Jemy menghirup udara, mencium jejak puterinya. Mereka sudah lama meninggalkan Moon Kingdom. Ada enam puluh ksatria dalam pencarian ini.
"Apakah kau yakin ini jalan yang benar?" Teo menatap ragu kepada Jemy yang kini memimpin pasukan khusus itu.
"Pergilah jika kau tidak yakin pada pemimpinmu."
Pandangan Jemy menghunus Teo yang juga menatapnya. Utusan dari kerajaan Themesis itu meringis. Mengakui kesalahannya.
"Aku selalu menaruh pisau berhargaku pada puteriku. Benda itu akan menuntun kita sampai ke sana. Dan jiwa pisau pusaka itu memanggilku untuk terus bergerak maju," jelasnya.
"Ya baiklah, lebih baik kita bergegas." Morio mendahului mereka. Kuda tunggangannya berjalan dengan gontai.
"Tunggu, kita harus menunggu Pangeran Aaron. Dia akan menyusul sebantar lagi." Rion dari Kerajaan Zambela mencoba menahan para ksatria itu sedikit lebih lama.
Jemy menatapnya dengan wajah tak senang. "Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Mereka bisa saja menyakiti puteriku atau lebih buruk lagi, menjualnya di tengah jalan pada pasukan Gouwok yang mereka temui," katanya, memaksa mereka untuk terus bergerak.
"Itu pasukan Pangeran Aaron!" teriak Jackuen ke arah iringan pasukan berkuda yang berjumlah sepuluh orang tak jauh di belakang mereka.
Jemy menyipitkan matanya. melihat siapa yang datang. Pandangannya jatuh pada sosok pemuda yang pernah ia temui di perbatasan beberapa waktu lalu. Ia ingat sekarang, pemuda itu adalah ksatria pengembara yang melihat Vivian bersinar di bawah cahaya bulan.
"Apakah aku terlambat?" Aaron mendekati pasukan khusus yang dipimpin Jemy.
"Hampir, kita sudah setengah jalan Pangeran." Morio menjawab dengan penuh hormat.
Aaron mengangguk. Pandangannya beradu pada Jemy yang sedari tadi mengamatinya.
"Bukankah kau ayah dari gadis yang kutemui beberapa waktu lalu?" Aaron menunjuk Jemy dengan dagunya. Ia mengingat-ingat sesuatu.
"Kalian sudah saling kenal?" tanya Jackuen. Jemy mengangguk, membenarkan.
"Ya," jawabnya cepat. Jemy meneliti Aaron, menilai pemuda di hadapannya." Jadi kau adalah pangeran?" katanya basa-basi.
Aaron hanya mengedikkan bahu. Risih dengan gelar yang disandangnya.
"Apakah gadis itu Pearl Girl yang dibicarakan banyak orang?"
"Kau sudah melihat sendiri sosok puteriku, seharusnya kau sudah tahu," jawabnya enggan.
Keheningan terjadi. Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tujuh puluh orang dalam barisan pasukan khusus itu terus waspada dengan sekitar. Kaum bar-bar itu bisa muncul sewaktu-waktu.
"Jadi, seperti apa sosok Pearl Girl Pangeran?" Jackuen sedikit berbisik saat menanyakannya. Tapi cukup untuk didengar ksatria lain yang tak jauh dari mereka. Termasuk Jemy yang berjalan di depan Pangeran Aaron.
Jemy pura-pura tidak mendengarnya. Ia tetap konsentrasi pada petunjuk dari pisau pusaka yang ada pada Vivian. Pangeran Aaron menatap punggung Jemy. Ia menimbang-nimbang sesuatu dan berpikir cukup lama. Bayangan Vivian kembali membawa ia pada pertemuan pertama mereka.
"Dia gadis yang cantik dengan rambut panjang seperti sutra. Kulitnya putih dan tubuhnya bersinar saat tertimpa cahaya bulan. Dia memiliki senyum yang indah dengan bibir tipis seperti kelopak mawar. Gesturnya sangat halus dan anggun, seperti seorang puteri pada umumnya."
Tanpa sadar Aaron menggambarkan sosok Vivian dengan begitu detail dan sempurna. Seolah-olah dia sudah mengenal gadis itu cukup lama. Jemy melirik Aaron dari balik bahunya.
"Jangan membahas puteriku. Kalian akan berpikir yang tidak-tidak nantinya," katanya tajam. Para ksatria yang bersamanya dapat melihat Jemy yang sangat protektif pada puterinya.
"Kenapa kau marah jika ada yang membahasnya? Kami hanya penasaran," celetuk Rion dari barisan belakang.
"Apa kau benar ayahnya? Gadis itu bukannya keturunan Raja Zaen?" Daren yang sedari tadi diam saja kini ikut bergabung dalam percakapan itu. Dia pengawal dari kerajaan Beuruza yang terkenal dengan sikap ingin tahu yang tinggi.
Jemy menatap mereka semua dengan pandangan dingin. Wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia tak suka bila ada yang mencoba mengorek informasi tentang dirinya maupun Vivian.
"Ayolah, setidaknya percaya pada kami dalam pengejaran ini. Kau seorang pimpinan dalam pasukan khusus untuk saat ini, jadi beri kami kesempatan untuk tahu sesuatu tentang legenda itu," bujuk Rion yang mulai kesal dengan kekeraskepalaan Jemy.
Jemy menatap mereka. Sebenarnya ia bukan tidak ingin berbagi. Hanya saja, mereka akan banyak bertanya saat ia mulai menjawab.
"Dia tidak tahu jika aku bukan ayahnya. Selama ini dia menganggap aku adalah ayah kandungnya." Akhirnya ia mengalah, cepat atau lambat mereka pasti akan tahu.
"Jangan membocorkannya pada puteriku. Aku tidak ingin menyakitinya." Jemy menatap mereka dengan pandangan sendu. Para ksatria yang ada di sana dapat melihat tatapan itu.
"Terima kasih sudah menjawabku." Rion menuntun kudanya berjalan di sebelah Jemy. "Aku tahu kau ksatria yang luar biasa. Tujuh belas tahun menjaga Pearl Girl bukan hal yang mudah." Ia memberikan senyum hangatnya pada Jemy.
Jemy membalas lemah senyum itu.
"AYAH....?!" Suara jerit tangis Vivian menggema di kepala Jemy. Tubuhnya mematung, rahangnya mengeras. Ia dapat merasakan ketakutan dari puterinya.
"Vivian?!" teriaknya.
Para ksatria yang bersamanya langsung menatap Jemy setelah mendengar suara berat dan putus asanya. Pria itu masih mematung di atas tunggangannya dengan tangan mengepal. Mereka menunggu dengan tegang.
"Di mana kau sekarang? Vivian?" Tidak ada jawaban.
Terdengar suara geraman Jemy yang mengisi angkasa. Pria itu dipenuhi amarah sekarang.
"Apa dia memanggilmu?" tanya Aaron hati-hati. "Ya," jawabnya cepat. "Dia menangis dan ketakutan. Aku dapat merasakannya." Jemy mempercepat kudanya, dan diikuti oleh mereka semua.
"AYAAHHH..." lagi-lagi jeritan Vivian mengisi setiap sudut kepalanya.
"Jawab Ayah, kau di mana? Tolonglah, Ayah sangat putus asa." Ia hampir meratapi ketidakberdayaannya.
"Padang pasir perbatasan Moon Kingdom dan Themesis." Akhirnya Vivian menjawabnya.
"Dia ada di Corgonla. Kita harus cepat, mungkin mereka sedang istirahat di sana!" teriak Jemy hingga suaranya cukup untuk didengar tujuh puluh orang dalam barisan.
"Dia menjawabmu?" tanya Aaron yang juga memacu kudanya.
"Ya, tapi koneksi kami terputus. Aku pernah mengajarinya untuk melakukan telepati denganku, berjaga-jaga hari seperti ini datang."
"Kau luar biasa. Kaum terkutuk memang tiada tandingannya." Daren juga memacu kudanya.
Mereka semakin dekat dengan Corgonla, hari sudah semakin gelap, tapi cahaya bulan menerangi perjalanan mereka. Derap langkah sepatu kuda di atas padang pasir itu membuat irama yang menakutkan, seperti peperangan yang mungkin akan terjadi.
"Berhenti!" Morio menghentikan kudanya dan menyuruh pasukan khusus itu mengikuti apa yang ia lakukan.
"Ada apa?" tanya Fuscola yang memiliki badan paling besar di antara pasukan Moon Kingdom.
"Aku melihat perkemahan pasukan bar-bar itu di sebelah barat." Tunjuknya pada hamparan padang pasir yang membentang di depan mereka.
Para ksatria itu menyipitkan mata melihat kejauhan, tapi mereka tidak bisa melihat apa pun.
"Apa kau yakin?" tanya Jemy tak percaya. Morio menantang tatapan mengejek Jemy.
"Aku keturunan Kaum Igel yang memiliki kemampuan melihat sesuatu dari jarak jauh. Kau pasti sudah pernah mendengarnya."
Morio tahu kaumnya sudah hampir punah karena pembantaian oleh Kaum Gouwok, tapi sama seperti Jemy, hanya dia yang tersisa dari pembantaian itu.
Jemy hanya mengangguk paham. "Apa pasukan kita cukup untuk melawan mereka?" Tanya Jemy lagi sebelum membuat keputusan.
Morio memusatkan penglihatannya. "Aku hanya melihat tenda dan lambang Gouwok di sana. Tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran mereka."
Aneh, tidak mungkin pasukan bar-bar itu meninggalkan camp-nya. Meskipun mereka berperang, tetap akan ada yang menjaga camp.
"Kita serang saja. Lagi pula kita adalah ksatria terbaik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk itu." Teo sedikit membusungkan dada saat mengatakannya.
"Kau ini! Dari dulu selalu menganggap dirimu yang paling hebat." Sahabatnya, Jun memukul kepala Teo dengan gagang pedang. Teo mendelik ke arah Jun dengan tatapan kesal.
"Berhenti membuat keributan. Ayo, lanjutkan perjalanan. Tetap waspada pada sekitar, mungkin mereka menyiapakan jebakan untuk kita."
Jemy memacu kudanya dan terus membawa pasukan itu bergerak ke Barat. Langkah mereka semakin dekat, tapi seperti yang Morio katakan. Tidak ada tanda-tanda pasukan Gouwok di sana. Itu memang aneh. Jemy mengeratkan pegangan pada pedangnya.
Bersiap dengan kemungkinan yang ada. Hal yang sama juga dilakukan para ksatria di belakangnya
Morio yang berjalan lebih dulu di depan tiba- tiba berhenti. Melihat tubuh tegangnya membuat semua ksatria yang tertinggal lima belas meter di belakang semakin memacu kuda mereka dan berdiri di sebelah Morio. Mereka sama tegangnya dengan Morio ketika melihat pemandangan yang ada di depan. Jemy menahan napas sepersekian detik. Ia tak tahu apa yang terjadi, dan tidak yakin apakah dirinya sedang bermimpi. Tubuh bercahaya Vivian melayang di udara, cukup rendah, kakinya nyaris menyentuh tanah. Gadis itu dikelilingi cahaya kunang-kunang. Namun, hal paling mengerikan adalah tumpukan mayat berjumlah ratusan bergelimpangan di atas tanah. Mereka hancur tak berbentuk dengan tubuh dipenuhi darah, sebagian tak berkepala, dan sebagiannya lagi kehilangan separuh tubuhnya.
"Vivian...," bisik Jemy ngeri. Ia takut itu perbuatan gadis kecilnya. Karena hanya Vivian yang ada di sana, membelakangi mereka. Gadis itu menoleh ke belakang, seolah mendengar namanya dipanggil.
Ia membalikkan tubuhnya dan melihat tujuh puluh pasang mata yang tidak bergerak menatapnya. Sebagian dengan tatapan ngeri dan sebagian lagi dengan tatapan takjub. Vivian tersenyum, seolah-olah tidak terjadi sesuatu padanya, hingga gadis itu jatuh ke tanah karena tidak sadarkan diri. Jemy turun dari kudanya dan menyongsong Vivian.
"Vivian...!" teriaknya parau sembari terus berlari mendekati Sang Puteri.
Aaron dan yang lainnya masih mematung. Melihat Jemy berlari, mereka pun akhirnya sadar dan ikut turun dari kuda masing-masing.
"Vivian...." Jemy menggoyang lembut tubuh Vivian. Ia memeluk tubuh putrinya dan berkali-kali memanggil namanya, tapi gadis itu tetap tidak membuka mata.
***
Pasukan khusus Moon Kingdom melanjutkan perjalanan, kembali ke istana. Mereka cukup terkejut menyaksikan kejadian tadi, tapi tidak ada yang membicarakannya. Saat ini Vivian berada di pelukan ayahnya, di atas kuda tunggangan. Jemy menjaga posisi puterinya agar tidak jatuh, sebelah tangannya memegang pelana dan tangan satunya menopang tubuh Vivian.
"Dia benar-benar cantik." Sedari tadi Teo tak henti-hentinya menatap Vivian yang tertidur. Ia sengaja mensejajarkan kudanya di sebelah Jemy. Bahkan, pria itu tak peduli tatatapan mengusir Jemy yang sejak tadi menahan emosi.
"Berhenti menatap puteriku," katanya Dalam penuh nada pengusiran.
"Ayolah, dia terlalu sayang untuk dilewatkan." Teo masih menatap Vivian dalam pelukan
Jemy, membuatnya semakin menutupi Vivian dengan jubah yang Aaron pinjamkan untuk melindungi Vivian dari tatapan ksatria yang melihat penasaran ke arahnya. Tubuh Vivian bergerak sedikit. Ia menggeliat dan Jemy dapat merasakan tangan Vivian yang mengeratka pegangan pada rompinya.
"Vivian, bangunlah." Jemy berusaha menyadarkan Vivian. Ia sangat khawatir. Ini kali pertama ia melihat kebangkitan Pearl Girl, meskipun tidak melihat bagaimana caranya Vivian menghabisi mereka semua.
"Aku tidak bisa membayangkan gadis sepolos ini bisa membunuh ratusan manusia. Dia bahkan terlihat terlalu takut untuk membunuh seekor nyamuk." Rion menatap wajah Vivian yang tenggelam di antara tangan kekar Jemy.
"Ya, aku juga berpikir begitu. Kekuatan Pearl Girl memang luar biasa." Mereka berdecak kagum. Merasakan kemenangan atas peperangan sudah di depan mata.
"Dia bukan alat pembunuh! Aku tidak akan memberikannya pada siapa pun."
Jemy menatap mereka penuh ancaman saat membaca apa yang mereka pikirkan tentang perang dan puterinya. Jemy tidak akan membiarkan siapa pun memanfaatkan puteri kecilnya. Dia akan menjaga Vivian dari tangan-tangan serakah seperti sebagian ksatria yang berjalan di belakang barisan yang ia pimpin.
"Ya, ya, kau memang ayah yang baik." Teo memacu kudanya ke depan.
Jemy mendengus. Tahu jika Teo menyindirnya. "Mmm..." Vivian bergumam tak jelas. Jemy menepuk pipi gadis itu dengan lembut.
"Bangunlah. Hei... gadis manis. Kenapa kau tidak bangun juga?" Vivian hanya menggeliat dan itu membuat Jemy menyerah. Dia lebih baik menunggu Vivian sadar jika sudah waktunya.
*
Hari sudah mendekati pagi. Fajar mulai menyingsing. Hawa dingin menusuk menyerang hingga ke tulang. Pasukan khusus itu tetap melanjutkan perjalanan, mereka semakin dekat dengan istana Moon Kingdom.
"Apa dia tidak bangun juga?" Daren mencoba menyentuh pipi halus Vivian, tapi ditepis oleh Jemy. Ia mendapat tatapan tajam ayah protektif itu.
"Baiklah, aku tidak akan menyentuhnya," katanya meyakinkan.
Jemy kembali melihat ke depan. Bulan masih bersinar, sayangnya tubuh Vivian tidak ikut bersinar karena ditutupi oleh Jubah milik Aaron. Mata indah Vivian terbuka dengan gerakan pelan, lalu mengerjab menyesuaikan diri. Yang pertama kali ia lihat adalah tatapan khawatir Jemy, tapi gadis itu kembali tidur lagi, dia mengira sedang bermimpi.
"Vivian ...," mendengar namanya dipanggil Vivian langsung membuka matanya.
"Ayah...!" pekiknya dan memeluk Jemy spontan. Ia mengeratkan pelukannya seolah takut terpisah lagi.
"Ayah di sini. Jangan takut," bisiknya. Vivian mendongak, menatap wajah kusut Jemy.
"Ayah, ada yang menculikku, lalu di sebuah gurun pasir kami bertemu Kaum Gouwok. Mereka memintaku sebagai upeti karena melewati wilayahnya. Orang-orang yang menculikku itu melarikan diri dan meninggalkanku. Aku takut Ayah." Vivian bercerita dengan suara bergetar menahan takut ketika mengingat kejadian yang mengerikan baginya saat melihat kumpulan Kaum Gouwok yang menatapnya dengan seringai mereka yang menakutkan.
"Satu-satu Vivian, Ayah akan mendengarkanmu." Jemy mengelus kepala Vivian dan kembali mengajak gadis itu bercerita. "Lalu setelahnya?" tanyanya penasaran pada kelanjutan cerita Vivian, terutama bagaimana gadis itu membunuh Kaum Gouwok dan menghabisi mereka semua.
Vivian berpikir sangat keras, alisnya sampai bertaut. Ia menggeleng. "Aku tidak tahu," jawabnya lemah.
Jemy mengeratkan jubah yang menutupi Vivian untuk menghalau udara yang semakin dingin. Vivian menyadari bahwa mereka tidak sendiri, dan ia cukup terkejut mendapati dirinya berada di atas kuda. Gadis itu mengeluarkan kepalanya ke samping tubuh Jemy dan melihat apa yang ada di belakang mereka. Ia tercengang bahwa saat ini dirinya berada di barisan paling depan, setidaknya ada puluhan orang di belakang mereka. Matanya beradu pandang pada sepasang mata perak yang sedari tadi memperhatikannya. Vivian merona karena tatapan pria itu. Aaron masih menatap Vivian yang tampak salah tingkah. Vivian menarik diri dan bersembunyi dalam pelukan ayahnya. Ia meraskan debaran jantungnya. Gadis itu masih ingat wajah itu, wajah pria yang pernah membuatnya berdebar saat pertama kali melihatnya. Jemy menyadari perubahan mimik wajah Vivian. Ia menghela napas dan menyuruh Vivian tidak bergerak dari tempatnya.
"Hai cantik. Kau semakin cantik ketika bangun." Lagi-lagi Teo menggodanya. Vivian hanya tersenyum. Ia takut bertemu orang baru.
"Sekali lagi kau menggoda puteriku, dapat kupastikan tanganmu tinggal sebelah!" Jemy serius dengan ancamannya.
Teo mundur teratur dan ia menjadi bahan tertawaan sekarang.
"Ada yang bergerak!" Morio mengangkat tangannya, mengisyaratkan mereka untuk berhenti.
"Kali ini apa lagi?" Daren mendekati Morio. Suasana hening seketika, mereka dapat mendenegar suara berderap yang saling berkejaran seperti gemerisik pasir yang beradu dengan kaki kuda.
"Bersiaplah, mereka datang!" Teriaknya. Semua ksatria menarik pedang mereka, siap dengan posisi masing-masing.
"Berapa?" tanya Aaron dari belakang. "Tiga ratus," jawabnya.
Vivian bingung, ia tahu ada sesuatu yang menunggu di depan. Gadis itu semakin mengeratkan pegangannya.
"Ini saatnya... ! Serang...!"
Mereka memacu kudanya melewati Jemy dan Vivian. Aaron memimpin di depan. Vivian menenggelamkan wajahnya di dada ayahnya, ia takut melihat peperangan yang berlangsung di depan.
"Bawa gadis itu dari sini. Kami akan mengurus sisanya." Aaron menyuruh Jemy untuk melarikan diri. Jemy paham situasi mereka dan dia membawa kudanya menjauh, tapi ternyata tempat itu telah dikepung.
Kaum Gouwok ada di mana-mana. Jumlah mereka hampir seribu.
"Ayah..." Vivian semakin mengeratkan pelukannya.
"Tenanglah, Ayah akan melindungimu." Janjinya. Dan kali ini akan ia tepati.[]
Suara derap sepatu kuda dan dentingan pedang yang beradu memecah udara. Teriakan kematian dan nada pembawa semangat menjadi satu dalam arena peperangan itu. Beberapa Kaum Gouwok berjatuhan dari kudanya dan mati terinjak rekannya yang terlalu semangat mengayunkan pedang mereka tanpa peduli nasib temannya yang lain. Para ksatria tampak begitu terlatih, berbeda dengan Kaum Gouwok yang terlihat menyerang tanpa peduli teknik bertarung. Mereka menebaskan pedangnya ke segala arah, terlihat seperti orang mabuk dan berpura-pura berani menyerang."Jemy, cepat bawa Vivian pergi!" Aaron
"Vivian? Kau mendengarku?"Vivian merasa ada yang memanggilnya. Ia terbangun di sebuah dunia yang dipenuhi bunga nan indah, bulan penuh menggantung di atasnya. Tampak sebuah danau dengan pantulan bintang terbentang luas di hadapannya dengan dikelilingi bunga yang baginya asing. Tempat itu pertengahan malam dan siang. Cahaya kunang-kunang keemasan memutari tubuh Vivian, membuat perhatiannya tidak lepas menatap makhluk kecil bag
Di sebuah perbukitan Andolus berdiri sebuah istana kokoh dan megah dengan dindingnya yang hitam kelam. Tempat itu gersang, tidak ada tumbuhan yang mampu bertahan hidup di sana. Di tempat inilah Kaum Gouwok membentuk pasukannya, karena di negara bernama Darkus itulah istana Andolus yang merupakan pusat kekuasaan Kaum Gouwok berdiri, dengan penguasanya Zasier. Dia pria kejam yang sangat bengis, meskipun begitu, Zasier memiliki wajah yang rupawan, wajah malaikatnya benar-benar menipu."Jadi gadis itu telah lahir?" tanyanya pada abdi setianya dari atas singgasana.
Seorang pria dengan tubuh penuh luka dibanting di atas rerumputan hijau halaman istana. Ia jatuh tersungkur karena didorong oleh salah satu ksatria pedang Kerajaan Moon Kingdom. Raja Dimitri menatap marah padanya. Ia bahkan ingin melumat tubuh tak berdaya itu mentah-mentah."Di mana kalian menemukannya?" tanya sang raja pada Baroon, salah satu panglima kesayangan Raja Dimitri.
Terdengar suara sepatu di atas lantai batu yang mengisi lorong dan sudut istana Kerajaan Moon Kingdom. Semua penjaga jatuh tertidur di tempat mereka. Langkah sepatu bertumit itu terus berbunyi nyaring, membuat siapa saja merinding karenanya."Kau sudah datang?"Pria bersepatu tumit itu membungkuk memberi hormat pada pangeran Aaron yang berdiri di hadapannya.
"Dimitri?! Apa kau sudah gila? Membiarkan gadis itu memperalat kita untuk memicu peperangan yang selama ini kita hindari?"Setelah berita kebangkitan Pearl Girl tersebar luas hingga keluar istana. Seluruh raja dalam aliansi lima kerajaan berkumpul di tempat pertemuan rahasia. Raja Dimitri disudutkan akan kejadian ini.
Tenda-tenda berdiri dengan kokoh. Tampak tiang-tiangnya menjulang ke atas bersamaan dengan kibaran bendera Moon Kingdom mendominasi, meski ada beberapa bendera empat kerajaan lainnya ikut berkibar tapi tidak terlalu terlihat. Lambang kain berwarna biru tua dengan gambar bulan purnama berwarna perak di tengahnya menjadi pemandangan pertama bagi yang melihat kumpulan tenda dari kejauhan. Dari sekian banyak tenda, ada lima tenda besar dan satu di antaranya tenda utama, milik Pangeran Aaron. Lima raja lainnya tidak ikut dalam peperangan. Mereka menjaga basis pertahanan masing- masing kerajaan."Kapan kita mulai menyerang?" Jackuen mendekati Aaron yang saat ini berperan sebagai panglima tertinggi di sana. Dialah yang menentukan taktik perang ini."Seperempat malam nanti setelah bulan menampakkan wajahnya. Sebelum itu kita harus mengepung mereka. Setidaknya ada dua puluh ribu prajurit Gouwok yang saat ini mengisi dua lembah di Ghorbo." Pangeran Aaron membentuk sketsa di atas
Pangeran Aaron berkeliling di sekitar tenda. Terlihat langit mulai gelap, pertanda malam segera tiba."Pangeran!" Aze melihat Aaron yang melewati tendanya."Ya," jawabnya."Apa anda yakin kita tidak akan terlihat dengan rencana tadi?" tanyanya ragu."Aku yakin. Meski kecil kemungkinan, tapi berpura-pura sebagai musafir dan menculik kaum bar-bar itu saat menghadang kita merupakan ide yang tidak buruk." Jawabnya yakin."Aku hanya takut, mereka menyadari itu rencana kita."Aaron hanya menatap Aze datar."Jika kau takut. Jangan ikut dalam barisan musafir nanti!" tegasnya.Aze menunduk, merasa malu."Pangeran! Pangeran!" Dua orang ksatria berlari ke arah mereka.Aaron menatap orang-orang itu dengan raut bertanya."Pangeran! Ini gawat. Pearl girl pergi sendirian dengan kudanya ke lembah pertama. Kami berpapasan di dekat semak lout saat berpatroli," kata salah sat