Home / Romansa / A MAN IN A TUXEDO / BAB 1: Perintah Bukan Tawaran

Share

BAB 1: Perintah Bukan Tawaran

Author: LeeNaGie
last update Last Updated: 2021-11-10 08:25:03

Seorang psikiater muda sedang duduk di sebuah ruangan konsultasi rumah sakit Pondok Mekar Jakarta. Dia sedang melayani pemeriksaan pasien yang membutuhkan penanganan masalah kejiwaan.

“Ini resep yang harus Anda minum untuk mengurangi halusinasi yang dialami, Bu.” Psikiater itu menyerahkan satu lembar resep untuk mengobati Skizofrenia yang diderita oleh pasien tersebut.

“Terima kasih, Dokter,” ucap pasien itu sebelum meninggalkan ruangan.

“Sama-sama, Bu.” Dia berdiri sambil tersenyum singkat.

Setelah pasien meninggalkan ruangan, dia mengembuskan napas lega. Psikiater berambut pendek itu menghempaskan tubuh di kursi kerja, lalu menyandarkan punggung.

“Pasien terakhir, ‘kan?” tanya Psikiater itu kepada perawat yang membantunya.

Perawat menganggukkan kepala dan menaikkan alisnya. “Anda benar Dokter Auristela Indira.”

Auristela menyipitkan mata, mengambil tissue dan meremasnya lalu dilemparkan ke arah perawat itu. “Sok-sok formal, gue getok kepala lo.”

“Ih, Dokter serem amat.” Perawat bernama Santi pura-pura bergidik.

“Emang udah serem dari dulu, ‘kan? Baru nyadar?” balas Stela mendelik dengan mata cokelat terangnya.

Stela berdiri sambil membentangkan tangan, lalu menggerakkan tubuh ke kiri dan kanan.

“Pegel?” tebak Santi.

“Ho-oh. Gimana nggak pegel? Pasien banyak banget dari tadi.” Stela memutar bola mata.

Di zaman sekarang ini, semakin banyak orang-orang yang memerlukan ‘sentuhan tangan’ dari psikiater. Entah hanya sekedar ingin ‘curhat’ berbayar atau memang mengalami masalah dengan kejiwaan mereka.

“Duitnya juga kenceng, ‘kan?” cibir Santi.

Stela tersenyum lebar, sehingga bibir tipisnya semakin menipis.

Kriing!

Telepon di ruangannya berdering.

“Halo, Auristela di sini,” sapa Stela setelah mengangkat telepon.

“Bisa ke ruangan saya sebentar?” balas suara serak dan berat di ujung telepon.

“Sekarang, Dok?” ujar Stela sambil menggulung tali telepon dengan jari telunjuk.

“Tahun depan, Dokter Stela. Ya sekarang dong!”

Stela nyengir kuda memperlihatkan gigi kecil yang tersusun rapi, membuat pipi chubby-nya semakin melebar.

“Segera ke sana, Dok.” Dia meletakkan gagang telepon, lalu bersiap menemui kepala psikiatri.

“Gue tinggal bentar ya? Mau ketemu Dokter Adam dulu.”

“Ngapain?” Santi tampak penasaran. Tidak biasanya kepala psikiatri itu meminta Stela datang keruangan, kecuali untuk hal-hal yang urgent.

Stela mengangkat bahu dan melengkungkan bibir ke bawah. “Nggak tahu.”

Gadis itu melambaikan tangan sebelum meninggalkan ruangan. Dia bergegas ke ruangan kepala psikiatri yang terletak di ujung koridor lantai yang sama.

Tap-tap

Langkah kakinya terus bergerak ke ujung koridor, kemudian berhenti tepat di depan pintu berwarna hitam. Stela mengatur napas yang menjadi sedikit sesak setelah berjalan cepat barusan.

Tok-tok

Dia mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan tersebut.

“Masuk.” Terdengar suara yang sama dengan di telepon tadi, serak dan berat.

Ceklek!

“Siang menjelang sore, Dok,” sapanya setelah membuka pintu.

Gadis itu kemudian melangkah pelan dengan menyimpan pertanyaan di pikiran. Lebih tepatnya penasaran dengan apa yang ingin disampaikan oleh Dokter Adam. Kedua tangannya menyatu saling bergenggaman di depan tubuh saat berdiri di depan kepala psikiatri.

Dokter Adam menoleh ke arah Stela, lalu mengulurkan tangan mempersilakan gadis itu duduk di kursi yang ada di depan. Pria berkepala plontos itu memandanginya dengan saksama. Mata hitam pekat milik Dokter Adam mematut lama dirinya, melihat dari atas ke bawah hingga kembali lagi ke atas.

Stela duduk dengan pelan di kursi yang terasa empuk dan nyaman. Dia menatap bingung dengan kening berkerut. Gadis itu menyipitkan mata, lalu memajukan sedikit wajah ke depan dengan kedua alis terangkat ke atas.

“Ada yang aneh dengan saya, Dok?” cicit Stela sambil menyatukan kedua ujung jari telunjuk di depan wajahnya.

Dokter Adam menggelengkan kepala, lantas melepaskan kacamata yang bertengger di hidung. “Kamu sudah berapa lama kerja di sini?”

“Satu tahun, Dok. Masih baru.” Stela menyengir aneh, lagi-lagi memperlihatkan gigi kecil yang tersusun rapi. Tampak sebuah lubang kecil memanjang di pipinya.

Dokter mengambil sebuah berkas dari dalam laci. Dalam hitungan detik, berkas tersebut sudah berada di atas meja. Dia menggesernya tepat ke depan Stela.

“Minggu depan kamu tidak perlu lagi datang ke rumah sakit!” seru Dokter Adam setelah menyerahkan berkas tersebut.

Deg!

Mata bulat Stela membesar seketika. Lubang hidungnya terlihat kembang kempis merespon rasa terkejut. Kedua tangan meremas ujung jas putih yang dikenakannya.

“Sa-saya dipecat, Dok?” gagap Stela dengan pandangan tidak tenang, napas keluar tak beraturan dari hidung dan mulut secara bersamaan.

“Baca dulu, baru komentar,” ucap Dokter Adam menaikkan sedikit kepala ke atas dengan pandangan ke arah berkas tersebut.

Tangan Stela gemetar ketika meraih berkas yang diletakkan oleh Dokter Adam di atas meja. Dia membuka berkas itu dengan cepat. Terlihat data pasien di dalamnya. Matanya bergerak membaca data itu secara urut dari atas ke bawah.

Pandangannya kembali naik melihat ke arah Dokter Adam, setelah membaca data yang diberikan. Stela kembali menunjukkan tatapan bingung. Keningnya berkerut dengan kedua alis nyaris beradu.

“Sumpah, Dokter. Saya nggak ngerti.” Stela menggeleng lesu sambil melengkungkan bibir ke bawah.

Dokter Adam mengembuskan napas keras, bibirnya mengerucut dengan tangan mengusap keras dagu. Dia tak habis pikir ada psikiater seperti Stela yang tidak bisa menganalisa maksud perkataannya. Pria paruh baya itu menumpukan kedua tangan di atas meja, kembali melihat lekat psikiater muda yang duduk di depannya.

“Kamu akan dibebastugaskan dari rumah sakit.”

“Tuh ‘kan bener, saya dipecat,” ujar Stela lesu dengan tatapan sendu. Bibirnya memberikan gerakan kecil. Dagunya mulai bergetar seakan ingin menangis.

“Dokter Stela. Dengarkan dulu perkataan saya. Ini belum selesai bicara loh!” tegas Dokter Adam dengan memberikan tekanan di ujung kalimat.

Stela mengusap wajah, menyelipkan rambut di belakang telinga, lalu memfokuskan pikiran dan mendengarkan apa yang akan dikatakan kepala psikiatri itu.

“Saya akan mendengarkannya, Dok.”

“Kamu dibebastugaskan dari pekerjaan di rumah sakit dan diberikan tugas baru.”

Stela membuka sedikit mulutnya. Embusan napas lega meluncur begitu saja setelah mendengarkan kalimat terakhir Dokter Adam.

“Tugas baru kamu sekarang adalah menjadi psikiater pribadi pasien itu.” Dokter Adam mengarahkan telunjuk ke berkas yang ada di tangan Stela.

Perlahan mata bulat Stela kembali melebar, dagunya seakan jatuh ke bawah sehingga bibirnya membulat.

“Jadi psikiater pribadi penderita Anterograde Amnesia, Dok?” Stela memastikan setelah menelan saliva.

“Pintar. Akhirnya kamu ngerti juga maksud saya. Tidak hanya menderita Anterograde Amnesia, dia juga mengalami trauma karena sebuah kejadian tragis.”

Why me?” keluh Stela dengan kepala miring lesu ke kanan.

“Tidak suka?”

Stela kembali menegakkan kepala dan menggeleng dengan cepat. “Maksud saya. Kenapa bukan yang sudah berpengalaman aja, Dokter? Menangani pasien Anterograde Amnesia butuh keterampilan psikiater senior.”

“Kamu ingin saya menugaskan Dokter Herman atau Dokter Ridwan? Energi mereka tidak cukup menangani pasien yang menderita Anterograde Amnesia, Stela. Di rumah sakit ini hanya ada tiga psikiater, kamu yang paling muda.” Dokter Adam mengarahkan telunjuk ke wajah Stela.

Dokter Adam kembali memasang kacamata, kemudian membaca daftar riwayat hidup Stela.

“Selain itu kamu juga memiliki kemampuan analisa saraf otak yang sangat baik. Kamu juga bisa berkonsultasi dengan spesialis saraf yang menanganinya. Dan … keluarga Oliver meminta seorang psikiater yang memiliki kemampuan bela diri. Taekwondo sabuk hitam. Kamu memenuhi semua persyaratannya,” papar Dokter Adam dengan menaikkan sebelah alis.

“Tapi Dokter ....” Stela memberikan tatapan memelas, berharap Dokter Adam berubah pikiran.

Dokter Adam menurunkan kacamata ke ujung hidung. “Kamu mau benar-benar dipecat? Ini bukan hanya keputusan saya, Stela. Tapi pihak manajemen. Pasien itu bukan orang sembarangan. Beliau seorang pengusaha di bidang pertelevisian. Kamu ingin rumah sakit kita diberitakan karena menolak pasien VIP?”

Stela menggelengkan kepala dengan cepat. “Harus banget ya, Dok?”

“Ya Allah, Stela!” Dokter Adam terlihat geram. Giginya beradu dengan rahang mengeras. Mata hitam itu membesar.

Stela menunduk lesu dengan kepala sedikit miring ke kanan. Sudah tidak ada lagi pilihan selain menerima tawaran tersebut. Tidak! Lebih tepatnya ini bukanlah tawaran, tapi perintah. Jika berani melawan atau menentang, bersiaplah untuk ditendang dari rumah sakit.

Stela tidak boleh kehilangan pekerjaan, jika tidak Ayahnya akan menyuruh gadis itu pulang ke kampung halaman di Bukittinggi. Bukan hanya itu, dia juga harus membantu sang Ayah melunasi pinjaman untuk biaya kuliah spesialisnya.

“Nggak dikasih waktu buat berpikir dulu, Dok?” Stela menatap penuh harap dengan kedua tangan menyatu di depan dada.

“Ini bukan tawaran, Stela, tapi perintah! Kamu harus melakukannya, jika tidak ....” Dokter Adam menaikkan sebelah alis ke atas, lalu mengarahkan jari telunjuk bawah dagu seakan menggorok leher sendiri.

Stela menundukkan kepala lemas. Ujung dagu nyaris beradu dengan dada bagian atas, membuat leher yang tidak terlalu tinggi itu semakin menghilang. Rambut pendek sebahu turun menutupi wajahnya.

“Besok kamu harus pergi ke rumah keluarga Oliver. Alamatnya ada di sana. Akan ada surat perjanjian yang harus ditandatangani sebelum mulai bekerja.” Dokter Adam menambahkan, setelah tidak melihat tanda penolakan lagi di wajah Stela.

“Siapa yang akan gantikan Saya nanti, Dok? ‘Kan tinggal dua tuh dokter spesialis jiwa.” Stela mengangkat kepalanya pelan, masih berusaha mencari celah agar bisa memberikan alasan untuk menolak tawaran tersebut.

Dokter Adam memundurkan tubuh bersandar di kursi, lalu memangku tangan.

“Sudah ada dokter tambahan dari Puri Mekar. Kamu tidak perlu khawatir.” Dokter Adam tersenyum tipis, karena bisa mementahkan alasan Stela.

“Jangan lupa datang pukul 08.00 WIB ke rumah keluarga Oliver. Selamat bekerja, Dokter Stela,” pungkas Dokter Adam menahan senyuman.

Stela mengambil berkas dari atas meja, kemudian berdiri. Dia membungkukkan sedikit tubuh dengan tangan kanan memegang data pasien bernama Vincent Oliver. Gadis itu meninggalkan ruangan Kepala Psikiatri dengan langkah gontai.

Auristela terlihat memejamkan mata dengan wajah mengerucut sambil merengek ketika berada di luar ruangan. Dia menempelkan kening dengan pelan ke dinding, memundurkan lalu menempelkannya lagi berkali-kali. Tak hanya itu, ia menggerutu tidak jelas.

Puas melepaskan rasa kesal, Stela segera merapikan rambut, mengangkat dagu dan menegapkan tubuh. Dia kembali berjalan ke ruangan praktik seolah tidak terjadi apa-apa.

Setelah berada di ruangan, wajahnya kembali mengerucut. Stela merengek pelan sambil menghentakkan kaki. Napasnya terdengar tidak beraturan.

“Itu wajah kenapa, Stela?” tanya Santi bingung melihat perubahan wajah Stela, setelah kembali dari ruangan Dokter Adam.

Stela melempar berkas yang diberikan Dokter Adam ke atas meja.

Kening Santi berkerut tak paham. Dia mengambil berkas itu dan membacanya. Mata bulatnya melebar saat melihat foto Vincent.

“Ya ampun Tuhan. Ganteng banget!” serunya dengan wajah berbinar.

Stela mendengkus kesal. “Baca riwayat penyakitnya, Santi! Bukan fotonya.”

Netra Santi sekarang menyipit ketika membaca daftar riwayat kesehatan Vincent Oliver.

“Anterograde Amnesia?” Santi mengedipkan mata berkali-kali dengan bibir membulat.

Bingo! Dan gue dibebastugaskan dari rumah sakit, beralih menjadi psikiater pribadinya.” Stela merengek lagi setelah menyelesaikan kalimatnya.

“Coba lo bayangin gimana susahnya menangani pasien yang ingatannya hanya bertahan satu hari. Gue bakal jadi diari buat dia, San.” Stela menghentakkan kaki ke lantai yang tertutup karpet tebal.

“Hancur karir gue. Hancur hidup gue. Huuaa-aa ....” Dia merengek seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh Mamanya.

“Ya paling nggak hidup lo lebih berwarna, bisa lihatin  cowok ganteng tiap hari, Stel.”

“Trus?”

“Kali aja dia jodoh lo, ‘kan? Kalian nikah dan punya anak cakep-cakep. Yah, sekalian perbaiki keturunan gitu. Blasteran loh, Stela!”

“Gila lo! Iya kali nikah sama orang yang akan ngelupain gue lagi besoknya?” Bola mata Stela berputar.

Santi tertawa cekikikan melihat ekspresi wajah sahabat dan juga rekan kerjanya itu. Sementara Stela merebahkan kepala di atas meja dengan lesu sambil sesekali meniup rambut. Bagaimana hari-hari yang akan dijalankan setelah beralih profesi menjadi psikiater seorang pria campuran Jawa-Perancis tersebut? Ganteng sih, tapi menderita Anterograde Amnesia.

Bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 59: Always Be Mine

    Widya berdiri terpaku saat melihat Vincent membawa Stela ke rumah keluarga Oliver. Pandangannya beralih ke arah perut menantunya yang mulai membesar. Apalagi Stela mengenakan celana yang lebih longgar dari biasanya.Stela tersenyum gugup saat bertemu dengan ibu mertua. Dia masih belum berani menatap lama Widya, karena khawatir akan diusir dari rumah itu.“Ingatanku sudah utuh lagi, Ma,” ungkap Vincent membuat Widya menelan ludah.“Aku ingat dengan pernikahanku dan siapa istriku.” Vincent menarik napas sambil menggandeng tangan Stela, lalu duduk di sofa ruang keluarga.“Kenapa Mama nggak kasih tahu tentang Stela?” tanya Vincent.Widya diam tanpa menjawab pertanyaan Vincent. Hatinya kini seperti ditusuk jarum halus, perih saat membayangkan bagaimana perlakuannya kepada Stela.“Mama khawatir kalau kamu shock lagi, Vin. Jadi kami merahasiakannya dari kamu dulu,” komentar Stela membuat Widy

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 58: Be With You

    Stela sedang tiduran di atas paha Vincent. Suami istri itu duduk di sofa apartemen yang baru ditempati selama empat hari, sebelum Stela memutuskan membawa suaminya ke tempat peristiwa pembunuhan Kirania terjadi.Vincent membelai lembut kening Stela sambil memandang wajah yang tampak begitu cantik di matanya.“Kamu ngidam sesuatu nggak, Sayang?” tanya Vincent memecah keheningan.Stela menggelengkan kepala. Kehamilannya berbeda dari kehamilan pada umumnya. Biasanya pada trimester pertama, para ibu hamil terserang morning sickness, tapi tidak dengan wanita itu. Dia hanya merasakan pusing pada awal kehamilan, karena kurang asupan makanan.“Wah! Istri saya hamilnya anteng sekali ya. Nggak ngidam dan nggak mual-mual juga,” puji Vincent.“Mungkin awal-awal hamil cobaannya udah berat kali ya, jadinya Allah kasihan lihat aku kalau harus kena morning sickness juga,” komentar Stela sambil nyengir.S

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 57: Cinta yang Tak Pernah Padam

    Kepala Vincent perlahan mundur ke belakang setelah tautan bibir mereka terlepas. Senyuman kembali tergambar di wajah Stela yang masih terlihat pucat. Tilikan mata pria itu beralih ke arah kalung berliontin bunga mawar. Di sana juga tergantung sebuah cincin, seperti cincin pernikahan.Vincent melihat jari kanan Stela, kemudian beranjak melihat cincin dengan bentuk serupa, namun berbeda ukuran. Dadanya terasa sesak ketika ingat pernah melempar cincin itu ke lantai sesaat setelah sadar.Mulut Vincent terbuka lebar saat merasakan udara mendadak lenyap di sekitar. Dia mengambil napas sebanyak-banyaknya sehingga dada bidang itu naik turun. Pria itu melangkah ke luar ruangan, lalu mengeluarkan ponsel.“Halo, Can. Bisa ke rumah sakit sekarang? Ada yang mau saya pastikan sama kamu,” kata Vincent setelah mendapatkan jawaban dari Candra.“Saya tunggu di kamar tempat Stela dirawat,” pungkasnya sebelum mematikan sambungan.Vincent menger

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 56: Wanita yang Selalu Menghiasi Pikiran

    Sudah dua jam Vincent duduk menyandar di headboard tempat tidur. Sejak tadi malam dia tidak bisa tidur, karena wajah Stela selalu menari di pelupuk mata. Keningnya berkerut memikirkan, kenapa wanita yang baru ditemuinya kemarin siang selalu menghiasi pikiran?“Aku Stela, istri kamu.”Kalimat itu kembali terngiang di telinga bagaikan kaset kusut yang diputar berulang-ulang.“Apa dia wanita yang sama? Ah, saya nggak ingat persis gimana wajah wanita yang pertama kali saya lihat waktu pertama kali sadar,” gumam Vincent.Pria itu memejamkan mata beberapa saat sambil mengucapkan nama Stela berkali-kali. Dia seperti pernah mendengar nama tersebut jauh dari sebelum sadar. Tapi di mana?Vincent memutuskan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya dia mengenakan kemeja non formal dipadu dengan celana katun yang biasa dikenakan untuk bepergian selain ke kantor.Pria itu terdiam mematut dirinya di cermin. Kening

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 55: Berjumpa Kembali

    Air mata menetes di sudut mata Stela saat melihat sepasang mata elang yang mengingatkan kepada Vincent. Tubuhnya masih tergantung dengan posisi condong ke belakang, tertahan di tangan pria itu.“Maaf, tadi saya buru-buru jadi tidak melihat Mbak berjalan dari arah berlawanan,” ucap suara bariton yang sangat mirip dengan Vincent.Pria itu kembali menarik tubuh Stela ke posisi berdiri. Sementara mata cokelat lebar miliknya masih memandang paras yang benar-benar mirip dengan suaminya itu.Gue pasti sedang berhalusinasi sekarang. Kenapa mata, suara dan wajah orang ini mirip dengan Vincent? batin Stela saat tubuhnya diam terpaku tanpa reaksi apa-apa.“Mbak? Halo? Mbak baik-baik saja, ‘kan?” Pria mirip dengan Vincent itu menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Stela.“Eh? Ya,” jawabnya singkat.Pria itu mengamati pakaian Stela, kemudian beralih ke wajahnya yang tampak pucat.&ldq

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 54: Anugerah di Balik Ujian

    Mata lebar milik Stela perlahan mengerjap. Setelah terbuka sepenuhnya, pandangan netra cokelat itu menyapu ruangan yang didominasi warna putih. Ketika menyadari keberadaannya sekarang, dia berusaha mengubah posisi menjadi duduk. Saat mengangkat tubuh, kepala kembali terasa pusing sehingga tubuh Stela terbaring lagi di atas kasur.“Dokter, Stela sudah sadar.” Samar terdengar suara seorang wanita yang akrab di telinga Stela memanggil dokter.“San, gue di mana sekarang?” lirih Stela sambil menggapai ke arah Santi. Dia melihat selang infus yang terpasang di tangan kirinya.Gadis itu segera mendekati Stela yang masih lemah. “Alhamdulillah. Syukurlah kamu udah sadar, Stela.”Stela mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ternyata Santi membawa dirinya ke rumah sakit Puri Mekar dan sekarang berada di ruang IGD.“Kenapa gue ada di sini?” tanya Stela dengan kening berkerut.“Kamu tadi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status