Share

Chapter 3

Meira, tanpa membuang waktu, segera menghubungi Sarah dengan mimik muka tegang lagi serius. Dia berharap, bibit masalah yang dia lihat saat ini tak benar-benar berkembang menjadi masalah. Dia yang diserahi tugas untuk mencuci jaket itu, maka barang yang ada dalam saku pakaian itu menjadi tanggung jawabnya. 

Namun Sarah, meskipun nomornya aktif, tak kunjung mengangkat panggilan darurat Meira. Hingga berkali-kali. Meira terus mencoba tanpa lelah, diselingi protes-protes tajam karena rasa jengkel, hingga pada percobaan yang ke lima, Evan, adik Sarah, memberinya interupsi memilukan. "Percuma Kak Meira menghubungi nomor Kak Sarah terus-terusan. Dia meninggalkan ponselnya di kamarnya. Lihatlah!" 

Evan menyodorkan ponsel Sarah tepat di depan Meira, yang membuat Meira bisa melihat dengan jelas dalam ekspresi kecut, panggilan dari dirinya sendiri masuk ke ponsel itu. 

"Aku heran kenapa ada dering suara ponsel yang tak kunjung berhenti di kamar Kak Sarah," lanjut Evan. "Ternyata saat kuperiksa, Kak Meira yang telepon. Kak Sarah sedang ke rumah Kak Naura saat ini, asal Kakak tahu. Dia langsung berangkat tanpa ba-bi-bu begitu selesai berbincang dengan Kak Naura melalui telepon. Dia melupakan ponselnya."

"Oh, ya Tuhan," desah Meira lelah bercampur pasrah.

"Ada apa? Apa ada masalah?" tanya Evan bersimpati, yang kemudian dijawab oleh Meira dengan gelengan kepala berhias senyum yang dipaksakan. Ditambah dengan sebuah pernyataan fiktif bahwa semua baik-baik saja, maka Evan pun berlalu meninggalkan Meira yang diam-diam mendengus geram setelah itu.

"Bagus," ujar Meira miris. "Semoga dia segera kembali dan menyerahkan gelang itu pada pemiliknya. Aku bersyukur, Arch belum sadar gelang miliknya hilang. Tapi demi Tuhan, aku tidak tahu sampai kapan dia akan seperti itu." Meira bergidik merinding membayangkan sketsa suram bahwa dirinya mungkin akan dituduh sebagai pencuri jika Arch menanyakan dan menagih gelang itu padanya sebelum Sarah kembali. "Tuhan, buatlah pemuda gagah itu lupa akan gelangnya sampai batas waktu yang aman bagiku," tambahnya sendu.

Di tempat lain, tepatnya di rumah Naura, Sarah, tengah tenggelam dalam aktivitas lain yang membuat dirinya merasa konyol telah meninggalkan rumah pagi-pagi sekali. Persis seperti dugaannya, tidak ada hal yang berarti yang pantas mengundang keresahan Naura dari semua persiapan yang sudah matang. 

"Itu pilihan baju yang bagus, tidak perlu kau merasa ragu. Penampilanmu akan terlihat memesona," ujar Sarah saat Naura kembali meminta pertimbangan perihal gaun yang akan dia kenakan, yang sudah ketiga kalinya dia tanyakan. 

"Dekorasi ruang pesta ini juga sudah luar biasa, tidak perlu takut temanmu akan merasa getir melihatnya," timpal Sarah, saat Naura dengan nada samar-samar khawatir, bertanya kembali perihal ruangan pesta yang telah didesain sedemikian rupa di salah satu sudut rumahnya yang terbilang luas. "Lagipula interior desainer yang kamu sewa itu cukup mumpuni. Ya, Tuhan! Jangan sampai kau pingsan karena memusingkan semuanya terlalu berlebihan," imbuh Sarah.

"Iya, benar. Undangan pesta sudah disebar dengan baik. Pada teman-temanmu, dan pada beberapa kenalan kita bersama. Sekarang bisakah kau tenang?" Sarah berkata dengan tegas. Kali ini Naura terdiam patuh, memberengut untuk sesaat, kemudian tersenyum jahil. 

"Ayolah," timpal Naura, "jangan cepat marah, Sepupuku yang cantik. Kau juga harus tampil maksimal, malam ini. Tahukah kau, aku sengaja mengundang semua teman-teman priaku yang terlihat berkualitas, supaya kau bisa memilih di antara mereka."

Sarah mengerutkan kening. "Memilih?"

"Iya," jawab Naura dengan mata berbinar-binar. "Kau ini cantik! Dan sebenarnya tidak pernah sepi penggemar. Tapi kenapa kau masih juga sendiri, padahal—"

"Cukup sudah!" tukas Sarah. "Kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Nikmati saja pestamu, dan jangan pusingkan apapun." Sarah menyandarkan tubuhnya dengan rileks ke kursi berlengan besar di ruang santai samping kamar Naura, setelah melepaskan jaketnya dan menyampirkannya di kursi itu pula. "Kurasa aku butuh segelas jus lagi. Mendengarkan lanturanmu membuatku haus," ucap Sarah yang disambut cekikik Naura. 

"Ngomong-ngomong," sambung Sarah mengalihkan topik, "jus buatan Bi Ira selalu enak. Minuman apapun yang dibuat olehnya tak pernah mengecewakan. Dia juga mumpuni dalam hal memasak, dan handal mengerjakan apapun yang berkaitan dengan pekerjaan rumah. "

Naura tertawa mendengar pujian Sarah, lalu memanggil pelayan yang dimaksud, dan menambahkan sedikit pernyataan singkat, selagi menunggu pelayannya itu sampai di depannya. "Semua pujianmu tentang Bi Ira itu benar. Aku pun menyukainya. Meskipun di sisi lain, Bi Ira juga punya sedikit kelemahan, yakni sedikit pelupa."

Sarah tersenyum. Sesaat kemudian, entah karena angin apa, dalam hatinya tiba-tiba terlintas perasaan tak nyaman, tapi Sarah tak bisa mengetahui penyebabnya meski telah mencoba berpikir sekian detik. Alhasil, dia abaikan lintasan hati tak jelas itu, lalu tersenyum ramah saat Bi Ira datang menghadap. 

Terhadap Bi Ira, Naura menyampaikan keinginan Sarah yang ingin kembali mengisi gelasnya dengan jus buatan Bi Ira yang menurutnya sangat enak—yang disambut dengan tawa riang bercampur ekspresi tersanjung sang pelayan—dan Naura juga menambahkan sebuah perintah sopan untuk membawa beberapa pakaian yang telah dia letakkan di kursi untuk dicuci. Kala itu, Sarah telah beralih ke dekat jendela, untuk menikmati pemandangan taman kecil di samping rumah Naura. 

"Papa dan Mama akan sampai di sini, nanti sore," ucap Naura, membagi berita tentang orang tuanya yang tinggal di Jakarta.

"Semoga perjalanan mereka lancar," sahut Sarah. "Dan semoga acara nanti malam juga lancar," imbuhnya. "Berbahagialah! Kau dan Eric adalah pasangan yang sepadan."

Naura tersenyum. Ucapan terima kasih dibarengi sebuah pelukan dengan cepat mendarat di tubuh Sarah, dan untuk sesaat mereka saling mengeratkan dekapan mereka sebelum kemudian melepasnya dengan iringan tawa kecil.

Jus telah kembali disuguhkan di atas meja, dan Sarah serta Naura menghabiskan beberapa saat berikutnya dengan kembali berbincang di ruangan itu, sampai kemudian, Sarah merasa sudah saatnya dia harus pulang. 

Diiringi janji untuk datang kembali guna mendampingi sang sepupu di acara pertunangannya, Sarah akhirnya melaju meninggalkan rumah Naura, kembali ke rumahnya sendiri, yang juga berarti kembali ke penginapan. Dia melajukan mobilnya dan menempuh perjalanan dengan lancar, dan tiba di penginapan tepat pukul setengah sepuluh. 

Tak dinyana, wajah kesal memberengut menunggunya di depan pintu penginapan. Sarah tak mengerti apa sebab musababnya, namun Meira, dalam posisi berdiri tegak di depan gerbang penginapan, tampak benar-benar kesal seolah telah terjadi sebuah kemelut. Tanpa penundaan Sarah pun bertanya apa gerangan yang terjadi, dan sebuah jawaban lugas terlontar dari mulut Meira, membuat Sarah mendadak histeris, "Dimana gelang itu, Sarah? Kau belum mengembalikannya pada Arch!"

"Astaga!" Sarah menepuk jidatnya sendiri. Dengan gerakan cepat berpadu dengan sensasi debaran jantung yang seketika bertambah kencang, Sarah memeriksa pakaiannya, hanya untuk kemudian tersadar bahwa dia telah meninggalkan jaketnya di rumah Naura. "Ya Tuhan! Aku memasukkannya ke kantong jaketku tadi pagi, dan meninggalkan jaket itu di kursi ruang santai di rumah Naura!"

"Ya Tuhan!" sambar Meira dengan keterkejutan senada. Gadis itu mendadak merasa berkunang-kunang, namun sesaat kemudian mencoba menarik nafas panjang, lalu berusaha bersikap tenang, dan berkata, "Baiklah, Sarah, tenanglah. Mari kita bersikap tenang." Gadis itu kini membimbing Sarah untuk menghela nafas panjang pula lalu menambahkan, "Sekarang, cobalah kau kembali ke tempat sepupumu, Nona Bos. Temukanlah gelang itu, dan kembali ke sini. Mudah, bukan? Masalah akan selesai!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status