Share

49 DAYS
49 DAYS
Author: Vivi O

CHAPTER 1

Dunia selalu berkata, ‘’Keluarga adalah anugrah Tuhan’’ bahkan ada pula yang mengatakan bahwa ‘’Keluarga adalah surga di dunia.’’ Kata-kata ini terdengar sangat manis bukan ? Seakan-akan keluarga adalah segala-galanya di dunia ini. Ketika seorang manusia memiliki keluarga, maka Ia akan dianggap sebagai manusia paling beruntung di dunia. Tapi sebaliknya, ketika seorang anak manusia tak memiliki keluarga, maka mereka dianggap sebagai seorang anak yang paling malang di dunia.

Tapi, apakah benar demikian? Apakah benar tanpa keluarga, sekana-akan manusia tak mendapatkan kebahagiaan apa-apa? Benarkah sumber kebahagiaan yang terbesar itu adalah sebuah keluarga? Lalu bagaimana dengan mereka yang memiliki keluarga, tapi seakan-akan hidup dalam kesendirian? Bagaiaman dengan mereka yang memiliki keluarga tapi seakan hidup di dalam neraka? Apakah dunia bisa menjelaskan semua ini?

Itu adalah pertanyaan yang terus mengitari pikiran Edward, seorang pria tampan yang hidup di dalam sebuah keluarga yang menurutnya sudah ‘mati’. Mungkin di mata publik keluarga Edward adalah keluarga yang harmonis, penuh senyuman, dan kaya raya. Sebuah keluarga idaman! Tapi mereka salah. Keluarga Edward tidak lebih baik dari keluarga-keluarga lainnya, atau jika harus diperjelas, keluarga ini mungkin jauh lebih buruk dari keluarga yang seharusnya.

Tak pernah ada tawa, senyuman atau bahkan kehangatan di rumah yang sangat besar itu.  Rumah itu terasa begitu kosong, sekalipun masih ada dirinya dan juga ayahnya yang selalu pulang tiap malam disana. Sedangkan Ibunya, Rebecca Clark, hanya kadang-kadang saja kembali ke rumah. Begitu juga dengan adik perempuannya, Annabella Clark. Model cantik satu itu bahkan enggan untuk pulang ke rumah terkeculi jika ada acara-acara penting di rumah yang sudah dianggap hancur sejak bertahun-tahun yang lalu.

“Edward, cepat habiskan sarapanmu. Setelah ini Daddy akan mengantarmu ke kampus, lalu Daddy harus segera ke rumah sakit.”

Lamunan Edward buyar saat merasakan tepukan pelan dari Sang Ayah, Ethan Clark di pundaknya. Ia menganggukan kepalanya singkat dan kembali memakan sepotong sandwich yang ada di piringnya. Sandwich yang selalu disiapkan Sang Ayah di pagi hari.

“Ed, beberapa hari ini apa kau menghubungi adikmu? Daddy mencoba menghubunginya beberapa kali, tapi handphone-nya tak pernah aktif.”

No!” Jawab Edward singkat, lalu Ia kembali melanjutkan, “Mungkin nomor handphone-nya sudah diganti lagi.”Jawabnya ragu.

Ethan yang sudah berusia 40-an tahun itu hanya bisa menghela nafasnya panjang sambil mencoba menerima jawaban dari Edward. Sebagai seorang Ayah, Ia sangat khawatir dengan keadaan Annabella - yang dipanggil Anna - yang hidup sendiri di luar sana. Tapi Ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Tanpa perlu mendapatkan penjelasan apa-apa, Ia juga tahu keluarga yang di bangunnya bukan sebuah keluarga ideal. Tak aneh jika Anna yang sudah bisa mencari nafkah sendiri, enggan bahkan untuk menginjakkan kakinya di rumah ini lagi. Atau bahkan sekedar memberitahu nomor handphone miliknya kepada kedua orang tuanya.

“Aku nanti akan coba menghubungi manajer Anna. Nanti aku akan meminta nomor Hand Phone-nya agar Daddy bisa menghubunginya.” Jawab Edward untuk berusaha menenangkan perasaan Ethan. Ia bisa melihat raut wajah khawatir yang ditunjukkan Ethan. Selama ini memang hanya Edward satu-satunya anggota keluarga yang dipercayakan Anna untuk menyimpan nomor handphone manajernya.

“Thanks.” Jawab Ethan ringan lalu kembali meminum kopi dalam cangkir kecilnya. Lalu setelah itu, Ia kembali memandang Edward dengan lembut, “Tapi

kalau adikmu tidak mau bicara dengan Daddy juga tak apa-apa. Tak usah memaksanya. Dadddy hanya ingin mengetahui keadaannya saja.”

Edward mengangguk  mengerti. Ia juga bukan tak tahu kekhawatiran Ethab, Ayahnya. Sudah sebulan lebih ayahnya tak bertemu Anna. Wajar jika Ayahnya merasa khawatir dengan Anna yang baru berusia 18 tahun. Tapi inilah yang selalu membuat Edward merasa iba dengan Ayahnya. Ethan berbeda dengan Rebecca. Ethan jauh lebih bijak dalam menyikapi sifat Anna dan juga Edward. Seperti saat ini. Dia tak akan pernah memaksa jika Anna enggan bahkan untuk berbicara dengannya.

Sedangkan Rebecca, Ibunya, wanita itu jauh lebih keras kepala seperti Anna. Setiap kali mereka bertemu, pasti mereka akan selalu bertengkar hebat. Entah itu karena hal besar, atau kadang hal kecil yang dibesar-besarkan. Itu adalah salah satu alasan utama Anna enggan untuk berhubungan dengan kedua orang tuanya, jika bukan karena sesuatu yang amat penting.

Ed, kau sudah dengar berita tentang Ibumu?”

Keheningan yang tercipta sejenak, lagi-lagi pecah saat suara Edward terdengar di telinganya. Selama ini memang selalu seperti itu. Edward jarang sekali membuka pembicaraan apapun. Ia hanya akan menjawab seperlunya saja. Itu adalah kepribadian yang terbentuk selama beberapa tahun ini di rumah yang sangat dingin ini.

Edward mendengus kesal, Ia paling benci kalau sudah membicarakan tentang Ibunya, Rebecca.. Mood pagi hari yang sebenarnya juga tak terlalu baik seketika memburuk saat Ethan membicarakan sosok Rebecca di hadapannya. Ia tak suka jika sudah membicarakan Rebecca. Tak pernah ada sesuatu yang baik jika nama Rebecca sudah muncul dalam pembicaraan mereka.

“Aku tak tahu” Edward menjawab ringan. Lalu Ia kembali menatap Ethan, “dan aku juga tak peduli. Maksudku selama Ia masih hidup di luar sana, aku tak peduli apapun yang terjadi padanya.” Jawab Edward dengan yakinnya.

Ethan tersenyum miris mendengar jawaban Edward. Walau Ia tak bisa menunjukkan kesedihannya di depan Edward, tapi dalam hati kecilnya Ia merasa sedih mendengar ketidakpedulian Edward pada Rebecca, Ibunya. Bukan keluarga seperti ini yang ingin dibangunnya. Keluarga yang dingin dan tanpa kepedulian antara satu sama lain. Ini tak lebih dari sebuah keluarga yang ‘mati’.

Daddy juga tak ingin memberitahumu. Hanya saja Daddy rasa kau harus menyiapkan diri jika saat-saat buruk itu datang.” Jelas Ethan pada Edward yang masih sibuk memakan sandwichnya, enggan bahkan untuk sekedar menatapnya.

Tak juga mendapat reaksi apapun dari Edward, Ethan kembali berakata, “Dari radio semalam, Daddy dengar ibumu 2 hari yang lalu sudah kembali ke New York. Jadi kalau tiba-tiba Ia kembali ke rumah ini, Daddy harap kau tidak terkejut. Itu saja.”

Edward tetap diam. Ia bahkan bertingkah seakan-akan tak mendengar kata-kata Ethan. Edward hanya sibuk pada sarapan pagi yang harus segera dihabiskannya. Sedangkan Ethan kini hanya bisa pasrah melihat ketidakpedulian Edward.

Sedangkan Edward, dibalik ketidakpedulian yang terpasang diwajahnya, sesungguhnya ada tangisan didalam hatinya. Bagaimana bisa seorang suami bahkan mendengar kabar istrinya sudah pulang ke New York lewat radio? Lucu bukan? Tapi inilah keluarga mereka yang sesungguhnya. Jika Sang Ayah masih bisa mengetahui kabar kedatangan Ibunya, itu sudah sebuah keajaiban. Tak jarang mereka bahkan tak tahu kedatangan Ibunya di New York. Ibunya memang selalu datang dan pergi sesuka hatinya.

Mengerikan bukan keluarga mereka? Sepasang suami istri yang di depan publik selalu dianggap sebagai pasangan suami istri ideal, sesungguhnya tak lebih baik dari seorang musuh. Keluarga yang dianggap surga di dunia, sesungguhnya tak lebih dari sebuah neraka di hati Edward.

Jika saja bukan karena Ia masih memiliki sosok Ethan yang masih peduli padanya dan hampir setiap malam kembali ke rumah ini, mungkin Ia juga tak akan mau tinggal di rumah ini. Setidaknya selama Ethan masih bisa menjadi sosok yang dihormatinya, Ia akan tetap berusaha menghormati sosok Ethan seperti ini. Tapi Ibunya? Sudahlah! Ia bahkan tak bisa menggambarkan kekecewaannya pada sosok Ibunya. Ia terlalu kecewa pada Rebecca, Ibu yang pernah disayanginya.

Ed, Daddy sudah selesai makan. Cepat habiskan makananmu. Daddy akan menunggumu di mobil.”

Edward dengan buru-buru meneguk sisa kopi yang ada di mejanya. Lalu dengan segera mengangkat tas ransel hitam yang ada di samping kursinya, lalu ikut berlari ke arah Ethan yang sudah tiba di depan pintu keluar.

Daddy! Tunggu!” Edward berteriak kecil sambil memakai sepatu sport putih miliknya. Setelah selesai, Ia langsung berjalan ke arah mobil BMW putih yang masih terpakir rapi di halaman belakang, bahkan masih dalam keadaan mati. Sejenak Ia mengernyit bingung, “Dimana Daddy? Bukankah tadi Daddy yang menyuruhku buru-buru ke mobil?”

Ia melihat sekeliling, mencoba mencari sosok Ethan yang tak juga dilihatnya. Tapi tak perlu lama, karena tiba-tiba suara Ethan yang cukup kencang masuk dalam pendengarannya, “Kau minum lagi? Ini masih pagi Rebecca! Kau gila!”

“Apa urusanmu! Aku minum atau tidak itu bukan urusanmu!”

“Ini bukan urusanku! Tapi ketika kau menginjakkan kaki di rumah ini dalam keadaan mabuk, itu menjadi urusanku!”

“Ini rumahku juga!”

“Aku harus bilang berapa kali padamu, ada Edward di rumah ini dan aku tak mau Ia melihatmu mabuk seperti ini! Dan demi Tuhan, kau sedang hamil Rebecca! Kau mau membunuh bayimu sendiri ? Kau gila !’’

‘’Itu urusanku ! Aku harus bilang berapa kali padamu, aku tidak mabuk ! Aku memang minum, tapi aku tidak mabuk ! Jika aku mabuk, aku tak akan bisa menjawabmu! Lagipula jika anak ini mati, maka hidupku akan lebih baik !’’

‘’Terserahmu saja ! Aku tak ingin bertengkar denganmu sekarang ! Selama kau tak menampakkan diri di depan Edward dan Anna dalam keadaan seperti ini, aku tak peduli ! Dan satu lagi, kau seorang Ibu ! Sekalipun kau membenci bayimu, itu tetap anakmu, darah dagingmu! Jadi aku harap kau sadar diri !’’

Itu adalah kata-kata yang terakhir Edward dengar sebelum melihat Ethan yang kini sudah berlari ke halaman belakang dengan perasaan bersalah. Melihat wajah Edward yang memburuk, Ethan sudah yakin bahwa Edward pasti mendengar pertengakaran mereka di pagi hari. Ethan langsung membuka pintu mobil dan hendak masuk ke dalam kursi driver,

tapi Edward langsung menahannya, “Biar aku saja yang menyetir hari ini. Daddy beristirahat saja di mobil.’’

Tanpa menjawab Edward, Ethan langsung memberikan kunci mobil pada Edward dan membiarkannya duduk di kursi pengemudi. Sedangkan Ia langsung masuk dan duduk persis di sebelah Edward, “Sorry, kau pasti takut saat mendengar pertengkaran kami pagi ini.’’

Edward menggeleng dan tertawa miris, ‘’Aku sudah tak takut. Aku bukan anak kecil lagi. Ini bukan hal yang terlalu mengejutkan untukku.”

Dulu saat Edward masih kecil, Edward kan selalu menangis saat mendengar orang tuanya bertengkar. Sekalipun dulu orang tuanya sangat jarang bertengkar, tapi saat-saat itu akan selalu menjadi saat terburuk Edward. Tapi sekarang, rasa ketakutan itu sudah sirna. Ia bukan takut, tapi membencinya. Ia sangat tidak suka mendengar pertikaian kedua orang tuanya yang tak pernah habis-habisnya. Jujur saja, Ia bahkan merasa lebih damai saat hidup tanpa sosok Rebecca di sampingnya. Setidaknya jika tidak ada Rebecca, rumah itu masih tenang.

Daddy mengerti. Mungkin kami sudah terlalu sering bertengkar di depanmu. Maafkan Daddy.”

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status