Share

CHAPTER 4

Selalu ada alasan bagi setiap manusia untuk memilih sesuatu. Begitu juga dengan Edward. Ada alasan mengapa Ia selalu kembali ke rumah yang bagaikan neraka ini. Kalian ingin tahu kenapa? Karena Edward tak ingin kedua orang tuanya bercerai! Edward ingin kedua orang tuanya hidup seperti dulu. Hidup di rumah ini dengan penuh kehangatan dan cinta. Mereka pernah hidup dengan kehangatan dan cinta di rumah ini. Edward berharap satu hari mereka akan kembali seperti dulu. Apakah ini adalah suatu mimpi yang mustahil? Entahlah!  Edward juga tak tahu.

Akhir-akhir ini harapan itu semakin pupus. Semenjak 3 bulan lalu Ia mendengar berita kehamilan Rebecca, harapan itu sudah pergi. Ia sempat mengira kehadiran bayi itu akan membawa keluarga mereka lebih baik, tapi Ia salah besar. Jika saja bayi itu adalah bayi Ethan, adik kandungnya, mungkin ada harapan tersimpan disana. Tapi bagaimana jika bayi itu adalah bayi orang lain? Itu jelas bukan harapan, tapi sebuah bencara besar bagi keluarga mereka.

Seperti malam ini. Harapan itu seakan kembali pupus untuk kesekian kalinya. Saat Ethan masuk ke dalam ruang tamu, hal yang pertama yang didengar di telinganya adalah teriakan Rebecca, “Jangan menghalangiku!”

“Itu konsekuensi yang harus kau tanggung Becca! Kau yang melakukan hal bodoh itu sendiri, dan kau yang harus menanggung akibatnya!”

“Aku tahu itu! Karena itu aku akan membunuh bayi ini! Aku tak bisa hidup seperti ini terus!”

“Jangan gila !”

“Itu salahmu! Kalau 3 bulan lalu kau membiarkanmu membunuh bayi ini, hidupku tak akan seperti ini! Aku akan baik-baik saja!”

“Aku memberikanmu pilihan Becca! dan kau memilih mempertahankan bayi itu! Jadi sekarang kau tak perlu bertindak gila! Lebih baik kau jaga anakmu sampai Ia lahir, mengerti!”

“Tidak! Aku akan membunuhnya! Aku tak bisa lagi hidup seperti ini! Aku bisa gila!”

“Kau sudah hamil 5 bulan! Kau berani membunuh bayi itu, kau juga akan mati!”

“Aku mati? Itu bahkan jauh lebih baik! Hidup seperti ini tak ada bedanya dengan mati!”

“Terserah apa keinginanmu! Jika aku terus berada disini, aku juga bisa menjadi gila! Aku akan membawa alkohol ini ! Dan kau ! Lebih baik kau istirahat ! Tak usah bertindak gila !’’

Ethan yang sudah kesal langsung keluar dari kamar dan membawa sebotol minuman keras dari kamarnya. Ia terkejut saat menemukan sosok Edward persis berdiri di depan kamar mereka. Wajah Edward tampak sangat kecewa. Ini bukan pertama kalinya Edward mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Tapi selalu saja air mata itu tak bisa Ia tahan. Ia benci mendengar pertengkaran yang tak habis-habisnya di rumah ini.

 “Ed, sejak kau kapan kembali?” Tanya Ethan dengan penuh keterkejutan. Jika Ia tahu sejak tadi Edward ada di depan kamar mereka, tak mungkin Ethan berani untuk berbicara sejauh ini.

Edward tak menjawab pertanyaan Ethan. Ia hanya diam dan menghapus air mata yang ada di wajahnya.

Menyadari tangisan Edward, Ethan semakin merasa bersalah. Sejenak Ia sungguh berharap Ia tak pulang dari rumah sakit. Jika Ia tak pulang, mungkin Ia tak harus bertengkar hebat dengan Rebecca, Maaf, kau harus mendengar pertengkaran kami lagi.”

Tak kunjung mendapatkan jawaban apapun, Ethan kembali bersuara, “Kau sudah makan? Jika belum, bagaimana jika kita pergi makan di luar?” Tawar Ethan.

Jujur saja, dalam kondisi seperti ini Ethan juga enggan untuk tetap berada di rumah ini. Jika Ia memang harus kembali ke sini, setidaknya Ia akan menunggu saat tengah malam, saat Rebecca memang sudah terlelap. Ia tak ingin menghabiskan malam ini dengan pertengkaran tak henti. Tubuh dan pikirannya sudah cukup lelah dengan pekerjannya, dan sekarang Ia bahkan harus menghadapi pertengkaran di rumah. Tidakkah ini terdengar mengerikan? Rumah yang harusnya menjadi tempat peristirahatan, kini justru menjadi tempat yang paling melelahkan. Sungguh ironi bukan?

Edward mengangguk singkat, “Ayo kita makan. Aku juga tak ingin ada di rumah.”

Malam itu Ethan membawa Edward untuk makan di sebuah cafe bar yang ada di kawasan ST. John street, sekitar 40 menit dari rumah mereka yang berada di kawasan elit The Hampston Sejujurnya tak pelu bagi mereka untuk pergi sejauh itu demi mengisi perut mereka di malam hari seperti ini. Hanya saja disaat-saat seperti ini, tanpa saling bicara mereka tahu keinginan masing-masing, yaitu pergi sejauh mungkin dari rumah.

Flavor First Cafe di malam ini cukup ramai. Tampak orang-orang yang tengah mengisi perut mereka dengan steak dan appetizer lainnya, dan tentu saja dilengkapi dengan wine dan beer yang hampir menghiasi setiap meja. Begitu juga dengan Edward dan Ethan. Sepasang ayah dan anak ini tampak juga memesan hal yang sama. 2 botol wine, appitizer, serta 1 porsi rib eye steak.

“Mana gelasmu? Biar Daddy tuangkan ini untukmu.” Kata Ethan sambil membuka sebotol wine di tangannya.

Edward lantas menggeleng, ‘’Aku tak akan minum malam ini.’’Lalu Edward memandang Ethan dengan iba, ‘’Daddy malam ini boleh minum sepuasnya. Biar aku yang menyetir nanti.’’

Ethan mengangguk mengerti, lalu Ia menuangkan wine tersebut ke dalam gelasnya dan meminumnya cepat.

Edward memang sengaja membiarkan Ethan minum sepuasnya malam ini. Ia tahu bahwa Ayahnya pasti tengah stress karena pertengkarannya dengan Rebecca malam ini. Sekalipun Ethan tak bicara apa-apa pada Edward, wajah pria itu sudah menunjukkan betapa berat beban yang tengah ditanggungnya. Ia tak ingin Ethan terus menahan semua kekesalan ini sendiri. Jadi Ia rasa membiarkan Ethan minum malam ini, bukan suatu keputusan yang buruk.

Dad, apa boleh aku bertanya padamu sesuatu?” Tanya Edward sambil memotong Rib eye steak yang dipesannya tadi.

Ethan mengangguk, “Tentu saja boleh. Apa yang ingin kau tanyakan ?’’

Edward menatap Ethan ragu, tak yakin apakah pertanyaan ini akan dijawab oleh Ethan, “Apa yang tadi ingin dilakukan Mom? Apa dia ingin membunuh bayinya lagi?”

Jujur saja, berita Rebecca hamil beberapa bulan lalu sudah membuat Ia dan keluarganya hancur. Ia tak pernah ingin membicarakan kehamilan Rebecca terutama didepan Ethan. Ia sempat berharap berita kehamilan itu hanyalah sebuah gossip semata. Ia selalu berpikir tak mungkin Rebecca akan hamil lagi. Bagaimana bisa Rebecca hamil, jika setiap Ia pulang ke rumah mereka akan selalu bertengkar?

Tapi 3 bulan lalu semua ketakutan itu terjawab. Pertengkaran yang mengerikan di kamar kedua orang tuanya 2 bulan lalu membuat Edward tahu bahwa berita kehamilan Rebecca bukan hanya gossip semata. Ia juga bukan tak akan senang jika memang Rebecca hamil lagi. Ia akan sangat senang jika Rebecca memang hamil. Mungkin kehadiran bayi itu bisa menghangatkan keluarga mereka. Tapi Edward tak pernah sekalipun berpikir bahwa Rebecca akan hamil anak orang lain. Ini jelas gila! Jika Edward saja sulit menerimanya, apalagi Ethan! Oh! Pria itu pasti sangat hancur!

Tapi Ia juga tak bisa berbohong. Mendengar Rebecca yang berapa kali ingin membunuh bayinya membuat Edward juga khawatir. Semarah-marahnya dia pada Rebecca, Rebecca tetap adalah Ibunya. Wanita yang melahirkannya. Lagipula, Edward juga tak akan tega membiarkan Rebecca membunuh bayi tak bersalah itu. Bagaimanapun bayi itu tak bersalah.

Ethan terdiam sejenak, lalu Ia menuangkan lagi segelas wine di tangannya dan kembali meminumnya sekaligus. Setelah itu Ia baru menjawab pertanyaan Edward, “yes, Ibumu tadi mencoba meneguk alcohol lagi. Tapi saat aku datang, aku langsung membuangnya.”

“Apa Mom benar-benar masih tak menerima kehamilan ini?”Tanya Edward dengan nada kecewa.

Ethan menggeleng, “Sepertinya sulit. Kita bahkan masih sulit menerima ini. Apalagi Ibumu. Bayi itu bukan bayi yang diinginkannya. Ini akan sangat sulit untuknya.’’

Edward menghela nafasnya panjang, lalu kembali menuangkan wine ke gelas Ethan, ‘’Bagaimana dengan ayahnya ? Dad sudah tahu siapa Ayah bayi itu ?’’

Ethan terdiam sejenak, berusaha menelan semua kekecewaannya. Ia lalu kembali meneguk wine itu, dan baru menjawab Edward, “Dad pernah bertanya pada Ibumu, dan Ia tak menjawabnya.’’

‘’Dad tak mencari tahu ?’’

‘’Dad tentu ingin tahu, tapi Daddy takut.’’ Kata Ethan dengan sendu. Ia lalu kembali menuagkan gelas kosong miliknya dengan wine lagi, “Daddy takut ketika tahu, Daddy bisa membunuh orang itu. Daddy juga takut kalau publik sampai tahu bahwa Ibumu mengandung anak orang lain. Bisa kau bayangkan tekanan seperti apa yang harus Ibumu tanggung ? Daddy tak bisa membayangkannya. Bisa-bisa Ia bunuh diri.’’

Edward mengangguk setuju pada Ethan yang masih berusaha menahan kesedihannya, ‘’Benar apa kata Daddy. Jika aku tahu pria itu, aku bisa membunuhnya juga.”Ia lalu memberikan beberapa potong daging pada piring Ethan, sebelum Ia kembali bertanya lagi dengan ragu, ‘’Tapi, apa Daddy yakin tak ada kemungkinan sedikit pun Mom mengandung anak Daddy ? Maksudku, hingga saat ini belum ada teknologi yang bisa mengecek DNA bayi yang belum lahir.’’

“Ed, Kau tahu, saat Daddy menemukan surat pemeriksaan itu, Daddy juga berharap itu adalah anak Daddy.” Ethan terdiam sejenak, lalu kembali meneguk minumannya, “Tapi Daddy tahu Daddy tak pernah menyentuh tubuh Ibumu selama beberapa bulan ini. Bagaimana bisa itu adalah anak Daddy?” Ethan kini tersenyum miris.

“Lalu apa yang akan Daddy lakukan sekarang pada Mom?

“Sejujurnya Daddy tak tahu. Anak itu bukan anak Daddy. Sekalipun Daddy mengakuinya, Daddy takut tak akan bisa menyayanginya. Kau mengerti perasaan itu?” Ia terdiam sejenak dan membiarkan air mata kecewa yang ditahannya mengalir, “Tapi setidaknya Daddy akan membiarkan Anak itu lahir. Bagaimanapun anak itu hanya korban dari kesalahan Ibumu.”

“Aku mengerti.’’ Jawab Edward yang kini juga tak tahan lagi untuk menuangkan segelas wine di tangannya. Sama seperti Ethan, perasaannya sangat hacur malam ini.

Edward kembali membuka sebuah botol wine yang baru dan menuangkannya pada gelas Ethan yang sudah kosong. Lalu Ia bertanya kembali, “Dad, tolong jujur padaku. Apa Dad masih mencintai Mom?”

 ‘Kami pernah saling mencintai.’’ Ia terdiam sejenak, lalu kembali meneguk wine lagi, ‘’Tapi sekarang Dad tak tahu apa perasaan cinta itu masih ada. Dad tak tahu apa Dad masih mencintai Ibumu’’

Edward menatap Ethan dengan tatapan yang sama. Tatapan yang sendu, mencoba mencari kejujuran di mata sendu miliki Ethan. Sekalipun berat, tapi Ia harus mengakuinya, Ethan memang tak yakin dengan perasaannya sendiri.

Edward juga bukan tak mengerti keraguan Ethan. Sosok Rebecca yang dikenalnya dulu memang sudah berubah. Dulu Rebecca adalah seorang ibu yang penuh dengan kehangatan dan cinta. Selalu memberikan kehangatan kepada keluarga kecilnya. Sosok ibu yang selalu dirindukannya

Siang itu Edward dan Ethan sedang bermain basket di belakang rumah mereka. Ethan dengan penuh kasih sayang dan kesabaran terus mengajar Edward untuk melempar basket dengan benar.

“Coba sayang! Lempar dari sini!”Kata Ethan sambil memberikan bola itu untuk Edward.

Edward kecil terlihat ragu. Ia enggan menerima bola dari tangan Ethan.  Ia sudah lelah melempar. Sejak tadi tak ada satu bola pun yang masuk. Saat Ia melihat sosok Rebecca yang datang dengan membawa beberapa piring makanan dan minuman, Edward kecil langsung menghampiri Ibunya dan memeluk kakinya dengan erat.

Sesaat Rebecca tersigap. Tapi menyadari sosok Edward, Ia langsung tersenyum manis. Ia mengusap kepala Edward dengan sayang, ‘’Edward sayang, kenapa memeluk Mom seperti ini ?’’

“Aku tidak mau bermain sama Daddy lagi. Ed mau bermain sama Mom!’’

Rebecca tertawa kecil seketika melihat wajah kecewa Ethan yang kini juga sudah berdiri di sampingnya, ‘’Why? Edward tak suka bermain bersama Daddy ?’’

Edward mengangguk yakin, ‘’Aku lelah ! Sejak tadi tak ada satu bola pun yang masuk! Ed tak mau bermain lagi !’’

Rebecca tertawa lagi, lalu beralih memandang Ethan yang juga tengah memandang Edward lucu, ‘’Biarkan dia istirahat. Kau juga harus istirahat. Nanti setelah kalian makan siang, kalian boleh melanjutkan latihan lagi.’’

Ok! Kita istirahat sekarang. Ayo Ed! Jangan memeluk kaki Mom terus. Ibumu juga harus duduk.” Kata Ethan yang kini berjongkok dan mengelus pundak Edward.

Edward menggeleng, “No! Ed tak mau! Nanti Daddy menggendong Ed ke lapangan lagi!”

Ethan tertawa, “Tidak akan. Daddy janji. Ada Mommy disini, mana mungkin Daddy  bisa memaksamu ?’’

Edward memandang Ethan ragu lalu beralih pada Rebecca yang juga menatapnya dengan tatapan memohon, ‘’Sayang, Mommy harus duduk. Adikmu dalam perut Mommy sangat berat. Mommy tak kuat harus berdiri terus.’’

Ethan juga kini memohon pada Edward, ‘’Ayo sayang ! Kita biarkan Mom dan adikmu duduk. Kasihan Mommy dan adikmu harus beridiri terus. Bolehkan ?’’

Edward kecil akhirnya mengangguk. Perlahan Ia melepaskan pelukannya pada kaki Rebecca. Lalu Ethan menggendongnya dan membawanya untuk duduk di salah satu kursi yang ada, ‘’Nah, sekarang Edward duduk manis disini ya.’’

Edward kecil dengan lekat terus memperhatikan Rebecca yang tengah merapikan makan siang mereka. Ibu yang selalu disayanginya ini tampak dengan sabar dan penuh kelembutam menyiapkan makanan dan minuman di siang hari yang terik ini. Sesekali Ia melihat sosok Ethan yang terus berbisik manis di telinga Rebecca, yang membuat Ibu kesayangannya itu tertawa. Tapi sekalipun Edward tak mengerti, Ia suka saat melihat orang tuanya tertawa dan tersenyum bersama-sama. Ia bahagia.

Ed, bagaimana kalau setelah makan siang kita latihan lagi?”

Edward menggeleng, “No!

Edward mau bermain bersama Mommy!”

Rebecca tertawa, lalu kembali mengelus lembut kepala Edward, “Mommy akan melihat dari sini latihan Ed. Ed mungkin tak tahu, Mommy juga bisa bermain basket. Jadi kalau Ed sudah bisa main dengan baik, nanti kita bisa main bersama-sama. Bukankah akan menyenangkan?”

Edwardo mengangguk, “ Kalau begitu Mommy saja yang mengajari Ed bermain sekarang! Ed mau main bersama Mommy!”

Rebecca tersenyum manis pada Ed, “Sayang, Mommy tak bisa mengajarmu sekarang. Adikmu ada dalam perut Mommy, jadi Mommy tak bisa bermain bola. Tapi nanti kalau adikmu sudah lahir, Mommy akan mengajar Ed bermain basket juga. Bahkan nanti adik Ed juga bisa ikut bermain.”

Edward tetap menggeleng, “Kalau begitu tunggu adik Ed lahir saja. Nanti kita belajar bersama-sama.”

“Belajar basket itu bukan sesuatu yang mudah. Kalau sekarang Ed bisa belajar bersama Daddy itu akan lebih baik. Lalu nanti ketika adikmu sudah lahir, biar Ed dan Daddy bisa mengajar adikmu juga dengan baik. Setelah itu nanti kita berempat bisa bermain bersama-sama. Ed mengerti?”

Edward kecil mengangguk mengerti. Lalu setelah menyelesaikan makan siangnya, Ethan kembali membawanya berjalan ke lapangan basket. Disana lagi-lagi Ia harus mencoba melemparkan bola-bola itu ke dalam keranjang yang sudah disiapkan Ethan untuk melatihnya.

“Ayo! Ed! Coba sayang! Tak apa tak masuk, yang penting jangan menyerah!”

“Ayo sayang! Mommy ada disini! Cepat lempar!”

“Anak pintar! Ayo coba lagi!”

Edward kecil kali ini tak lagi terlalu merasa bosan dengan latihan basket siang itu. Melihat sosok Rebecca yang terus tersenyum sayang padanya sudah memberikannya kekuatan dan semangat baru. Dengan semangat, Ia terus melempar bola-bola itu, hingga beberapa bola itu berhasil masuk.

“Oh! Anak Mommy paling pintar! Edward Clark is the best!”

Bayangan masa lalu yang masuk ke dalam pikiran Edward, membuat matanya kini kembali berkaca-kaca. Ia merindukan saat-saat itu. Saat dimana sosok Rebecca begitu berbeda dengan apa yang dimatanya saat ini. Dulu sosok Rebecca adalah segala-gala untuknya. Selama wanita itu tersenyum, Edward sudah merasa sangat bahagia. Selama wanita itu ada disampingnya dan menyemangatinya, maka Edward akan siap menghadapi tantangan apapun. Selama ada Rebecca, maka Edward akan bahagia. Sesederhana itu.

Tapi sekarang tak ada lagi Rebecca yang sehangat itu. Sosok Rebecca yang dicintai dalam keluarga kecil mereka sudah pergi. Entah sejak kapan Edward juga tak mengingat jelas. Ia hanya ingat sehari demi sehari kehangatan di keluarga kecilnya telah pergi. Sosok Ibu yang dulu selalu menemani mereka di dalam rumah, perlahan-lahan tak lagi terlihat didalam rumah. Semuanya berjalan begitu cepat.

Dad, aku rindu sosok Mom yang dulu.” Kata Edward pelan sambil menatap Ethan yang juga terlihat begitu sedih.

Ethan mengangguk mengerti, ‘’Dad

tahu. Dad juga merindukan sosoknya yang dulu. Sosok yang selalu membuat Dad jatuh cinta padanya.”  Ethan kini sungguh terihat rapuh. Bahkan Edward bisa melihat jelas air mata yang kini juga terlihat dari wajah tampan Ethan.

“Sebenarnya kenapa Mom bisa berubah seperti ini?” Tanya Edward pada Ethan yang kini kembali meneguk segelas wine

Ed, ada banyak hal yang membuat Ibumu menjadi seperti sekarang ini. Ini bukan sepenuhnya salah ibumu” Ethan menjelaskan dengan bijak. Ia lalu menatap Edward dengan menyesal.

“Tapi sampai kapan kalian akan seperti ini? Apa kalian tak lelah dengan hubungan kalian sekarang ini?” Tanya Edward lagi yang kini terlihat frustrasi.

I don’t know. Jawab Ethan singkat, “Jika boleh jujur, dad juga sangat lelah. Dad juga tak tahu sampai kapan bisa bertahan dengan hubungan ini. Tapi dad juga tak ingin bercerai.  tak ingin membuatmu dan Anna harus kehilangan keluarga yang utuh.” Jelas Ethan.

“Keluarga utuh? Apa Dad tak salah? Sejak kapan keluarga kita menjadi keluarga yang utuh? Keluarga kita bahkan lebih mengerikan dari pada mereka yang hidup tanpa keluarga!” Teriak Edward frustrasi. Ia kini juga ikut menangis. Ia tak bisa lagi menahan amarah dan rasa depresi yang selama ini selalu ditahannya seorang diri.

Ethan hanya bisa menangis, Maafkan Daddy. Dad tak bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Jika saja Dad bisa, pasti keluarga kita akan baik-baik saja.”

Edward kini juga semakin tak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi di keluarganya? Disaat Ia menyalahkan Rebecca, Ethan juga merasa bersalah. Tapi Ethan juga enggan menceritakan apa yang menjadi inti permasalahan mereka. Ia benar-benar tak mengerti apa yang terjadi saat ini!

Sejenak Ia juga teringat dengan kata-kata Anna. Ia selalu berharap masih ada kemungkinan bagi kedua orang tuanya untuk kembali bersatu seperti dulu. Maka Ia masih mencoba bertahan di rumah yang sudah seperti neraka itu. Tapi setelah mendengar isi hati Ethan, Edward sendiri jadi ragu apa seharusnya memang kedua orang tuanya terus bertahan pada satu sama lain.

Edward kembali menatap sendu Ethan yang hari ini kelihatan begitu hancur, “Aku tak tahu apa aku pantas bicara seperti ini. Jujur, dalam hatiku, aku tak ingin kalian bercerai suatu hari nanti. Tapi kalau kalian juga tak bisa mengubah keadaan ini, hidup di rumah itu pun tak ada bedanya dengan sebuah perceraian. Aku dan Anna juga tak akan tahan melihat kalian setiap hari bertengkar seperti itu. Kalian berdua seperti musuh yang tinggal didalam satu atap!” Jawab Edward jujur. Ia lalu kembali meneguk wine sejenak, sebelum menatap Ethan dengan iba, “Aku juga tak bisa melihat Dad seperti ini terus. Aku dan Anna tak bisa melihat Daddy dikhianati Mom sampai seperti ini. Ini sudah keterlaluan! Jadi jika Dad ingin bercerai kami sudah pasrah.’’

Mungkin benar apa kata Anna, Ia juga tak bisa memaksa kedua orang tuanya yang hancur untuk tetap bersama. Ia tak bisa melihat ayah yang dihormatinya harus hancur seperti ini hanya karena sosok Rebecca. Mungkin memang mereka tak bisa lagi bersama. Sekalipun berat, Edward akan belajar menerima dan mengerti.

Ia kini melihat sosok Ethan yang tetap meminum wine itu tanpa menanggapi Edward. Entah apa yang ada dalam pikiran Daddy-nya kali ini, Edward juga tak bisa menebaknya. Tapi sepertinya Ethan juga bukan tengah memikirkan kata-kata Edward. Sepertinya ada sebuah beban lain yang tengah ada dalam pikiran Ethan.

Edward kini tak bicara apa-apa lagi. Ia kini meletakkan daging-daging steak yang tengah sudah dipotongnya ke piringnya dan piring Ethan, "Dad, makanlah. Sekarang sudah jam 11 lewat, aku akan mengantar Daddy pulang, lalu pergi ke apartemen Anna. Aku tak bisa bertemu Mom besok. Jadi lebih baik aku menginap di tempat Anna malam ini.”

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status