Share

CHAPTER 2

Suasana Columbia University pagi hari ini tampak ramai. Banyak mahasiswa dan dosen-dosen yang tengah berkeliaran di sekitar kampus yang cukup terkenal di kota New York ini. Sejenak mood Edward  semakin bertambah buruk. Tanpa bahkan berkata apa-apa pada Ethan, Ia langsung keluar dari mobil.

Edward memang tak pernah suka keramaian seperti ini. Berbeda dengan Anna yang memilih menghilangkan rasa stress nya dengan keramaian. Edward tidak. Ia cenderung memendam perasaan depresinya seorang diri, atau pada beberapa orang yang memang bisa Ia percaya. Ia lebih suka menyendiri atau mungkin dalam kondisi sepi. Bukan ramai seperti ini.

Tanpa bahkan berniat membalas sapaan beberapa mahasiswa yang memanggilnya, Edward tetap berjalan ke arah gedung F, tempat dimana Ia akan menimba ilmu pagi ini. Sesaat Ia tiba di salah satu kelas yang sudah ramai itu, sahabatnya Brian langsung memanggilnya, “Edward! Ayo duduk disini!”

Dengan langkah cepat, Edward langsung berjalan ke arah Brian yang duduk dibagian belakang. Belum sempat bahkan Edward menaruh tas ranselnya di kursi, Brian langsung merangkul pundak Edward dan berbisik, “Ed! Aku dengar dari TV ibumu sudah kembali ke New York. Apa benar?”

Edward mendengus kesal, lalu melepas rangkulan Brian dan menaruh tas ranselnya sedikit kasar. Tanpa menjawab pertanyaan Brian, Ia langsung duduk dan membuka buku miliknya.

Sorry, Aku bukan bermaksuk membuat mood mu semakin buruk. Aku hanya khawatir padamu.” Jelas Brian dengan nada penuh khawatir.

Sebagai sahabat baik Edward sejak SMP, Brian jelas sudah cukup tahu bagaima keadaan keluarga Edward. Walau Edward tak selalu menceritakan apa yang terjadi di dalam rumah itu, tapi itu tidak berarti Brian tak mengetahui apapun. Keluarga Clark adalah keluarga yang sangat terkenal di bidang kedokteran. Wajar saja, Ayah Edward, Ethan Clark adalah salah satu dokter jantung terbaik di Amerika Serikat. Hampir setiap dokter di negeri Paman Sam pasti tahu keluarga Clark, terlebih sejak Edward Clark juga memutuskan untuk lanjut sekolah kedokteran. Nama keluarga ini semakin terkenal di kalangan kedokteran.

Ah! Ditambah lagi dengan Ibu Edward, Rebecca Clark. Popularitas Rebecca yang bisa menembus pasar asia dan timur tengah juga tak bisa diabaikan. Begitu juga dengan Annabella Clark, adik perempuan Edward. Gadis yang masih berusia 18 tahun itu sedang berada dalam puncak popularitasnya saat ini. Tanpa berniat mencari popularitas apapun, keluarga ini sudah pasti akan dipandang oleh publik.

Satu-satunya yang tak pernah diketahui publik adalah keluarga mereka yang sebenarnya begitu kacau. Sosok Rebecca dan Anna yang jarang pulang ke rumah, Ethan yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai kepala dokter di bagian divisi jantung, hingga Edward yang selalu menahan rasa depresinya. Publik juga tak pernah tahu bahwa keluarga yang dikira ideal ini sesungguhnya hanya terisi dengan pertikaian tak habis-habisnya.

‘’Aku mengerti kalau kau tidak mau bicara padaku saat ini. Tapi sekali lagi aku minta maaf. I’m really sorry!’’ Brian lagi-lagi berkata dengan perasaan bersalah pada Edward yang masih sibuk dengan buku bacaanya. Ia tahu Edward tidak marah padanya. Hanya saja Edward pasti memang tak ingin bicara dengannya. Anggap saja Ia memang telah salah berbicara dan memperburuk mood sahabatnya pagi ini.

Brian kini duduk di kursinya, persis di sebelah kiri Edward. Sambil menunggu Dosen Travis datang, Brian lebih memilih melanjutkan permainan Angry Bird di handphone Samsung Galaxy miliknya. Tapi saat Ia hampir saja membunuh salah satu burung berwarna merah itu, teleponnya  berdering kencang.

Brian menghela nafas kesal saat melihat nama ‘Celine Kang’ yang ada disana. Ia melirik sekilas ke arah Edward yang masih saja asyik dengan aktivitas membacanya. Dengan kesal, Brian menjawab telepon itu, “Why? Kenapa kau meneloponku? Ada sesuatu yang penting nona Kang?” Brian sengaja menekankan kata ‘Nn. Kang’ berharap Edward sadar siapa yang tengah mengganggu permainannya pagi ini. Tapi pria yang ada disampingnya tetap saja tak bereaksi apa-apa.

“Apa Edward ada bersamamu? Aku menghubunginya dari tadi pagi, tapi handphone-nya sama sekali tak aktif!” Seru Celine dengan khawatir di seberang sana.

Brian mencoba bersabar. Tanpa menjawab Celine, Ia langsung memberikan Hand Phone miliknya pada Edwaard, Pacarmu mencariku. Ia bilang handphone-mu tidak aktif.”

Edward menoleh sekilas ke arah Brian, tanpa bahkan berniat mengambil telepon yang tengah diberikan padanya, “Bilang padanya aku akan menghubunginya nanti sore. Setelah kita selesai kuliah.” Setelah berkata demikian, Edward kembali kepada buku bacaannya.

Brian menghela nafasnya kesal, lalu mengelus dadanya berkali-kali mencoba bersabar dengan tingkah sahabatnya yang kembali sangat dingin pagi ini, “Celine, Ed bilang Ia akan menghubungimu nanti sore. Setelah kuliah selesai.”

“Apa Ia sedang baik-baik saja?”

“Menurutmu? Jelas tidak Nn. Kang! Kalau Ia baik-baik saja, tidak mungkin Ia tidak membuka handphone-nya sejak tadi pagi. Bukankah begitu?” Jawab Brian.

Ok, I get it. Tolong bilang padanya aku akan menunggu teleponnya secepatnya.” Belum sempat Brian kembali menjawab, Celine kembali bertanya, “By the way, apa ini karena berita kedatangan Ibunya di New York?”

I don’t know! Tadi pagi saat aku bertanya, Ia juga tak menjawab apa-apa.” Brian lalu kembali mendengus kesal saat melihat Edward yang bertingkah seakan-akan tak mengerti arah pembicaraan mereka,  ‘’Lebih baik kau tanyakan saja padanya. Aku juga bukan sedang dalam mood  yang baik Nn. Kang. Pacarmu sejak tadi juga tak mau bicara padaku.”

‘’Ok. Aku tutup dulu. Tapi tolong jaga Ed

baik-baik ya. Aku sangat khawatir padanya.”

Tanpa berniat membalas apa-apa, Brian langsung menutup panggilan terlebih dahulu. Ia lalu menatap handphone-nya kesal, “Menjaga? Cih! Kau kira aku pacarnya! Itu pacarmu, jadi kau harus menjaganya sendiri Nn. Kang !’’

Edward yang disampingnya tanpa sadar tertawa kecil mendengar gerutuan Brian. Dengan nada sedikit merasa bersalah, Ia menoleh pada Brian, “I’m sorry,

 Celine lagi-lagi mengganggumu.”

Kekesalan Brian hilang dalam sekejap saat melihat sahabatnya tersenyum kecil. Dengan senyuman merekah Ia kembali menatap Edward, “Tak masalah untukku.” Lalu sebelum mendapat jawaban dari Edward, Brian kembali melanjutkan dengan nada bercanda, “Tapi aku mohon dengan sangat, tolong bilang padanya untuk tidak menggangguku lagi.”

Edward mengangguk sambil tertawa kecil, “Iya. Aku akan memberitahunya nanti. Thanks!

Setelah berkata demikian, Edward kembali lagi ke dalam buku bacaannya. Brian kembali bernafas lega. Setidaknya mood Edward sudah sedikit membaik. Jika boleh jujur, tak masalah baginya jika Celine ngin mengganggunya terus menerus. Ia juga tahu beban seorang Celine Kang. Menjadi sosok pacar seorang

Edward Clark bukan satu hal yang mudah.  Edward yang sangat populer di kalangan mahasiswa hingga bahkan publik. Sekalipun Edward tak pernah mempedulikan mereka, tapi itu bukan berarti Celine tak pernah merasa cemburu atau bahkan merasa terbeban dengan semua popularitas Edward. Celine hanya seorang mahasiswa biasa tanpa popularitas apapun. Sekalipun gadis itu memang terkenal dengan kecantikannya, tapi popularitasnya jelas tak bisa dibandingkan dengan Edward.

Ditambah lagi dengan Edward yang cenderung tertutup dan dingin. Tak semua hal akan diceritakannya pada Celine. Seperti saat ini, Brian yakin Celine juga tak tahu sama sekali apa yang membebani pikiran Edward. Walau mereka bisa menebak, tapi tak aka nada yang bisa tahu secara pasti sebelum Edward sendiri mau membuka mulutnya.

Seperti hari ini, kebiasaannya untuk tak menyentuh handphone juga adalah masalah lainnya. Bukan satu kali atau dua kali Edward sulit dihubungi, hingga tak jarang Celine akan mencarinya. Tapi sekalipun mereka kesal, mereka juga bukan tak mengerti beban Edward. Pria itu terlalu takut untuk membuka handphone-nya. Edward takut saat harus membuka internet karena harus membaca gossip-gosip tentang Ibunya, atau bahkan menerima berbagai chat dari penggemar-penggemar yang tak pernah jelas asal-muasalnya. Begitu juga dengan Ibunya yang kadang–kadang bisa mengganggunya. Jadi seperti saat ini, Edward akan lebih memilih menghabiskan waktunya dengan membaca. Tak di kampus, atau di rumah. Buku selalu menjadi pelarian sahabatnya ini.

Good morning! Sekarang kita akan masuk dalam Bab 2 mengenai Anestesiologi ! Tolong semua buka buku kalian halaman 20’’ Suara Dosen Travis yang baru saja masuk kelas kini menghentikan aktivitas keduanya. Brian langsung menutup handphone-nya dan merapatkan kursuinya ke arah Edward yang tengah mencari halaman yang dimaksud.

Edward sedikit terkejut dengan Brian yang kini sudah menempel padanya, “Wae? Kau tak bawa buku lagi ?’’ Tanya Edward.

Brian mengangguk sambil terkekeh kecil, ‘’Aku tak bawa buku. Hehe.”

Edward mendengus sedikit kesal saat menggeser sedikit bukunya ke tengah agar bisa dibaca oleh mereka berdua. Ini bukan pertama kalinya Brian tidak membawa buku. Pria itu memang malas membaca. Terkadang Edward juga bingung, kenapa Brian  ingin menjadi dokter jika Ia tidak suka membaca? Tapi ia harus akui Brian adalah siswa yang pandai! Tanpa pernah berniat menyentuh buku, Brian sudah bisa lulus dengan nilai yang cukup baik. Jika pria ini mau membaca, mungkin Edward pun juga bisa dikalahkannya.

Thank you!  I love you Edward Clark’’ Bisik Brian sambil merangkul pundak Edward.

Edward hanya bisa menggelengkan kepalanya lucu melihat tingkah Brian. Inilah sahabat. Saling membantu di saat susah. Tapi juga selalu menjadi penghibur disaat sedih. Sahabat yang melebihi kehangatan keluarga yang dimiliki Edward Clark! Mungkin tanpa sosok Brian, Edward tak akan bisa bertahan sampai saat ini. Sejenak Edward kembali merasa bersyukur dengan kehadiran Brian di hidupnya, Thank you! Katanya dalam hati.

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status