LOGIN
Di waktu pagi ketika matahari baru terbit, cahayanya berwarna keemasan menyapa daun-daun di pepohonan yang basah oleh embun. Saat itu aroma daging manusia yang tengah dibakar di atas perapian terbawa angin keluar melewati pintu gua.
Gunung Ratri sudah lama dikenal sebagai Gunung Sarang Siluman, begitulah masyarakat Desa Lubuk Cempaka menamainya. Di puncak gunung itu terdapat sebuah gua yang menjadi tempat tinggal siluman jahat, warga menjulukinya sebagai Iblis Hitam.
Iblis Hitam suka turun ke desa mencari anak-anak kecil untuk dibawa dan jadikan santapan, bahkan dia juga sering menculik gadis-gadis untuk memuaskan nafsunya. Warga desa sudah tidak tahan lagi dengan kekejaman siluman tersebut.
Sudah banyak para pendekar yang datang menyerang ke gua itu. Namun mereka semua kalah dan mati terbunuh di tangan si Iblis Hitam. Kesaktian siluman ini sungguh sangat luar biasa. Tidak ada satu pun orang yang mampu menandingi kekuatannya yang begitu besar.
Pagi ini empat orang pendekar sepuh telah berkumpul di Gunung Ratri. Mereka adalah para jagoan dari berbagai aliran silat. Kedatangan mereka atas permohonan dari para penduduk desa. Sebab sudah terlalu banyak korban nyawa yang berjatuhan karena kejahatan si Iblis Hitam.
Empat orang pendekar sepuh itu ialah Datuk Subrata, Datuk Ancala Raya, Datuk Gastiadi, dan Nenek Kumari. Mereka semua dikenal sebagai para pendekar sepuh penjaga kedamaian di dunia persilatan.
Datuk Subrata yang paling tua di antara mereka berempat berucap, “Siluman terkutuk itu tidak akan dapat dibunuh kecuali di dalam sarangnya sendiri. Kita harus masuk menyerbu ke dalam sana.”
“Kita tetap harus hati-hati,” ujar Datuk Ancala Raya. “Karena siluman itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Sudah puluhan pendekar yang mati di tangannya.”
Datuk Gastiadi kemudian mengeluarkan tiga butir batu mutiara dari balik bajunya. Batu mutiara itu berwarna hijau, putih, dan juga biru. Ketiganya tampak indah dan berkilau, sehingga membuat terkagum Nenek Kumari yang berdiri di sampingnya.
“Mutiara yang sangat indah sekali. Baru pertama kali ini aku melihatnya,” kata Nenek Kumari.
“Ini adalah Tiga Mutiara Inti Samudera, mustika milik kerajaan siluman ular kipas,” Datuk Gastiadi memberitahukan kepada para sahabatnya.
“Darimana kau mendapatkan benda itu?” Datuk Ancala Raya heran dan mengerutkan dahi.
“Aku meminjamnya dari Dewi Ratu Niranjana, penguasa kerajaan Ular Kipas,” jawab Datuk Gastiadi. Kemudian dia berkata lagi, “Jika ketiga mutiara ini disatukan dan dibacakan mantra tertentu, maka akan berubah menjadi sebuah rantai emas yang dapat membelenggu siluman sekuat apapun.”
“Sungguh mustika yang sangat hebat!” Datuk Subrata mengangguk-angguk karena kagum mendengarnya.
Nenek Kumari lalu menghentakkan tongkat tembaganya ke tanah. “Ayo, kita serbu ke dalam gua itu sekarang! Aku sudah tak sabar lagi ingin menghajar siluman biadab itu dengan Tongkat Tembaga Merah milikku ini!”
Akhirnya mereka berempat pun segera bergerak menyerbu ke gua tempat kediaman si Iblis Hitam. Tapi ketika para pendekar sepuh sudah hampir mendekati pintu gua itu, tiba-tiba siluman yang mereka cari keluar sendiri dari sarangnya, dia menampakkan wujud di hadapan para pendekar, seakan telah mengetahui kalau pagi ini ada lagi empat orang pendekar sakti yang ingin menantangnya.
Siluman itu bertubuh besar, berkulitnya hitam legam, mempunyai dua taring yang panjang, memiliki dua tanduk di kepalanya yang menyerupai seperti tanduk kerbau, dan wajahnya pun sangat menyeramkan, membuat jantung siapa saja akan berdebar kalau berjumpa dengannya.
Sambil mengangkat dagu, si Iblis Hitam pun berkata, “Pantas saja dari tadi aku mencium aroma tanah busuk, rupanya para kakek dan nenek jompo telah berkumpul di wilayah kekuasaanku ini! Hahahahaha.”
Datuk Ancala Raya merasa tersinggung karena ucapan tersebut. Dia lalu berkata, “Kurang ajar kau, Iblis Hitam! Hari ini adalah hari kematianmu! Bersiaplah menerimanya!”
Iblis Hitam gelak tertawa mendengar gertakan itu. Dia kemudian menantang, “Coba saja keluarkan seluruh kesaktian kalian jika memang mampu membunuhku! Tubuh kalian berempatlah yang akan kubuat hancur lebur sampai jadi debu!”
Nenek Kumari sudah emosi, dia menghentakkan tongkatnya ke tanah. “Sombong sekali kau, Siluman Busuk! Rasakanlah kekuatan dari tongkat pusaka milikku ini!”
Nenek Kumari pun memulai serangan, dia mengayunkan tongkatnya dari kiri ke kanan. Keluarlah cahaya kemerahan yang menyerupai nyala api. Iblis Hitam tak sempat menghindar dari serangan tersebut. Cahaya merah itu mengenai tubuhnya, membuatnya terpental ke belakang.
Namun hanya sebentar satelah itu, Iblis hitam langsung bangkit dan kembali lagi berdiri. “Dasar keparat kau, Nenek Tua!” makinya terhadap Nenek Kumari.
Iblis hitam melompat tinggi ke udara, tubuhnya melayang dan berputar-putar, dia lalu menerjang Nenek Kumari dengan kakinya yang besar.
Nenek Kumari segera melintangkan Tongkat Tembaga Merah di depan dadanya untuk menahan terjangan itu. Tapi rupanya tenaga Iblis Hitam terlalu kuat, si nenek tak kuasa menahan serangan tersebut, hingga dia terpental dan lalu jatuh.
Pertarungan kini sudah dimulai, Datuk Gastiadi pun mengeluarkan jurus Cakar Lima Jari Penghancur Tengkorak. Dia ikut maju menyerang Iblis Hitam. jurusnya itu hendak mengincar ke ubun-ubun siluman tersebut.
Iblis Hitam dapat merasakan hawa dari serangan itu sebelum cakar Datuk Gatiadi sampai padanya. Sedikit lagi tangan kanan si datuk akan menyentuh kepala siluman itu, tapi Iblis Hitam menoleh dan langsung bertindak, dia menangkap lengan Datuk Gatiadi dengan tangan kirinya.
Tangan kanan Iblis Hitam kemudian memukul perut Datuk Gastiadi, setelah itu dia mencengkram kerah baju pendekar tua itu, lalu diangkat dan dilemparnyalah tubuh Datuk Gastiadi hingga jatuh terguling di tanah.
Melihat kedua orang sahabatnya yang sudah jatuh, Datuk Ancala Raya tidak tinggal diam, dia pun berlari dan ingin menyerang si Iblis Hitam.
“Terima ini, Siluman Biadab! Jurus Tendangan Ekor Hiu Memecah Karang! Hiyaaa!”
Datuk Ancala Raya melompat tinggi, tubuhnya lalu berputar bagaikan angin tornado, tendangan kaki kirinya lalu mengayun sangat deras dengan kekuatan penuh, menghantam tepat ke bagian tengkuk Iblis Hitam hingga membuatnya kesakitan.
Tak berhenti sampai di situ, Datuk Ancala Raya menjatuhkan badannya dan berputar lagi di tanah untuk melakukan teknik sapuan. Kaki kirinya mengayun ke arah dalam dan menghantam kuda-kuda si Iblis Hitam. Teknik sapuan itu berhasil merobohkan siluman tersebut, dia terjungkal ke belakang karena kuda-kudanya kehilangan keseimbangan.
Tidak terima dihajar seperti demikian, Iblis Hitam segera bangkit dan kembali berdiri. Dia melompat ke arah Datuk Ancala Raya. Tangannya yang panjang terulur ke depan dan mencengkeram leher si pendekar tua itu. “Akan kubunuh kau, Kakek Tua!”
Cengkeraman Iblis Hitam sangat kuat, sampai-sampai Datuk Ancala Raya tidak bisa bernafas. Dia mampu mengangkat tubuh Datuk Ancala Raya hanya dengan sebelah tangan saja.
Sorot mata Iblis Hitam menyala bagaikan kobaran api. Dia betul-betul marah sekali! Datuk Ancala Raya tersedak karena menahan lehernya yang sakit, dia berusaha melepaskan tapi tidak bisa.
Datuk Subrata yang dari tadi masih diam akhirnya mulai bertindak. Dia berlari seraya mencabut sebilah pedang yang tergantung di belakangnya.
Pedang ini adalah senjata pusaka yang bernama Pedang Penebas Setan. Kehebatan dari pedang pusaka tersebut sudah masyhur terdengar di seluruh dunia persilatan.
Datuk Subrata melompat, dia mengangkat pedang itu membujur di atas kepalanya, kemudian langsung dipancungnyalah tangan si Iblis Hitam yang sedang mencekik leher Datuk Ancala Raya.
Saat mata pedang yang tajam itu menimpa lengan Iblis Hitam yang besar, seketika lengannya langsung putus dan memuncratkan banyak sekali darah, potongan lengan itu lalu berdebuk jatuh di tanah.
Datuk Subrata lanjut menendang perut Iblis Hitam dengan tumitnya. Siluman itu pun terdorong mundur beberapa langkah ke belakang.
Berkat pertolongan Datuk Subrata, akhirnya Datuk Ancala Raya selamat dari cekikan siluman buas tersebut, padahal hampir saja tadi dia kehabisan nafas.
Dengan menumpukan tangan di lantai teras yang terbuat dari batu, Prabu Surya Buana berjuang untuk bangkit. Argani pun lantas mendekatinya. Ketua Persaudaraan Iblis itu tentu tidak akan membiarkan lawannya yang hendak kembali berdiri. Baru beberapa langkah saja Argani berjalan, saat kaki kirinya mulai menginjak di atas lantai teras yang terbuat dari susunan batu, alih-alih terdengar ada suara yang berseru lantang sekali. “Akulah lawanmu, hai Bajingan!”Mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan yang amat tak enak didengar oleh kuping, maka Argani pun memutar pandangannya ke belakang. Seorang pemuda rupanya telah berdiri tegak dengan dada busung dan sinar mata yang tegas. Orang itu tidak lain adalah Giandra.Argani pun membalikkan tubuhnya. Dia tak jadi mendekati Prabu Surya Buana. Kemunculan Giandra membuat Argani sangat jengkel. Seharusnya menurut Argani para pejuang kerajaan saat ini masih berada di Gunung Ratri, namun ternyata, ada satu orang yang sekarang sudah kembali, ini tentu
Baru sesaat Prabu Surya Buana tiba di halaman istana, dia lanngsung disambut dengan pemandangan yang benar-benar tidak menyenangkan. Di depan matanya sendiri, sang prabu menyaksikan mayat para pengawal yang bergeletakan di tanah. Tak ada satupun dari mereka yang masih hidup.Semua tubuh yang terkapar itu mati dalam keadaan hangus. Kulit mereka hitam legam bagaikan layaknya arang. Argani Bhadrika memang sangat kejam sekali.Melihat ada sosok yang berpakaian agung baru keluar dari dalam istana, Argani pun tak mau bertele-tele lagi, dia tahu kalau ini adalah Prabu Surya Buana, maka dia pun ingin langsung menantangnya saja sekarang.Pertemuan dengan sang raja ini sudah begitu lama direncanakan oleh Argani. Bila di akhir malam ini dia berhasil membunuh raja tersebut, niscaya tujuannya untuk mendapatkan takhta akan segera menjadi kenyataan.Prabu Surya Buana pun mengamati Argani yang mulai mendekat. Batinnya lantas bertanya-tanya siapakah orang ini. Sebelumnya sang prabu memang tak pernah b
Di akhir malam yang hampir mendekati waktu subuh, para pengawal semuanya berkumpul di halaman istana, mereka digemparkan dengan sebuah keributan, empat orang dari mereka yang menjaga pintu gerbang telah tewas tergeletak dengan mulut bersimbah darah.Saat itu hanya tinggal dua belas orang pengawal yang masih melindungi istana, sedangkan sisanya yang lain telah ikut pergi ke medan perang menjadi prajurit. Dengan jumlah yang amat sedikit ini, kekuatan mereka tak akan sepadan untuk menghadapi Argani Bhadrika.Kehadiran Argani yang muncul secara tiba-tiba bagaikan hantu di penghujung malam tentu membuat mereka jadi terheran-heran. Bagaimana bisa orang tak dikenal ini datang ke istana dan langsung melakukan porakporanda.Si peneror ini sudah membunuh empat penjaga yang berdiri di depan gerbang. Tak ada satu pun dari pengawal kerajaan yang mengenali Siapakah lelaki ini. Percakapan singkat pun lalu terjadi di antara para pengawal itu.“Sia
Siluman Kera Putih dan Prabaswara saling bergerak dari arah berlawanan. Yang satu kelihatan ingin melimbai gada dan yang satu lagi hendak membabatkan golok. Langkah keduanya bagaikan arus sungai yang deras. Tak lagi mengenal kata surut apalagi tertahan.Saat golok Prabaswara akan mulai menyabet ke leher, tangan kirinya yang kosong menempel di dada, bersiap menepis bila Siluman Kera Putih juga akan memukul.Ternyata hal yang terjadi malah diluar perhitungan Prabaswara. Sabda Alam yang menyongsong dari arah berlawanan melentikkan tubuhnya ke belakang. Mata golok yang tajam itu gagal menyentuh dirinya. Tiba-tiba lalu dari bawah, ayunan gada yang berduri menghantam ke selengkangan Prabaswara!Pukulan dahsyat itu sampai sampai membuatnya terlonjak, bola matanya terbalalak menatap ke langit, dan saking menahan sakit yang tak dapat dibahasakan, mulut Prabaswara pun tak bisa lagi bersuara.Dengan kaki yang gemetar Prabaswara berjalan mundur. Bak pohon limbung didera tiupan angin, langkahnya t
Bayu Halimun terus mengejar orang yang dahulu pernah menjadi sahabat dekatnya itu. Dia tak tahu kemanakah Pangeran Kelelawar ingin membawanya. Mereka terbang melewati pohon-pohon besar di tengah kegelapan hutan yang sunyi.Walau mata Pangeran Kelelawar tak menoleh ke belakang, namun kehadiran Bayu Halimun yang dari tadi mengikuti dapat dirasakan olehnya. Aura kegelapan milik siluman burung hantu itu memang tak pernah berubah. Energinya sangat negatif. Itu disebabkan karena dia telah lama bergabung dalam persaudaraan Iblis, berkumpul dengan orang-orang jahat yang membuat jiwanya jadi tambah gelap.Setelah cukup jauh melayang di bawah binar purnama yang muram, akhirnya Pangeran Kelelawar menemukan juga lokasi yang cocok untuk meladeni Bayu Halimun. Yaitu hamparan rumput luas yang lumayan lengang dari pepohonan. Dalam pertarungan ini, Mahesa Bhamantara bertekad akan mengerahkan seluruh kemampuan kanuragan yang dia miliki. Bila dirinya berhasil mengalahkan Bayu Halimun, dia berharap deng
Malam yang dingin semakin larut. Lereng Gunung Ratri yang penuh pepohonan meranti sudah terlewati di belakang Giandra. Kini dia sedang berada di sebuah kawasan lembah yang masih tertutup hutan.Giandra coba-coba menghitung-hitung jarak perjalanan, menurut perkiraannya, dia nanti akan sampai di istana bertepatan dengan waktu terbit fajar.“Aku tidak boleh terlambat. Semoga saja Argani Bhadrika belum tiba di gerbang istana kerajaan. Jangan sampai bajingan itu mencelekai gusti prabu,” bantin Giandra dalam hati.Dari satu dahan pohon ke dahan pohon yang lain, Giandra terus melompat menggunakan ilmu peringatan tubuh. Temaram pucat cahaya bulan sudah cukup sebagai lentera yang menemaninya sepanjang jalan.Kecepatan Giandra saat melesat di udara dapat melebih laju seekor kuda perang. Sepanjang jalan Giandra tak melihat apa pun di sekitar kecuali hanya kegelapan belantara liar.Bayangan silam kembali terlintas di pikiran Giandra. Di







