Aku sudah tidak punya harga diri di depan mereka. Polisi-polisi juga ikut tertawa. Mereka semua menginjak-injak harga diriku. Padahal kau tahu, akulah orang yang paling disegani di New York.
Ketika usahaku untuk mengekspresikan keputusasaan malah ditertawakan oleh saudara yang seharusnya mendukungku apa yang harus kulakukan?
Semua orang di ruangan ini, kecuali Venus, sedang menertawakanku. Mereka membuatku merasa seperti anak kecil. Anak kecil penuntut yang mengentak-entakan kaki dan mengancam tidak mau makan agar keinginannya dituruti.
Anak-anak venus sering melakukannya. Isabelle, yang berusia lima tahun dan sangat penuntut. Kau tahu apa yang dilakukan Venus agar Isabelle menyerah? Dia mengatakan dengan wajah sedih yang dibuat-buat, "lakukan apa yang ingin kau lakukan. Aku juga akan tetap pada pendirianku karena aku mencintaimu."
Trik itu selalu berhasil mendamaikan Isabelle.
Tapi dia tidak melakukannya kepadaku. Memang, Isabelle belum pernah mengancam untuk lompat dari atas gedung setinggi ratusan meter.
Berkali-kali aku mengumpati mereka.
Berbalik untuk mengakui kepada mereka kalau aku memang pengecut akan membuatku terlihat semakin parah. Tapi terjun ke trotoar bisa jauh lebih buruk.
"Hei!"
Neptune mengejutkanku. Suara pelannya membuat aku hampir terlompat. Dia tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku. Venus memekik ngeri, lalu meneriaki Neptune dengan kata-kata yang bisa membuatmu menutup telinga anak kecil di sebelahmu.
"Aku tahu kau kolokan. Tapi jangan permalukan dirimu seperti ini." Neptune menyimpan ponselnya. Dia bersandar pada tembok balkon dengan santai. Seolah tidak ada yang ingin bunuh diri saat ini.
"Sialan!" Suaraku terlalu kecil hingga Neptune tidak bisa mendengarnya. Bahkan aku sendiri tidak bisa mendengarnya.
"Hah? Apa kau bilang?" Neptune mendekatkan kepalanya kepadaku. Aku mencoba berbicara lagi tapi tidak ada yang keluar dari tenggorokanku. Rasanya kering sekali.
Kucoba untuk menunduk lebih rendah lagi untuk mengumpat keras-keras di telinga Neptune. Aku gagal. Kakiku yang keram tidak bisa lagi menahan tubuhku yang tidak seimbang.
Semua seperti sebuah kilatan kejadian. Kakiku keramku terlepas dari pijakannya, daguku menghantam tembok dengan keras, lalu tanganku mencoba meraih pegangan.
Kupikir aku akan mati seperti misiku saat pertama berdiri di tembok ini.
Ternyata Tuhan masih ingin menghukumku.
Tangan Neptune mencengkram tangan kiriku. Keras dan kuat. Wajahnya terlihat sangat ketakutan. "Sumpah, aku akan menghajarmu setelah ini, Adam," pekiknya padaku.
Abe dan beberapa orang polisi berteriak-teriak memintaku mengulurkan tangan kanan kepada mereka.
Tulang bahuku mengeluarkan bunyi gemeretak yang menyedihkan ketika mereka menarikku ke atas. Kupikir aku akan menyerah. Kupikir ingin melepaskan pegangan tanganku.
"Kalau kau berani melepas tanganmu, Kuhajar kau sampai hancur," seru Abe yang wajahnya sudah sangat merah. Aku menurut, tentu saja. Hancur versi Abe masih bisa diselamatkan dokter.
Mereka berhasil mengangkatku.
Beberapa polisi menatapku dengan muak.
"Lain... kali... kalau... dia mau bunuh diri lagi, jangan pernah kau halangi. Jangan pernah!" Abe berkata kepada Venus dengan napas terengah.
"Oh, ya Tuhan! Adam! Ya, Tuhan!" Venus memelukku dengan erat. Dia menangis.
Venus adalah perempuan paling aneh yang pernah ada. Dia sangat keras. Keras kepala, keras hati, dan kemauannya keras. Pada usia dua puluh lima tahun dia pernah membidik segerombolan gembong narkoba di Veinmere dengan senapan sniper M24. Semua bidikannya kena. Memang, ayahku juga memberinya arahan yang bagus, tapi gadis mana sih yang bisa membidik dengan tepat begitu?
Di sisi lain, dia juga penuh cinta. Venus yang cantik selalu mudah tersentuh, apalagi kalau itu berkaitan denganku. Dia mencintaiku lebih dari apa pun. Lihat saja, saat Abe dan Neptune memakiku, Venus memelukku, mendekapku dengan selimut yang diambil salah satu polisi dari kamarku. Dia terus meyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja.
"Oh, ya! Peluk dia. Katakan kepadanya kalau kita semua mencintainya dan berharap dia tidak melakukan hal bodoh lagi. Dunia bisa hancur kalau dia mati."
Abe tergelak mendengar nada kalimat Neptune yang sarkastis.
"Apa masalahmu?!" Venus menyembur pada Neptune.
"Apa masalahku? Dia tidak pantas mendapatkan pelukan. Dia pantas mendapatkan ini." Neptune menghantamkan tinjunya ke wajahku. Venus memekik.
Seumur hidupku, baru kali ini Neptune berani memukulku. Neptune adalah kakak paling pengasih yang pernah ada. Dia selalu mengakui kesalahanku sebagai kesalahannya di depan ayahku. Dia membuatku lepas dari hukuman. Dia memberikan apa saja yang kumau, bahkan gadis yang dicintainya.
Walau wajahku kebas karena angin dingin, tapi aku masih bisa merasakan darah mengucur dari hidungku
"Kau sampah di Rockwood. Rockwood bukan pengecut. Aku akan berdeklamasi semalaman kalau kau mau." Suara Neptune membuat orang-orang menghentikan aktivitasnya, bahkan Venus hanya menutup mulutnya.
Aku menunduk. Kuakui, aku malu sekali. Seharusnya aku mati saja tadi. "Maaf," kataku pelan.
"Ibumu tidak melahirkanmu untuk menjadi mayat, Adam. Ibumu melahirkanmu dan menunggu-nunggu sampai kamu besar untuk melihatmu sebagai penerus Rockwood. Paling tidak, kalau kamu terlalu tolol dan dungu untuk meneruskan nama Rockwood, tetaplah hidup."
"Buat apa?" protesku.
"Jadi badut atau apalah. Itu kan pekerjaanmu selama ini," jawab Neptune sambil memijat dahinya. "Pokoknya hidup saja kenapa, sih? Bisa bayangkan bagaimana wajah Mom kalau melihat anak kesayangannya mati? Apa kau pikir Mom bisa makan dengan tenang kalau kau mati?"
"Sudah, Neptune!" Venus mendesis. "Kita tidak bisa terus menghakiminya. Dia memang dungu. Mau bagaimana? Tidak bisakah kau sedikit toleransi pada saudaramu yang punya kekurangan intelijensi?"
"Ven, kira-kira kau ingin membunuhku atau apa?"
"Aku bicara jujur. Sudahlah! Kubakar ijazah Harvard-mu kalau kamu bicara lagi. Aku sedang memperjuangkan nasibmu."
"Aku sama sekali tidak merasa sedang diperjuangkan," gerutuku sambil menjejalkan tisu ke lubang hidungku.
"Tinggalkan dia, Venus. Dia bukan bayimu lagi." Neptune mengangkat ponselnya yang berbunyi. Dia kemudian mengerang keras saat membaca yang ada di layar ponselnya. Dengan wajah kesal, dia memperlihatkan ponsel itu pada kami. "Mom sudah tahu. Wajah dungumu itu ada di TV. Dia memintaku melihat apa yang sedang terjadi padamu."
Abe yang baru dari dapur membawa kopi untuk kami semua. "Aku penasaran," kata Abe saat memberikan kopi padaku. "Apa yang akan dikatakan Thompson dan Atkins kalau melihat ini."
Neptune menjentikkan jari. "Aku lebih penasaran mendengar apa yang mungkin dikatakan Syailendra dan Brennan, musuh besarmu itu," katanya sambil terkekeh. "Dude, kalau kamu memang sangat ingin berbuat bodoh, pastikan dulu orang-orang yang bisa menertawakanmu mati. Rasa malunya bisa sampai ke DNA."
Venus mengeluh keras-keras. "Neptune, aku--"
"Sudah katakan padamu, Adikku." Neptune menyentuh wajah Venus. "Tinggalkan dia. Jangan beri dia kemanjaan yang menyedihkan. Dia lelaki dewasa. Kau tidak bisa hanya membuatnya nyaman dan bahagia saja. Kau perlu menghajarnya juga sesekali agar dia tahu kalau yang dilakukannya itu salah."
Venus seperti akan mengucapkan sesuatu. Kemudian ia menggigit bibir sebelum berdiri untuk meninggalkan kami. Jujur saja, aku belum pernah merasa begitu ingin ditemani Venus karena Neptune sepertinya akan mengulitiku.
"Nah," kata Neptune dengan nada suara bosan, seolah aku ini anak nakal yang terus berbuat kurang ajar untuk mencari perhatian. "Apa masalahmu? Benarkah seperti yang kuduga?"
"Apa yang kau duga?"
"Patah hati?"
Aku memejam. Dia memang tepat sasaran. Seluruh duni menyiarkan momen patah hatiku. Seluruh dunia. Bajingan itu memang ingin memastikan tidak ada yang melewatkan adegan itu. Bahkan ekspresi patah hatiku disiarkan berulang-ulang dan dalam waktu kurang dari satu jam sudah menjadi meme yang memenuhi media sosial.
"Tidak ada yang bisa membuatku lebih hancur lagi, Kak." Aku menunduk pada kopi panas tanpa gula yang diberikan Abe. Lidahku masih kelu karena angin dingin tadi. Aku masih ingin mati seperti saat berdiri di balkon tadi.
***
Tentu saja Venus tidak mengizinkanku menyentuh Cattleya sama sekali. Menurutnya, Cattleya masih termasuk tamunya dan aku tidak boleh sama sekali menyentuh tamunya yang dalam keadaan mabuk. Dia meminta Daniel menggendong gadis itu ke kamar tamu. Kuharap Daniel keparat itu ingat pacarnya yang sedang mengandung anak mereka. Dari kilatan pada matanya itu terlihat betapa bejatnya pikirannya. Sebelum berbalik membawa Cattleya ke kamar saja dia masih sempat tersenyum licik padaku, memamerkan keberhasilannya. Aku sama sekali tidak memperhatikan Holy yang dengan bersemangat menceritakan betapa tololnya anak magang yang bernama Wales itu. Dia mencampur beberapa data dalam kotak kertas-kertas yang akan dihancurkan. Untung Saja Cattleya datang dan membaca lagi kertas-kertas itu. Dia langsung mencabut mesin penghancur kertas dan mulai memunguti bagian kertas yang sudah berada di dalam mesin. Holy mengatakan sesuatu tentang musibah dan kesengajaan, tapi aku tidak bisa menyim
Aku melepaskan bibirnya setelah sadar kalau kelakuanku ini bisa menyeret kemaluanku ke pengadilan keluarga Volkov. "Maaf," kataku pelan, benar-benar minta maaf dan berharap dia tidak membuat hal ini menjadi masalah panjang di antara kami. Dia tidak melihatku. Dia sibuk mengelap bibir dan wajahnya sendiri. Sepertinya dia memang menghindari bertatapan denganku. Melihat gelagatnya yang seperti itu, aku curiga ini ciuman pertamanya. Dia memang tidak terlalu banyak membalasku tadi. Dia hanya membiarkan aku melakukan yang bisa kulakukan atas bibirnya. Dia tidak mencengkeram pakaianku atau menyentuh bagian tubuhku seperti gadis-gadis lain yang berciuman denganku. Dia juga memejam dengan erat sampai matanya berkerut, seolah dia menahan sesuatu di dalam dirinya. "Teleponnya?" tanyanya dengan suara parau, sama sekali tidak menatapku. "Di sana. Silakan," kataku menunjuk telepon di atas meja kerja yang memang sering digunakan oleh para tamu sebagai jalur am
"Aku ... pulang saja. Maafkan aku." "Siapa bilang?" Abe yang pertama berdiri, kemudian Daniel. Dia menghampiri Cattleya dan mengulurkan tangan padanya. "Aku sudah mengatakan pada istriku akan memperkenalkanmu padanya. Istriku melihatmu di TV dan langsung menyukaimu. Kuharap kalian bisa menjadi teman. Ayolah, Miss Aguilar. Kami sudah menyiapkan tempat untukmu." Abe menunjuk meja makan yang sedang ditata untuk satu orang lagi di samping Venus, pada kursi kosong yang tadi ditempati Isabelle. Sebenarnya, tidak sopan memberikan kursi orang lain pada tamu yang baru datang. Namun, akan lebih tidak menyenangkan lagi kalau Cattleya harus duduk di bagian paling ujung dengan jarak dua bangku kosong antara dia dan Venus. Aku tidak menyapanya. Bukannya aku sengaja ingin berbuat jahat padanya. Aku hanya merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Aku datang ke tempat ini untuk melupakannya. Aku ingin melupakan obsesiku tentangnya. Bisa-bisanya sekarang aku mal
"Kami bertemu pada malam amal penggalangan dana untuk Rockwood Foundation. Venus dengan baik hati mengundang kedua orang tuaku untuk menghadiri malam amal itu. Kalian tahu, selama ini orang berpikir keluarga Volkov adalah keluarga yang buruk. Kami memiliki jaringan kejahatan yang dianggap kalangan atas New York sebagai biang keladi berbagai permasalahan di kota ini. Beberapa kali kulihat Mama ingin melihat kami berada dalam acara sosial atau acara lain seperti keluarga normal di New York ini. Tapi, yang mengundang kami hanyalah orang-orang dari kalangan kami sendiri. Mama sempat merasa rendah diri dan stres karena ini." Dia melihat Venus dengan mata berkaca-kaca, ekspresif sekali. "Aku tidak merasa melakukan hal yang istimewa. Aku mengundang orang tuamu karena mereka memang keluarga yang baik. Sekalipun pamanmu memiliki ... uhm ... jaringan apa kau bilang tadi? Yah, pokoknya itu. Aku tidak merasa kalian musuh kami. Jadi ... uhm ... kenapa tidak?" Venus tersenyum cang
"Terima kasih, Mr. Black. Aku tidak minum." Nova tersenyum dan mengangguk pada Abe yang menawarkan anggur pada tamu-tamunya. "Tidak minum atau tidak bisa minum untuk saat ini, Miss Volkova?" Steve bertanya dengan suara yang lembut seperti yang sering digunakannya untuk menggaet perempuan. "Aku memang tidak pernah minum, Mr. Thompson. Aku ini peminum yang payah. Aku hanya minum seteguk anggur atau sampanye pada acara tertentu dan itu sudah membuat kepalaku sakit." "Biasanya keluarga Rusia sangat suka minum dalam berbagai acara," ucap Steve lagi setelah mengucapkan terima kasih pada Abe. "Sejak kecil ibuku melarangku minum. Katanya, aku harus belajar untuk tetap sadar. Minuman itu bisa membuatku ketagihan dan kehilangan kesadaran. Aku baru boleh minum saat berumur dua puluh satu. Ternyata, aku memang tidak bisa minum. Saat natal tahun kemarin, aku hanya minum satu teguk sampanye dan harus ke dokter untuk meminta obat penahan sakit." "Andai semua
"Aku tidak akan memilihkan gadis sembarangan, Adikku. Kamu harus tahu itu. Miss Volkova bukan gadis yang bisa kau lihat di diskotek atau tempat hiburan lainnya. Dia gadis baik dan memiliki dua gelar di belakang namanya. Penampilan dan catatan kriminalnya sama bagusnya. Dia tidak pernah melanggar aturan lalu lintas atau melakukan pencurian." "Tentu tidak, Ven," kata Steve tanpa melihatnya. Dengan senyum tipis mengembang, Steve berkata lagi, "Miss Volkova adalah anak dari pengusaha perkapalan dan senjata. Dia anak pertama dari dua bersaudara dengan selisih usia lima belas tahun. Kekayaannya tanpa perlu bekerja saja sudah mencapai dua pulu juta dolar yang didapat dari pembagian saham dan investasi yang dia lakukan sejak kecil pada beberapa perusahaan milik keluarganya yang lain. Dia tidak akan pernah punya catatan kriminal lalu lintas karena dia tidak pernah menyetir. Dia juga tidak akan mungkin mencuri sesuatu karena dia hanya perlu menyebutkan barang yang dia mau dan mendapat