Share

Bab 2 : Welcome To Our Party

~~~~~~~~

Apa sebutan yang cocok untuk orang yang menekuni suatu bidang tapi sebenarnya bukan itu yang selama ini dia inginkan?

Selama kurang lebih 2 tahun setelah lulus aku bekerja di rumah sakit ini, salahku sejak awal karena memilih menjadi dokter. Tidak ada yang memaksaku hanya saja aku tidak punya pilihan lain selain menjadi dokter hanya agar papa melirikku.

Aku tidak tahu apa yang salah dengan diriku sampai membuat papa seperti tidak menganggap kehadiranku. Aku tidak pernah menuntut hartanya yang banyak, aku tidak pernah meminta papa membayari pendidikanku sampai aku lulus dokter, aku tidak pernah meminta fasilitas yang selalu beliau berikan meskipun tidak pernah aku pakai.

Aku hanya butuh satu pelukan dan tepukan di punggungku. Aku hanya butuh ucapan 'Papa bangga nak sama kamu' ketika aku berhasil, aku hanya butuh pelukan papa disaat aku sedih. Hanya perhatian yang aku butuhkan, bukan yang lain.

Ironis ya, ketika banyak orang bisa menengakui bahwa papanya adalah cinta pertamanya, tapi bagiku justru papa adalah sosok yang menjatuhkan mentalku, sosok yang meruntuhkan kepercayaan diriku.

Cengeng!

Lambat!

Contoh kakak kamu!

Kakak kamu pintar enggak kaya kamu!

Kakak kamu penurut, enggak kaya kamu!

Deretan kata-kata itu masih terus terngiang di telingaku. Bahkan masih terekam jelas di otakku bagaimana ekspresi papa waktu mengucapkan itu padaku.

Tapi itu aku yang dulu, waktu aku SMP dan papa memutuskan meninggalkan aku dan mama. Aku yang sekarang punya pertahanan diri yang tinggi,   aku tidak akan membiarkan makhluk yang bernama laki-laki masuk ke kehidupanku dan mama.  Salahkan papa jika saat ini aku tidak berminat sekali dengan cinta pada lawan jenis!

"Ralin!" Aku buru-buru mengusap air mataku.

"Iya Ma!"

"Itu, sudah ngembang!" ujar mama sambil menunjuk adonan kueku yang ternyata sudah mengembang.

"Hehe iya, ini juga mau dimasukin loyang!"

Mama tersenyum lalu meninggalkan dapur, senyum yang sama seperti yang selama ini beliau tunjukkan, seolah sudah paham apa yang aku rasakan. Beberapa saat kemudian mama kembali dengan membawa nampan isi dua cangkir coklat panas.

"Kamu jaga malam ya?" tanyanya sembari mendekatkan cangkir padaku.

"Iya Ma, makanya ini Ralin coba masak kue resep terbaru biar dicoba sama teman-teman!"

"Semoga aman ya buat teman-teman kamu!" sahut mama diakhiri dengan ringisan pelan.

Aku hanya tertawa. "Ya kalau ada apa-apa seenggaknya dekat sama UGD Ma!"

"Kenapa kamu enggak coba nyalurin bakat kamu saja sih Lin? Buka toko kue atau restoran, Mama selalu siap membantu."

Aku menggeleng merasa tidak percaya dengan diriku sendiri. Aku sudah cukup puas dengan adanya teman-temanku di rumah sakit yang selalu antusias mencoba eksperimen ku dalam hal memasak.

Maka mama hanya tersenyum sambil mengusap rambutku.

"Papa dari kemarin telpon terus Ma!"

Mama menghela nafas lalu meminum coklat panas baru akhirnya menjawabku.

"Masih maksa kamu ngambil spesialis?"

Aku mengangguk lemah. Papa dan mama memang sudah berpisah, tapi papa tidak pernah benar-benar meninggalkanku. Papa selalu memberikan uang bulanan untukku, mobil dan keperluan lainnya tapi aku tidak pernah memakainya. Waktu aku bersikeras menolak, mama selalu meyakinkanku, mau bagaimanapun beliau tetap papaku, aku harus menghargai bentuk tanggungjawabnya.

"Tidak usah terlalu dipikirkan, kamu sudah dewasa untuk menentukan jalan hidup kamu sendir, Sayang!" kata mama sambil merangkul pundakku.

"Sudah ah Ma, pagi-pagi malah jadi sedih!"

"Kamu yang mulai lho Lin! Eh bagaimana kemarin hadiah dari Romi?" Mama mencoba mengalihkan perhatianku.

Aku hanya mengangkat bahu. "Aku kasih Bik Lasmi."

Lagi-lagi mama hanya tersenyum, hebatnya mamaku adalah selalu menyenangkan hatiku, tidak pernah menuntutku berbuat sesuatu yang aku tidak mau hanya untuk mengucapkan kata bangga atau sayang padaku. Mamaku seorang yang hebat, kehadirannya selalu bisa menghapus kesedihanku. Beliau bisa berubah menjadi sosok papa di saat aku membutuhkan.

******

Aku berjalan riang menuju UGD dengan menenteng dua papperbag berisi makanan yang sudah aku siapkan seharian ini. Aku memang tidak begitu menginginkan menjadi dokter, tapi mau bagaimana lagi sudah kepalang basah.

Bertemu banyak pasien yang tersenyum senang karena Allah kasih kesembuhan lewat tanganku membuat aku harus bersyukur karena setidaknya ilmu yang aku dapat bermanfaat untuk orang lain.

"Yang ditunggu sudah dataaang!" teriak Putri saat aku masuk ke kamar jaga. Di sini sudah ada beberapa orang yang datang, aku sengaja datang lebih awal sebelum jam dinasku.

"Wah dari baunya enak banget, saya sengaja enggak makan loh ini tadi Dok!" kata Mas Budi perawat senior spesialis di ruang Hemodialisa.

"Bilang saja istrinya lagi ngambek Mas, terus enggak di masakin!" sahut Putri.

"Put bisa enggak remnya dipakai?" Protes Mas Budi yang hanya disambut tawa dari yang lain.

Aku mengabadikan momen ketika teman-temanku begitu semangat mencicipi masakanku, rasanya ada kepuasan tersendiri. Aku punya agenda rutin setiap jaga malam seharian yaitu pasti aku dengan semangat memasak untuk teman-teman di sini. Hari ini aku memasak rendang, ca brokoli dan membuat kue bolu keju, hasil hunting resep dari youtube.

"Waduuuuh, pantesan alarm perutku bunyi dari tadi!" pekik Mas Edo yang baru datang dan melihat makanan berjejer di meja.

"Sini-sini Dok!" sahut Putri.

Tanpa membuang waktu calon bapak ini langsung ikut makan. Mas Edo adalah salah satu seniorku di sini, orangnya baik itu sudah pasti, kocak juga selalu bikin suasana tambah heboh.

"Kenapa enggak buka warteg saja sih Lin?" tanyanya di sela-sela mengunyah.

"Enggak ah, takut bangkrut Mas! Soalnya sudah pasti lo ngutang terus!" jawabku dan langsung dihadiahi pelototan olehnya.

"Woooh, kampret!" protesnya.

"Eh Dokter, yang kemarin itu siapa sih? Penasaran saya!" Putri mengalihkan.

"Yang mana?"

"Itu yang namanya Agus, cakep banget tau!"

"Agus siapa sih, Put?" tanya Mas Edo penasaran.

"Alah, itu lho Dok yang kemarin diantar PMI kesini, dari tadi kuping saya panas dengerin putri ngomongin Agus terus!" Mas Budi ikut menjelaskan.

"Nazril, Mas!" sahutku karena Mas Edo masih berpikir keras. Tapi dia tetap mengunyah, lalu tiba-tiba dia tertawa.

"Kenapa bisa Agus sih?" tanyanya.

"Lah kemarin Dokter panggil dia Gus kan?" jawab Putri.

"Haha, bukan Ya Allah Put! Namanya Nazril. Ganteng ya? Mau enggak sama dia? Masih jomblo lho, tapi otaknya agak gesrek sedikit!" jelas Mas Edo disisa tawanya.

"Masa sih Dok? Orang ganteng paripurna begitu masa belum ada pasangannya? Kerjanya apa sih Dok? Model ya? Atau bintang film?"

Aku masih terus menyimak pembicaraan mereka. Si Putri emang enggak bisa lihat yang ganteng dikit.

"Model apaan Puttriii!!! Dia satu angkatan sama gue dan dia yang akan bergabung bersama kita. Seharusnya hari ini sudah mulai kerja tapi karena kebanyakan gaya jadi malah celaka dia!"

"Maksudnya Dok? Celaka bagaimana?" Putri masih penasaran

"Maksudnya lo kebanyakan tanya Put!"

Putri merajuk dan hanya ditertawakan yang lain. Jadi dia dokter tambahan yang diceritain Putri kemarin? Kenapa dia enggak bilang ya, kok aku jadi malu kemarin kebanyakan ngomong tentang lukanya yang sudah pasti dia paham sekali tanpa aku kasih tau. Soalnya dia kemarin juga cuma senyum-senyum saja sih.

Aku mulai tugasku malam ini, sambutan hangat yang pertama adalah datang dari seorang bapak-bapak yang terus saja berteriak kesakitan karena tidak bisa buang air kecil.

"Welcome to our party, Dok!" teriak putri sambil mengepalkan tangannya ke udara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status