Share

6. Pokoknya gue harus jadi pacar lo!

"... Jevan gue boleh jadi pacar lo gak...?"

Jevan yang berada di sebelahnya mendecakkan lidahnya sambil memandang Arlin horor. Seumur-umur baru kali ini cowok itu menerima pernyataan cinta dari orang yang baru dua kali ia temui. Meskipun sebenarnya, Jevan sudah tidak asing  untuk menerima pernyataan cinta dari para kaum hawa seperti ini. Tetapi sebenarnya permasalahan di sini adalah perubahan tingkah laku gadis itu yang sangat jauh berbeda dari yang cowok itu ketahui membuat laki-laki itu berjengit memandangi gadis di sebelahnya.

"Lo suka sama gue?"

Arlin mengerjapkan matanya beberapa kali setelah mendengar pertanyaan Jevan, sebelum menjawab dengan tegas.

"Nggak."

"Terus kenapa lo tiba tiba mau jadi cewek gue?"

"Hng, soalnya gue harus terus-terusan ada di deket lo."

Jawaban Arlin semakin membuat kerutan pada kening Jevan bertambah. Menilik dari kata-kata Haikal dan tingkah laku cewek itu di pertemuan mereka yang baru beberapa kali, cewek itu jelas-jelas lebih terlihat seperti perempuan yang tidak pernah peduli dengan sekitarnya dan selalu memasang wajah jutek pada semua orang di dekatnya. Jadi, untuk melihat cewek itu yang tiba tiba mengajak Jevan untuk berpacaran seperti sekarang, hal itu cukup membuat Jevan berpikir kalau gadis di sebelahnya merupakan gadis yang tergolong aneh. Yah, walaupun sebenarnya apa yang gadis itu katakan tidak bisa dibilang pernyataan cinta tetapi, lebih seperti ajakan untuk berpacaran. Tapi, Jevan masa bodo lah, bukankah hal itu sama saja?

Tanpa menanggapi perkataan tidak jelas Arlin, Jevan menoleh ke arah Haikal yang sekarang matanya masih fokus ke arah ponsel Nathan yang menampilkan video syur salah satu artis ternama yang tersebar di jagat sosial media. 

"Kal, kayaknya temen lo nggak enak badan."

Haikal lantas menjauhkan tubuhnya dari Nathan dan kembali ke tempat duduknya. "Hah? Lin, lo beneran sakit?" Arlin melongo sejenak mendengar perkataan Jevan. "Sakit? Gue gak sa-"

"Udah Kal mending lo buru deh anter temen lo ini balik. Mukanya aja udah pucet kayak gitu. Buru ah." ucap Jevan sambil kini memegang lengan Arlin sambil melotot tanda bahwa ia saat ini tidak bisa dibantah.

"Lah kok jadi pulang sih, lo belum jawab pertanyaan gue Van."

"Pertanyaan apaan! Lo ngelindur ya? Kal, udah Kal bawa balik aja. Ngelindur ini bocah."

"Itu pertanyaan yang tadi! Lo mau gak jadi pa- asdfghjklzxc." Sebelum gadis di sebelahnya itu berhasil mengeluarkan kalimat-kalimat anehnya dan membuat teman-temannya salah paham, Jevan buru - buru membekap mulut Arlin, kali ini matanya makin melotot membuat ketiga temannya yang mendengarkan perdebatan mereka menatap mereka aneh. Sejak kapan mereka jadi seakrab itu, setidaknya kalimat itu yang pertama kali melintas di pikiran teman-teman Jevan itu.

"Kal, udah ah buru! Daripada lo bengong gitu, mending lo bawa nih temen lo balik!"

Haikal yang disebut langsung berdiri dan berjalan ke arah Jevan dan Arlin. Berusaha membereskan barang-barang Arlin yang ada disana dan memasukkannya ke tas cewek itu lalu menyentuh pelan lengan Arlin.

"Buru Kal!" kali ini Jevan sekali lagi mengeluarkan suaranya.

"Iya, ini mau gue anter dia balik anj*ng tapi lo lepas dulu bekepan lo! Gimana caranya gue anter dia balik kalo tangan lo masih nemplok di mukanye."

Jevan lantas buru buru melepaskan tangannya yang sejak tadi tanpa sadar masih menutup bibir dan hidung perempuan di sebelahnya. Arlin yang akhirnya bisa menghirup udara bebas langsung menarik nafas dalam-dalam lalu menoleh ke arah Jevan.

"Van, lo belum jawab pertanyaan gue!" teriaknya.

"Apaan sih! Lo gak nanya apa-apa! Udah sana balik, Kal anter balik aja udah, lo gak liat apa mukanya nih bocah udah pucet kayak gitu."

Mata Haikal seketika menaruh fokus pada wajah teman ceweknya itu, berusaha menilai. Setelah Haikal lihat-lihat sepertinya temannya ini memang lagi sakit, apabila dilihat dari wajah dan bibirnya yang kini sudah berwarna putih pucat.

"Lin, kayaknya lo beneran sakit deh. Balik yuk? Gue anter ya?"

"Bentar Kal, Jevan masih belum jawab perta-"

"AH ELAH SUMPAH KAL! BURU BAWA TEMEN LO BALIK!"

"JEVAN TAPI LO BELUM JAWAB PERTANYAAN GUE!"

"GAK ADA YANG PERLU DIJAWAB! KENAPA SIH LO NGOTOT BANGET!"

"GUE GAK BISA KASIH TAU ALASANNYA! TAPI POKOKNYA GUE HARUS! KALAU GAK.. kalau gak.. gue bakal.. bakal apa ya.."

"LO MAKIN NGELINDUR TAU GAK! KITA BAHKAN GAK PERNAH NGOBROL TIBA - TIBA LO KAYAK GINI, GUE GAK NGERTI!"

"EMANG LO GAK BAKAL NGERTI MAU GUE JELASIN PUN LO PASTI GAK PERCAYA!"

"LO TUH BATU BANGET SIH! GUE GAK MAU! KENAPA LO NGOTOT?!"

"POKOKNYA GUE BENER BENER MESTI ADA TERUS DI DEKET LO JEVAN!"

Jevan melotot mendengar teriakan Arlin yang berhasil membuat sekitar separuh orang yang ada di kantin kini menoleh penasaran ke arah meja mereka berlima. Baru kali ini dia merasa darahnya seperti benar-benar naik ke atas kepalanya saat berbicara dengan orang. Rasanya gadis di sebelahnya ini benar-benar pintar untuk memancing emosi cowok itu sehingga bisa berteriak keras di tempat umum seperti ini, yang mana sangat tidak pernah laki-laki itu lakukan. 

Kini Jevan sesekali melirik ke arah Haikal untuk mengecek tanggapan cowok itu terhadap perkataan Arlin. Untuk sementara ini, Haikal tidak menampilkan raut wajah yang gimana-gimana sih. Tapi, laki-laki itu malah melongo heran mendengar perdebatan diantara kedua temannya yang tidak bisa ia mengerti. Duh, sejujurnya Jevan jadi takut Haikal akan berpikir macam-macam pada keduanya. 

Jevan menghembuskan nafasnya perlahan, sepertinya cowok itu tidak boleh menanggapi Arlin dengan menggunakan urat. Karena kalau dilihat lagi dari perdebatan mereka tadi, gadis itu  sepertinya akan semakin membalas perkataan Jevan dengan urat apabila cowok itu menggunakan emosi.

"Gue gak mau, Arlin." sahut Jevan sambil berusaha memelankan suaranya agar tidak terdengar emosi.

Ryand, Nathan dan Haikal yang dari tadi asik menonton perdebatan mereka berdua bersama hampir separuh orang yang berada di kantin itu hanya bisa melongo berusaha memproses apa yang terjadi di hadapannya. Seingatnya, Jevan bukan orang yang akan berteriak-teriak kesetanan seperti tadi, cowok itu jarang sekali berteriak atau membentak. Cowok itu terkesan dingin, cuek dan tidak peduli dengan sekitarnya. Sejak kapan cowok itu berubah jadi orang yang cerewet dan suka berteriak seperti ini. Terlebih, Arlin yang sepenglihatan mereka bertiga selama ini juga terbilang gadis yang pendiam dan dingin pada semua orang, terkecuali Cherry dan Jeffrey. Tapi saat ini yang mereka lihat, cewek itu justru lebih terlihat seperti singa, atau mungkin kalau menurut Nathan seperti ibu-ibu yang marah pada suaminya karena uang bulanannya dipakai berjudi oleh sang suami.

Dan yang lebih penting adalah… sejak kapan mereka berdua seakrab ini untuk saling membekap mulut dan membentak seperti yang mereka lakukan saat ini.

"Kalian.. kenapa sih?" tanya Nathan pelan.

Sedangkan yang ditanya hanya mengerjapkan mata pelan berusaha memproses apa yang sedang terjadi. Arlin menoleh ke kanan dan kiri, melihat hampir separuh orang di kantin tengah memperhatikan perdebatan mereka dan otomatis mendengar apa yang dikatakan oleh cewek tersebut. Duh, Arlin merutuki mulutnya yang tidak memiliki rem. Tumben sekali gadis itu kelepasan dan mempermalukan dirinya seperti ini. Tapi dipikir pikir lagi, ia memang sesering mungkin harus berada di dekat Jevan agar bisa terhindar dari gangguan para hantu di sekelilingnya.

Karena sekarang gadis itu menyadari bahwa laki-laki yang barusan berdebat dengannya ini sepertinya memang mempunyai kemampuan khusus untuk mengusir energi negatif. Arlin belum tau pasti sih, tapi gadis itu bisa merasakan bahwa selama dirinya berada di dekat Jevan, maka hidupnya akan berjalan dengan lebih tenang. Namun masalahnya adalah kenapa tadi gadis itu harus mempermalukan dirinya di depan Jevan seperti itu dengan menawarkan diri menjadi pacar cowok itu! Astaga, Arlin sepertinya sudah kehilangan akal sehat akibat terlalu banyak dirundung oleh para hantu itu. 

Arlin baru saja tersadar dari lamunannya saat lengannya disentuh pelan oleh Haikal. Cepat-cepat Arlin tersadar bahwa yang harus ia lakukan sekarang adalah pulang ke rumah secepat mungkin dan mengubur wajahnya ini di kasur untuk meredam rasa malu yang sekarang sudah mencapai ubun-ubunnya. Tanpa menghiraukan tatapan orang-orang yang mengarah padanya, gadis itu buru buru mengubah wajahnya menjadi datar dan menarik tangan Haikal, lalu berlari ke luar dari kantin bersama cowok itu yang kini terlihat lebih seperti diseret oleh Arlin.

"Dih, kenapa tuh bocah?"

Jevan hanya terdiam mendengar pertanyaan Ryand yang lebih seperti ungkapan heran dari laki laki itu. Cowok itu menatap kepergian Arlin dan Haikal yang semakin menjauh dari area kantin fakultasnya dengan tatapan heran sekaligus kebingungan. Namun beberapa saat kemudian, cowok itu hanya mengedikkan bahunya tanda bahwa ia tidak peduli. 

Sekarang, Jevan hanya berharap agar Haikal tidak berpikiran macam-macam setelah menyaksikan perdebatan sengit antara teman perempuannya itu dan juga dirinya. Karena sebenarnya, cowok itu hanya tidak ingin menyakiti sahabat baiknya.

---

"Thanks Kal."

Sesampai di depan lobi apartemen Arlin, cewek itu buru buru turun dari motor Haikal dan melepas helmnya, memberikannya kembali pada Haikal yang masih setia duduk di atas motor. 

"Lo.. gak ada masalah sama Jevan kan?" tanya Haikal yang akhirnya membuka suara setelah di sepanjang perjalanan berusaha tak menyinggung soal kejadian tadi.

"Hehe, gak ada kok." ucap Arlin, walaupun dalam hati ia mati-matian mengutuk dirinya sendiri yang bisa-bisanya mempermalukan diri sendiri di depan umum.

Haikal diam sejenak, berpikir apakah ia harus mengorek lebih jauh soal perdebatan teman-temannya tadi. Namun, cowok itu memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh pada Arlin agar tidak membebani gadis itu. Yah walaupun sebenarnya ia cukup penasaran. Mungkin nanti ia akan bertanya pada Jevan.

 "Ya udah kalo gitu, gue balik ya Lin. Lo istirahat aja, muka lo masih pucet gitu."

"Hehe, oke Kal. Thanks ya sekali lagi traktiran sama tumpangannya." Haikal hanya merespon dengan mengacungkan jempolnya dan segera menjalankan motornya untuk pergi dari lobi apartemen cewek itu. 

Arlin pun masuk ke area lift dan menekan tombol 8 untuk segera sampai di unit apartemennya yang sudah gadis itu tempati sejak awal ia pindah ke Jakarta untuk memulai bangku perkuliahannya. Gadis itu menekan beberapa angka untuk membuka pintu unit miliknya. Setelah berhasil masuk, Arlin melempar sembarang tasnya dan segera masuk ke dalam kamar untuk merebahkan dirinya. Sejenak, gadis itu langsung terpikirkan oleh kejadian di kantin tadi. 

Arlin meringis memikirkan perbuatan kelewat bodohnya itu. Cewek itu memukul bantal di sebelahnya beberapa kali untuk meredakan rasa malunya. Lagipula kenapa sih dia harus terbesit pikiran gila untuk menjadikan Jevan pacarnya agar ia bisa selalu berada di dekat cowok itu, alias menjadikan Jevan tameng dari para hantu yang kerap menjahilinya. Padahal kan masih banyak cara lain agar Jevan mau membantunya. Hm, tetapi apabila dilihat dari sifat cowok itu yang terlihat sangat tidak peduli dengan sekitarnya itu membuat Arlin jadi ragu apabila cowok itu mau membantunya jika ia berkata jujur soal situasi yang sebenarnya.

Hah masa bodoh lah! Arlin sudah kepalang basah! Biarlah tubuhnya basah sekalian ataupun tenggelam. Yang penting cewek itu harus mencoba dulu. Demi kehidupan Arlin yang lebih tenang! Tekad cewek itu sudah bulat! Arlin pokoknya harus menjadi teman Jevan! Walaupun harus menanggung malu, tapi itu tidak seberapa dibandingkan rasa takut dan kesal setiap kali para hantu itu terus mengganggu dan meminta bantuannya.

Karena terlalu lama berpikir cara untuk menaklukan Jevan, atau lebih tepatnya cara agar cowok itu mau menerimanya sebagai temannya dan membiarkan Arlin berkeliaran di sekitarnya. Tanpa sadar, cewek itu pun terlelap. Mungkin sekarang saatnya cewek itu berhenti memikirkan Jevan dan mengistirahatkan tubuhnya dengan tidur siang.

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status