Share

Pertengkaran di Tengah Hujan

           Tak pernah terduga dalam benak Dipta, Jakarta yang selalu bergerak dengan layar besar tanpa henti itu akan terguyur hujan. Aktivitas di dalamnya memang tak berhenti. Deru klakson yang bersahutan dan ketukan tumit sepatu para pekerja saling mengisi ruang kosong di jalanan yang kadang tergenang air. Derit ban sepeda motor anak-anak sekolah yang bergesekan dengan aspal yang licin. Juga ketenangan di dalam mobil Dipta.

            Sebenarnya keadaan saat ini tak tepat jika dibilang ketenangan yang menghanyutkan jiwa. Terlihat jelas dari raut wajah Dipta yang tegang saat membaca pesan W******p di ponselnya. Hanya melihat ekspresi Dipta saja Bobby dapat menebak dengan akurat seperti apa nasib Roni dan Juna.

            “Kita bisa kabur sampai sejauh ini pasti karena Juna dan Roni, kan?” Bobby buka suara dan mengisi keheningan di dalam mobil.

            Sejujurnya Bobby hanya mengucapkan kalimat tadi karena mengikuti firasatnya. Tak disangka, firasatnya benar. Dipta mengangguk lemah. Ia terpaksa memberi jawaban yang menyakitkan itu meski tahu perasaan Bobby sedang tak enak. Benar saja, kesedihan Bobby hancur berkeping-keping. Ia merapatkan jaket gombrongnya untuk menghalau udara dingin.

            Mobil Dipta menepi di trotoar dekat Monas. Aktivitas pejalan kaki di sepanjang gerbang hitam tinggi itu padam karena hujan. Dipta menyandarkan punggungnya yang lelah di jok kemudi. Ia melemaskan jari-jari tangannya yang kaku karena menyetir. Mereka sudah aman dan misi penyelamatan ini berhasil. Semua itu berkat pengorbanan Juna dan Roni.

            “Misi kita berhasil, kan?” Nada riang Samuel merebak di tengah kesunyian yang begitu dingin.

            Dipta mendesis sebagai tanggapan atas pertanyaan tak berperasaan itu. Matanya terpaku pada kaca spion tengah, menyorot tingkah kekanak-kanakan Samuel yang kegirangan di jok belakang. Laki-laki itu melompati jok tengah dari bagasi dan sukses besar mengotori mobil mamanya. Dipta mendorong bingkai kacamata di hidungnya, lalu memalingkan wajah ke arah jendela. Ia kehilangan nafsu melayani rentetan pertanyaan Samuel.

            “Habis ini kita mau ke mana? Lo berdua harus bawa gue sembunyi ke tempat yang aman. Eh, tempatnya harus nyaman juga. Nggak boleh kotor atau pengap. Gue saranin ke hotel Bundaran HI aja. Cepetan bawa gue ke sana.”

            Telinga Dipta memanas karena pidato cerewet Samuel. Terpaksa ia menoleh.

            “Memangnya lo mau bayarin gue dan Bobby?” tanya Dipta tanpa basa-basi.

            “Nggak lah.” Samuel menyahut sinis. “Harga sewa hotelnya mahal.”

            “Kalau begitu bagaimana nasib gue dan Bobby?” Dipta berang. “Oke, lupakan soal gue karena status gue adalah pelaku. Tapi bagaimana dengan Bobby? Jangan lupakan Juna dan Roni yang ditawan sama orang tua lo. Posisi teman-teman gue ada di ujung tanduk sekarang. Mereka nggak bisa pulang dengan aman. Lo tahu sendiri sekejam apa pengawal dan pengacara keluarga Ariston.”

            Samuel membeku setelah Dipta mengakhiri pidato panjangnya. Hati dan pikiran Samuel tak bisa membantah kekuatan keluarga hukum Ariston. Satu per satu teman-teman Dipta akan ditahan pengawal keluarganya, cepat atau lambat. Bobby tak bisa melepaskan raut kekhawatiran di wajahnya.

            “Gue nggak kenal sama lo dan nggak tahu kepribadian lo. Tapi dari semua omongan lo tadi, gue tahu dua hal. Lo pelit dan egois.” Bobby menyambar ketenangan di muka Samuel dengan kritikan pedasnya.

            Dipta tertawa kecil mendengar sindirian Bobby. Sementara di belakangnya, bibir Samuel terlipat membentuk ekspresi cemberut. Ia membatin tentang betapa salahnya Dipta dan Bobby mengumpati dirinya. Samuel merasa aneh karena cowok culun dan temannya yang tengil itu tidak tahu siapa dirinya.

            Sebenarnya Dipta tahu siapa Samuel. Adik perempuannya bahkan salah satu anggota klub penggemar Samuel. Hampir semua anak remaja putri tahu dan mengidolakan Samuel Ariston. Laki-laki kaya yang duduk di jok tengah mobilnya ini adalah selebgram, model terkenal, dan bahkan musisi seperti dirinya. Dipta tahu lewat curhatan adiknya kalau Samuel baru memulai karier bermusik tahun ini sebagai penyanyi solo. Tapi kiprahnya sudah melejit sangat cepat.

            “Terus lo berdua mau bawa gue sembunyi di mana?” tanya Samuel ketus.

            “Yang pasti bukan di hotel,” tukas Dipta. “Kalau di hotel pasti gampang ditemukan sama orang tua lo. Apalagi orang tua lo bukan orang biasa dan pasti punya banyak koneksi.”

            Bobby mengacungkan jempol. “Seratus buat Dipta. Dan nol buat otak lo yang cetek kayak kolam renang balita.”

            Samuel mendesis kesal saat Bobby mengucapkan kalimat keduanya sambil menuding tepat ke dahinya. Sayangnya fisik Samuel sudah terlalu lelah untuk berkelahi. Jadi, ia hanya bisa bersedekap dan membuang muka ke samping. Samuel terpaksa pasrah dan menyerahkan nasibnya pada Dipta. Untuk sesaat Samuel merasa malu karena keturuan keluarga Ariston semestinya tak boleh pasrah di tangan cowok culun seperti Dipta.

            “Ya udah. Terserah lo berdua mau bawa gue ke mana,” gumam Samuel. “Gue udah nggak tahan mau mandi. Bau banget badan gue, nih.”

           Dipta menghamburkan napas beratnya di tengah cuaca Jakarta yang kian dingin. “Ini yang gue bingung. Jujur, gue kehabisan akal buat tempat persembunyian lo. Nggak memungkinkan kalau lo disembunyikan di rumah gue atau rumah teman-teman gue.”

           “Ta, dalam keadaan buntu kayak gini lo harus tenang.” Bobby menasihati. “Mending sekarang kita makan dulu. Udah hampir siang. Kita cari restoran yang ada toiletnya biar Samuel bisa bersih-bersih. Nanti gue ke supermarket buat beli sabun.”

            Dipta sekali lagi memandang Bobby dengan penuh kekaguman sepanjang hari ini. Ia heran, Bobby yang biasanya tengil itu ternyata bisa jadi support system baginya di waktu yang tepat. Dengan anggukan optimis, Dipta melajukan mobilnya, menyatu dengan jalan raya yang masih padat meski ditumpahi hujan.

            Setelah berputar-putar di kawasan gedung pencakar langit, Dipta akhirnya menepikan mobil di area rumah makan seafood. Lokasinya yang dekat apartemen memudahkan Samuel membersihkan diri sebelum masuk ke restoran. Dipta sudah agak tenang, tapi Samuel kembali berulah. Ia terlalu gengsi menemani Bobby membeli sabun di dalam mall apartemen.

            “Cih, gue aja yang pergi sendiri.” Bobby menggerutu sembari berlari kecil memasuki area mall yang menyatu dengan apartemen puluhan lantai itu.

            Dipta menghela napas. Diliriknya Samuel yang tak bergeming menggurat kaca jendela yang berembun karena hujan. Mereka terpaksa berdiam diri berdua saja di dalam mobil sampai Bobby datang membawa sabun untuk Samuel.

            “Lo kabur ke bandara karena apa?” tanya Dipta penasaran.

            Samuel menghentikan aktivitasnya menggurat jendela. Berganti menatap Dipta dengan sedikit memiringkan kepala. Posisinya yang duduk di belakang Dipta membuatnya kesulitan melihat utuh wajah pria dengan senyum cerah itu.

            “Apa hak lo nanya hal itu? Privasi.” Samuel menjawab ketus. Sebetulnya bukan jawaban karena Samuel sama sekali tak berniat menjawab.

Lipatan di dahi Dipta kian mencuat mendengar betapa dinginnya suara Samuel.

            “Ya, gue harus tau apa yang bikin lo lari keluar dari kedai kayak orang mabuk!” Dipta menimpali dengan intonasi tak terkendali.

            “Kalau begitu, lo dulu yang cerita. Kenapa lo nggak bisa fokus menyetir sampai nabrak gue? Lo bodoh atau apa?” Samuel membalas seakan tak mau kalah. Sejak kecil ia memang tak pernah kalah saat berdebat dengan orang lain. Status anak keluarga Ariston selalu menciutkan nyali lawan-lawannnya.

            Dipta mencibir tingkah Samuel dalam hati. Ia tentu tak berani berucap langsung karena status Samuel dan kekuatan hukum keluarganya. Terpaksa Dipta mengalah.

            “Gue ke bandara buat ketemu sahabat gue. Perempuan yang udah gue cintai sejak SMA.” Suara Dipta mengalun sendu, selaras dengan rintik hujan.

            Mendadak pikiran Dipta terpasung pada keadaan Sella yang sedang terbang ke Denpasar. Terlebih Juna mengabarkan akan ada hujan badai di sana.

            “Duh, Sella gimana ya di sana? Denpasar katanya hujan badai.” Dipta yang tengah melamun tiba-tiba berbicara sendiri. Mengikuti suasana hatinya yang tiba-tiba diliputi kecemasan, Dipta bergerak menyalakan radio mobil untuk mendengar berita cuaca.

            Sementara siaran radio memberitakan cuaca buruk yang disertai angin kencang di Denpasar.  Samuel yang duduk di belakang Dipta sontak melotot. Tak kalah keras dari suara radio, jantung Samuel berdegup keras mendengar nama “Sella" terucap dari bibir Dipta. Mata Samuel tak berkedip memperhatikan perawakan Dipta dan ciri khas kacamata bundarnya.

            Batin Samuel bertanya-tanya, bukankah sosok Dipta sangat mirip dengan laki-laki yang diceritakan Sella padanya saat pesta kelulusan SMA? Laki-laki dengan senyum cerah yang ibarat empat musim di dunia. Serta kacamata bundar yang selalu didorongnya dengan telunjuk tangan. Kulit yang putih dan aroma tubuh maskulin. Pipi tirus dan perawakan tubuh yang tinggi.

            “Kamu nggak perlu khawatir sama traumaku, Sam. Aku udah dapat penanganan psikiater. Lagi pula sekarang aku menemukan sahabat yang menemani aku selama terapi penyembuhan trauma.”

            “Siapa dia? Perempuan atau cowok? Aku nggak suka kalau cowok.”

            “Dia cowok. Memangnya kenapa, sih? Aku juga mau bahagia, Sam. Apa aku terlalu serakah? Cowok ini definisi kebaikan dan kesempurnaan. Senyumnya yang cerah itu bagai empat musim di dunia. Kacamata bundarnya bikin penampilannya terlihat culun sekaligus lucu. Kulitnya putih dan hampir menyamai aku. Aku suka aroma parfum favoritnya yang maskulin itu. Sayang dia agak kurus sampai pipinya tirus. Padahal dia tinggi, lho. Kalau lagi main sama dia, aku selalu masakkin makanan yang enak biar dia gemuk.”

            Samuel tercenung saat satu per satu deskripsi Sella tentang laki-laki itu masuk ke dalam telinganya. Nada suara Sella yang antusias turut meramaikan berisiknya hati Samuel sekarang. Apa hari ini takdir mempertemukannya dengan sosok yang menggantikan dirinya di hidup Sella? Samuel kalut dalam perasaannya.

            Hati Samuel semakin yakin karena kesan pertamanya tentang Dipta memang culun. Dikuasai perasaan yang semerawut, Samuel menyikut lengan Dipta. Membuat pria itu menjerit kaget karena hampir kehilangan konsentrasi mendengar berita. Dipta membetulkan letak kacamatanya dan menoleh dengan kesal. Tapi ia justru menemukan wajah kalut Samuel menatapnya dalam-dalam.

            “Lo kenal Sella? Sella Lorinia. Dari mana lo bisa kenal Sella? Jawab! Jangan-jangan lo cowok yang merebut Sella dari gue! Jawab!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status