Aku memang biasa masak dan membawakan teman-temanku tapi entah kenapa belum pernah sesemangat ini menyiapkan makanan. Mungkin karena ada yang minta secara khusus, biasanya aku hanya asal bawa dan teman-teman dengan antusias menikmatinya.
Kali ini aku masak nasi bakar, ikan bakar kecap, sambal kemangi dan tentunya satu kotak salad yang aku buatkan khusus untuk Mas Nazril. Ya bukannya ada apa-apa, selama ini tidak ada yang pernah request secara khusus jadi aku seperti dapat kehormatan sendiri begitu.
"Lin, besok turun jaga kan?"
"Iya Mam, kenapa?" jawabku sambil menata makanan yang sudah selesai aku masak.
"Temanin Mama ya, mau beli AC sama laptop. Tadi Mbak Asri kasih tau AC sama laptop di daycare rusak!"
"Oke Mama, siap!"
Aku selesai menyiapkan makanan lalu memilih berbaring di sebelah mama yang masih sibuk dengan laptopnya.
"Mandi sana Lin, hampir maghrib ini!"
Aku mencium pipi mama lalu bergegas naik ke kamar. Berendam sebentar untuk merilekskan otot. Selesai mandi aku jamaah sholat dengan Mama dan para penghuni rumah ini yang tak lain adalah Bik Lasmi dan suaminya.
Selesai sholat aku naik ke kamar lagi, aku punya satu ritual rahasia sebelum berangkat kerja malam ini. Namanya rahasia ya rahasia nanti suatu saat aku ceritakan.
******Malam ini lumayan sepi, mungkin karena sedang hujan di luar. Setelah selesai visite malam ke semua kamar rawat bersama perawat, aku melipir sebentar ke kantin untuk memberikan salad pada yang pesan."Enak Lin!"
"Biasa saja Mas, itu kan cuma tinggal nyampur saja bahannya!"
"Ya kalau nyampurnya enggak jago jadinya enggak enak, bisa asem rasanya. Tapi ini beneran enak!"
Laki-laki ini wajahnya walaupun agak tengil tapi teduh kalau dilihat, terlihat tampan saat sedang makan seperti ini. Baiklah kapan dia tidak terlihat tampan?
"Kamu kenapa enggak buka bisnis kuliner saja sih Lin?"
"Selamat, Anda adalah orang ke 1502 yang nanya begitu Mas!"
"Haha, ya enggak kaget sih! Alasannya apa Lin?"
“Alasan apa Mas?”
“Itu, kenapa enggak buka bisnis kuliner?”
"Belum pengen Mas, enggak bisa fokus dua hal!" Itu hanya alasanku saja.
Laki-laki di depanku ini hanya mengangguk sambil meneruskan makan saladnya. Satu hal yang membuatku respect, dia tidak mencecarku dengan pertanyaan lanjutan seperti pria-pria yang selama ini mama kenalkan.
"Memang kita enggak bisa sih kepedean usaha kita akan maju sekali jalan tapi optimis juga perlu kali Lin! Apalagi kamu punya passion di sini!"
Aku menatapnya dan dia masih sibuk menghabiskan salad sambil menyingkirkan potongan buah naga yang aku campurkan. Selama ini enggak ada orang yang berkomentar seperti itu. Yang ada waktu aku jawab belum pengen buka usaha, kebanyakan dari mereka bilang
'wah iya ngapain susah-susah ya Dok! Secara dokter aliran dananya dari mana-mana.'
'anak pemilik yayasan terkenal dan apotek cabang mana-mana enggak butuh uang lagi lah!'
Dan itulah salah satunya alasan kenapa sampai saat ini aku enggak bisa dekat dengan orang. Dekat dalam artian sahabat akrab, biasanya kan kita punya sahabat satu grup yang bisa berbagi ketika susah ataupun senang. Sampai saat ini aku hanya nyaman berbagi cerita sama mama.
"Yakin saja, bismillah. Saya tau uang kamu sampai bingung mau taruh mana, tapi ya setidaknya bisa bermanfaat buat orang lain, bisa buka lapangan kerja bagi orang lain misalnya."
"Jangan berlebihan deh Mas!" jawabku sambil mengibaskan tangan ke udara.
Aku enggak tau sih mau komentar apa, dia orang pertama yang buat aku bisa punya sudut pandang lain.
"Tahu restoran CBA?" tanyanya.
"Yang khas makanan rumahan itu?"
Dia mengangguk.
"Tau sih Mas, salah satu restoran terkenal, mama beberapa kali ngadain acara kantor di sana."
"Nah itu yang punya sama sekali enggak bisa masak, bisanya cuma makan doang!"
"Masa sih? Kok tau?"
"Ya ada pokoknya, nanti kapan-kapan saya kenalin biar kamu ada gambaran Lin. Dia saja yang cuma doyan makan bisa loh, apalagi kamu yang jago masak!"
Aku tertawa mendenganya.
"Malah ketawa!!"
"Ya iya lucu Mas, bagaimana bisa Mas Nazril bilang saya jago masak? Sedangkan baru pertama kali makan salad dari saya?"
"Banyak review dari anak-anak Raliiiiin!!"
Lagi-lagi aku tertawa melihat tingkahnya. Pantas saja Putri semangat banget kalau bahas Nazril. Bahkan dia sudah jadi trending topic di sini, kata Putri sudah ada fansclubnya.
Ya Tuhan, luang banget waktu mereka!
"Enggak suka buah naga Mas?" tanyaku karena melihat sejak tadi dia sibuk meminggirkan buah naga.
"Iya, enggak suka!"
"Kenapa? Seger kan? Selain vitaminnya, warnanya juga cantik!"
"Ya masa buaya makan naga!!"
Astagaa, perutku sudah sakit banget daritadi ketawa terus. Bener sih kata Putri, ngobrol sama Mas Nazril itu mood booster banget, pantas dia sampai lupa sama polisi gebetannya.
*****
Aku memijit pelan kakiku yang rasanya sudah tidak karuan. Kalau ada yang bilang stamina anak muda itu jauh lebih prima dari orang tua, aku rasa kurang tepat. Buktinya saat ini aku sudah menyerah tapi mama masih betah saja muter-muter cari laptop, untung saja AC nya pilih sekali langsung oke.Sore ini setelah puas tidur aku mengantar mama ke sebuah toko elektronik yang cukup besar di kota ini. Bangunan ini ada tiga lantai, lantai pertama ada konter pulsa dan service elektronik juga ada arena bermain anak, di lantai dua ada alat-alat elektronik rumah tangga, dan paling atas ada hp dan laptop beserta aksesorisnya. Kayaknya belum lama sih toko ini jadi besar gini, waktu aku kuliah suka service laptop di sini, walaupun ramai tapi belum sebesar ini. Mama emang paling suka belanja di sini, katanya pegawainya baik-baik.
"Ma, mau cari laptop yang kaya bagaimana sih?"
"Bentar deh Lin, mama tuh cuma bisa pakainya tapi enggak tau masalah dalam-dalamnya. Ini masnya lagi jelasin ke Mama, sudah kamu tunggu sana. Atau beli es krim dulu tuh sana!"
"Mama kira Ralin anak kecil?"
"Ya sudah kalau sudah gede diam-diam saja!" Jawab mama sambil mengedipkan sebelah matanya.
Aku kembali duduk dan memilih mengeluarkan hp bermain game.
"Ralin bukan sih?"
Aku mengangkat kepala dan sedikit terkejut pasalnya enggak nyangka ketemu Mas Nazril di sini.
"Kayaknya iya sih Mas!" Jawabku dan kami tertawa bersama.
"Cari apa?"
Aku menunjuk mama yang masih sibuk bertanya ini dan itu pada pelayan toko. "Ma! Kenalin ini teman Ralin yang baru di rumah sakit. Keponakannya juga ada yang sekolah di Nurul Iman Ma!"
Mama terlihat senang sekali. Waktu itu aku sempat bertanya pada Mas Nazril tentang Ilyas dan ternyata Ilyas adalah anak dari adiknya.
Mas Nazril menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil tersenyum manis begitu juga dengan mama lalu saling menyebutkan nama.
"Tante cari laptop?"
"Iya ini, tapi bingung mau yang mana!"
"Saya boleh tahu Tante gunain laptopnya dikegiatan apa saja?"
Lalu mama dengan sangat antusias menceritakan tujuannya membeli laptop. Dengan sabar dan telaten Mas Nazril memberikan masukan untuk mama, dan terlihat jelas sekali mama menikmati obrolan itu dari caranya senyum. Well, kayaknya memang enggak ngebosenin kalau ngobrol sama orang ini.
"Mama! Ralin lagi nyetir lho!" Protesku karena sejak tadi dari parkiran toko sampai dekat rumah topik bahasan mama hanya Mas Nazril."Ya Mama juga lihat kalau lagi nyetir. Baik banget ya teman kamu itu.""Hmm!""Seru ngobrol sama dia, untung tadi ada teman kamu kalau enggak pasti Mama milihnya sampai malam!" kata mama sambil tertawa geli, diam-diam aku juga bersyukur karena tadi mama dibantuin milih sama Mas Nazril. Kalau enggak, mungkin saat ini mama masih betah nangkring di sana.Dan aku beneran takjub sama mamaku sendiri, sejak awal aku ikut kasih pertimbangan milih laptop enggak pernah diterima sampai aku bosen. Nah giliran Mas Nazril yang kasih masukan terus kasih dua pilihan mama langsung pilih salah satunya tanpa pikir panjang. Sudah begitu dapat diskon lagi, katanya Mas Nazril punya voucher enggak kepakai."Kapan-kapan kalau Nazril jemput Ilyas suruh mampir ya!""Ya Mama bilang saja ke Bu Asri atau siapa, Ralin kan enggak setiap saat
Sehari sejak kejadian Mas Nazril melihatku menangis, aku sengaja ke UGD untuk melihat responnya. Seperti yang sudah-sudah, teman-temanku akan menjauh perlahan setelah mengetahui sisi terlemahku. Awalnya mereka akan selalu menghindar saat aku sajak makan atau kegiatan lainnya dengan alasan sibuk, kemudian lama-kelamaan mereka akan benar-benar menjauh dan menghilang.Malamnya aku sempat berdoa agar Mas Nazril adalah orang yang berbeda dengan teman-temanku dulu entah kenapa aku ingin sekali bisa menjadi temannya karena selama aku kenal dia, aku merasa dia adalah pendengar yang baik. Bukan berarti aku berharap mempunyai hubungan lebih, jujur hati kecilku juga ingin mempunyai sahabat untuk berbagi suka dan duka seperti kebanyakan orang tentunya selain mama dan Gisel.Tapi sepertinya Allah sudah kasih peringatan sejak awal, Mas Nazril benar-benar menghindariku seperti awal mulanya teman-temanku dulu meninggalkanku. Waktu aku masuk ke UGD dan menyapa Putr, Mas Nazril hanya te
Ralin point of view."Evaluasi Nadi!!" Teriakku pada Putri dan Teguh yang hanya terdiam."Dok!" Panggil Putri lirih sambil memegang lenganku. Aku tidak peduli, aku terus memompa jantung pasien.Walaupun Rasanya seluruh badanku sudah ingin menyerah, keringat sudah membasahi baju kerjaku tapi mendengar anak pasien yang terus memanggil ayahnya dari luar rasanya ada nyeri di hatiku. Aku melihat gambaran diriku waktu seusianya, menangis memanggil papa yang tak pernah pulang lagi ke rumah mama."Dokter!!" panggil Teguh agak keras. Aku tetap tidak peduli, aku yakin pasien ini akan bertahan."Kembalilah Pak, kembali!!! Kembali untuk anakmu!" Ucapku dengan nafas tersengal pada pasien yang tidak mungkin mendengar kata-kataku, aku masih terus memompa jantungnya tidak peduli air mataku yang terus mengalir."RALIN!!"Aku bahkan tidak peduli teriakan itu, aku tetap memompa jantung pasien. Pasien ini harus kembali, ana
"Jadi aku melewatkan banyak hal nih?"Gisel menyuarakan rasa penasarannya ketika aku selesai sholat shubuh. Semalam Gisel bilang kesini jam setengah 2 malam dan aku baru sadar kehadirannya satu jam kemudian. Aku benar-benar tidak tau lagi caranya bersyukur punya sahabat sebaik Gisel."Apaan?""Semalam siapa yang tidur di sofa?" tanyanya lagi sambil menyenggol lenganku."Hah? Memang siapa?""Semalam waktu aku sampai sini ada cowok yang tidur di sofa nemenin kamu! Tahu begitu aku enggak usah kesini saja, malah gangguin malam romantis kalian!""Jangan berlebihan deh Gis!""Beneran, terus dia denger aku datang langsung bangun. Tanya aku siapa, awalnya agak enggak percaya sama aku, terus aku tunjukkin pesan dari mama kamu, baru dia pamit pulang.Gentlebanget sih Lin! Sumpah cocok banget kalian, dia muka bangun tidur saja gantengnya enggak luntur. Akhirnyaaaaa, Ralinku punya pacar!"Gisel terus nerocos sambil meme
Mas Nazril benar-benar menjemputku di minggu pagi ini, tapi kali ini aku lebih santai karena dia mengajak murid favoritku, Ilyas. Tadi dia juga meminta izin sama mama dan sepertinya mama sudah mengetahui rencana Mas Nazril sebelumnya."Ilyas memang enggak rewel kalau ikut tapi enggak sama bundanya?""Kamu mau kita berdua saja apa bagaimana ini maksudnya?""Alus benar buaya kalau ngomong!"Dia tertawa lebar lalu sebelah tangannya mengusap rambut Ilyas yang ada di pangkuanku."Ilyas sama saya lengket banget, asal dibawain susu aman dia. Malah dia yang nangis pengen ikut tadi, saya pikir kamu sudah tahu Ilyas dan enggak akan keberatan kalau dia ikut.""Sama sekali enggak Mas! Kangen sama anak ini, sudah lama saya enggak main ke sekolah!""Itu kamu yang kebangetan, di depan rumah doang enggak pernah main. Kalau saya pasti pilih jadi gurunya anak-anak atau jadi pengasuh sekalian!""Sebegitu sayangnya sama anak-anak!""Enggak
"Dok Ed, sahabatnya kemana sih?" Tanya Putri di tengah-tengah acara makan siang kita."Siapa? Si Agus?""Haha, iya Dok!""Oh, biasalah diajak kencan sama Profesor Danu." Jawab Mas Edo sambil melirikku, entah lirikan apa itu.Mas Nazril memang lagi ke Bangkok bersama Prof. Danu untuk menghadiri seminar kesehatan, terhitung sudah satu minggu sejak kita pergi ke rumah Pak Hadi. Senin malam dia berangkat. Sejak saat itu juga aku jadi intens bertukar pesan dengannya, hampir setiap hari."Kok dr. Nazril bisa dekat banget sih sama Prof. Danu?" Tanya Putri lagi, ini cewek kalau tanya harus sampai akarnya. Aku memilih menyimak obrolan mereka sambil menghabiskan soto favoritku."Dulu waktu kita koas, Nazril langganan dapet dampratan malah, tapi mungkin karena Prof. Danu sudah ngincer otakknya yang encer kali ya, nyatanya setelah selesai iship Si Agus langsung ditarik ke Jakarta sama Prof. Danu. Dia diminta kerja di rumah sakit besar di bidang peneliti
Nazrilpoint of view Gue tertawa sendiri melihat layar panggilan tiba-tiba terputus. Ini pasti Helga yang ngerebut hp dari Edo. Tapi alhamdulillah lumayanlah sempat lihat wajah Ralin. Edo walaupun kampret begitu bisa juga diandalkan. "Ril, jadi ya kamu yang ngisi!" "Hah? Jangan Prof! Saya mah apa atuh! Profesor saja deh ya!" "Saya sudah sering, sekarang kamu! Saya tunggu 10 menit lagi!" "Tapi Prof?" Aku masih menego permintaan Prof. Danu, kali ini benar-benar di luar konteks. Kalau biasanya beliau minta gue cari sample atau mengekstraksi kandungan kulit buah atau misahin DNA gue mah ayo saja. Tapi ini, coba bayangkan! Gue disuruh ngisi ngaji komunitas pedagang syariah Indonesia yang ada di Bangkok ini. Bingung ya? Ha ha ha Tenang gue jelasin! Jadi gue sekarang ada di Bangkok sudah satu mingguan. Tujuan utamanya adalah seminar dengan temaBasic Surgical Skills for General Phy
Ralin point of view Semalam aku tidak tidur karena harus nerus jaga malam menggantikan salah satu dokter yang berhalangan hadir. Sepulang kerja aku menepikan mobil di depan warung bubur yang enggak jauh dari rumah sakit. Aku masih mencari-cari kursi kosong, pagi-pagi begini sudah pasti penuh sesak. Alhamdulillah rejekinya Pak Raden. "Pagi Mbak dokter cantik!" sapa pria tua yang sudah akrab denganku.