Share

Bab 4

Author: Rexa Pariaman
Terdengar suara yang keras. Kepala Dylan terluka dan berlumuran darah.

Ternyata lampu gantung di langit-langit tiba-tiba terjatuh. Tanpa meleset sedikit pun, lampu itu jatuh tepat di atas kepala Dylan.

Untung saja ukuran lampu gantung itu tidak terlalu besar. Jika tidak, Dylan bukan hanya sekadar terluka dan berdarah di bagian kepala saja. Kemungkinan besar, dia akan tewas tertimpa.

Dylan memegang kepalanya. Dia berlutut di lantai sambil menjerit kesakitan, "Ah!"

"Dylan, kamu kenapa?" tanya Mona dengan panik.

"Kamu buta, ya? Nggak lihat aku tertimpa?" bentak Dylan dengan kesal.

Ketika dibentak di hadapan banyak orang, Mona seketika merasa sangat sedih. Air matanya hampir menetes dari matanya.

Melihat kejadian ini, Ewan tersenyum sinis sebelum berseru, "Rasakan itu!"

"Apa katamu?" tanya Mona dengan mata terbelalak. Dia menunjuk Ewan sembari bertanya, "Apa ini perbuatanmu?"

"Memangnya kamu lihat aku yang melakukannya?" timpal Ewan.

"Kalau bukan kamu, kenapa lampu gantung yang tadinya baik-baik saja bisa tiba-tiba jatuh?" tanya Mona lagi.

"Orang bilang, dewa selalu mengawasi kita. Dylan sudah memutarbalikkan fakta. Ini hukuman dari langit untuknya," balas Ewan.

"Hukuman langit apaan! Nggak usah bohong!" pekik Dylan. Selesai berbicara, dia memerintah Mona, "Cepat bantu aku berdiri!"

"Oh," sahut Mona segera membantu Dylan.

Kala ini, perawat yang mengambil obat lewat di samping mereka. Entah mengapa, dia tiba-tiba terpeleset. Tubuhnya tersungkur ke depan. Dua botol alkohol di tangannya terlempar dari genggamannya.

Bam! Dua botol alkohol itu mendarat tepat di kepala Dylan. Prang! Botol kaca pecah. Seluruh cairan alkohol tumpah ke kepala Dylan.

Dylan barusan terluka karena tertimpa lampu gantung. Kepalanya sudah terluka. Sekarang, cairan alkohol malah masuk ke lukanya. Rasa sakit itu luar biasa menyiksa.

"Ah! Sakit sekali! Sakit!" teriak Dylan. Dia memegang kepalanya dengan kedua tangan sembari berguling-guling di lantai.

Mona sontak panik dan memarahi perawat itu. Dia menyergah, "Kamu gimana, sih? Jalan itu pakai mata!"

"Maaf, aku minta maaf," ucap perawat itu.

"Kalau sampai terjadi sesuatu pada Dylan, urusan kita nggak akan selesai!" bentak Mona. Setelah memarahi perawat itu, dia melambaikan tangan kepada perawat di meja resepsionis. Dia memanggil, "Tolong, dua orang kemari bantu aku."

Dua perawat segera berlari kemari.

"Bu Mona, apa yang harus kami lakukan?" tanya seorang perawat.

"Lakukan apa? Kamu buta, ya? Nggak lihat Dylan terluka? Cepat. Ikut aku antar Dylan perban lukanya," balas Mona.

Dua perawat itu sedikit tidak senang, tetapi juga tidak berani menentang perintah Mona. Bagaimanapun, di rumah sakit, dokter selalu berada satu tingkat di atas perawat.

Saat ini, Mona dan dua perawat meja resepsionis memapah Dylan. Mereka buru-buru masuk ke lift. Siapa sangka, kejadian malang terulang kembali. Dylan terjepit pintu lift.

Dylan awalnya dipapah oleh dua perawat. Secara logis, lift seharusnya tidak mungkin menjepitnya. Namun, ketika masuk ke lift, dua perawat itu malah melepaskan Dylan.

Salah satu perawat berbicara pada Mona. Katanya, "Bu Mona, kami masih ada pekerjaan. Nggak bisa meninggalkan meja resepsionis. Kami nggak ikut antar Dokter Dylan ke atas lagi."

"Pergi sana!" sergah Mona.

Begitu kedua perawat itu berbalik, Dylan langsung terjepit pintu lift. Dia berteriak, "Ah! Sakit! Sakit sekali!"

Kejadian ini membuat banyak orang terkejut. Bahkan, satpam langsung berlari ke sana dan hendak membuka pintu lift untuk menolong Dylan. Namun, tiba-tiba listriknya padam. Entah hanya kebetulan atau bukan.

Sekarang, Dylan sampai berpikir ingin mati. Hari ini, langit sepertinya sengaja mempersulit hidupnya dan membiarkannya terus-menerus ditimpa kesialan. Dylan mulai bertanya-tanya di dalam hati. Apakah azab benar-benar ada?

Dylan tidak tahu bahwa semua ini adalah ulah Ewan. Ewan diam-diam menggambar sebuah Jimat Pembawa Sial dengan mengikuti langkah-langkah di dalam "Kitab Jimat Akademi Sidoar" yang dia ingat. Tidak disangka, hasilnya cukup efektif.

"Puas sekali!" seru Ewan. Setelah semua rasa tertekan di dalam hatinya sirna, dia pergi meninggalkan rumah sakit.

....

Danau Anggrek adalah jalan yang harus dilewati Ewan saat pulang ke rumah.

Setiap sore, di tepi danau sangat ramai. Ada ibu-ibu yang menari di lapangan, kakek-kakek yang bermain catur, anak-anak yang bermain dengan riang, dan orang-orang yang gemar memancing. Semuanya berkumpul di sini.

Ewan sedang berjalan menyusuri danau. Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak, "Gawat! Ada yang jatuh ke danau!"

Ewan segera menoleh. Terlihat seorang anak laki-laki berusia sekitar lima atau enam tahun sedang berusaha bertahan di tengah danau. Nyawanya dalam bahaya.

Para kakek dan nenek di tepi danau sangat panik.

"Itu anak siapa? Di mana orang tuanya?"

"Cepat hubungi layanan darurat!"

"Nggak sempat lagi. Anak itu akan mati!"

Semua orang membicarakannya dengan cemas. Situasinya benar-benar genting.

Tanpa berpikir panjang, Ewan langsung melompat ke danau. Dia berenang dengan gesit ke arah anak laki-laki itu, lalu memeluk pinggangnya dan berenang ke tepian.

Begitu Ewan menggendong anak laki-laki itu ke daratan, semua orang langsung berkerumun.

Anak laki-laki itu menelan banyak air dan sudah tidak sadarkan diri. Wajahnya pucat. Bibirnya juga sedikit membiru. Terlihat seperti sudah mau meninggal.

"Anak ini hampir meninggal. Kita harus segera antar dia ke rumah sakit untuk dapat pertolongan," ujar seseorang di sana.

Ewan tidak berbicara, melainkan mengangkat anak laki-laki itu. Dia menepuk keras punggung anak itu dua kali dengan tangan kanannya. Sesudah itu, terdengar suara muntahan. Anak itu mulai memuntahkan air dari mulutnya. Sekitar 30 menit kemudian, anak laki-laki itu membuka matanya.

"Dia sudah sadar!"

Melihat anak laki-laki itu selamat, semua orang yang berkerumun menghela napas lega.

"Paman, terima kasih," tutur anak laki-laki itu dengan pelan pada Ewan.

Ewan tersenyum sejenak, lalu bertanya, "Di mana keluargamu?"

"Kakek dan Paman Henry entah ke mana," jawab anak laki-laki itu. Begitu dia selesai berbicara, seorang kakek dan seorang pria paruh baya berlari kemari.

"Hugo, kamu nggak apa-apa?" tanya kakek tua dengan cemas sambil memeluk cucunya.

"Kakek, aku nggak apa-apa. Tadi aku nggak sengaja jatuh ke danau. Paman ini yang tolong aku," sahut anak laki-laki itu menunjuk Ewan.

Kakek tua buru-buru berkata kepada Ewan, "Anak muda, terima kasih, ya."

"Kek, bukannya aku mau mengataimu. Kamu sudah setua ini. Kenapa masih ceroboh? Gimana kalau terjadi sesuatu pada anak ini? Bukan cuma keluargamu yang akan menyalahkanmu, tapi kamu sendiri juga akan menyesal seumur hidup," tegur Ewan dengan ekspresi serius.

Sebelum kakek tua sempat berbicara, pria paruh baya di belakangnya berujar, "Anak muda, apa kamu tahu sedang bicara dengan siapa? Biar aku kasih tahu ...."

"Henry!" seru kakek tua menoleh sambil memelototi pria paruh baya yang bernama Henry Prasetyo itu.

Henry segera diam.

Kakek tua tersenyum kepada Ewan seraya bertutur, "Anak muda, lain kali aku pasti akan berhati-hati. Aku benar-benar berterima kasih banyak padamu untuk hari ini."

"Cuma bantuan kecil. Nggak usah sungkan," balas Ewan.

Pada saat ini, Ewan baru memperhatikan kakek tua dengan saksama. Kakek itu mengenakan pakaian tradisional. Rambutnya disisir rapi. Jempol kirinya memakai cincin giok hitam. Dia memiliki wibawa yang luar biasa.

Sementara pria paruh baya yang berada di sisi kakek tua memiliki wajah tegas dan tatapan yang tajam. Dia juga tidak terlihat seperti orang biasa.

"Anak muda, siapa namamu?" tanya kakek tua dengan ramah.

"Namaku Ewan," jawab Ewan.

"Kalau dilihat-lihat, kamu sudah bekerja, 'kan?" tanya kakek tua lagi.

"Kenapa? Kakek sedang melakukan sensus penduduk?" timpal Ewan. Dia tersenyum sembari melanjutkan, "Ini sudah sore. Aku harus pulang. Sampai jumpa."

Selesai berbicara, Ewan berbalik pergi.

"Tunggu dulu," ucap kakek tua buru-buru. Dia mengeluarkan sebuah kartu ATM, lalu menyerahkannya kepada Ewan.

"Apa maksud Kakek?" tanya Ewan sambil mengernyit.

Kakek tua tersenyum dan membalas, "Anak muda, terima kasih kamu sudah tolong cucuku. Ada 1 miliar di dalam kartu ini. Semoga kamu nggak anggap ini terlalu sedikit. Terimalah."

Ewan sedikit terkejut. Kakek itu langsung memberinya 1 miliar. Jelas sekali statusnya tidak biasa. Namun, hatinya sama sekali tidak tergerak.

"Aku tolong orang bukan demi uang," kata Ewan. Selesai berbicara, dia tiba-tiba maju selangkah.

Melihat tindakan Ewan, Henry berkata sambil mencibir dalam hati, 'Masih bilang bukan demi uang ....'

Namun, Ewan tidak mengulurkan tangan untuk menerima kartu ATM dari tangan kakek tua, melainkan terus menatap wajah kakek tua dengan serius. Setelah 30 detik, Ewan baru bertanya, "Apa Kakek sedang sakit?"

"Aku nggak sakit. Beberapa hari lalu, aku baru melakukan pemeriksaan kesehatan. Kondisiku sehat," sahut kakek tua tersenyum.

"Ini aneh," ucap Ewan sambil mengernyit.

"Apa yang aneh?" tanya kakek tua.

"Aku merasa Kakek sedang sakit dan sepertinya cukup parah. Hanya saja, untuk sementara aku nggak bisa memastikannya." Ewan meneruskan dengan nada menyesal, "Mungkin perasaanku salah. Semoga Kakek nggak keberatan."

"Aku nggak keberatan," balas kakek tua tersenyum.

"Kalau begitu, aku pamit dulu. Sampai jumpa," ucap Ewan melambaikan tangan, lalu segera pergi.

Begitu Ewan pergi, aura kakek tua seketika berubah drastis. Jika tadi kakek tua terlihat seperti seorang kakek di sebelah rumah yang ramah, saat ini dia terlihat seperti penguasa yang bisa menentukan nasib orang lain. Wajahnya penuh wibawa.

"Selama ini, aku sudah berkonsultasi dengan banyak dokter terkenal. Nggak ada satu pun yang bisa menyadari aku mengidap penyakit serius. Tapi, anak muda itu justru bisa menyadarinya. Apa langit berbaik hati mengizinkan aku yang sudah mau mati ini hidup beberapa tahun lagi?"

Kakek tua memerintah, "Henry!"

"Aku di sini," balas Henry. Dia memberi hormat, lalu bertanya, "Raja Naga, ada perintah apa?"

"Segera selidiki Ewan. Aku mau tahu semuanya tentang dia," ucap Raja Naga.

"Baik," sahut Henry.
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Sandy Denta Buana
mantap banget
goodnovel comment avatar
Ahmad Zaini
Tanda-tanda akan terbukanya pintu kesuksesan...
goodnovel comment avatar
Abdul Nasir
sipat seorang dokter yang baik .
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dokter Sakti Penguasa Dunia   Bab 834

    Di lapangan latihan.Ewan melangkah keluar. Saat jaraknya tinggal lima meter dari kumpulan mayat hidup, dia berhenti. Tatapannya menyapu wajah mereka satu per satu, lalu dia mengangkat tangan kanannya.Dia mengaitkan jari ke arah mereka dan berkata dengan nada menghina, "Sampah! Kemarilah dan terimalah kematian kalian!"Nada suara Ewan penuh dengan ejekan yang membara. Benar-benar sombong.Sekelompok mayat hidup itu seakan-akan dipancing amarahnya. Mereka mengepalkan tangan dan mengeluarkan raungan garang. "Awuuu!"Salah satu mayat hidup tak tahan lagi dan berlari menyerang Ewan. Namun, baru saja sampai di depannya ....Bam! Satu pukulan dari Ewan langsung mengenai lawan. Tubuh raksasa itu hancur berantakan, daging dan tulangnya hancur.Melihat adegan itu, para prajurit pasukan khusus menjadi bersemangat sampai wajah mereka memerah. Mereka berteriak sekeras-kerasnya."Dewa Perang!""Dewa Perang!""Dewa Perang!"Suara mereka menggelegar seperti guntur, seolah-olah hendak mengguncang sel

  • Dokter Sakti Penguasa Dunia   Bab 833

    "Seratus persen."Mendengar itu, Tandi pun mengembuskan napas lega. Kalau semua mayat hidup itu bisa diselesaikan oleh Ewan, itu berarti para prajurit pasukan khusus akan aman. Setidaknya, mereka tidak perlu melakukan pengorbanan yang sia-sia.Ewan berkata, "Menyingkirkan mayat hidup itu mudah. Yang aku khawatirkan adalah musuh masih punya rencana lain."Tandi langsung paham maksud Ewan. "Maksudmu jenderal itu?"Ewan mengangguk ringan. "Alasan kenapa kita bisa sampai ke sini dengan begitu lancar, pasti karena diatur oleh orang itu. Tujuannya jelas, yaitu menjebak kita di sini, lalu membasmi kita sekaligus.""Aku seharusnya mendengarkanmu dan mundur lebih awal," kata Tandi dengan nada menyesal."Sekarang sudah terlambat membicarakan itu. Kita selesaikan dulu masalah di depan mata. Soal yang berikutnya, nanti baru kita hadapi." Usai berbicara, Ewan melangkah sendirian menuju arah kumpulan mayat hidup.Melihat tindakan Ewan, para prajurit pasukan khusus langsung merasa terharu. Mereka tah

  • Dokter Sakti Penguasa Dunia   Bab 832

    Bam! Saat dinding menutup, Ewan secepat kilat melayangkan tinju.Buk! Tinju menghantam dinding, mengeluarkan bunyi teredam. Namun, dinding itu tak bergerak sedikit pun.Ewan tampak kaget. Harus diingat, tubuh mayat hidup sekeras besi dan tinjunya bisa menghancurkan mereka. Namun, dinding ini malah tidak bergetar sedikit pun. Bisa dilihat betapa kerasnya dinding ini.Wajah Ewan segera berubah muram. "Kita jatuh ke dalam jebakan musuh," kata Ewan dengan suara berat.Wajah Tandi tampak serius. Dia segera memerintahkan pasukan, "Cari cara, buka dinding ini.""Siap!" Beberapa prajurit segera maju ke dinding.Logan berkata, "Tandi, Ewan, kalian nggak perlu terlalu panik. Kita sudah di sini, santai saja. Kalau memang musuh mau membunuh kita, lihat dulu apakah mereka sanggup. Lagi pula, jumlah kita banyak ....""Cukup," sela Tandi, lalu menoleh ke prajurit yang mendekat. "Gimana? Bisa dibuka?""Nggak bisa dibuka, Komandan.""Sial!" Tandi mengumpat, lalu berkata, "Kalau begitu, kita cuma bisa m

  • Dokter Sakti Penguasa Dunia   Bab 831

    "Kamu cepat tangkap. Mau belajar hal lain nggak?" tanya sang Jenderal yang sudah meraih tangan wanita itu."Mau," jawab wanita itu tanpa ragu sambil mengangguk."Hahaha, bagus. Aku akan segera mengajarkanmu." Setelah berkata begitu, sang Jenderal tiba-tiba membentak, "Berlutut!"Wanita itu kaget hingga tubuhnya bergetar. Dia langsung berlutut di lantai. Wajahnya pucat saat berkata, "Jenderal, tolong jangan bunuh aku. Aku ...."Jenderal meraba wajahnya, lalu mencubit dagunya dan tersenyum menyipitkan mata. "Kamu cantik begitu, mana mungkin aku tega membunuhmu?""Kalau begitu, maksud Jenderal ....""Kamu tadi bilang ingin belajar, 'kan? Aku ajari," kata sang Jenderal, lalu dengan kasar menekan kepala wanita itu sambil memerintah, "Buka mulut!"Wanita itu langsung paham niat sang Jenderal. Dia tersenyum manis kepadanya. "Ternyata Jenderal, suka yang begini. Kenapa nggak bilang dari tadi? Aku akan melayani Jenderal ...."Dalam waktu singkat, ruangan kantor berubah menjadi tempat mesum. San

  • Dokter Sakti Penguasa Dunia   Bab 830

    Setelah Tandi memberikan perintah, dua prajurit segera memasang sebuah katrol di tepi lubang, agar para pasukan bisa turun ke dalam menggunakan tali."Hati-hati, semuanya," ujar Ewan mengingatkan, lalu dia menggenggam tali dan tubuhnya meluncur turun ke dalam lubang.Yang lain segera mengikuti.Ewan bergerak dengan sangat hati-hati. Walaupun kecepatannya tidak cepat, dia sama sekali tidak berani lengah. Demi menghindari mengejutkan musuh, tidak ada seorang pun yang menyalakan alat penerangan.Tiga puluh detik kemudian, kakinya menyentuh tanah. Sekelilingnya gelap gulita dan sunyi, tidak terdengar sedikit pun suara.Ewan segera mengaktifkan mata batinnya, menatap ke sekeliling, tetapi tidak menemukan satu pun makhluk hidup, termasuk para mayat hidup itu.Tak lama kemudian, semua orang pun mendarat satu per satu di belakangnya."Ada penemuan?" Tandi bertanya dengan pelan."Nggak ada," jawab Ewan. Pandangannya tetap waspada memeriksa sekeliling.Logan menimpali, "Aku curiga para mayat hid

  • Dokter Sakti Penguasa Dunia   Bab 829

    "Menghunus pedang dan menunggang kuda untuk membasmi para iblis!""Ada pepatah, jadi prajurit itu tak takut mati. Takut mati berarti jangan jadi prajurit!""Tanah air yang membesarkan kita. Sekarang saatnya kita mencurahkan darah demi membalas budi kepada tanah air.""Akan kuambil busur seindah bulan purnama, menatap barat laut, menembak serigala di langit! Kalau mayat hidup itu adalah serigala, kita akan musnahkan mereka!""Katakan padaku, apa kalian punya keyakinan?""Punya!" Prajurit pasukan khusus itu serempak meneriakkan jawaban. Agar tidak menakuti musuh, semua orang menahan sorakan mereka agar tidak terdengar berlebihan.Ewan melirik Tandi dengan sedikit rasa kagum. Dia tiba-tiba sadar, Tandi bisa menjadi perwira Aula Raja Maut pada usia 30-an bukan hanya karena latar keluarga, tetapi juga kemampuan pribadinya. Walaupun mengetahui akan menghadapi musuh sekuat mayat hidup dan ancaman tak dikenal, dia tetap tenang. Sungguh berwibawa."Baik! Kita akan bergerak dalam 30 detik!" Tand

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status