Share

Chapter 4

Sarah terpaku mendengar saran Meira yang sejujurnya teramat masuk akal itu. Seharusnya semuanya selesai dengan mudah tepat seperti katanya, namun ekspresi Sarah berubah kecut, setelah mengingat sekelebat bayangan bahwa asisten rumah tangga Naura, Bi Ira, sempat terlihat mengemasi beberapa pakaian di kursi ruang santai itu, yang memang dilakukan atas perintah Naura. Sarah kontan mendesah, menyesali kecerobohan dirinya yang telah melupakan gelang itu begitu saja. 

"Bagaimana jika jaketku tadi turut diambil juga oleh Bi Ira," gumam Sarah. "Oh, bodohnya diriku! Seharusnya aku tidak melepaskan jaketku, tadi. Bagaimana kalau jaket itu turut dicuci pula?"

Meira mengerutkan kening mendengar gerutu tak begitu jelas dari mulut Sarah, namun meski tak begitu jelas, Meira mampu menangkap beberapa kata yang dirasa cukup meresahkan.

"Jaketmu diambil Bi Ira? Jaketmu dicuci?" ulang Meira penuh selidik, yang kemudian dijawab Sarah dengan lirikan penuh rasa bersalah disertai anggukan lemah.

"Luar biasa!" sambar Meira sarkastis. "Bi Ira akan membuat drama ini menjadi lebih panjang. Bukankah begitu? Ah, tidak, tidak," Meira membatalkan argumennya sendiri, lalu menambahkan, "Kalaupun Bi Ira tak sengaja turut mengambil jaketmu, dia tidak mungkin mencuci jaket itu begitu saja. Dia akan mengambil kotak perhiasan kecil itu dari saku jaketmu, dan akan mengamankannya. Ah, itu pasti! Kalau begitu, kau hanya perlu kembali ke sana, dan menanyakannya pada Bi Ira, dan dia pasti akan memberitahumu. Tenanglah, kita akan selamat dari masalah."

"Ya, kau benar," timpal Sarah. "Semoga dia benar-benar mengamankannya dan tidak melupakannya."

"Maaf," sela Meira khidmat. "Meskipun aku tidak begitu mengenal asisten rumah tangga Naura, tapi aku, sekali waktu pernah bertemu dengannya, saat bertandang ke rumah Naura untuk satu keperluan atas perintahmu. Aku lupa kapan tepatnya. Tapi sepertinya, dia orang yang jujur."

"Maksudku bukan itu—tentu saja dia orang yang jujur! Sayangnya, tadi Naura sempat mengatakan dia orangnya sedikit pelupa."

"Apa?!" 

Pekikan suara Meira tak cukup membuat Sarah gentar dan terkejut,  karena di saat yang bersamaan, ada hal lain yang jauh lebih mengejutkannya dan lebih membuatnya gentar. Arch, tepat pada saat itu, tampak tengah berjalan mendekat pada mereka berdua, berjalan dari arah belakang Meira. Meira, yang mendapati tatapan Sarah terlihat fokus menuju satu titik di belakangnya, lalu perlahan menoleh ke belakang, dan kontan lututnya pun gemetaran. Hatinya mengatakan, tak ada alasan lain dari kedatangan Arch pada mereka berdua, selain untuk menanyakan perihal gelang itu. 

Mungkin Arch sudah menyadari bahwa gelang miliknya hilang. Jika Arch lalu mencari gelang itu di saku jaketnya—yang sudah diserahkan kembali oleh Meira setengah jam yang lalu—dan tidak berhasil mendapatkannya, maka sudah sewajarnya jika dia mendatangi si tukang cuci. Refleksi suram ini berkembang di benak Meira, dan kontan membuatnya ciut. Instingnya membimbingnya untuk berjalan menuju salah satu sisi Sarah, lalu dengan gemetaran menautkan tangannya ke lengan teman sekaligus bosnya itu. "Aku pasrah padamu," bisiknya pada Sarah. 

Sarah menelan ludah dengan berat. Dia menyadari sepenuh hati, bahwa perkara sederhana ini bisa menjadi pelik, mengingat tamunya itu adalah orang yang baru mengenalnya. Menjelaskan perkara ini padanya bisa disalahpahami sebagai upaya tipu-tipu. Bukan tidak mungkin, Arch bisa menyangsikan kejujuran dirinya, dan menuduhnya telah mencuri. 

Sarah memejamkan matanya dengan kencang dan erat dengan pikiran bingung dalam beberapa detik. Alhasil, Meira mengambil inisiatif untuk menyapa Arch lebih dulu, karena tak kunjung mendapati rekannya bersuara, sementara Arch sudah berhenti tepat di depan mereka. "Se-se-selamat pagi, Tuan Arch," ucap Meira gagap. "A-ada apa Anda kemari?" lanjutnya.

"Em ... " nada bicara Arch terdengar mengambang, "bukankah tadi aku sudah menceritakan padamu perihal keperluanku terhadap Sarah?"

"Oh!" seru Meira terkejut namun gembira. "Soal keinginan Anda untuk meminta bantuan Sarah?" lanjutnya dengan riang, sementara Sarah terpengah dengan alis mata yang sontak terangkat. "Silakan Anda diskusikan berdua dengan Sarah kalau begitu, Tuan Arch. Aku tidak akan mengganggu kalian berdua."

Sarah memegang dan menahan tangan Meira, yang nampaknya akan segera dilepaskan dari lengannya untuk berlalu pergi, namun Meira dengan ekspresi riang—seolah baru saja mendapatkan keberuntungan terbesar dalam hidupnya—mengerlingkan mata padanya dan berkata, "Tuan Arch, akan menyampaikan padamu sesuatu yang sudah membuatnya menunggumu sejak tadi pagi. Kalian bicaralah berdua. Lagipula aku ada banyak pekerjaan."

"Banyak pekerjaan katamu?" timpal Sarah dengan mengerutkan kening.

"Iya, Bos. Pegawaimu ini memang banyak pekerjaan. Sampai jumpa lagi, nanti." 

Meira, dengan langkah penuh kebahagiaan, berlalu meninggalkan Sarah yang menatap kepergiannya dengan sendu sekaligus tak terima. Pandangannya tak kunjung beralih dari Meira meski langkahnya telah semakin jauh, dan tatapan itu baru terhenti saat suara Arch mengusiknya, "What's the matter?"

"Oh," ujar Sarah dengan spontan, dengan sedikit nada terkejut akibat suara yang mendadak, lalu mengalihkan pandang dengan menunduk, dan mengusapkan sebagian jari tangan ke keningnya. Semua gestur itu semakin menampakkan kegelisahan yang mewarnai pikirannya, dan Arch mendeham dengan saksama untuk memberinya interupsi.

"Ada apa denganmu?" tanya Arch.

"Aku?" timpal Sarah sedikit gugup. "Aku tidak papa. Em, bagaimana dengan istirahatmu semalam? Kuharap kau mendapatkan tidur yang nyenyak."

Arch tersenyum. Tak pelak senyum itu membuat Sarah ikut tersenyum pula dengan sedikit desah nafas lega, mengurangi intensitas kecemasan dalam dirinya. "Nyenyak, Sarah. Sangat nyenyak," jawabnya. "Terima kasih. Aku sangat menghargai bantuanmu semalam."

"Kau sudah mengatakan itu sebelumnya. Tidak perlu kau ulang lagi."

"Tapi itu sangat berarti buatku," sanggah Arch. "Pertolonganmu itu tepat di saat yang tepat."

"Sudahlah, Arch. Kau membuatku malu. Kau menginap dengan membayar uang sewa. Jadi kita sebenarnya saling menguntungkan. Dan—em, apakah setelah ini kau akan langsung meninggalkan penginapan?"

Arch sejenak memandang Sarah dengan ekspresi tak terbaca, sebelum kemudian tersenyum tipis. Dia kemudian berkata, "Untuk liburanku kali ini, aku sudah menyewa aparteman pribadi milik teman dekatku sendiri, Sarah. Tapi aku bisa saja tinggal di penginapan ini untuk beberapa hari ke depan, karena aku mendadak terpikirkan ide baru." Sorot mata Arch terlihat berbinar, sementara Sarah sontak mengangkat alisnya, merasa terkejut sekaligus penasaran. "Aku," lanjut Arch, "punya sedikit tawaran untukmu."

"Tawaran?" Sarah mengerutkan kening. Arch kembali menganggukkan kepala dengan khidmat, dan kemudian mulai menyampaikan maksudnya.

"Bagaimana," ucap Arch, "kalau kau menjadi pemandu wisataku selama seminggu ke depan?" Sarah terperangah. Bola matanya melebar, dan mencoba meminta Arch menjelaskan kembali maksudnya. 

"Aku? Menjadi pemandu wisatamu?"

"Ya," Arch mengiakan. "Kau—semoga kau tak keberatan, dan tolong jangan salah paham—akan menemaniku jalan-jalan di beberapa tempat wisata selama seminggu, dan aku akan membayar jasamu untuk itu. Anggaplah ini seperti permintaan seorang teman. Atau mungkin ... pelayanan tambahan untuk tamumu ini."

"Tapi—kenapa mendadak kau menginginkan rencana liburan seperti itu?" sela Sarah. 

Arch menggelengkan kepalanya sebelum menjawab lugas, "Entahlah." Dengan senyum tipisnya dia melanjutkan, "Sebenarnya aku sudah terbiasa berwisata solo. Kadang aku mengajak satu atau dua orang temanku, tapi jarang berada dalam rombongan yang besar. Aku punya alasanku sendiri—tapi itu tidak terlalu penting untuk dibahas. Singkatnya, Sarah, entah karena alasan apa, aku ingin ada orang yang menemaniku dalam liburanku kali ini. Dan kurasa, kaulah orang yang tepat."

Ekspresi tak jelas mengambang di wajah Sarah, seiring dengan ucapannya yang tersendat, "Tapi aku—" 

Suasana hening dalam beberapa detik, dan Arch diam menunggu jawaban Sarah. "Sebenarnya, Arch, ada beberapa orang pemandu wisata yang menjalin kerja sama dengan penginapan kami. Dan kau bisa menyewa jasa mereka."

Roman muka Arch seketika tampak kecewa. Semangatnya seolah turun. Pemuda itu menarik nafas panjang, dan Sarah seketika itu pula menyesal telah menyampaikan kata-kata yang mungkin tak menyenangkan di telinga tamunya itu. "Tapi ... " ralat Sarah, "aku ... aku tak keberatan jika kau memang ingin meminta bantuanku, Arch."

"Ah," desah Arch dengan binar mata lega. "Aku suka jawaban ini, Sarah."

"Tapi bolehkah aku tahu," sela Sarah dengan kalem, "kenapa kau bersikeras ingin aku yang menemanimu?"

"Karena aku percaya padamu."

"Kau percaya padaku?" ulang Sarah. 

"Ya. Bahkan aku juga percaya jika kau bisa membantuku mengurus satu urusan yang lain." Arch kini terlihat menunjukkan ekspresi sarat pertimbangan, dan Sarah menaikkan alis matanya penuh tanya. Gadis itu diam sesaat sembari menunggu ucapan Arch selanjutnya. 

"Aku," lanjut Arch, "kehilangan sebuah benda, Sarah, dan kurasa aku kehilangan benda itu saat berada di penginapan ini. Jangan salah paham, aku tidak menyalahkan siapapun. Tapi kalau kau bisa membantuku, aku akan lebih berterima kasih lagi padamu."

Sarah terperanjat. Jantungnya berdetak kencang. Kepalanya mendadak pening. Seketika gadis itu menjadi kuyu karena menyadari bahwa inilah saat baginya untuk memberikan sebuah penjelasan yang mungkin akan sedikit merepotkan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status