Aku menceritakan semua kepadanya. Kali ini aku tidak menutupi apa pun. Aku menceritakan sampai ke hal-hal yang membuatku gemas dan sakit hati. Aku tidak memikirkan kalau Neptune juga mencintainya. Aku tidak memikirkan kalau Neptune dan Abe mungkin saja menertawakanku. Aku tidak memikirkan apa pun. Aku juga tidak malu melihat Venus ikut mendengarkan dan beberapa polisi berhenti untuk mendengarkanku. Aku sudah lelah. Aku tidak keberatan terlihat seperti gadis remaja yang menceritakan dengan terisak-isak lelaki yang telah menghamilinya, lalu pergi.
Tidak. Aku tidak pernah menghamili perempuan. Venus pasti akan memasak kemaluanku di kuali kalau sampai itu terjadi. Tidak ada anak Rockwood yang lahir di luar pernikahan, begitu katanya bertahun-tahun lalu saat kami masih SMA. Pesan itu kutanamkan baik-baik di kepalaku hingga hari ini. Aku tidak akan menghamili perempuan yang bukan istriku. Tidak percuma akhirnya aku membuat merek kondom ternama, Phallus. Kondom yang dibuat agar sesuai dengan keinginanku.
Kenapa kaget?
Aku kaya. Apa pun keinginanku, pasti bisa kudapatkan dengan mudah. Yah, kecuali satu gadis merepotkan ini.
"Aku tidak tahu kalau perempuan bisa membuatmu secengeng ini." Neptune duduk bersandar di balkon. Sama denganku. Dia tidak melihatku. "Apa sebenarnya yang kau pikirkan?"
Aku tidak menjawab.
Aku ingin menangis meraung-raung. Aku ingin luar biasa berduka. Aku ingin menjerit sekerasnya. Aku ingin secengeng bayi. Aku ingin melupakan tubuh besarku.
Kepalaku bergitu sakit karena benturan tadi. Kurasa rahangku retak karena rasanya sakit sekali, walau kurasa luka di hatiku jauh lebih sakit.
"Ini soal Jahanam Morrison," rengekku dengan kekesalan ketika menyebutkan nama jahanam terkutuk itu.
"Sudah tahu dia jahanam. Kenapa kau pikirkan terus? Lama-lama kau bisa jatuh cinta padanya." Neptune terkekeh atas lawakannya yang sama sekali tidak lucu itu. Sadar kalau lawakannya sama sekali tidak membuat orang di ruangan ini tertawa, dia berdeham, lalu berkata, "kalau dia memang memilih Morrison, aku yakin ada sesuatu di antara mereka, Adikku. Kau tahu, cinta kadang membuat orang jadi bodoh. Mungkin saja, kali ini yang terjadi pada kekasihmu."
"Ya, Sobat. Sudahlah, jangan dipikirkan lagi." Seorang polisi yang berdiri di belakang Venus berkata dengan nada simpatik. "Kau tampan dan memiliki segalanya. Dalam waktu sekejap, kau bisa mendapatkan gadis mana pun yang kau suka. Tidak usah memikirkan yang sudah pergi."
Tidak memikirkannya? Laki-laki keparat yang dulu meniduri tunanganku, lalu mencampakkannya? Gila, kalau aku tidak memikirkannya, apalagi sekarang dia membawa pergi gadis kesayanganku. Bisa-bisanya mereka menyuruhku tidak memikirkannya.
Aku mengerang keras, kesal pada mereka. Kutinggalkan mereka untuk berjalan ke kamarku. Kututup pintu di belakangku, lalu berjalan ke tempat tidur. Tak lupa kulemparkan gelas kopi ke dinding, membuat noda pada lantai parquet yang mahal dan berkilau di bawahnya.
"Ke-pa-rat!" kataku pelan, entah pada siapa. Aku juga tidak merasa lebih baik setelah mengatakannya. Aku ingin menangis lagi. Aku ingin membenturkan kepalaku ke dinding atau melompat lagi ke balkon. Namun, aku seperti tidak punya tenaga lagi. Aku hanya berbaring meringkuk di tempat tidur. Lututku nyaris menyentuh lutut.
Kututupkan selimut pada tubuhku, bersiap berada pada ratapan lelaki pecundang.
Aku tahu. Ini bukan diriku yang sebenarnya. Aku yang sudah teler berhari-hari karena patah hati, sudah melupakan bagaimana caranya menjadi diriku sendiri.
Adam Rockwood biasanya bukan seperti ini.
Aku adalah seorang pebisnis sukses. Aku menjalankan kelanjutan roda kerajaan bisnis Rockwood dengan sangat gemilang. Orang menjulukiku si Predator, si Singa Rockwood, dan macam-macam lagi. Setiap media memiliki julukan yang berbeda tentangku. Tapi, hanya ada satu di kepala orang-orang ketika mendengar julukan mematikan itu, Adam Rockwood.
Kau bisa ngiler selama berhari-hari kalau terus kuceritakan detail tentangku. Lahir di tengah keluarga kaya raya yang memiliki bisnis multinasional. Membanggakan. Kau bisa menyangdingkan nama Rockwood di samping nama Rockefeller. Kamilah yang mengatur perekonomian dunia. Di tangan kamilah harga popok bayi hingga harga bensin di mobil murahmu itu diatur. Satu saja kata dari mulutku terucap, ekonomi Amerika akan naik atau turun sesuai perintahku, tentu saja ekonomi negaramu juga.
Kamilah tangan-tangan tak terlihat yang memengaruhi saham-saham di Wall Street.
Orang-orang yang berjalan di belakangku pasti merasa beruntung karena bisa menginjak jejak kakiku.
Tanya saja pada perempuan-perempuan beruntung yang telah mendapat kehormatan tidur denganku, menyenangkanku. Mereka bisa menceritakan betapa luar biasanya Adam Rockwood.
Adam Rockwood bukan laki-laki cengeng, patah semangat yang terlihat seperti kotoran anjing di atas rumput.
Adam Rockwood punya reputasi tak terkalahkan hingga akhirnya secara bertubi-tubi malapetaka menghancurkannya. Yah, sampai kupikir mati adalah hal paling mudah untuk menyelesaikan semua.
Apa kau benar-benar penasaran apa yang terjadi kepadaku?
Baiklah, kuberi petunjuk, ya.
Aku patah hati.
Ya, seperti di dalam cerita roman-roman picisan. Laki-laki tak terkalahkan yang tidak pernah merasakan jatuh cinta akhirnya jatuh dan hancur. Sekarang aku cuma onggokan korban yang tidak berdaya. Jangankan untuk bangkit, merangkak pun rasanya tak mungkin.
Yang tidak pernah diceritakan roman-roman sialan itu adalah bagian yang paling menyakitkan ini. Kehilangan. Rasanya seperti seseorang mengecapkan besi panas ke bokongku. Bukan. Tepatnya ke dalam bokongku.
Petunjuk lainnya adalah villain keparat. Anjing yang kupelihara dari tempat sampah. Anjing yang menggigit tanganku setelah kuberi makan, kehidupan dan derajat. Sialnya, Anjing itu tidak pernah puas. Ia selalu ingin menggigitku lagi.
Dan, hidup membuat sesuatu yang salah. Dia punya senjata paling canggih untuk menghancurkanku.
Bedebah jahanam!
Jangan menyuruhku untuk menjaga ucapanku. Kau tidak tahu iblis seperti apa dia. Aku bisa mengumpat selama sebulan penuh dan itu tidak akan cukup untuk melukiskan betapa terkutuknya dia.
Petunjuk terakhir adalah seorang gadis. Gadis yang namanya seperti bunga. Gadis yang aromanya seperti bunga. Gadis yang kecantikannya melebihi bunga mana pun. Walau kau memenuhi jupiter dengan bunga, gadisku tetap jauh lebih memesona. Wajahnya, kecerdasannya, tingkahnya, tidak akan ada yang bisa menyamai keindahan gadia bungaku.
Akan kuajak kau mundur beberapa bulan ke belakang agar bisa melihat ceritaku yang tragis.
Bersabarlah sebentar. Aku akan mengingat segalanya secara mendetail agar kau tidak salah dalam memberikan penilaian, agar kau tahu kapam harus menghakimiku.
***
Tentu saja Venus tidak mengizinkanku menyentuh Cattleya sama sekali. Menurutnya, Cattleya masih termasuk tamunya dan aku tidak boleh sama sekali menyentuh tamunya yang dalam keadaan mabuk. Dia meminta Daniel menggendong gadis itu ke kamar tamu. Kuharap Daniel keparat itu ingat pacarnya yang sedang mengandung anak mereka. Dari kilatan pada matanya itu terlihat betapa bejatnya pikirannya. Sebelum berbalik membawa Cattleya ke kamar saja dia masih sempat tersenyum licik padaku, memamerkan keberhasilannya. Aku sama sekali tidak memperhatikan Holy yang dengan bersemangat menceritakan betapa tololnya anak magang yang bernama Wales itu. Dia mencampur beberapa data dalam kotak kertas-kertas yang akan dihancurkan. Untung Saja Cattleya datang dan membaca lagi kertas-kertas itu. Dia langsung mencabut mesin penghancur kertas dan mulai memunguti bagian kertas yang sudah berada di dalam mesin. Holy mengatakan sesuatu tentang musibah dan kesengajaan, tapi aku tidak bisa menyim
Aku melepaskan bibirnya setelah sadar kalau kelakuanku ini bisa menyeret kemaluanku ke pengadilan keluarga Volkov. "Maaf," kataku pelan, benar-benar minta maaf dan berharap dia tidak membuat hal ini menjadi masalah panjang di antara kami. Dia tidak melihatku. Dia sibuk mengelap bibir dan wajahnya sendiri. Sepertinya dia memang menghindari bertatapan denganku. Melihat gelagatnya yang seperti itu, aku curiga ini ciuman pertamanya. Dia memang tidak terlalu banyak membalasku tadi. Dia hanya membiarkan aku melakukan yang bisa kulakukan atas bibirnya. Dia tidak mencengkeram pakaianku atau menyentuh bagian tubuhku seperti gadis-gadis lain yang berciuman denganku. Dia juga memejam dengan erat sampai matanya berkerut, seolah dia menahan sesuatu di dalam dirinya. "Teleponnya?" tanyanya dengan suara parau, sama sekali tidak menatapku. "Di sana. Silakan," kataku menunjuk telepon di atas meja kerja yang memang sering digunakan oleh para tamu sebagai jalur am
"Aku ... pulang saja. Maafkan aku." "Siapa bilang?" Abe yang pertama berdiri, kemudian Daniel. Dia menghampiri Cattleya dan mengulurkan tangan padanya. "Aku sudah mengatakan pada istriku akan memperkenalkanmu padanya. Istriku melihatmu di TV dan langsung menyukaimu. Kuharap kalian bisa menjadi teman. Ayolah, Miss Aguilar. Kami sudah menyiapkan tempat untukmu." Abe menunjuk meja makan yang sedang ditata untuk satu orang lagi di samping Venus, pada kursi kosong yang tadi ditempati Isabelle. Sebenarnya, tidak sopan memberikan kursi orang lain pada tamu yang baru datang. Namun, akan lebih tidak menyenangkan lagi kalau Cattleya harus duduk di bagian paling ujung dengan jarak dua bangku kosong antara dia dan Venus. Aku tidak menyapanya. Bukannya aku sengaja ingin berbuat jahat padanya. Aku hanya merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Aku datang ke tempat ini untuk melupakannya. Aku ingin melupakan obsesiku tentangnya. Bisa-bisanya sekarang aku mal
"Kami bertemu pada malam amal penggalangan dana untuk Rockwood Foundation. Venus dengan baik hati mengundang kedua orang tuaku untuk menghadiri malam amal itu. Kalian tahu, selama ini orang berpikir keluarga Volkov adalah keluarga yang buruk. Kami memiliki jaringan kejahatan yang dianggap kalangan atas New York sebagai biang keladi berbagai permasalahan di kota ini. Beberapa kali kulihat Mama ingin melihat kami berada dalam acara sosial atau acara lain seperti keluarga normal di New York ini. Tapi, yang mengundang kami hanyalah orang-orang dari kalangan kami sendiri. Mama sempat merasa rendah diri dan stres karena ini." Dia melihat Venus dengan mata berkaca-kaca, ekspresif sekali. "Aku tidak merasa melakukan hal yang istimewa. Aku mengundang orang tuamu karena mereka memang keluarga yang baik. Sekalipun pamanmu memiliki ... uhm ... jaringan apa kau bilang tadi? Yah, pokoknya itu. Aku tidak merasa kalian musuh kami. Jadi ... uhm ... kenapa tidak?" Venus tersenyum cang
"Terima kasih, Mr. Black. Aku tidak minum." Nova tersenyum dan mengangguk pada Abe yang menawarkan anggur pada tamu-tamunya. "Tidak minum atau tidak bisa minum untuk saat ini, Miss Volkova?" Steve bertanya dengan suara yang lembut seperti yang sering digunakannya untuk menggaet perempuan. "Aku memang tidak pernah minum, Mr. Thompson. Aku ini peminum yang payah. Aku hanya minum seteguk anggur atau sampanye pada acara tertentu dan itu sudah membuat kepalaku sakit." "Biasanya keluarga Rusia sangat suka minum dalam berbagai acara," ucap Steve lagi setelah mengucapkan terima kasih pada Abe. "Sejak kecil ibuku melarangku minum. Katanya, aku harus belajar untuk tetap sadar. Minuman itu bisa membuatku ketagihan dan kehilangan kesadaran. Aku baru boleh minum saat berumur dua puluh satu. Ternyata, aku memang tidak bisa minum. Saat natal tahun kemarin, aku hanya minum satu teguk sampanye dan harus ke dokter untuk meminta obat penahan sakit." "Andai semua
"Aku tidak akan memilihkan gadis sembarangan, Adikku. Kamu harus tahu itu. Miss Volkova bukan gadis yang bisa kau lihat di diskotek atau tempat hiburan lainnya. Dia gadis baik dan memiliki dua gelar di belakang namanya. Penampilan dan catatan kriminalnya sama bagusnya. Dia tidak pernah melanggar aturan lalu lintas atau melakukan pencurian." "Tentu tidak, Ven," kata Steve tanpa melihatnya. Dengan senyum tipis mengembang, Steve berkata lagi, "Miss Volkova adalah anak dari pengusaha perkapalan dan senjata. Dia anak pertama dari dua bersaudara dengan selisih usia lima belas tahun. Kekayaannya tanpa perlu bekerja saja sudah mencapai dua pulu juta dolar yang didapat dari pembagian saham dan investasi yang dia lakukan sejak kecil pada beberapa perusahaan milik keluarganya yang lain. Dia tidak akan pernah punya catatan kriminal lalu lintas karena dia tidak pernah menyetir. Dia juga tidak akan mungkin mencuri sesuatu karena dia hanya perlu menyebutkan barang yang dia mau dan mendapat
Steve terbahak. Dia tertawa sampai matanya berair. Sebagai turunan keluarga tua yang menjunjung tinggi keningratan, dia tidak sering tertawa. Jika memang tawanya serius begini, berarti memang kondisiku menggelikan sekali. "Ayolah, Steve! Jangan jadi keparat begini. Tolong jangan rusak hari ulang tahunku, Pal." Tawanya yang sudah agak reda jadi makin keras lagi. Dia sampai memegangi perutnya. Begitu selesai tertawa, dia memberikan tanda dengan tangan seperti memintaku berhenti. Apa memangnya yang kulakukan? Aku hanya bertanya. Dia saja yang sinting. "Aku akan ke dalam," katanya bertepatan dengan datangnya Venus ke ruangan kami lagi. Steve menggeleng pada Venus. "Venny Sayang, sepertinya kau perlu menyadarkan adikmu kalau dia lucu sekali. Dia pantas menjadi komika." Venus melihatku dengan bingung setelah Steve melewatinya. "Ada apa? Kenapa dia pikir kau bisa melakukan stand up comedy? "Dia menertawakanku." Aku melotot
Makan malam di rumah keluarga Black memang merupakan makan malam rutin. Sebagai saudara yang telah ditinggalkan kedua orangtua yang ingin hidup tenang di pedesaan, kami harus benar-benar akrab dan saling menjaga. Ini alasan Venus menginisiasi makan malam rutin sebulan sekali ini. Namun, acara yang seharusnya sakral ini jadi lebih seperti perkumpulan orang-orang yang ingin merisakku. Saudara-saudaraku yang jahat itu meledekku habis-habisan sampai rasanya aku ingin sekali membakar mereka. Bahan utama ledekan selalu saja tentang masa kecilku yang mereka anggap terlalu manja untuk ukuran Rockwood. Memangnya harusnya bagaimana? Apa aku harus dilempar ke hutan? Apa aku salah kalau masih menyusu pada ibuku hingga usia lima tahun? Aku masih kecil dan tidak punya pilihan selain menurut pada perempuan yang melahirkan dan mengasuhku itu. Tentu s
Oke. Baiklah. Kuakui kalau ini fase paling aneh di dalam hidupku. Sebenarnya, aku malu mengakuinya. Sungguh. Namun, fase ini penting sekali untuk kuceritakan, seharusnya malah harus kuulang-ulang sampai hafal benar setiap detailnya. Siapa tahu anak cucuku nanti bisa mendapatkan sesuatu dari pengalaman ini. Fase ini adalah awal dalam kejadian besar di dalam hidupku. Tidak. Aku tidak bohong atau membual. Aku juga tidak sedang mabuk. Lihat wajahku? Ya, aku tahu aku memang tampan. Maksudku, lihat wajahku yang normal ini. Tidak ada tanda-tanda kalau aku sedang teler, kan? Aku tidak menggunakan obat jenis apa pun seharian ini dan hanya minum sedikit martini pada makan siang tadi. Hanya sedikit, sumpah. Kuawali fase ini dengan mondar-mandir seperti vacum cleaner ke penjuru ruangan di penthouse-ku. Aku tidak bisa menceritakan dengan detail kepadamu tentang kegelisahan yang kurasakan, hanya saja, seperti ada beban berat