Share

Bab 3 : Bahagia Itu Sederhana

*****

Bahagia itu sederhana.

Sering kali kita dengar kalimat itu, tapi apakah benar bahagia itu bisa dengan mudah diraih? Sepertinya aku setuju.Nyatanya aku bisa tertawa bahagia bersama para pengasuh hanya dengan melihat tingkah anak-anak yang sangat polos dan lucu.

Setelah 3 hari maraton jaga malam akhirnya aku bisa libur dua hari. Aku menghabiskan hari liburku ini dengan membantu para pengasuh mengurus anak-anak lucu ini.

Bertahun-tahun aku kesepian hanya tinggal berdua dengan mama dan saat ini aku enggak perlu khawatir lagi karena kehadiran anak-anak ini. Di depan rumahku persis ada bangunan tinggi menjulang yang dijadikan sekolah TK dan PAUD juga daycare.

"Siapa yang tadi pagi sholat subuhnya enggak telat?" tanya Umi Nuri salah seorang guru PAUD.

"Ilyaaaaas!!" Bocah lucu di pangkuanku ini berteriak kencang sambil mengangkat tangannya tinggi.

"Alhamdulillah, Ilyas pinter. Istiqomah ya Nak! Hayo siapa lagi?"

Dan anak-anak yang lain semangat berebut mengangkat tangannya. Betapa kata pujian dan bangga itu berefek banyak untuk semangat anak.

Ilyas adalah salah satu murid favoritku. Bocah ini cerdas, hiperaktif dan kadang usil juga. Beberapa kali anak lain menangis dan setiap ditanya pasti jawabannya Ilyas.

"Mbak Ralin tadi orangtuanya Ilyas kasih kabar katanya telat jemput!" kata Bu Asri salah satu pengasuh di daycare.

Jadi selain sekolah formal di sini juga ada daycare, diperuntukkan untuk anak-anak yang orangtuanya sibuk dan tidak bisa jemput ketika sekolah usai. Bisa ambil sistem bulanan atau harian tergantung kebutuhan. Dan enggak biasanya Ilyas ini di titipin di daycare.

Mungkin karena tidak terbiasa telat dijemput, dia sedikit manja padaku, dia terus mengekorku kemanapun aku bergerak.

"Ilyas makan siang dulu ya!"

Bocah itu menggelengkan kepala.

"Bunda?" katanya sambil menangis. Anak kecil tetaplah anak kecil, yang biasanya dia bisa tengil banget sekarang mendadak cengeng.

Aku menggendong Ilyas lalu aku alihkan perhatiannya. Aku ajak dia mainan di halaman sambil menyuapinya.

"Tante, Ilyas besok mau ke Bandung!"

"Wah, jalan-jalan ya? Tante diajak dong!"

"Mobil Ilyas penuh, Tante ikut mobil papa Ilyas ya!" jawab bocah itu dengan polosnya mau tidak mau aku tertawa.

Bagaimana ceritanya aku malah disuruh ikut mobil papanya. Dasar bocah, tadi saja nangis-nangis sekarang bermain dengan riangnya.

"Papaaaaa!!!" Tiba-tiba dia berteriak dan berlari melihat seseorang di belakangku. Reflek aku berdiri dan balik badan.

Loh? Jadi dia sudah punya anak?

Pernah menganggap seorang dokter sangat keren saat pakai jasnya? Sekarang aku bilang, seorang dokter jauh lebih tampan saat hanya memakai kaos putih dan sarung. Ini dokter kenapa bisa ganteng banget sih dengan penampilan sederhananya?

Saat melihatku dia sama terkejutnya, lalu mendekat.

"Siapa namanya kemarin?" tanyanya dan aku hanya tersenyum.

"Ralin Dok!" jawabku setengah malu mengingat insiden di rumah sakit malam itu, papa Ilyas ini ternyata adalah yang waktu itu terluka dan diantar ambulance PMI.

"Hai Ralin! Jemput juga?" tanyanya.

"Oh enggak Dok, kebetulan di sini saja. Jemput Ilyas ya?"

"Iya tapi kayaknya masih betah dia." jawabnya sambil menggerakkan kepala ke arah Ilyas yang kembali asyik dengan yang lain.

Aku dan dia duduk di gazebo yang ada di area bermain anak-anak.

"Lukanya sudah aman Dok?" tanyaku untuk memecah keheningan.

Dia memperlihatkan tangannya yang sudah berganti perban.

"Thank's ya!"

"Sudah tugasnya Dok! Maaf ya, waktu itu enggak tahu kalau Anda seorang dokter, malah nerocos saja kasih edukasi. Ibarat 'nguyahi segoro' ternyata!"

Dia tertawa lagi. "Enggak apa, jadi gue saya ngebuktiin omongan umi!"

Aku menoleh menuntut jawabannya.

"Kata umi saya, aura kecantikan wanita itu keluar salah satunya pas lagi ngomel!"

Aku tertawa keras mendengarnya. "Receh sih Dok! Biasa gombalin cewek-cewek ya?"

"Ala-ala buaya banget ya Lin?"

"Tipe womanizer banget Dok!"

"Haha, bukanlah! Sebagai ucapan terimakasih bagaimana kalau saya kasih kamu hadiah?" tanyanya sambil tersenyum lebar.

Mau tidak mau aku terhipnotis untuk ikut tersenyum.

"Apa?"

"Saya kasih kehormatan enggak usah panggil saya dengan embel-embel dokter. Pusing dengarnya!"

Aku tertawa lagi dengan hadiah anehnya. Yang aku heran kenapa jadi mudah banget tertawa sejak tadi.

"Mau dipanggil Agus ya?"

"Haha, ya jangan juga, yang punya nama nanti marah! Abi sudah capek-capek cari nama loh buat saya! Panggil nama saja!"

"Enggak sopanlah Dok! Eh Mas, eh apa sih? sayanya juga bingung!" Pertama kalinya dalam hidup, aku bingung mau memanggil seseorang.

"Ya sudah sih, mas saja lebih manusiawi didengar dari pada mbak!"

Dan aku tertawa lagi hanya dengan kata-kata recehnya. Sungguh hari ini selera humorku turun drastis.

Satu pertanyaan yang sejak tadi pengen aku ajukan tapi tertahan. Apa dia seorang duda? Waktu itu Mas Edo bilang dia masih jomblo tapi nyatanya punya anak?

Gara-gara kebanyakan jaga malam ini efeknya hari ini aku benar-benar enggak jadi diri sendiri. Sejak kapan aku penasaran dengan urusan orang lain?

******

Seminggu setelah itu aku melihatnya lagi menjemput Ilyas tapi aku tidak sempat menyapa karena terburu-buru harus segera berangkat ke apotek. Seminggu sekali aku praktek di apotek.

Dari saat itu aku jarang bertemu dengan Mas Nazril lagi karena masuk bulan baru jadwal jagaku pindah ke bangsal tidak lagi di UGD. Di rumah sakitpun aku hanya beberapa kali berpapasan singkat entah di parkiran, kantin atau hanya sekilas pas dia operan pasien ke bangsal.

"Alhamdulillah rejeki perawat sholeh!!" ucap Danang, perawat bangsal tempat aku dinas malam ini.

Seperti biasa malam ini aku datang dengan membawa makanan hasil main-mainku tadi siang di dapur. Kali ini aku membawa pancake durian dan salad buah. Perawat jaga siang dan malam asyik berkerumun membuka makanan yang aku bawa sampai tidak sadar bahwa ada dokter dan perawat yang mengantar pasien.

"Waduh maaf, mari sini sudah saya persiapkan kamarnya!" kata Mbak Anggi perawat bangsal, lalu menunjukkan kamar yang sudah dia persiapkan.

Karena dr. Reza yang jaga siang masih asyik makan bersama yang lain, aku mengambil alih tugasnya untuk operan dengan dokter UGD yang tak lain adalah Mas Nazril. Dia menyapaku sebentar lalu menjelaskan kondisi klinis pasien dan rencana tindakan.

"Pada ngapain sih di dalam?" tanyanya setelah kita menyelesaikan operan pasien.

"Lagi pada makan Dok!" Dia melirikku mungkin keberatan di panggil dokter.

"Ini dirumah sakit!" jawabku sambil tersenyum. Aku juga bingung dengan diriku sendiri, karena rata-rata sesama dokter disini biasanya manggil nama saja, kenapa aku yang ribet??

Dia hanya mengangkat bahunya lalu nyelonong masuk ikut bergabung dengan yang lain.

"Wah, selalu hanya dapat cerita loh Lin kalau kamu bawa makanan!" katanya sambil keluar dengan muka drama karena tidak kebagian jatah.

"Haha, ya Maaf Dok! Mau saya bawain besok?"

"Harus! Saya tunggu saladnya enak banget kayaknya. Pas saya masuk tinggal satu sendok itupun sudah di depan mulut Danang!"

Mau enggak mau aku terbahak melihat nada bicara dan ekspresinya yang lucu banget, sungguh selera humorku benar-benar berubah

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status