Dalam tiga puluh menit selanjutnya, mereka membicarakan aksi heroik Venus yang dijuluki Sang Bizura Yang Payah oleh teman-temannya. Sementara Venus sendiri sibuk makan seraya mengomeli semangkuk muntahan nasi abon yang ia pegang.
“Dari mana kau yakin kalau kau bakal bisa mengeluarkan Bakat sebesar itu?” satu saat Virzash bertanya penasaran.
“Nah, betul juga,” Shad mengiyakan. “Bagaimana kalau perhitunganmu ternyata salah, Ven?”
Venus memutar-mutar bola mata dan mengetuk-ngetuk pinggiran mangkuknya.
“Maaf sudah mengecewakan kalian, tapi aku tidak merasa sudah menghitung apapun saat itu!” ucapnya ketus. “Pak Zub bakal diserang oleh segerombol kepala setan terbang, dan kalian malah mempertanyakan bagaimana caraku bisa berpikir?! Aku nggak berpikir!”
“Pantas kau mati,” cetus Lou tiba-tiba.
Ketukan Venus pada mangkuknya berhenti kira-kira sepersekian detik. Kata-kata Lou mengingatkannya pada mimpi buruk … entahlah, rasanya malah seperti bukan mimpi. Venus mengerjapkan mata, dan ketukan pada mangkuknya malah lebih cepat dari sebelumnya.
Virzash berdecak.
“Kau ini lagi makan atau apa, sih?” tanya cowok berwajah bayi itu.
Venus menatapnya.
“Jadi tukang bakso.”
“Hah?”
Geli rasanya melihat teman-temannya melongo seperti sekarang, tapi Venus punya pertanyaaan yang lebih baik dari sekadar menelan bubur hambar.
“Ada kabar apa di sekolah?”
Ris dengan sigap menjelaskan segala hal yang terlewat oleh Venus. Yang lain ikut menyimak dan menambahkan informasi.
Kata Ris, semua anak di sekolah ini kaget, bahkan bisa dibilang para krona juga. Bukan hanya aksi penyelamatan Pak Zub yang mengesankan, tapi karena kemampuan Venus yang malah membuat semua orang jadi bertambah khawatir dari sebelumnya.
“Apa-apaan itu?!” protes Venus tak terima.
Seorang volt pemula tidak seharusnya bisa dengan mudah meraih Bakat-nya. Bahkan jika mereka sedang dalam bahaya besar sekalipun, hal paling maksimal yang bisa mereka lakukan adalah meraih sekitar dua persen dari kekuatan masing-masing.
“Dan aku meraih seratus persen dari kekuatanku?” Venus menyimpulkan dengan ragu.
Shad dan Ris mengangguk.
“Dari beberapa kekuatan sekaligus,” Lou mengoreksi seraya bersedekap.
Ris menambahkan, “Dan volt pemula yang dapat meraih kekuatan sebanyak itu dalam percobaan pertama mereka? Sungguh sangat menakutkan.”
“Nggak paham,” kata Venus.
“Kau itu Bizura, Venus!” seru Lou gemas. “Dan setiap volt yang ada di negeri ini trauma dengan Bizura! Masih tidak paham juga? Kau itu Bizura ke—”
“Lou!”
“—turunan Druiksa!”
“JANGAN SEBUT NAMA ITU!”
Lou dan yang lain tersentak kaget, sementara napas Venus naik turun dengan emosi. Setitik embun mengganggu mata kiri Venus, dan dengan sekuat tenaga ia menahan getar ketakutan di bibirnya.
“Jangan. Sebut. Nama. Itu.”
Suara Venus bergetar, tapi ia sudah tidak peduli lagi. Mendengar nama itu serasa mendengar bunyi goresan pedang itu lagi ….
Venus menutup matanya selama beberapa detik dan menenangkan diri.
“Maaf,” bisik Venus. Tangannya saling menggenggam dengan erat.
Ris mendekati Venus dengan hati-hati.
“Kami tidak akan menyebutkan nama itu lagi,” ujarnya pelan, yang lain mengangguk-angguk setuju. “Tapi, kalau kau butuh bantuan—”
“Tidak, maafkan aku. Ada yang terjadi padaku saat …,” Venus berkedip-kedip, mengusir air mata yang kembali terbit. “Pada saat, kalian tahu, aku belum bangun. Dan … kurasa itu cuma mimpi, tapi … bukan, itu nyata. Ya, rasanya nyata. Tiba-tiba saja suara itu … dia memanggilku … dia bilang aku ….”
“Wow, Venus,” ucap Shad simpatik. “Kau kedengarannya kacau.”
Venus tertawa gemetar. Ia memeluk dirinya sendiri.
“Tentu saja aku kacau, Shad!” teriak Venus histeris. “Bayangkan, si … si Druiksa itu tiba-tiba berbicara padaku di tengah kegelapan! Dia memanggilku Venus … Venus Prahara Adiwangsa, padahal bukan itu nama lengkapku! Dan … dia bilang aku ….”
Venus menutupi wajahnya dan terisak. Ia sadar ia pasti terdengar seperti orang gila yang tengah meracau. Rasanya sulit sekali mengutarakan segala hal yang telah dialaminya di kegelapan waktu itu pada teman-temannya. Bahkan saat Ris mengusap-usap pundaknya, dan entah tangan siapa lagi yang membelai lengannya. Ia tetap saja kesulitan untuk berbicara secara bebas.
Saat akhirnya Venus membuka tangan yang menutupi wajahnya, ia sadar kenapa teman-temannya tidak tampak mencemooh ataupun menghiburnya.
“Kalian menyembunyikan sesuatu. Ada apa?” kata Venus tertahan. Ia menatap satu persatu dari mereka yang semuanya tampak canggung dan berjarak.
Venus menggertakkan gigi dan berkata sekali lagi, “Ada. Apa.”
Ria menarik napas panjang dan berujar, “Kegelapan di Beranda Hitam tiba-tiba berbisik—sesuatu yang belum pernah terjadi—bahwa kau adalah keturunan … Giris Druiksa.”
Shad menambahkan, “Semua orang di negeri ini sudah menganggapmu sangat berbahaya.”
“Dan, tentu saja mereka amat sangat terguncang,” timpal Virzash.
Namun, Venus berkali-kali lipat lebih terguncang dari seisi negeri.
“Venus?” kata Lou lembut. “Maafkan aku, tapi Vrosiden telah menjatuhkan hukuman mati padamu. Segera setelah kau siuman.”
Yang artinya, hari ini.
Dunia Venus membeku.Bisakah ia tetap melawan?Mimpinya dengan Giris bukanlah sekadar mimpi. Dan Venus merasa benci karenanya.Telinga Venus berdenging, dan ada sulur-sulur kehampaan nan dingin di sekujur tubuhnya yang terasa menyesakkan. Ia hanya mampu menatap Lou yang entah kenapa bisa berubah menjadi lembut.Sejak kapan Lou jadi baik dan simpatik begitu?Lagipula, aku sedang berpikir tentang apa?“Venus?” Tangan Lou melambai-lambai di depan wajah Venus. Venus berkedip.“Aku tidak apa-apa,” ia berkata dengan tenang, lantas tersenyum dan menyesuaikan duduknya.Lou dan yang lain memandang sosok pasien di atas ranjang rumah sakit itu dengan khawatir.“Beritahu aku detailnya. Tentang … moyangku itu.”Sepi.Bip-bip-bip.“Apa suaraku terlalu rendah?”Bip-bip-bip.“Venus …” Shad memulai, ragu
(Salam, Putri Bizura.Setelah bertahun-tahun saya mencoba berkomunikasi dengan Anda … akhirnya! Dua kali percobaan saya hampir berhasil, tetapi tiba-tiba gagal. Mungkin karena Anda masih belum mengetahui indentitas diri Anda? Atau pertahanan Anda yang tentu lebih kuat dari insan volt lain?Terlepas dari itu, perkenalkan. Saya adalah Mustaka, roh yang ditugaskan oleh Sang Penguasa Empat Dimensi, Yang Mulia Agung Kaisar Azafer, untuk menjaga dan melindungi Anda dari menjadi incaran musuh.Seperti Dewa Kebencian, misalnya. Sungguh, Kaisar Azafer menyatakan penyesalannya, atas anugerah yang telah dengan ceroboh ia turunkan pada Giris Druiksa.Saya selalu berada di sisi Anda. Jadi, kapanpun Anda ingin berkomunikasi dengan saya, silakan panggil saja nama saya dalam hati.Salam, Putri.Dan bangunlah. Ada pemuda menawan yang sedang mengagumimu dalam kehangatan di wajahnya.)
Cakrawala sudah mengguratkan sulur-sulur oranye di angkasa saat Shad dan Venus bangkit berdiri. Mereka bertatapan selama beberapa saat, sebelum akhirnya Shad mengangguk dan tersenyum.“Kau tidak pernah jahat, Ven. Ingat itu,” Shad berujar.Anak laki-laki itu membelai lagi pipi Venus dengan lembut, dan Venus menggenggamnya di sana selama yang bisa ia lakukan.Suara berdenting menarik mereka perlahan kepada kenyataan. Shad menoleh sekilas, tangannya masih menempel di pipi Venus.“Para Pengaman,” sebut Shad sambil lalu.“Sudah cukup, Nak!” seru salah satu Pengaman. “Kembali ke kelasmu! Sebentar lagi Pesawat Darurat akan tiba di sini!”“Bolehkah aku melihatnya saja?” pinta Shad.“Tidak.”Shad menghela napas. Ia menoleh pada Venus yang masih memandangnya.“Sampai jumpa, Ven. Aku tidak akan pernah melupakanmu, aku janji,” Shad bersumpah.
Pesawat berhenti setelah kira-kira dua jam kemudian. Atau setidaknya begitulah menurut Mustaka pada Venus, yang terus saja memelototi salah satu jeruji sejak ia tahu siapa Amerta yang sebenarnya.(Putri, apa informasi tadi lantas membuat Anda jadi patung?) Dengan kurang ajarnya Mustaka berkata dalam benak Venus.Venus mendengus. Tatapannya tidak pindah ke mana-mana. (Aku mati. Sialan kau, Mus! Kenapa kau tidak pergi saja dari otakku?!)(MUS?!)Venus berjengit seraya memegangi kepalanya. Suara Mustaka terdengar sangat tersinggung dan hampir meledakkan otak Venus jadi berkeping-keping.“Jangan berteriak dalam kepalaku!” geram Venus dengan suara rendah.(Maafkan saya, Putri. Namun, sebelum ini Anda juga pernah berteriak. Kepala saya sama sakitnya dengan Anda.)Leher Venus memanas. Dia tidak ingat tentang itu. (Kau sebenarnya ada di mana, sih, Mus? Dan tolong, berhenti memanggilku Putri.
Jemari anak perempuan itu berkedut. Matanya mengerjap-ngerjap lemah. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya yang kering. Anak itu merintih saat kepala dan telinganya bekernyut nyeri.(Mus?)Venus meringis saat ia menghela tubuhnya hingga duduk tegak. Selimut kelabu tebal merosot dari dadanya. Untuk sesaat, Venus hanya memejamkan mata dan meremas kepalanya yang pening. Telinganya masih berdenging ngilu, dan Venus berharap semoga saja indranya yang satu itu nanti masih berfungsi.Venus membuka matanya dan memperhatikan sekeliling. Setelahnya, anak itu harus menghela napas, seakan-akan sudah merasa cukup dengan hidupnya dan karenanya jadi lelah.Gadis itu berada di sebuah ruangan berdinding batu. Ruangan itu hanya diterangi oleh dua buah obor yang diletakkan di kiri-kanan pintu. Perabot dan benda yang ada di sana hanyalah tempat tidur yang kini diduduki Venus, sebotol air di atas meja kusam, dan tiga buah kursi yang anehnya tampak mengilat.Ve
Engsel pintu berdentang saat seseorang membuka pintu ruangan tempat Venus berada. Venus masih duduk di atas tempat tidurnya dan menyandarkan punggung, kedua matanya terpejam. Kepala anak itu mendongak, sesekali wajahnya mengernyit kesakitan. Rasanya seperti Kesatria Jarum dan Raja Godam tengah menyerang telinga dan kepalanya secara serempak.“Halo, Anak Haram.”Venus memaksakan diri untuk membuka mata dan melihat siapa yang dengan berani menghina dirinya seperti itu.Sosok itu adalah seorang wanita berambut hitam pendek, dengan riasan tebal yang tampak menakutkan. Matanya berwarna cokelat … atau kemerah-merahan? Venus tidak yakin dengan itu. Wanita berkulit eksotis itu memakai terusan hitam dengan belahan dada sangat rendah; membuat Venus bertanya-tanya, bagaimana perasaan Mustaka saat ini.Wanita itu tiba-tiba menyeringai. Ada yang menggelitik pikiran Venus. Ia seperti pernah melihatnya di suatu tempat … di mana? Nyeri di kepala
Lelaki berjubah merah itu berdiri di ambang pintu, tangannya terkepal erat di kedua sisi tubuhnya. Surai gelap nan ikal sepanjang bahu membingkai wajahnya yang dingin. Iris matanya segelap Kegelapan, memantulkan cahaya obor yang bergoyang-goyang seperti mata iblis. Yang mengusik perhatian Venus adalah; wajah dan perawakan Amerta sama sekali jauh dari kesan bapak-bapak, melainkan lebih seperti lelaki gagah berusia dua puluhan … dengan aura yang lebih menakutkan.Udara tiba-tiba bertiup dari pintu yang terbuka. Venus mengejang. Aroma tubuh Amerta seperti darah segar, tetapi sekelebat harum mawar entah kenapa mampu mengaburkannya.Amerta menutup pintu di belakangnya, lalu melangkah mendekat. Kepalan tangan lelaki itu mengendur; tapi tidak dengan Venus. Punggung gadis itu seperti diregangkan paksa oleh sesuatu. Setitik keringat dingin menetes di dahi kanannya.Mata Venus dengan waspada mengawasi gerak-gerik Amerta, saat lelaki itu memosisikan diri di ku
Menurut Venus, ada dua kategori dewasa di dunia ini. Satu, dewasa dalam hitungan usia. Dan dua, dewasa karena keadaan yang memengaruhi psikis seseorang.Venus masih berusia lima belas tahun … dan ia memasukkan dirinya sendiri ke kategori dewasa yang kedua.Otak Venus dipaksa untuk memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan oleh remaja seusianya. Ia diharuskan untuk memperjuangkan hidup dan matinya. Ia dicokoli kebenaran nan menyakitkan secara terus menerus. Seakan-akan ia tidak boleh menjadi anak alay sebentar saja!Venus menghela napas, merasa seperti sedang syuting sebuah sinetron komedi yang membosankan.Sudah sembilan hari dia berada di ruang bawah tanah itu. Makan, minum, meregangkan badan, pergi ke kamar mandi, bermain Bubble Shooter dan Zombie Apocalypse di ponselnya. Sesekali meminum obat yang diberikan oleh seorang wanita tua, yang selalu datang ke ruangannya untuk mengantarkan makanan dan mengambil pakaian kotor Venus.Di