Share

Bab 3

Menunggu dengan gelisah di kafe sesuai janji Mahendra, Hana sudah tak sabar lagi berada lebih lama di tempat itu, yang menjadi tempat favorit mereka berdua. Benda yang melingkar di pergelangannya sudah menunjuk angka empat. Itu artinya dia sudah menunggu selama tiga jam. Segelas cokelat hangat yang dia pesan di kafe pun sudah ludes, hanya tersisa endapan cokelat yang tak terlarut di dasar gelas.

Dia mencoba mengirim pesan dan menelepon ponsel pria itu, tetapi hasilnya nihil. Yang didapat hanyalah centang satu dan sapaan dari customer service kalau nomor yang ada tuju sedang tidak aktif. Hatinya bagai diremas saat pikiran dilanda berbagai prasangka buruk tentang pria itu. Kini kesabarannya sudah berada di ambang. Dia tidak bisa menunggu lagi.

"Bagaimana kalau Mahendra tidak mau bertanggungjawab? Bagaimana kalau dia benar-benar sudah pergi ke Jepang, meninggalkanku? Bagaimana kalau dia telah membohongiku? Bagaimana kalau dia ...."

Dia tak sanggup lagi menerka apa yang bisa dilakukan sang kekasih itu. Buktinya, tak ada kabar apapun tentang keberadaannya sampai detik ini. Dia sudah bosan memandangi suasana kafe dengan pergantian wajah pengunjung tiap menit dan jam itu. Bahkan, sesekali dia merasa risih ketika sang pelayan mondar mandir sekadar menanyakan apakah ada tambahan makanan atau minuman yang akan dipesan.

Akhirnya setelah tiga jam menunggu, dia memutuskan untuk mendatangi kediaman Mahendra untuk mengetahui keberadaannya. Menggunakan jasa ojek online, dia pun sampai di depan pagar besi kokoh yang mengitari rumah minimalis Mahendra.

Mengedar pandang mencari petugas keamanan yang kebetulan berjaga, dia pun menyapa setelah salah satu pria bertubuh tegap itu menghampirinya. Tak mengulurkan waktu, Hana segera menanyakan keberadaan tuannya.

"Maaf, Neng. Tuan Mahendra sudah berangkat ke bandara tiga jam yang lalu. Buru-buru tadi."

"Yakin ke bandara, Pak?"

Hana tak bisa menerima kenyataan yang barusan ia dengar. Dia berharap bapak tersebut memberi informasi yang salah. Lantaran dia yakin Mahendra menyatakan akan menemuinya lagi di kafe siang itu.

"Iya, Neng. Yakin, soalnya diantar sama supir."

Sejurus itu Hana mengedipkan mata, menjatuhkan air yang sudah penuh di pelupuk mata. Hatinya hancur berkeping-keping seketika bersamaan dia menyadari bukan hanya cita-cita menjadi dokter-nya sirna, tetapi sikap Mahendra yang membohongi dan menodai cinta sejati yang sering digadang-gadangnya.

Penjelasan bapak itu seolah mengoyakkan gumpalan daging di rongga dada sehingga organ itu berhenti memompa darah. Dia merasa sekujur tubuhnya seolah kehabisan cairan merah itu, lemas dan nyaris ambruk ke bumi.

Ia merasa dirinya jatuh ke jurang kehancuran, gelap gulita, tidak ada uluran tangan yang akan menolongnya. Pelipisnya berdenyut seperti dihantam benda berat berkali-kali. Apa dia sanggup menghadapi ini sendiri tanpa topangan Mahendra?

Dia belum sanggup menerima kenyataan kalau Mahendra adalah pria pengecut yang melepas tangan, mencampakkannya begitu saja. Ini begitu menyesakkan dada dan menyakitkan hatinya. Perihnya sampai dia tak tahu bagaimana menjabarkan tingkat keperihan itu. Bagaimana dia menyatakan hal ini kepada ibu? Bagaimana dia mengangkat kepala menghadapi dunia yang akan menanyakan tentang keberadaan ayah dari kandungannya.

Ah, dia mulai mengutuki ketololannya yang terlalu percaya mulut manis pria itu. Dia mengutuki keluguan dirinya yang mau diajak untuk pembuktian cinta dengan menyerahkan kehormatannya kepada pria itu.

Ada sebongkah kekecewaan yang kian menusuk jantungnya. Dia menyesali segala kedunguan yang sudah dia lakukan. Kembali, bulir cairan itu luluh, menyembul kembali tanpa bisa ditahan setelah sekian kali dia mengusap jejaknya di pipi dengan punggung tangan.

Dia merasa kehidupannya semakin kelam dan tak berguna untuk bertahan hidup, menahan malu dengan janin dimana ayahnya sendiri tak mau mengakui dan tak mau mempertahankannya.

Frustasi dan timbullah keinginan untuk menghabisi nyawa untuk melenyapkan penderitaan yang tak sanggup dia angkat sendiri.

Dia kehilangan wajah untuk menatap dunia. Dia sudah memprediksi orang-orang akan memandang rendah ketika mengetahui betapa hina dan kerdilnya ia menyerahkan mahkota yang seharusnya dijaga dan dipersembahkan untuk suaminya kelak.

Sore ini, berjalan tak tahu arah, pikirannya linglung, dia bingung mau ke mana. Sorot mata yang menyiratkan luka. Dia tak menyangka Tuhan memberi cobaan yang melebihi kemampuannya. Dia menyalahkan Tuhan yang tega menjatuhkan hukuman hanya untuknya, tidak adil karena Mahendra tidak mendapat hukuman yang sama.

Kini, dia tak punya teman untuk mencurahkan perasaan. Dengan siapa dia akan berbagi? Rasanya tak ada orang yang pantas diajak berembuk dan mendengar keluh kesahnya.

Sampai akhirnya kakinya berkelana, menginjak tengah rel kereta api dengan tujuan mengakhiri semua penderitaan yang sudah dialami. Dia tak mau hidup menahan malu, mungkin inilah satu-satunya cara untuk pergi melepas semua beban yang sudah tak bisa dipikul dengan sendiri. Dia sempit akal, syetan seakan bersorak gembira, membisik tepat di telinga, segeralah mengunjunginya ke alam neraka.

Di sinilah, di tengah rel dia berdiri dan berjalan berlawan arah dengan tubuh kereta panjang jurusan Jawa yang semakin mendekatinya. Suara klakson kereta api sangat memekakkan telinga, tetapi kaki itu tetap berdiri di tengah tanpa mau berpindah. Dia tak menghiraukan jeritan orang sekitar yang tak sengaja melihat tindakannya. Perbuatan yang dibenci Tuhan kepada umatNya.

Semakin lama semakin dia merasa getaran hebat di bumi dia berpijak, bunyi klakson yang berisik sengaja dikeluarkan masinis itu agar dia segera menyingkir dari sana. Dia, dia memilih bertahan untuk mengakhiri semuanya detik itu juga.

Memejamkan mata, ia menikmati angin yang membelai kulit wajah dan tubuhnya. Dia menghirup udara dengan rakus, merayakan hari terakhirnya dengan menghisap udara segar yang dikarunia Sang Pencipta.

"Ini adalah napasku yang terakhir, selamat tinggal semuanya." ucapnya dengan lirih, nyaris tak terdengar, bertabrakan dengan suara teriakan kereta yang jaraknya nyaris menggiling tubuhnya.

Sekilas, wajah senyuman ayah dan ibu terpampang di benaknya. Perih, ketika dia melihat guratan kekecewaan yang akan ditorehkan jika mereka mengetahui putrinya telah menjadi gadis hina yang membawa aib keluarga. Sangat memalukan. Air mata yang terus membanjiri wajah lelahnya, dia sudah mantap dengan keputusan dangkal itu. Bunuh diri. Iya, dia akan pergi untuk selamanya.

"Awas!"

Seketika tubuh seratus lima puluh lima centimeter itu terhempas, kepala seakan berputar kencang, semua tubuh serasa ngilu, tulang-tulang seakan remuk. Organ dalam seperti hancur bercerai berai. Gelap, dunia menjadi gelap pekat. Jantung, apakah dia juga sudah ikut berhenti?

"Apakah aku sudah mati? Apa aku sudah berada di alam astral?" Bibirnya melengkung getir, tak sanggup membuka mata yang sudah berair. Lelah, sangat lelah. Rasanya dia ingin memejamkan mata untuk selamanya, berlari dari kenyataan.

"Maafkan aku, Ibu."

Tangannya sempat bergerak memegang perut yang masih rata sebelum dia benar-benar kehilangan kesadaran.

"Hai, Anakku, maafkan aku yang juga tak menginginkanmu. Maaf."

Lelap, kini dia merasa tertidur dengan pulas, seakan-akan beban yang dipikul telah diangkat, lenyap terbang bersama terpaan angin yang kencang.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Herlina Teddy
jika ingin memberi masukan yang membangun, silakan komen di ulasan. lantaran saya jarang cek komentar teman2 di dalam cerita. saya tunggu ulasan yang membangun ya. thanks.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status