Share

Birthday Party

Enam bulan sebelumnya

Perempuan berambut pirang itu mendesahkan rayuan provokatif saat lelaki di belakang tubuhnya menyusun bubuk kenikmatan, memanjang dari punggung ke pantatnya yang bulat. Seperti seorang OCD yang membuat barisan rapi tipis bubuk putih. Tak lama kemudian, laki-laki itu menyesap semuanya dalam sekali isap dengan lintingan uang kertas lewat hidungnya. Lelaki itu merasakan sensasi sengatan yang sangat dikenalnya; menusuk, menekan kepalanya, lalu memberikan sensasi melayang yang menyenangkan. Setelah itu, mulutnya melolong penuh kemenangan.

Semua orang di ruangan besar itu tertawa. Sebagian mengacungkan botol-botol minuman dan sebagian lagi mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil berteriak keras mengalahkan dentum musik dari speaker raksasa, "Selamat ulang tahun!"

Laki-laki itu merasa dirinya seperti dewa yang diagungkan. Empat perempuan tanpa busana di kanan kirinya tertawa. Sebagian dari mereka sudah setengah sadar. Sama tak sadarnya dengan laki-laki itu.

Lihat, betapa tampannya laki-laki itu. Wajah tampannya menutupi otak yang kosong dan hati yang sakit. Laki-laki itu mayat hidup yang tidak memiliki jiwa. Dia menghabiskan malam ulang tahun ke tiga puluh dan ratusan malam lain untuk berpesta. Mengundang lusinan model majalah dewasa untuk berpesta dengan teman-teman yang tidak ia kenal.

Laki-laki itu aku, anak bungsu keluarga Rockwood yang otaknya sekecil kenari. Adam Rockwood. Dia melanggar sumpahnya untuk tidak membuat pesta di Rockwood Mansion, rumah besar ayahnya. Dengan dungunya dia ingin memamerkan kekayaan ayahnya dengan membuat pesta besar dan undangan orang-orang ternama untuk merayakan ulang tahunnya. Dia sengaja tidak mengundang saudara atau keluarganya yang lain karena sedang tidak ingin mendengar khotbah. Dia ingin menjadi raja di dunianya sendiri.

Dunia buruk tempatnya mati.

Dulunya aku tidak begini. Aku laki-laki terhormat, berpesta sewajarnya, minum sewajarnya, meskipun hidup dengan gelimang kekayaan sejak belum dilahirkan.

Hingga kemudian kekecewaan merenggut akal sehatku. Perkara simpel. Perempuan.

Dulu aku tidak pernah menyentuh perempuan lain selain tunanganku, Regina-sundal-Lewis. Tapi ternyata sundal itu tidur dengan orang yang kupikir temanku, Jahanam Morrison. Empat tahun lalu, dua pengkhianat itu menghancurkan hidup yang kukira sudah tertata rapi.

Patah hati? Tidak! Apa yang kurasakan lebih kepada kekecewaan.

Harga diriku diinjak, diludahi, lalu disiram air keras. Bagaimana mungkin sundal itu memilih jahanam yang mengawali karirnya dengan menjilati bokongku? Nilai pengkhianat itu tidak lebih dari seper sepuluhku. Akulah yang banyak membantunya dan dia berani menggigit tanganku yang memberinya makan.

Sejak saat itu juga aku tidak lagi memercayai perempuan. Perempuan adalah boneka hidup yang harus memuaskan apa mauku. Mereka tidak pernah bisa berterima kasih. Makhluk yang memanfaatkan keindahan yang dimilikinya untuk mencari keuntungan.

Aku tidak akan membiarkan perempuan mana pun mengkhianatiku lagi.

Sialan! Aku benar-benar marah jika mengingatnya.

Gelitik rasa nikmat menyadarkanku. Seorang gadis pirang mengisap kemaluanku. Aku terkejut. Kepalaku memang serasa berputar, tapi apa boleh buat. Kubiarkan dia menyelesaikan apa yang dimulainya. Sementara aku sendiri menyiapkan diri untuk benar-benar sadar.

Suasana masih ingar bingar. Beberapa orang teler di sofa atau lantai. Beberapa lagi sibuk dengan seks mereka di tempat-tempat yang agak tersembunyi. Masih banyak yang menikmati musik sambil bergerak liar mengikuti efek kokain atau ganja.

"Oh, ya, Baby! Teruskan. Sedikit lagi." Tanganku menggenggam rambut pirang panjang agar bisa melihat gerakan mulutnya. Aku suka melihat "lelaki hebatku" itu dipuaskan. Aku suka bagaimana perempuan mau melakukannya dengan segala cara.

Siapa dia tidak penting. Dia melakukannya dengan sukarela ketika aku memang membutuhkannya. Pelayanannya juga memuaskan.

"Oh, ya, Baby!"

Perempuan pirang itu mendapatkan apa yang diinginkannya. Dia membiarkanku menyembur ke dalam mulutnya. Dia menelan semuanya dengan rakus. Aku menelan ludah. Jijik.

Sumpah. Aku jijik, tapi menyukainya. Aku ingat bagaimana temanku dulu, Drey Syailendra (yang sekarang tidak lagi sudi menyebutku teman) berkata, "ini hukum alam, Saudaraku. Kau tentu tidak mau menjilati ludahmu sendiri, tapi kamu dengan senang hati menjilati mulut gadis. Mereka juga begitu, mau saja melakukan yang kita inginkan karena menurut mereka itu menyenangkan, kita menyenangkan."

Walau sebenarnya ada sanggahan yang kuat untuk pendapatnya, tapi aku setuju. Asal dia tidak membawa-bawa nama Tuhan seperti ibuku, aku setuju saja. Aku memang menyenangkan. Aku tidak perlu berbuat apa-apa. Aku memang sudah sangat menyenangkan.

Kupandangi wajahnya yang mendongak ke arahku. Aku harus mengingat wajahnya agar aku tidak salah orang nanti. Kugerakan bibir seperti akan menciumnya. Tapi, tidak. Aku tidak akan benar-benar menciumnya.

Begini, aku suka melihatnya melakukan oral seks seperti itu. Aku suka kenikmatan yang ia berikan. Tapi mencium mulut yang sudah menelan sperma adalah hal paling menjijikan yang pernah kulihat, baik di film porno atau pun di dunia nyata. Jadi, aku akan memilih cara lain untuk berterima kasih. Kuelus saja kepalanya yang pirang sebelum bangkit dari tempatku berbaring.

Aku memang suka bersenang-senang dengan gadis-gadis yang baru kutemui, semakin banyak semakin bagus menurutku. Tapi, bukan berarti aku jorok. Aku tetap lelaki yang mencintai kebersihan. Walau aku tidak sesempurna Steve Thompson, sahabatku itu, tetap saja aku memiliki standar kebersihan sendiri.

Tanganku menggapai celana panjang hitam yang kulemparkan begitu saja ke lantai. Kaki telanjangku terasa dingin ketika berjalan menuju meja bar. "Tequilla," kataku pada bartender yang tersenyum lebar, mungkin senang karena aku menyapanya.

"Ya, Sir," katanya yang lalu dengan tangkas mengambil merek tequilla kesukaanku. Aku melihat bourbon Thompson di sebelah tequilla yang diambil bartender itu. Aku ingin meminumnya juga, tapi tidak. Aku ingin sesuatu yang keras dan menyiksa sekarang.

"Sir," kata bartender itu lagi sambil meletakkan gelas kecil padaku. Dia memberikan kotak kecil berisi jeruk nipis yang telah digarami juga. Namun, sebelum meminumnya, aku merasa sudah mabuk kepayang. Rasanya seperti ada listrik yang menyetrumku tiba-tiba. Aku melihat gadis itu.

Seorang gadis dengan gaun koktail merah jambu sederhana duduk gelisah di bar. Perempuan Latin yang sangat seksi. Rambutnya hitam panjang tergerai ikal.

Orang pasti menertawakan gaunnya yang tidak cocok untuk pesta ini. Persetan. Gaun itu fantastis. Dadanya besar dan menantang terbungkus sempurna membuatku tergoda untuk membukanya. Aku benar-benar penasaran.

Aku ingin sekali menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan kecantikannya. Percayalah, kata apapun tidak akan cukup. Dia seperti bidadari bermata besar dan hitam. Bibirnya penuh berkilauan. Ya, ampun, aku benar-benar ingin memakan bibir itu sekarang juga!

Apa tadi aku baru saja mendapat pelayanan oral seks kelas atas? Sekarang lelakiku sudah bereaksi terhadap keanggunan yang indah ini.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Cemas, kurasa. Ia seperti ingin lari dari tempat ini. Kedua tangannya saling meremas dengan gelisah. Orang paling tolol di dunia pun tahu, dia membutuhkanku.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status