Share

Bagian 5

“Lain kali, kau bersikan dulu dengan benar, Farzam!”

 “Iya, iya, Sayang.”

Semangkuk sup diletakkan dengan sedikit diihentak di meja. Farzam menelan ludah. Delaram melotot seolah-olah matanya akan terlempar keluar. Dia mendengkus sambil berkacak pinggang.

“Kau selalu mengatakan iya, tapi tidak pernah dilakukan dengan benar! Ada-ada saja yang kacau!”

Farzam mencoba merayu sang istri. “Maafkan aku, Sayang. Aku hanya sedikit lupa. Kau tahu, kan, suamimu ini sangat sibuk sehingga–”

“Selalu banyak alasan!” sergah Delaram, lalu melanjutkan omelannya.

Ya, seminggu berlalu tanpa terasa. Aktivitas pagi di rumah Farzam tak berubah. Delaram mengomeli sang suami sambil menata masakannya di meja makan. Gulzar Heer telah terbiasa dengan pertengkaran “manis” orang tuanya, tak banyak bicara, tampak fokus mengelap permukaan pedang. Sesekali dia melemaskan otot leher, menimbulkan bunyi “krek”, juga menggoyangkan ujung rambut sebahu yang dikucir kuda.

“Ah, Gulzar! Lagi-lagi kamu lupa memakai hadiah dari ibu,” keluh Delaram tiba-tiba. Namun, gerutuannya kepada Gulzar Heer lebih lembut dibandingkan saat mengomeli Farzam.

“Hadiah apa, Sayang?” Farzam yang menyahut, tetapi langsung bungkam saat dipelototi sang istri.

“Kenapa kamu tidak memakainya, Gulzar?”

“Maaf, Bu, aku lupa.”

Gulzar Heer bangkit dari kursi, menyarungkan kembali pedangnya. Dia melangkah cepat ke kamar dan kembali dengan penampilan spesial. Farzam sampai tersedak, hampir saja menyemburkan teh ke wajah Delaram. Untung saja, Farzam sempat mengalihkan pandangan, sehingga wajah sang istri terselamatkan. Hadiah yang dimaksud istrinya memang sedikit janggal ada pada seorang Gulzar Heer, hiasan rambut berbentuk kupu-kupu.

Delaram seketika menjadi semringah. “Nah, putriku jadi terlihat lebih manis! Kalau begini, pasti akan ada pria yang tertarik dan kita bisa mengadakan pesta pernikahan meriah!” serunya antusias. 

Farzam menepuk kening. “Ah iya, soal pernikahan, Ayah baru ingat! Ada kabar dari istana, Raja Faryzan merencakan perjodohan Pangeran Fayruza dengan putri sulung dari Keluarga Hesam. Sepertinya, mereka akan dipertemukan di pesta Keluarga Hessam hari ini.”

Bruk!

Farzam dan Delaram tersentak. Gulzar Heer menggaruk kepala sambil memungut pedangnya yang terjatuh.  Suasana sempat hening, hingga dia menarik kursi meja makan dan duduk di atasnya.

“Sepertinya, aku sangat kelaparan sampai tak kuat mengangkat pedang,” cetus Gulzar Heer sambil terkekeh canggung, lalu menyendok sup ke mulut.

Farzam terbahak-bahak mendengarnya. Sementara Delaram menatap penuh selidik. Dia semakin memicingkan mata saat melihat perubahan wajah sang putri setiap suaminya membicarakan perjodohan Pangeran Fayruza.

“Putrinya Tuan Hesam memang cantik dan anggun, sangat cocok mendampingi Pangeran Fayruza. Kudengar, dia juga baik hati dan hangat, juga–”

“Aku sudah selesai. Ayah, Ibu, aku permisi hendak mencari kayu bakar untuk persediaan musim dingin.”

Gulzar Heer mengelap mulut, lalu bangkit dari kursi. Dia bergegas ke luar rumah, seolah diburu hantu. Farzam hanya melongo melihat tingkah putrinya. Sementara itu, Delaram melotot, mendengkus-dengkus, dan menggemeletukkan gigi.

“Kenapa kau terus membahas perjodohan Pangeran Fayruza di depan Gulzar, Farzam?” desis wanita itu di telinga suaminya.

Farzam mengerutkan kening. “Memangnya kenapa? Mereka sahabat baik, Gulzar pasti senang pangeran akan menikah.”

“Farzaaam! Dasar lelaki tidak peka!” Tangan Delaram pun langsung melancarkan serangan jeweran maut.

“Aduh! Ampun, Sayang!” Farzam hanya bisa meringis dengan hati dipenuhi tanda tanya, kenapa istrinya begitu murka.

***

Pesta Keluarga Hesam berlangsung meriah. Mereka bahkan mengganti perabot lama dengan yang baru dan lebih mewah. Wangi semerbak dari ribuan tangkai mawar merah menyegarkan penciuman. 

Pangeran Fayruza duduk di salah satu meja perjamuan, menikmati segelas anggur. Tatapannya hampa dan tampak tak acuh dengan sekeliling. Dia bahkan terlihat tak menyadari gadis cantik bergaun merah muda mendekat dengan senyum malu-malu.

“Salam hamba untuk Pangeran Fayruza,” sapa si gadis, anak pertama Hesam.

“Salam,” sahut Pangeran Fayruza dingin.

Namun, sang gadis tampak tak ingin menyerah. Dia terus mengajak bicara, tak henti memuji kehebatan teknik penyembuhan sang pangeran. Kegigihan putrinya membuat Hesam yang tengah mengamati di kejauhan tersenyum bangga. Lelaki itu sangat fokus, hingga tak menyadari sang istri mendekat, lalu menarik lengannya.

“Ya ampun, kau membuatku kaget!” gerutu Hesam.

“Aku hanya heran denganmu.”

“Heran kenapa?”

“Sayang, ada apa denganmu? Bukankah kamu selalu menentang keinginan putri kita untuk menikah dengan Pangeran Fayruza? Bukankah kamu hendak mengincar Pangeran Ardavan yang akan menjadi calon putra mahkota?” cecar sang istri. Dia sempat merapikan gaun biru malamnya yang sedikit melorot.

Hesam terkekeh. “Gunakan otakmu, istriku. Berkumpul dengan para wanita bangsawan lain, apa tidak pernah kau gunakan untuk menggali informasi?”

Istri Hesam melongo. Bibir tersapu pewarna merah darah itu terbuka lebar, hampir saja dimasuki seekor nyamuk. Hesam menahan tawa melihatnya.

“Apa kau tidak tau kalau Pangeran Fayruza mendapat dukungan rakyat?”

“Tapi, bukankah negeri ini memegang teguh tradisi, penerus tahta haruslah anak pertama raja dan ratu?” Istri Hesam masih tak mengerti.

“Iya, jadi, kita akan biarkan Pangeran Ardavan menjadi putra mahkota bahkan sampai jadi raja, tapi semua orang tahu reputasinya buruk. Perlahan-lahan, kita hasut rakyat agar menggulingkan kekuasaannya. Otomatis, Pangeran Fayruza akan naik tahta, lalu putri kita menjadi ratu. Tugas kita hanyalah memperburuk citra Pangeran Ardavan secara halus, tapi mematikan.”

Istri Hesam mengangguk-angguk dengan mata berbinar, mungkin tengah membayangkan hidup sebagai mertua seorang raja. Namun, dia tercenung saat melihat putrinya di kejauhan. Ada yang aneh, Pangeran Fayruza tidak terlihat seperti biasanya.

“Sayang, tapi kenapa Pangeran Fayruza terlihat seperti mayat hidup?”

“Jangan sembarangan bicara, istriku!” tegur Hesam.

“Beliau biasanya selalu ramah, tapi pangeran di sana terlihat kaku dan jarang bicara.”

Hesam hendak menyahut. Namun, bangsawan lain menghampiri mereka, membicarakan masalah kapal dagang yang tengah disandera bajak laut. Dia tak jadi menimpali omongan sang istri dan mengekori rekan bisnisnya tersebut.

Istri Hesam berdecih. Untunglah, kekesalannnya cepat surut. Salah seorang istri bangsawan mendekat dan memuji-muji kemewahan pesta yang diselenggarakan. Mereka pun larut dalam obrolan menarik mulai dari rencana pesta berikutnya hingga tren gaun terbaru. 

Sementara itu, Pangeran Fayruza yang sedari tadi bersembunyi di balik tirai memasang raut wajah muram. Dia tak menyangka Keluarga Hesam menyimpan niat untuk mengadu domba demi kekuasaan. Pesta dengan rencana perjodohan sudah membuat sesak, terlebih saat mengetahui hati busuk sang tuan rumah. Pangeran Fayruza tadinya hanya ingin kabur. Dia menggunakan mana untuk membuat sosok palsu yang sangat mirip secara fisik dengannya. Kini, sang pangeran malah menemukan fakta menyakitkan.

“Ah, aku lelah! Sebaiknya, aku segera pergi dari sini,” keluhnya.

Saat para tamu gegap gempita dengan kemeriahan pesta, Pangeran Fayruza menyelinap keluar. Dia bergegas menuju danau di tengah-tengah taman Keluarga Hesam, lalu menceburkan diri. Perlahan, cahaya biru berpendar menyelimuti tubuhnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status