Share

Chapter 2

Sarah bergegas menuju ke dalam rumahnya, menindaklanjuti seruan nyaring adiknya untuk mengangkat telepon dari sepupunya, Naura. Sarah berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengembalikan gelang Arch, begitu dia selesai berbicara dengan sepupunya. Dia memasukkan kotak perhiasan itu ke kantong jaketnya sendiri, dan berjalan sedikit tergesa-gesa agar sepupunya tak perlu menunggu terlalu lama.

Sepupunya sedikit menggerutu di awal percakapan itu, menyatakan kekesalannya karena Sarah tak mengangkat teleponnya yang ditujukan ke nomor pribadi Sarah, sebelumnya. Sarah menanggapinya dengan permintaan maaf tak dibuat-buat, dengan menyertakan dalih bahwa padatnya aktivitas pagi telah mengilhaminya untuk meninggalkan ponselnya begitu saja di kamarnya dalam rangka menghindari interupsi, hingga alhasil tak mengetahui jika sang sepupu menghubunginya.

"Lagipula yang penting sekarang kita sudah terhubung," imbuh Sarah. "Langkahmu tepat dengan beralih menghubungi telepon rumah, Naura Sayang," Sarah berkata dengan jahil diselingi cekikik ringan tanpa rasa berdosa. "Ada apa? Bagaimana persiapanmu untuk acara pertunanganmu nanti malam?" Sarah duduk dengan tenang, rileks, dan mulai menikmati perbincangan dengan saudara sepupunya yang sepantaran dengannya itu. 

"Itulah yang ingin kubicarakan denganmu," ujar sang sepupu. "Bisakah kau datang ke rumahku, sekarang? Aku membutuhkan bantuanmu untuk banyak hal."

"Sekarang?" tanya Sarah dengan nada mengambang.

"Iya, Sarah Sayang. Aku tahu kau memang sibuk. Tapi memangnya kapan kau pernah tak sibuk? Kali ini, demi aku, demi pertunanganku, Sayang, datanglah kemari. Bisa, kan?"

"Kau bicara seolah kau belum melakukan persiapan apapun, padahal kau sudah sibuk selama hampir dua minggu," timpal Sarah. "Oh," Sarah mendesah, "haruskah serepot itu untuk sebuah acara pertunangan?"

"Omong kosong!" sergah Naura. "Aku yakin, kau tak kan mungkin tega menolak permintaanku kali ini, tidak peduli sepadat apapun kegiatanmu. Lagipula kau tahu, aku menjadikan pertunangan ini sekaligus sebagai ajang reuni dengan teman-temanku. Aku tidak mau mereka pulang dengan menyimpan kesan tidak menyenangkan tentang acara pertunanganku ini." 

"Iya, baiklah," kata Sarah tenang dan menenangkan. Sejatinya itu memang bukanlah permintaan yang berlebihan, dan menyadari bahwa menunda keberangkatannya hanya akan membuat sang sepupu geram maka dia pun berkata, "Aku akan segera ke sana. Tunggulah!" Sarah menutup perbincangan dengan senyum tipis menghias wajah bulatnya. 

Dalam hati dia begitu memaklumi euforia sang sepupu, mengingat hubungan yang akan segera dinaikkan statusnya itu adalah sebuah hubungan yang sudah terjalin selama empat tahun, sejak dia dan sang sepupu masih berumur dua puluh lima.

Berawal dari sebuah acara liburan di Bali lebih dari empat tahun yang lalu, yang dilakukan oleh Sarah dan Naura, bersama beberapa teman mereka. 

Kala itu, dalam sebuah kesempatan saat berada di pantai Kuta, tanpa sengaja mereka terlibat perkenalan dengan segerombol muda-mudi yang juga tengah berlibur. Perkenalan itu berlanjut dengan kesepakatan untuk menikmati liburan bersama, hingga setiap detik yang berlalu selanjutnya penuh dengan intimasi pertemanan yang mengesankan. 

Sebesar kegembiraan yang meruah kala itu, rupanya semengesankan itu pula impresi yang tertinggal di benak Naura, terutama teruntuk salah satu pemuda bernama Eric, yang selang beberapa bulan berikutnya resmi menjadi kekasihnya.

Sarah kembali tersenyum. Kisah romansa sepupunya itu entah kenapa tak membuatnya merasa iri sedikitpun, meskipun dalam beberapa kesempatan belakangan ini ibunya mulai suka menguliahinya tentang beberapa wejangan hidup, di antaranya terkait masalah pendamping. Usia Sarah yang kini telah menginjak dua puluh sembilan tahun, membuat sang ibu mulai secara rajin dan teratur, mengingatkan putrinya itu untuk mencari pasangan, sama seperti sepupunya. Bukan untuk mengejar skor, atau menyamakan kedudukan, melainkan untuk kebahagian Sarah sendiri di masa depan. Namun, dengan sopan, Sarah selalu mengatakan bahwa untuk urusan itu, dia tak merasa terburu-buru sedikitpun, dan memilih untuk membiarkan semuanya berjalan secara apa adanya.

Sarah beranjak dari tempat duduknya, bermaksud untuk menuju ke garasi, mempersiapkan mobil, dan melaju ke rumah Naura—tanpa sengaja melupakan rencananya untuk mengembalikan sebuah gelang berlian hasil temuan Meira pagi ini, pada pemiliknya.

Sarah melajukan mobilnya begitu saja. Gadis bermata cokelat itu—yang serupa dengan mata ibunya, beralis tebal, dengan bulu mata yang tak terlalu lentik, dan tatapannya cenderung dalam dan mengesankan, berusaha menyibak pemandangan jalanan yang mulai terlihat ramai meski hari masih pagi. Ritme kehidupan masyarakat yang dinamis seolah mengemuka dimana-mana, namun Sarah menganggap semua itu selaras dengan tuntutan hidup yang semakin tinggi.

Tepat di saat ini, sepuluh menit berlalu dari pukul tujuh, Sarah telah sampai di tempat sang sepupu, dan di saat yang bersamaan, di penginapan, Meira tengah terlibat perbincangan dengan Arch, yang tengah menyambangi resto penginapan untuk melahap sarapan paginya. 

"Selamat pagi, Tuan Arch," sapa Meira dengan senyum ramah, yang dijawab pula dengan sapaan dan keramahan yang sebanding.

Untuk urusan beradaptasi dengan budaya Indonesia, Arch tidak sedikitpun mengalami kesulitan. Ini adalah ke empat kalinya dia mengunjungi Indonesia, yang semua perjalanannya dia tempuh atas dorongan rasa suka dan ketertarikan yang besar pada budaya Indonesia. 

Perjalanan pertamanya ke Indonesia lima tahun yang lalu, telah membekaskan rasa cinta yang bahkan membuatnya tergerak untuk belajar Bahasa Indonesia, dan kemampuannya itu semakin terasah dengan baik seiring dengan makin meningkatnya perjalanan ke Indonesia yang dia tempuh. 

Arch, pagi ini, mendadak merasa ingin menanyakan perihal Sarah pada siapapun yang mungkin, dalam area penginapan itu. "Saya ingin berterima kasih padanya karena telah menolong saya, semalam," ucapnya pada Meira, orang pertama yang terlibat percakapan dengannya pagi itu. "Baterai ponsel saya habis, di tengah malam, saat saya jalan-jalan sendirian. Saya sempat merasa kesal dalam perjalanan semalam, dan baru bisa tersenyum lega ketika Sarah akhirnya menemukan saya." 

Kening Meira mengerut, seiring dengan pernyataan Arch, yang menunjukkan bahwa dia belum bertemu Sarah, pagi ini. Padahal Meira ingat betul, bahwa sebuah kebetulan tak diduga telah membuat gelang berlian milik Arch berada di tangan Meira dan Sarah pagi ini, dan Meira telah meminta tolong Sarah untuk mengembalikan gelang itu.

Kabar bahwa putri pemilik penginapan itu belum menemui Arch menunjukkan bahwa gelang rupawan tersebut belum dikembalikan. Sementara Meira tahu dengan pasti, bahwa gadis itu saat ini sedang tidak berada di area penginapan. Padahal di sisi lain, Arch mungkin ingin meninggalkan penginapan dengan cepat—menurut dugaan Meira, mengingat pemuda itu semalam singgah dan menginap hanya karena kondisi darurat. 

Meira mendesah lirih, menyadari bahwa tugasnya kini bertambah.

"Saya pikir," lanjut Arch mengabaikan ekspresi kecut Meira, "saya mungkin bisa meminta bantuan Sarah untuk menjadi pemandu wisata bagi saya sampai liburan saya selesai. Tapi tentu saya harus mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Sarah. Dia mungkin saja sibuk, tidak bisa, atau mungkin keberatan. Dan saya tidak akan memaksanya kalau dia menolak permintaan saya."

Meira terperanjat. Rupanya masalah yang menyambanginya telah datang sepaket dengan solusinya. "Kalau begitu," ucapnya bersemangat, "Anda tunggu saja Nona Sarah pulang. Saat ini dia sedang keluar. Tapi pasti tak lama lagi kembali. Saya juga akan membantu Anda, dengan meneleponnya dan memberitahunya bahwa Anda menunggunya. Oh ya, jaket Anda akan siap jam sembilan, Tuan Arch."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status