Share

Bab 4

Duduk bersandar kursi kayu di pinggir rel kereta api, seorang calon dokter sedang menuggu kedatangan kereta api. Arsenio William Ardiman yang biasa dipanggil Arsen adalah seorang mahasiswa Falkutas Kedokteran yang sedang menjalankan magang koas di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta.

Jujur, bukan keinginan dia menekuni kuliah jurusan beken itu, semua karena keinginan sang ayah yang berprofesi dokter sekaligus direktur utama rumah sakit tersebut. Kecintaannya terhadap fotografer yang diam-diam dia lakoni sekarang, mengantar dirinya di tempat tak lazim seperti ini untuk mengambil momen detik-detik kereta melintas.

Awalnya sorot mata mengarah ke atas langit yang terik di balik kacamata hitam sembari tangan menggenggam kamera mahalnya. Namun, perhatian dan pandangannya pun beralih ke arah kedatangan kereta yang terus menjerit dengan klakson yang mengganggu indra pendengaran. Tak biasanya kereta itu mengeluarkan suara berisik di tempat bukan lalu lalang mobil atau motor. Ini adalah lintasan tanpa hambatan di pinggir perumahan kumuh.

Sorot mata pun jatuh pada satu titik di mana ada seorang gadis yang menurutnya sedikit aneh dengan tingkah konyolnya. Berjalan di tengah tanpa mau mengindahkan suara teriakan kereta yang jarak semakin mendekati tubuhnya.

Karena rasa kemanusiaan yang tinggi, akhirnya Arsen berlari dan mendorong tubuh kurus itu sampai kedua tubuh mereka terhuyung jatuh ke pinggir rel. Nyaris. Keduanya hampir menjadi korban gilingan kereta panjang itu.

"Hai, sadar! Kenapa kau lakukan itu?" Pria berkaos abu-abu tersebut menepuk pipi wajah pucat gadis yang tak lain adalah Hana, gadis yang mencoba menghabiskan nyawa karena keputusasaannya.

Jiwa dokter dalam dirinya pun tumbuh ketika melihat pasien yang tergeletak lemah dengan luka siku tangan dan kaki yang mengeluarkan cairan merah pekat. Segera dia membopong gadis yang sudah tak sadarkan diri itu dan membawanya ke mobil. Hanya dua atau tiga orang dan dirinya yang tak sengaja bersembunyi, menonton adegan miris tersebut.

***

"Bagaimana kondisinya, Dok?"

"Setelah diperiksa, ada beberapa tulang di tulang rusuk belakang retak. Luka luar seperti yang ada di tangan dan kaki sudah dijahit. Kondisi fisik pasien bisa dibilang aman. Namun, psikis-nya sedikit tergoncang."

Pria itu mangut-mangut sembari memperhatikan tubuh yang sedang tertidur pulas di atas ranjang pasien.

"Saya dengar dari suster, ada janin di rahimnya. Apa janin itu aman, Dok?"

Arsen dengan leluasa bertanya pada dokter senior itu lantaran di rumah sakit inilah tempat dia seharusnya koas tadi pagi. Dia cukup mengenal dokter tersebut yang tak lain adalah sahabat papanya sendiri. Hanya saja tadi pagi, dia merasa kurang mood untuk melakukan aktifitas di rumah sakit sehingga dia harus berada di tempat dimana Hana mencoba meregangkan nyawanya.

"Aman, tapi harus diperhatikan lebih ekstra. Janinnya sangat lemah, kemungkinan besar bisa keguguran. Apalagi tadi ada guncangan yang besar saat dia terjatuh."

Dokter itu dengan sabar memberi penjelasan kepada calon dokter umum itu sambil menuliskan history pasien. Masih belum puas dengan segala informasi tentang kondisi gadis yang belum dikenalnya, Arsen terus melontarkan pertanyaan yang seharusnya dia ketahui sendiri. Pendidikan itu pernah dia dapatkan di bangku kuliah.

"Apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan agar janinnya tetap bertahan? Maaf, saya bertanya banyak hal, soalnya saya sendiri tidak tahu kronologis kenapa gadis itu bisa ada di tengah rel dan mencoba melakukan bunuh diri."

Mendengar kalimat terakhir dari bibir itu, dokter senior berkacamata tersebut mengalihkan pandangan sekilas ke gadis yang sedang memejamkan mata lalu mata itu dilempar ke wajah Arsen, bisa terlihat dengan jelas, Arsen menyimpan rasa khawatir di dalam hatinya.

"Istirahat yang cukup dan akan saya beri obat untuk menguatkan. Tetapi tetap harus diperhatikan dosisnya. Si ibu harus dijaga mental dan emosinya, batinnya terguncang. Mungkin kalau ada masalah, bisa diselesaikan dengan kepala dingin."

"Baik, Dok. Terima kasih."

Bersamaan dengan kalimat terakhir, pria berjas putih itu pun pamit dan keluar dari ruang yang serba putih itu.

Pria yang menolong Hana pun berjalan menghampiri tubuh yang kini terkulai lemah di kasur. Selang infus yang menancap punggung tangan, membuat tubuhnya tidak kekurangan cairan. Luka di kaki dan tangan sudah diperban. Tidak ada luka yang serius kecuali luka di hatinya.

Arsen yang berdiri tak jauh dari kasur itu pun merasa iba dengan insiden yang baru saja disaksikan walau dia sendiri tidak tahu persis apa penyebab Hana melakukan perbuatan itu. Namun, mengetahui janin yang bersemayam di rahimnya dan wajah pucat, dia menarik kesimpulan ada masalah serius dalam hidupnya. Apalagi dia tak sengaja membaca isi pesan WA dari kontak yang diberi nama 'sayang'.

Di sana, dia membaca pesan terakhir Hana, menanyakan keberadaan sang kekasih yang tak mendapatkan balasan apapun. Bukan sengaja kepo membuka pesan di aplikasi hijau itu, dia hanya ingin mencari keluarga atau teman yang bisa dihubungi agar mereka mengetahui dan mendatangi pasien tersebut. Untung saja, ponsel Hana tidak terkunci dengan kode sandi, sehingga dia dengan leluasa membuka dan mencari tahu di benda pipih itu.

Tak lama Arsen membetulkan posisi berdiri sebelum gadis delapan belas tahun itu membuka mata perlahan. Menghela napas lega ketika Arsenio mendapati mata indah mengerjap beberapa kali dan menanyakan keberadaannya.

"Kamu ada di rumah sakit." Itulah jawaban Arsenio dan tak menemui sahutan apapun lagi setelahnya.

Tatapan mata Hana benar-benar kosong, tidak ada gairah untuk melanjutkan sebuah kehidupan. Tiba-tiba dia teringat kembali kepingan kejadian sebelum dia berada di tengah rel untuk melenyapkan penderitaannya. Dia putus asa, frustasi dan merasa tak berguna lagi. Dia pun merasa ji jik dengan tubuhnya, berulang kali dia mengutuk diri sendiri yang terlalu bodoh mempercayai semua gombalan dan rayuan Mahendra.

"Kenapa nolongin aku? Harusnya biarkan aku pergi." Suara parau terdengar, ia menangis lagi sambil meremas selimut putih dengan kuat, menahan amarah yang akan meletup kembali.

"Egois kalau kamu mau mati tetapi ngajak bayi yang ada di perutmu ikut mati bersamamu."

Jawaban bijak Arsen memang sedikit menusuk hatinya, tetapi dia bergeming dan tak mau melihat wajah lawan bicaranya. Dia tak sanggup menghadapi apapun yang ada di depan mata, terutama ibu yang sudah melahirkannya. Wanita senja yang belum tahu menahu keadaannya. Bahkan sesungguhnya jika boleh, ia tak ingin memberitahukan yang sejatinya akan membuat hati ibu terluka.

"Jika ingin mengakhiri hidupmu, tunggu sampai bayi yang ingin hidup itu dilahirkan."

Lagi, pria dua puluh dua tahun itu melemparkan kalimat yang menyentil hati kecil Hana. Bagaimana dia begitu tega mengakhiri hidup sementara ada mahluk lain yang ingin memulai hidupnya.

"Dia tak tahu apa masalahmu sehingga pada akhirnya kamu memilih untuk mengakhirinya dengan cara yang dilarang Tuhan. Tolong, jangan libatkan dia. Jika dia bisa memilih, bayi itu pun tak mau berada di rahim ibu yang pesimis sepertimu. Sempit akal."

Kalimat demi kalimat Arsen ucapkan tetapi hanya isakkan tangis yang dia dapatkan dari gadis bermata bundar. Lagi, Arsen mengungkapkan pernyataan dan setelah itu, kedua sahabat Hana pun dapat menjemputnya. Iya, Arsen menghubungi Annisa, teman chatting Hana terakhir selain kontak dengan nama 'sayang' itu.

"Maaf aku bukan ingin mencampuri urusanmu, hanya saja, aku sebagai dokter di sini sangat menghargai nyawa pasien. Banyak di antara pasien yang aku temui setiap hari, mereka berjuang untuk bisa tetap hidup. Sementara kamu, ingin mengakhirinya tanpa pikir panjang. Tidak memikirkan bagaimana perasaan orang di sekitar saat mereka kehilanganmu. Orangtua, saudara, kerabat, dan teman-temanmu."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Herlina Teddy
jika ingin memberi masukan yang membangun, silakan komen di ulasan. lantaran saya jarang cek komentar teman2 di dalam cerita. saya tunggu ulasan yang membangun ya. thanks.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status