanya denting pisau dan garpu di antara mereka berlima, sedangkan meja-meja lain dan meja para krona berdengung, membicarakan entah apa yang kedengaran seperti suara-suara dari alam kubur. Setidaknya itulah pendapat Venus.
Venus makan tanpa benar-benar menyadarinya. Pikirannya kosong. Sesaat ia mencoba memikirkan tentang Bizura, tetapi setelah berhenti pada gagasan ia akan mati gara-gara kelebihan Bakat, benaknya kosong lagi. Ia bahkan tidak repot-repot mengomentari tatapan-tatapan negatif yang masih terarah padanya. Ia cuma makan dan makan, hingga makanannya tandas. Ia meminum seperempat gelas susu yang disediakan, melahap dua potong puding, dan bersandar sambil mengunyah segigit anggur. Ia bergidik karena rasanya yang agak masam.
“Jadi, Senior Yang Budiman,” kata Venus kekenyangan, “apa Bakat kalian yang begitu mengkhawatirkan itu?”
Shad terkekeh. Masuk ke dunia lain sepertinya membuat gaya bicara Venus jadi agak aneh dan terkesan meremehkan masalah serius.
“Lucu,” dengus Lou, tetapi tetap menjawab. “Prima Udara.”
“Prima Fauna,” ucap Shad, tampak bangga sekali.
“Prima Tanah,” pungkas Ris.
“Apa itu Prima?” Venus bertanya, melempar sisa gigitan anggur di atas piringnya.
“Prima artinya yang paling utama,” jawab Ris. “Sebutan untuk para volt yang memiliki Bakat dengan daya serang tiga kali lipat lebih besar dari Bakat-Bakat pada umumnya.”
Venus ber-ah paham. “Jadi, murid Volta Juana ber-Bakat istimewa yang dulunya bergabung menjadi anggota Voltura itu, maksudnya mereka Prima semua?”
Ris mengangguk dan berkata, “Bukan berarti Prima itu banyak. Bakat tersebut sama langkanya dengan Ganda seperti Virzash, meski tidak selangka Bizura.”
Percakapan mereka terpotong oleh suara Bu Mana yang berseru menyudahi pertemuan ini dan menyuruh para murid untuk segera tidur. Seorang krona bernama Pak Saka ditugaskan untuk membimbing para murid baru ke asrama baru mereka. Venus dan Virzash mengucapkan selamat tinggal dan sampai ketemu besok pada Trio Prima yang kini jelas menjadi teman mereka.
Pak Saka memimpin jalan, dan para murid mengikutinya. Venus dan Virzash berada paling belakang di barisan itu. Mereka melewati pintu tempat munculnya para krona sebelumnya, dan menemukan dua lorong baru. Venus memperhatikan bahwa kelompok senior yang berbeda dari Trio Prima berjalan ke arah lorong sebelah kanan, sedangkan murid-murid baru melewati lorong di sebelah kiri, satu arah dengan murid-murid senior seangkatan Trio Prima.
Lorong itu berwarna serba perak, dengan lantai (lagi-lagi) dari marmer hitam. Penerangan lorong berasal dari atapnya, jelas bukan biriam, melainkan sesuatu seperti ... lampu? Lorong yang mereka lewati lumayan panjang. Dua kali Venus melihat ada lorong lain yang menuju ke arah lain, tetapi Pak Saka terus berjalan lurus. Venus takut kalau-kalau nanti ia bakal tersesat di sekolah ini.
Beberapa menit berlalu, setelah Trio Prima dan teman-teman seangkatannya masuk ke lorong berbeda. Pak Saka akhirnya berhenti di ujung penghabisan lorong sebelumnya. Di depannya berdiri sebuah pintu baja besar bercat hitam. Di atas pintu itu terukir kata “ASRAMA METEOR” berwarna perak.
Krona itu menjelaskan, hanya murid-murid yang menghuni asrama terkait yang bisa memasukinya. Sebab, murid terkait harus memindai matanya sebelum masuk. Saat itu Venus bertanya, bagaimana bisa Volta Juana bisa memindai mata seorang murid baru dan asing seperti dirinya, sementara mereka baru datang hari ini di sini? Pak Saka menjawabnya dengan mengatakan bahwa data dan identitas mereka sudah didaftarkan sejak mereka masih bayi, termasuk sidik jari dan identitas mata seperti ini.“Mungkin ayahmu sempat mengurus segalanya setelah kau lahir,” gumam Virzash pada Venus yang kebingungan.Pemikiran bahwa ayahnya masih memiliki setitik kepedulian, bahkan hanya untuk mengurus keperluan sesepele sekolah di dimensi lain, sungguh membuat Venus merasa setidak-tidaknya berharap.Perlu beberapa saat sebelum tiba giliran Venus untuk memindai matanya. Pemindai mata itu berada di tembok samping pintu, dan meskipun pintu sudah terbuka sejak murid pertama memindai matanya
Rasanya Venus baru saja bermimpi tentang dirinya yang sedang berduel dengan seekor belalang raksasa, ketika suara alarm yang sangat melengking menyentaknya, hingga ia bangun dan terduduk tiba-tiba. Gara-gara itu pandangannya jadi agak berkunang-kunang. Venus mengerang dan berbaring lagi selama beberapa detik. Diraihnya tablet di atas nakas. Hari masih menunjukkan pukul 6 pagi, dan ada sebuah pesan masuk di gawai itu dengan bunyi berdenting keras satu kali. Gadis itu membuka pesannya dengan tangan masih memeluk guling. Pesan itu berisi jadwal pelajaran untuk siswa baru kelas satu. Venus berkedip-kedip membaca jadwal pada hari ini.Venus mengeluh. Ia mencoba tidur lagi, tetapi semenit kemudian suara alarm kembali menyentak telinganya.“Duh, Gusti!”Ia duduk dan menatap langit-langit kamarnya, berharap bisa menemukan mata-mata teknologi yang sedang mengawasinya. Sambil mengucek matanya, Venus mencoba menanyakan hal itu pada gawainya. Ia tak mengira bend
“Jadi, apakah ada yang tahu apa batasan dalam menggunakan Bakat?”Saat ini, Venus dan seluruh murid kelas satu sedang berbaris di tengah-tengah sebuah lapangan tertutup. Dinding-dinding hitam yang mengelilingi tanah lapang itu tampak berdiri angkuh, seakan ingin menghalangi siapapun yang ingin masuk ke lapangan itu tanpa izin. Mereka berada di sana dalam rangka praktik pelajaran Pengembangan Bakat, tepat setelah jam istirahat selesai.Pak Zub, krona pelatih berwajah tegas yang barusan bicara, memandang wajah-wajah di depannya dengan tajam. Venus menoleh pada Virzash dan menatapnya.“Apa?” bisik Virzash, merasa terganggu.“Kau tahu jawabannya?” selidik Venus.“Kau tidak pernah membuka tabletmu?”Venus memutar bola mata.“Kau berkata seakan kau sudah tahu,” gumam Venus sebal. “Kenapa tidak menjawab pertanyaan dari Pak Zub, kalau begitu?”Wajah Virzash memerah
Kesepuluh Pelatih Sementara berseru-seru kepada kelompoknya masing-masing, menggiring mereka untuk keluar dari lapangan tertutup tersebut. Ekspresi murid-murid baru terlihat panik dan agak takut, tetapi para pelatih menyarankan untuk tetap tenang agar tidak mengacaukan suasana. Meski begitu, kaki mereka melangkah lebih cepat daripada sekadar berjalan saja.Venus menoleh pada Virzash, merasa bingung harus bagaimana. Pak Zub saat itu sedang menengadahkan kepala, matanya seperti mencari-cari sesuatu. Krona beruban itu sama sekali tidak menghiraukan Venus dan Virzash.“Kita pergi sendiri atau bagaimana?” bisik Venus tegang, meski gadis itu tak tahu apa tepatnya yang membuat ia tegang.Virzash menatap separuh anak-anak lain yang sudah setengah jalan menuju pintu keluar.“Kita susul mereka sajalah,” Virzash memutuskan, matanya mengerling Pak Zub. “Krona pelatih ini sepertinya bahkan tidak akan sadar kalau kita hilang. Yuk!”
Sekali lagi, Venus terbangun di kegelapan. Tubuhnya begitu lemah. Membuka mata pun terasa seperti sebuah pekerjaan yang melelahkan.Kemudian, ia ingat dengan apa yang telah terjadi.Gadis itu mengeluh. Ia memijit dahinya yang masih bekernyut nyeri. Tangan Venus meraba perutnya, merasakan sakit yang kini sudah tidak ada lagi. Jantungnya tak lagi terasa nyeri. Ia bisa bernapas sebaik manusia sehat manapun.Venus mencoba membuka mata lagi, berpikir dengan sadar bahwa membuka mata atau tidak, pemandangan yang tersedia tetap tidak akan berubah.Yang ada hanya kegelapan.“Tuhan, aku di mana?” bisik Venus merana.Kenangan tentang Portal Gelap membuatnya panik. Jika dulu portal itu menariknya masuk ke Bumi Kedua, bagaimana jika portal yang ini menariknya keluar dan kembali ke Bumi Pertama? Kembali kepada keluarga angkatnya?Atau, jangan-jangan Venus sebenarnya sudah mati? Apakah kematian seorang volt selalu begini? Terdampar di ke
Bayang-bayang terpelesat ke sana kemari. Wujud mereka seperti malaikat kematian yang enggan meninggalkan makhluk bernapas hidup-hidup. Suaranya bagai angin yang berdesau, seirama dengan gerakan tak bertubuh citra tersebut.Siluet seorang pria dan seorang wanita tampak berdiri di tengah-tengah kepungan itu, berdiri dan saling berhadapan, seakan tak ada yang lebih penting daripada itu. Gerak bibir mereka seperti sedang berbicara.Citra kelabu itu perlahan memudar menjadi kabut yang mengaburkan penglihatan. Suara tawa tiba-tiba menggelegar, menciptakan gema yang menggiriskan hati, seakan ia keluar dari palung kematian.Bintik-bintik gelap dengan cepat menyebar, menutup sepetak kelabu yang tersisa. Namun, gema tawa itu masih ada. Menggoncang jiwa. Seandainya mungkin, orang mati pun niscaya terbangun kembali, lalu kembali mati berkubang ketakutan.Saat tawa itu berhenti, sebuah kesadaran tampak menunjukkan keberadaannya. Kesadaran itu menggigil seakan tengah b
Dalam tiga puluh menit selanjutnya, mereka membicarakan aksi heroik Venus yang dijuluki Sang Bizura Yang Payah oleh teman-temannya. Sementara Venus sendiri sibuk makan seraya mengomeli semangkuk muntahan nasi abon yang ia pegang.“Dari mana kau yakin kalau kau bakal bisa mengeluarkan Bakat sebesar itu?” satu saat Virzash bertanya penasaran.“Nah, betul juga,” Shad mengiyakan. “Bagaimana kalau perhitunganmu ternyata salah, Ven?”Venus memutar-mutar bola mata dan mengetuk-ngetuk pinggiran mangkuknya.“Maaf sudah mengecewakan kalian, tapi aku tidak merasa sudah menghitung apapun saat itu!” ucapnya ketus. “Pak Zub bakal diserang oleh segerombol kepala setan terbang, dan kalian malah mempertanyakan bagaimana caraku bisa berpikir?! Aku nggak berpikir!”“Pantas kau mati,” cetus Lou tiba-tiba.Ketukan Venus pada mangkuknya berhenti kira-kira sepersekian detik. Kata-kata Lou meng
Dunia Venus membeku.Bisakah ia tetap melawan?Mimpinya dengan Giris bukanlah sekadar mimpi. Dan Venus merasa benci karenanya.Telinga Venus berdenging, dan ada sulur-sulur kehampaan nan dingin di sekujur tubuhnya yang terasa menyesakkan. Ia hanya mampu menatap Lou yang entah kenapa bisa berubah menjadi lembut.Sejak kapan Lou jadi baik dan simpatik begitu?Lagipula, aku sedang berpikir tentang apa?“Venus?” Tangan Lou melambai-lambai di depan wajah Venus. Venus berkedip.“Aku tidak apa-apa,” ia berkata dengan tenang, lantas tersenyum dan menyesuaikan duduknya.Lou dan yang lain memandang sosok pasien di atas ranjang rumah sakit itu dengan khawatir.“Beritahu aku detailnya. Tentang … moyangku itu.”Sepi.Bip-bip-bip.“Apa suaraku terlalu rendah?”Bip-bip-bip.“Venus …” Shad memulai, ragu