Devan pergi ke rumah Raina, tidak lebih hanya untuk mengajaknya pura-pura baikan di hadapan Petra. Akan tetapi ternyata wanita itu tidak ada di rumah orang tuanya. Bahkan di rumah Dhaka sekali pun. Mendadak Devan gelisah. Seharian dia memikirkan Raina.
Devan menghempaskan diri di sofa setibanya di rumah. Jemarinya menutupi mata yang sedang terpejam. Pikirannya kacau karena dirinya tidak tahu di mana Raina berada. Dia sudah menghubungi beberapa teman lama Raina, tetapi tidak ada yang tahu.
Arka yang saat itu sedang bersama Devan ikut duduk, dia menepuk-nepuk bahu Devan. "Kita nanti cari ke tempat teman Raina yang lain."
"Gua gak kenal teman-teman Raina, selain yang tadi kita temui."
"Iya, nanti gua ba
Raina menggunakan uang yang diberikan Devan waktu itu untuk memulai bisnis waralaba, membeli satu gerobak ice bland dengan merk yang sudah ditentukan oleh orang yang diajak kerja sama. Raina akhirnya merasakan juga, bekerja sambil membawa balita dalam pelukannya. Mau bagaimana lagi, dia sekarang hidup sendiri. Mungkin kalau orang lain, saat bekerja bisa titip balita pada Nenek dan Kakek anaknya, tapi Raina tidak bisa."Awas, Rain! Hati-hati nanti minumannya netes ke kepala Zian." Naya muncul dari belakang. Menyapa Raina.Raina menoleh. "Ya enggak lah, aku hati-hati, kok.""Ya, syukur, deh. Akhirnya kamu terbiasa juga."Naya berlalu, sambil membawa bahan baku fried chicken, yang akan dia gunakan di stand tempat dia jualan. Sementara, Raina melanjutkan pekerjaannya.Di sebrang tempat Raina jualan, ada seorang pria yang menatap ke arah Raina dari
Devan menatap pria muda yang sedang membuka pintu mobil untuk Raina dan Naya, pemuda itu juga balas menatap Devan tapi tidak lama. Devan mengenalnya. Itu adalah Yoshi Altahir, anak seorang komposer handal di Indonesia. Belakangan, sering mengajak musisi lokal yang handal untuk kolaborasi di Chanel YouTube-nya. Dia juga teman SMA Raina, dulu.Devan memanggil Raina, wanita itu menoleh pada Devan, tersenyum lalu mengangguk memberi salam dari kejauhan. Akan tetapi tidak lama pula, dia kembali menaiki mobil Yoshi meninggalkan Devan yang mematung."Raina, tunggu!" seru Devan penuh harap.Sementara, Yoshi pura-pura tidak melihat Devan, meskipun Devan sudah mendekat, bahkan menempelkan jidad ke kaca mobil. Dia tetap melaju pelan membuat yang mengintip di kaca tadi secara otomatis memundurkan langkah, sambil mengumpat."Agh ... sialan si Yoshi Bang**t! Pasti sengaja giniin gua." Devan ha
Kembali pada Devan ataupun tidak sama saja bagi Raina, sama-sama sakit. Dia tahu setiap malam dirinya tidak tidur dengan baik karena rindu. Namun jika kembali, sama saja menyerahkan diri pada pria yang gagal move on dari mantan. Harus berbesar hati jika Devan tiba-tiba merindu masa lalunya kembali. "Jujur waktu itu, aku bisa mau anterin dia pulang karena lagi galau sama masalah kita. Terlebih, dia juga kenal sama Dhaka, aku diam-diam ingin cari info tentang adikku itu." Raina percaya tak percaya dengan ucapan Devan. Dia hanya menatap dengan lekat pada Devan tanpa menanggapi apa pun. "Tapi, aku gak berani ngapa-ngapain sama Kirana. Justru merasa semua ini hanya pelarian aja. Sumpah! Yang aku butuhkan saat ini adalah ... kamu." Devan frustasi saat melihat reaksi Raina malah memalingkan muka, seolah penjelasan apapun yang keluar dari mulutnya tak berarti apa-apa. "Kirana cerita banyak hal padaku tentang kalian. Selain itu, perkataan Kirana
Devan mengusap puncak kepala Raina saat wajah Raina pucat karena ulah Devan. Raina merasa tak percaya pria itu sudah berhasil menjahili dirinya. "Gak lucu!" ucap Raina saat melihat Devan cekikikan."Sorry! Lagian aku masih punya norma kesopanan, Rain." Devan masih terkekeh melihat wajah merona Raina.Akhirnya ada pembeli, Raina merasa lega karena Devan pasti memilih pergi bermain dengan Zian di taman."Rain, aku minta ijin pinjam Zian, ya!"Silakan aja, tapi jangan jauh-jauh, ya!""Oke."Raina melanjutkan pekerjaannya, hari libur memang malah membuat jumlah pembeli, menjadi bertambah dua kali lipat. Beruntung, ada Devan yang membawa Zian bermain.Raina melihat dari kejauhan, Devan sedang mengajarkan Zian berjalan dan Zian mampu melakukannya sendiri s
Banyak kenangan di rumah ini. Raina pertama kali tinggal di sini dalam keadaan menanggung malu karena hamil. Lebih dari pada itu dia tak bisa pulang ke rumah orang tua angkatnya karena sudah tak diinginkan. Bertemu Devan yang selalu menatap dia dingin, pria itu berbaik hati tapi bukan karena ketulusan. Dalam situasi kebingungan tentang kehidupan, April memberikan uluran tangan dan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Raina awalnya ragu dan menganggap April adalah ibu mertua biasa. Tapi rupanya, dia mendapatkan kasih sayang yang tak pernah dirasakannya dulu saat tinggal dengan orang tua angkatnya. Raina mengakhiri lamunan saat mendengar suara April yang mengajak Zian bernyanyi bersama. April terlihat bahagia saat bersama Zian. Maklum, Zian cucu pertama d
Raina bangun dari tidurnya, dia melihat ke samping Devan sudah tak ada di sisinya. Suara shower dari dalam kamar mandi membuat Raina tahu pria itu sedang mandi. Dia duduk di kasur sambil melamun. Dirinya tak percaya semalam sudah menghabiskan malam bersama Devan lagi. Degup jantungnya berdetak tak beraturan. Semua yang dilalui semalam adalah keindahan dan kehangatan.Pintu kamar mandi terbuka, Raina melihat Devan keluar dengan berbalut handuk Devan tersenyum ke arah Raina yang baru bangun dengan rambut masih acak-acakan. Raina berusaha merapikan rambutnya, menyisir dengan jari saat berhadapan dengan Devan."Raina, giliran kamu mandi. Aku tunggu kamu buat Shalat bareng."Raina mengangguk dan berjalan ke arah kamar mandi. Dia tak mau membuat Devan lama menunggu terlebih sudah sangat lama dirinya tak shalat di-imami oleh Devan.Raina berdiri dibawah guyuran shower. Perasaan luar bi
Apa begitu mustahil membuat dua orang saudara yang terlahir dari dua rahim berbeda untuk hidup bersama? Mengapa sering ada penolakan diantara salah satunya?Petra mengemudi untuk pulang, pandangannya terhalang oleh kabut air mata yang menggenang, karena pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Dia tidak habis pikir, mengapa sepanjang hidupnya selalu diliputi penyesalan.Penyesalan pertama Petra yaitu karena dirinya meninggalkan Devan saat bayi, dirinya baru melihat wajah Devan kembali saat anaknya berusia 18 tahun. Entah bagaimana kehidupan Devan saat hanya hidup berdua dengan April, karena dia melihat Devan saat itu sebagai anak yang terbuang, dengan wajah yang babak belur sehabis dihajar orang. Petra dulu tidak tahu ada masalah apa anaknya itu. Yang jelas, kehidupan anaknya yang pertama itu tidak dalam keadaan baik.Petra merasa tidak ada salahnya lebih memperhatikan Devan daripada Dhaka saat
Devan sedang merakit mini Playground yang worth it untuk balita seusia Zian bermain dengan aman. Zian antusias, dia merangkak ke sana ke mari di atas matras empuk bermotif kartun yang belum di isi oleh bola atau mainan apa pun. Balita itu menghampiri Devan dan berdiri dengan berpegangan pada Devan. "Bentar lagi jadi tempat main kamu, Zian. Sabar, ya!" "Hao hakeng, Yaya ...." Zian berjingkrak. Raina menghampiri dengan membawa satu keranjang bola yang sangat banyak. "Abang udah bisa di isi bola belum area mandi bolanya?" "Iya, bisa! Kamu tumpahin aja bolanya." "Zian, lihat! Mamah tumpahin di sini, ya!" Zian tertawa-tawa saat bola-bola itu mengenai badannya. Dia langsung bermain di area situ. Sementara Devan masih memasang pintu untuk rumah-rumahan yang muat untuk tiga balita di dalamnya. "Abang Zian suka sekali main di sini." Devan melirik ke arah ibu dan anak itu sambil tersenyum. Dia bahagia melihat