Aku bisa membuatmu, jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta.”
“Dia sedang pergi. Aku hanya berdua saja dengan... pembantuku.”
Wanita itu hanya memperhatikan bagaimana lelaki itu menyebutkan sesuatu tentang dirinya. Dari balik pilar yang menyembunyikan tubuh mungilnya, wanita itu mulai terisak. Ia membekap mulutnya agar suara itu tak terdengar sampai ke ruang tamu sana.
Disini, dibalik pilar yang membatas antara ruang tamu dengan jalan menuju dapur, wanita itu mulai terisak. Sebelah tangannya yang semula tertahan diudara memukul ke arah dadanya. Nyeri, ia berharap pukulannya bisa mengalihkan sakit yang
"Kau yang duduk disana, dan aku ingin menyatakan bahwa aku begitu mencintaimu.”Adela kembali ke ruang tamu dan menemukan suaminya tengah membaca salah satu majalah olahraga disana. Wajah tenang Rian yang masih menikmati aktivitasnya membolak-balikkan gambar Valentino Rossi terhenti saat melihat kehadiran Adela ditempatnya. Saat ia menengadahkan kepalanya, ia menemukan wajah memerah milik istrinya itu. Hal yang sama ditemukannya kala menyadari bahwa wanita itu baru saja habis meluapkan amarah. Dengan pandangan heran, Rian mengulurkan tangannya pada Adela dan membimbingnya untuk duduk disampingnya.“Kemarilah sayang. Kulihat keadaanmu sedang tidak baik saat ini.” Ucapnya.
“Perasaan asing tak bernama itu berdekatan dengan cinta Tapi semakin kucoba untuk menjamahnya, semakin aku merasakan bahwa perasaan itu hanyalah kehampaan semata.”“Apa masih lama?” Rian setia memandangi jam tangan besi ditangannya. Sudah lebih dari setengah jam mereka menunggu sang pemilik rumah memunculkan batang hidungnya. Ia mulai gelisah karena untuk beberapa saat yang cukup lama tak ada tanda kemunculan Jean di ruang tamu ini. Pria itu pergi dan sampai saat ini tak pernah kembali lagi. Terakhir yang ia ingat, lelaki itu hanya pamit untuk menyiapkan makanan. Dan itu pun sudah setengah jam yang lalu.A
“Aku pikir Aku sudah tiba pada titik jenuh yang kumiliki. Pahit rasanya mengingat bahwa penantian ini terasa sangat sia-sia.”“Kita akan melakukannya dengan cepat.”Odelia memperhatikan cerminan dirinya pada kedua mata kelabu milik lelaki itu. Jean benar-benar dalam bayangan dirinya yang sama sekali tak dikenalnya. Baik dulu maupun sekarang. Namun meski tak mengenali pribadi yang sekarang ada dihadapannya, Odelia tak bisa berbuat banyak. Ia yang lemah hanya pasrah saat Jean membuka satu-persatu benda yang melekat pada tubuhnya.Odelia terdiam memperhatikan bagaimana setiap gerakan yang dibuat ole
"Aku mencari hingga aku merasa lelah. Aku terdiam menunggu kepastian yang sebenarnya aku tahu bahwa itu tak pernah ada."Sepasang mata kelabu itu turun memandangi hamparan rumput yang tumbuh didepan salah satu dari sekian banyak pekarangan yang tumbuh dirumah ini. Sesekali mulutnya menghembuskan asap nikotin yang berasal dari rokok yang ia hisap. Tatapannya nanar, bukan kepada objek yang berada dihadapannya, melainkan pada sosok lain yang kini tak ada bersamanya. Sudah sejak awal, tak ada niatannya untuk memandangi sekumpulan rumput yang tumbuh menjadi satu berwarna kehijauan itu.Sejak tadi pagi, berawal dari keputusannya untuk meliburkan dirinya dari rutinitas kantor yang memuakan, disinilah seorang Jeanattan berakhir. Jika saja ia memutuskan untuk pe
“Aku pikir tak apa jika sedikit tersakiti meski aku yakin kau takkan pernah menjamah ini. Tapi karena itu dirimu, maka aku mampu bersabar lebih lama.”Kedua orang laki-laki dengan setelan jas kantornya tengah berdiri sambil menyandarkan punggung mereka di pembatas pinggiran balkon. Baik Jullian atau pun Jean sama-sama terdiam di tempatnya. Tak ada satu pun suara yang keluar dari bibir kedua lelaki jangkung itu. Keduanya memilih menyandarkan tubuh mereka pada pembatas pagar balkon lantai dua rumah Rea.Jean yang hanya bisa terdiam berdiri disamping laki-laki asing ini menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Baginya menghisap benda nikotin itu adalah pelariannya. Mungkin hanya dirinya yang
“Sepintar-pintarnya tupai melompat, pasti lambat laun akan terjatuh juga.”Di dalam kamar Yonash, Clara nampak duduk disamping pria paruh baya itu. Clara tak hentinya merengek pada ayahnya seharian ini, dan puncaknya pada malan ini. Clara nekad masuk ke dalam kamar ayahnya dan mendesaknya kembali. Ia takkan menyerah sampai ayahnya itu mau buka suara. Wajahnya pun tak pernah lepas dari raut memelas. Ia hanya meminta ayahnya berbagi sedikit cerita mengenai ayahnya dan juga kakaknya, Jean. Ia yakin ayahnya mengetahui sesuatu. Setelah meminta Marko menyelidik kakaknya, Clara semakin gelisah.“Ayah.. aku tahu ada yang kau sembunyikan dariku.” Rengeknya sambil menyandarkan kepalanya
“Perasaan yang kupikir takkan pernah ada, kini terasa begitu nyata bergema dalam hatiku.”Pikirannya kacau, begitu yang dapat Jean simpulkan. Setelah seharian ini ia memutuskan untuk berada di kediaman Rea, Jean merasa dirinya malah tidak tenang. Padahal ia sengaja bersembunyi di rumah itu untuk menghindari kepenatan kantor dan juga Martha yang akan selalu menyambangi kantornya, entah untuk urusan kecil yang sebagian besar Jean bisa tebak adalah tentang uang.Jean memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Ternyata kekuatan pikiran lebih besaar dari apa yang ia bayangkan. Rasanya seluruh tubuhnya nyeri memikirkan apa yang baru saja dikatakan Rea tadi siang. Tubuhnya nyeri, terasa seperti ia
"Menyadari bahwa kau berusaha untuk melenyapkan rasa itu, membuatku semakin sakit."Setelah beberapa saat dihabiskannya untuk menangisi diri, Odelia pun bangkit. Wanita itu dengan susah payah berdiri diatas kedua kakinya meski rasa lemas tak kunjung hilang darinya. Matanya sembab, entah sudah berapa lama ia menangis disini. rasanya selama apapun ia berusaha menguapkan emosinya, sia-sia saja jika sakit yang terus menjamah hatinya tak kunjung sirna.Odelia pun berdiri menopang tubuhnya dengan pinggiran sofa yang tak jauh darinya. Ia memegang erat lapisan bludru itu ditangannya. Sungguh rasanya untuk bergerak saja ia tak mampu. Mungkin terdengar melankolis mengingat Jean tak melakukan kekerasa fisik kep