Share

It's Alive

Dimulut gue, sushi ini porak poranda dikunyah gigi-gigi geraham. Hancur dengan kenikmatan yang sungguh tak bisa gue lewatkan saat tepat melintasi tenggorokan. Tentunya, karena makanan ini gue merasa sedang dicintai oleh diri sendiri. Ah, ingin sungkem sama yang buat.

Sembari menghabiskan semua ini, gue denger jelas penggalan lirik dari lagu yang diputar oleh komunitas musik hiphop. Lagu dengan tempo bewegtrahangku Godzilla taringku Drakula, bait liriknya tepat menggambarkan diri gue yang sedang lahap menyantap Purinsesu Kaguya. Didukung oleh kesadaran akan tubuh besar yang menghabiskan banyak tempat ini.

Hei, anjing!

Kau tak ada disini saat ku tegap berdiri melawan dunia sendiri

Bagai gadai harga diri dengan harakiri

Astaga, baitnya mengandung gue. Secepatnya, gue ambil ponsel yang selalu sepi tak ada notifikasi pesan masuk. Membuka gugell untuk menulis lirik lagu demi mendapatkan judulnya dan siapa penyanyinya. Untuk pertama kalinya, telinga gue bersedia mendengarkan lagu semacam begini. Sebagai audience music 3.0 gue susun playlist secara acak, asal suka dan ngerasa ini “gue banget”.

Ternyata lagu yang dipopulerkan oleh Joe Million dengan judul It’s Alive ini cukup membuat gue hari ini percaya diri, karena ya bagaimana pun ini hidup gue. Tidak ada salahnya untuk melakukan apapun sesuai keinginan hati, selama tidak mengganggu orang lain. Tetapi namanya manusia tetap punya otak, walaupun jarang sekali dipakai. Paling-paling guna utamanya untuk memikirkan hal-hal tidak penting, seperti ucapan orang lain?

“Hanki, nyanyi yuk?” ajak Dobi yang memang punya suara emas.

“Gue kan gak bisa nyanyi. Lo aja deh sama si Tifa” timpal gue gak berani maju kedepan, karena selain gak bisa nyanyi pun malu. Padahal baru aja denger lagu yang bikin gue semangat. Tidak konsisten adalah keahlian gue.

“Yaudah, bertiga gimana?” tanya Tifa.

Ini seperti bukan ajakan lagi, tetapi kesepakatan. Mereka memang keras kepala kalau soal bersenang-senang. Gak punya malu sama sekali atau memang rasa percaya dirinya sudah tumbuh sepaket sama tali puser waktu didalam kandungan.

“Udah sikat aja, ayo!”

Akhirnya mereka menarik tangan gue untuk ikut bersenandung tidak sedap di depan sana. Gue yakin lagu yang bakal mereka nyanyikan akan berbeda dengan aliran musik pemilik acara.

“Kak, kita boleh nyanyi 1 lagu kan?” tanya Debi begitu antusias.

Itu terdengar seolah memaksa. Untunglah yang punya acara malam ini mempersilahkan dengan senang hati, tapi gue tetap keberatan. Seluruh mata pengunjung berpindah ke arah kami.

Musik mulai terdengar. Verse 1 dinyanyikan oleh Debi dengan lantang dan sangat percaya diri.

Sensitive thats what I am

Make no mistake about it

Cause little things

Certainly mean so much to me

Kami tampil dengan suara pas-pasan dan lagu yang tidak dikenali oleh banyak orang. Lagu milik Jeffrey Osborne berjudul Only Human memang kesukaan kami bertiga. Tiada hari tanpa mendengarkan lagu ini.

Bagian Chorus adalah bagian untuk kami bertiga.

I’m only human

Don’t ask me for too much too fast

I’m only human, babe

I’ll be so very careful not to ever hurt you

Sampai lagu ini selesai, kami bernyanyi dengan penuh penghayatan. Meski suara yang terdengar oleh orang-orang sangat memekakkan telinga. Gue jadi tidak peduli terhadap tatapan semua yang hadir menonton kami. Senyum ceria yang tampak di wajah gue menandakan kenyamanan yang tiada tara atas kegilaan ini.

Rasa terima kasih gue yang harusnya lebih banyak kepada tuhan, karena dianugerahi teman-teman paling pandai menjaga perasaan, memotivasi, dan saling berpegangan bagaimanapun keadaannya. Selalu terlintas dipikiran gue, bagaimana seandainya nanti mereka sibuk dengan urusan masing-masing dan memulai masanya tanpa gue? Bukan, tepatnya gue memulai kehidupan tanpa mereka. Mau tidak mau, suka tidak suka, gue yakin waktu itu bakalan datang walaupun bukan sekarang. Gue harus siap dengan kesepian yang terlampau merasuk pada hari itu tiba.

Kami duduk kembali dimeja tempat kami meninggalkan barang-barang. Tidak disangka, ada satu orang bagian dari komunitas tersebut yang menghampiri kami. Gue sih gak peduli, tapi ya ingin tahu aja.

“Kalian sering kesini, ya?’ tanyanya tanpa memperkenalkan nama.

Kami hanya mengangguk-angguk keheranan. Mau apa mahkluk ini mendekatkan diri sama kami? Jangan sampai dia coba-coba untuk menggoda kedua teman gue. Iya, kedua teman gue, karena gue sudah terbiasa akan situasi seperti ini. Dimana yang datang kepada kami adalah yang tertarik kepada Debi atau Tifa. Bukan gue.

“Sering-sering nyanyi lagi, ya! Besok gue tunggu.”

“Eh kenalin, gue Padi.”

Terlihat dari mukanya yang cukup manis, karena senyum yang dimilikinya. Dia sepertinya orang baik, tetapi gue baru lihat ada tatto yang berada dilengan kirinya. Sedikit terlihat, karena kaos hitam berlengan pendek yang dipakainya. Kayaknya penilaian gue salah.

“Gue Debi’

“Tifa”

Kami semua terdiam sejenak, saling menatap satu sama lain.

“Lo gak mau kenalin diri?” tanya lelaki bernama Padi tadi.

“Oh, gue Hanki”

“Namanya bagus. Kalian masih lama disini?”

“Gue mau balik sih, udah dari sore disini” Jawab Tifa.

Tifa emang aneh, dikira dia sendiri apa dari sore? Kan barengan. Kenapa dia gak mewakili kita semua buat bilang mau balik ke rumah masing-masing, karena sudah rindu kasur dan selimut. Pertemanan kami memang agak berantakan.

“Gue juga sih mau balik, tapi kayaknya Hanki belum. Dia masih mau abisin sushinya” jelas Debi sembari memasukkan ponsel dan dompetnya kedalam tas.

Gue bingung kenapa mereka berkhianat. Apa mereka gak mau anterin gue pulang? Sebelum gue menjelaskan untuk nebeng seperti biasa kepada Debi dan Tifa. Si Padi dari sawah ini udah nyerocos duluan.

“Yaudah, gue temenin ngobrol gimana? Gue kayaknya agak lama juga, soalnya mobil gue dipinjem temen”

Gue merasa canggung banget. Gue tipe MBTI INFJ – A yang dimana gue sangat meyakini kalau gue gak bisa mudah dekat sama orang baru. Kehidupan introvert gue gak bisa disembuhkan. Lagi pula gue ini perempuan kuat yang kalau sendiri pun bukan sesuatu yang harus dicemaskan.

“Yaudah, Hanki, Padi, kita duluan ya!”

Mereka pamit dengan mudahnya. Gue gak paham mereka kenapa jadi seperti ini. Mata mereka berkedip cepat menandakan seolah memberi pesan yang jelas tidak gue mengerti.

Kembali kepada Padi kuning yang berada didepan gue. Dia duduk sambil memainkan ponselnya, kemudian bertanya, “Lo tinggal dimana?”

“Gue deket sih, lo?”

“Sama. Gue sebenarnya gak asing sama lo, tapi gue masih berusaha buat mengingat. Lo gimana waktu lihat gue?”

“Gak gimana-gimana”

“Hahaha, lo agak kaku ya orangnya? Tapi wajar kok.”

Padi udah mulai so asik dan gue tetap bingung harus merespon bagaimana.

“Gue boleh minta kontak lo?” tanya Padi.

Gue hanya mengangguk dan mengambil ponselnya, lalu menyimpan kontak gue memakai nama “Hanki”

Sambil menghabiskan sushi gue yang terakhir. Ada seseorang yang mendekati lelaki ini.

“Nih. Makasih, Di. Gue langsung balik ya?”

“Iya. Gue juga mau langsung balik kok.” jawabnya.

Kemudian, orang tadi pergi dari tempat ini. Kini, giliran gue yang bertanya, “Lo gak bareng dia?”

“Enggak, gue nunggu lo aja. Gak baik perempuan balik sendirian apalagi malem gini. Gue khawatir kenapa-kenapa”

Buset, ini buaya darimana? Tuhan tolong selamatkan gue. Nyawa gue sedang ada diujung tanduk. Bagaimana kalau gue kabur aja? Tapi gue gak bisa balik sendirian. Kenapa cobaan gue ini berat banget sih, heran.

Jujur, ini bukan pertama kali gue mendengar kalimat-kalimat template yang biasa buaya sebarkan kepada para korbannya. Jelek-jelek gini pun ada yang mau sama gue, meskipun akhirnya tragis. Gue tetep ditinggal. Gak cuma satu kali, gue banyak ngalamin sakit hati kalau urusan asmara.

Dari mulai gue ditinggal diperjalanan, asik telfonan sama temannya sedangkan gue gak diajak ngobrol smaa sekali, dibohongin pakai alesan dia ojek online harus antar makanan, atau kalimat menyakitkan, seperti “Kamu aslinya beda ya sama difoto” itu semua udah terlalu sering gue terima.

“Yuk! Kita balik.” ajaknya lagi.

Gue berdiri dan berjalan dibelakangnya. Mengikuti arah kemana mobilnya diparkirkan. Mobil ford mustang maverick tahun 1967 terlihat tampan dari jauh maupun dari dekat. Padi membukakan pintu depan mobil untuk gue. Gue membalasnya dengan senyum canggung, karena gue juga bisa kok buka pintu mobil. Lalu, dia segera masuk ke mobil agar kami segera meluncur.

Dalam mobil, Padi menyetel lagu Stayin Alive dari Bee Gees. Larut pada liriknya, gue gak mendengar kalau Padi bicara. Dia harus menekan klakson agar gue bisa menyimak perkataannya.

“Lo hafal lagu ini, ya?” tanyanya, diawali dengan tawa.

“Iya nih, dirumah gue suka denger lagu ini. Lo suka?”

“Gue suka.”

Kemudian, kami bernyanyi bersama. Seolah tanpa beban. Gue pun lupa pada diri Padi yang baru dikenal beberapa jam lalu. Ternyata tidak begitu sulit untuk mendekat dengan orang baru. Hanya di awal agak canggung, mungkin belum terbiasa. Di perjalanan menuju rumah gue yang dekat, rasanya tidak sampai-sampai. Setengah sadar, kalau Padi mengambil jalan lain. Namun gue gak peduli. Gue asik dengan lagu-lagu lain yang diputar oleh Padi. Pertemuan ini, sangat mengesankan.

Seakan-akan, gue dan Padi, teman dekat yang baru bertemu kembali. Kami berbincang banyak hal, bercanda, berdebat ringan, tetapi tetap berakhir dengan tawa bahagia. Gue senang bertemu dan mengenal Padi. Diluar dari segala pengetahuan gue tentang lelaki buaya darat, Padi sepertinya lelaki tulus yang bisa berteman dengan siapapun, termasuk seorang Hanki.

Malam ini, gue menutup jendela sambil melihat laju mobil Padi yang dikemudikan dengan kecepatan tinggi. Tidak lupa membersihkan diri dan segera merangkak menuju kasur lusuh kesayangan gue. Sebelum mematikan lampu, gue melihat layar datar untuk memastikan jam berapa sekarang.

Namun, pandangan gue tertuju pada pesan masuk dari orang tidak dikenal berisi, “Selamat tidur, Hanki.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status