Menunggu dengan gelisah di kafe sesuai janji Mahendra, Hana sudah tak sabar lagi berada lebih lama di tempat itu, yang menjadi tempat favorit mereka berdua. Benda yang melingkar di pergelangannya sudah menunjuk angka empat. Itu artinya dia sudah menunggu selama tiga jam. Segelas cokelat hangat yang dia pesan di kafe pun sudah ludes, hanya tersisa endapan cokelat yang tak terlarut di dasar gelas.
Dia mencoba mengirim pesan dan menelepon ponsel pria itu, tetapi hasilnya nihil. Yang didapat hanyalah centang satu dan sapaan dari customer service kalau nomor yang ada tuju sedang tidak aktif. Hatinya bagai diremas saat pikiran dilanda berbagai prasangka buruk tentang pria itu. Kini kesabarannya sudah berada di ambang. Dia tidak bisa menunggu lagi."Bagaimana kalau Mahendra tidak mau bertanggungjawab? Bagaimana kalau dia benar-benar sudah pergi ke Jepang, meninggalkanku? Bagaimana kalau dia telah membohongiku? Bagaimana kalau dia ...."Dia tak sanggup lagi menerka apa yang bisa dilakukan sang kekasih itu. Buktinya, tak ada kabar apapun tentang keberadaannya sampai detik ini. Dia sudah bosan memandangi suasana kafe dengan pergantian wajah pengunjung tiap menit dan jam itu. Bahkan, sesekali dia merasa risih ketika sang pelayan mondar mandir sekadar menanyakan apakah ada tambahan makanan atau minuman yang akan dipesan.Akhirnya setelah tiga jam menunggu, dia memutuskan untuk mendatangi kediaman Mahendra untuk mengetahui keberadaannya. Menggunakan jasa ojek online, dia pun sampai di depan pagar besi kokoh yang mengitari rumah minimalis Mahendra.Mengedar pandang mencari petugas keamanan yang kebetulan berjaga, dia pun menyapa setelah salah satu pria bertubuh tegap itu menghampirinya. Tak mengulurkan waktu, Hana segera menanyakan keberadaan tuannya."Maaf, Neng. Tuan Mahendra sudah berangkat ke bandara tiga jam yang lalu. Buru-buru tadi.""Yakin ke bandara, Pak?"Hana tak bisa menerima kenyataan yang barusan ia dengar. Dia berharap bapak tersebut memberi informasi yang salah. Lantaran dia yakin Mahendra menyatakan akan menemuinya lagi di kafe siang itu."Iya, Neng. Yakin, soalnya diantar sama supir."Sejurus itu Hana mengedipkan mata, menjatuhkan air yang sudah penuh di pelupuk mata. Hatinya hancur berkeping-keping seketika bersamaan dia menyadari bukan hanya cita-cita menjadi dokter-nya sirna, tetapi sikap Mahendra yang membohongi dan menodai cinta sejati yang sering digadang-gadangnya.Penjelasan bapak itu seolah mengoyakkan gumpalan daging di rongga dada sehingga organ itu berhenti memompa darah. Dia merasa sekujur tubuhnya seolah kehabisan cairan merah itu, lemas dan nyaris ambruk ke bumi.Ia merasa dirinya jatuh ke jurang kehancuran, gelap gulita, tidak ada uluran tangan yang akan menolongnya. Pelipisnya berdenyut seperti dihantam benda berat berkali-kali. Apa dia sanggup menghadapi ini sendiri tanpa topangan Mahendra?Dia belum sanggup menerima kenyataan kalau Mahendra adalah pria pengecut yang melepas tangan, mencampakkannya begitu saja. Ini begitu menyesakkan dada dan menyakitkan hatinya. Perihnya sampai dia tak tahu bagaimana menjabarkan tingkat keperihan itu. Bagaimana dia menyatakan hal ini kepada ibu? Bagaimana dia mengangkat kepala menghadapi dunia yang akan menanyakan tentang keberadaan ayah dari kandungannya.Ah, dia mulai mengutuki ketololannya yang terlalu percaya mulut manis pria itu. Dia mengutuki keluguan dirinya yang mau diajak untuk pembuktian cinta dengan menyerahkan kehormatannya kepada pria itu.Ada sebongkah kekecewaan yang kian menusuk jantungnya. Dia menyesali segala kedunguan yang sudah dia lakukan. Kembali, bulir cairan itu luluh, menyembul kembali tanpa bisa ditahan setelah sekian kali dia mengusap jejaknya di pipi dengan punggung tangan.Dia merasa kehidupannya semakin kelam dan tak berguna untuk bertahan hidup, menahan malu dengan janin dimana ayahnya sendiri tak mau mengakui dan tak mau mempertahankannya.Frustasi dan timbullah keinginan untuk menghabisi nyawa untuk melenyapkan penderitaan yang tak sanggup dia angkat sendiri.Dia kehilangan wajah untuk menatap dunia. Dia sudah memprediksi orang-orang akan memandang rendah ketika mengetahui betapa hina dan kerdilnya ia menyerahkan mahkota yang seharusnya dijaga dan dipersembahkan untuk suaminya kelak.Sore ini, berjalan tak tahu arah, pikirannya linglung, dia bingung mau ke mana. Sorot mata yang menyiratkan luka. Dia tak menyangka Tuhan memberi cobaan yang melebihi kemampuannya. Dia menyalahkan Tuhan yang tega menjatuhkan hukuman hanya untuknya, tidak adil karena Mahendra tidak mendapat hukuman yang sama.Kini, dia tak punya teman untuk mencurahkan perasaan. Dengan siapa dia akan berbagi? Rasanya tak ada orang yang pantas diajak berembuk dan mendengar keluh kesahnya.Sampai akhirnya kakinya berkelana, menginjak tengah rel kereta api dengan tujuan mengakhiri semua penderitaan yang sudah dialami. Dia tak mau hidup menahan malu, mungkin inilah satu-satunya cara untuk pergi melepas semua beban yang sudah tak bisa dipikul dengan sendiri. Dia sempit akal, syetan seakan bersorak gembira, membisik tepat di telinga, segeralah mengunjunginya ke alam neraka.Di sinilah, di tengah rel dia berdiri dan berjalan berlawan arah dengan tubuh kereta panjang jurusan Jawa yang semakin mendekatinya. Suara klakson kereta api sangat memekakkan telinga, tetapi kaki itu tetap berdiri di tengah tanpa mau berpindah. Dia tak menghiraukan jeritan orang sekitar yang tak sengaja melihat tindakannya. Perbuatan yang dibenci Tuhan kepada umatNya.Semakin lama semakin dia merasa getaran hebat di bumi dia berpijak, bunyi klakson yang berisik sengaja dikeluarkan masinis itu agar dia segera menyingkir dari sana. Dia, dia memilih bertahan untuk mengakhiri semuanya detik itu juga.Memejamkan mata, ia menikmati angin yang membelai kulit wajah dan tubuhnya. Dia menghirup udara dengan rakus, merayakan hari terakhirnya dengan menghisap udara segar yang dikarunia Sang Pencipta."Ini adalah napasku yang terakhir, selamat tinggal semuanya." ucapnya dengan lirih, nyaris tak terdengar, bertabrakan dengan suara teriakan kereta yang jaraknya nyaris menggiling tubuhnya.Sekilas, wajah senyuman ayah dan ibu terpampang di benaknya. Perih, ketika dia melihat guratan kekecewaan yang akan ditorehkan jika mereka mengetahui putrinya telah menjadi gadis hina yang membawa aib keluarga. Sangat memalukan. Air mata yang terus membanjiri wajah lelahnya, dia sudah mantap dengan keputusan dangkal itu. Bunuh diri. Iya, dia akan pergi untuk selamanya."Awas!"Seketika tubuh seratus lima puluh lima centimeter itu terhempas, kepala seakan berputar kencang, semua tubuh serasa ngilu, tulang-tulang seakan remuk. Organ dalam seperti hancur bercerai berai. Gelap, dunia menjadi gelap pekat. Jantung, apakah dia juga sudah ikut berhenti?"Apakah aku sudah mati? Apa aku sudah berada di alam astral?" Bibirnya melengkung getir, tak sanggup membuka mata yang sudah berair. Lelah, sangat lelah. Rasanya dia ingin memejamkan mata untuk selamanya, berlari dari kenyataan."Maafkan aku, Ibu."Tangannya sempat bergerak memegang perut yang masih rata sebelum dia benar-benar kehilangan kesadaran."Hai, Anakku, maafkan aku yang juga tak menginginkanmu. Maaf."Lelap, kini dia merasa tertidur dengan pulas, seakan-akan beban yang dipikul telah diangkat, lenyap terbang bersama terpaan angin yang kencang."Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang