Sabtu pagi yang begitu cerah, Violet habiskan untuk membersihkan kamarnya yang berantakan. Kamarnya memang sangat berantakan, bahkan ada makhluk hidup kecil lain tinggal di kamarnya yang bernama kecoak.
Violet benci kecoak, tetapi dia sangat malas untuk menyingkirkan makhluk itu. Jadi dengan beralasan kemanusiaan dia membiarkan kecoak itu tinggal di kamarnya. Tapi sekarang kecoak itu tidak boleh tinggal di kamarnya lagi, kecoak harus mencari rumah baru.
Gadis cantik itu mengelap keringat yang ada di dahinya, "Akhirnya bersih juga. Pantes mama ngomel mulu pas ngebersihin ni kamar, udah mirip kek kandang babi, sih." Ujarnya pada diri sendiri saat melihat kamar yang telah bersih dan rapi.
Membersihkan kamar adalah hal yang paling malas Violet lakukan. Biasanya Ibunya lah yang akan membersihkan karena sudah tidak tahan dengan kamar anak gadisnya yang begitu kotor, sambil mengomel tentu saja. Tapi karena hari ini Violet akan ada kerja kelompok dengan teman-temannya, maka mau tak mau Violet dipaksa membersihkan kamarnya sendiri.
"Padahal kan kita kerja kelompoknya di gazebo belakang rumah. Kenapa kamar gue harus dibersihin?" Omelnya entah untuk ke berapa kali. "Lagian kenapa gue harus ngorbanin rumah gue sih?"
Kesal mendadak menghampiri dirinya, apalagi mengingat percakapan kemarin sore bersama teman-teman kelompoknya.
Satu hari yang lalu.
Hari sudah semakin sore, para murid yang masih memiliki kegiatan tambahan pun perlahan-lahan meninggalkan sekolah yang sudah mulai sepi itu.
Tetapi, di sebuah kelas, masih terdapat sebuah keributan. Tidak, bukan keributan besar. Keributan yang hanya berisi beberapa orang yang berbeda pendapat.
"Pokoknya nggak ada yang namanya ke rumah gue. Titik!" Teriak Anya di depan wajah memelas Bobi, yang membuatnya ingin sekali memukul wajah itu.
"Gue pengen ketemu calon mertua tahu, Anya."
Anya melotot kesal entah untuk keberapa kalinya, "Enak aja mulut lo bilang calon mertua, coba tanya gue dulu mau apa nggak sama lo!"
Violet memukul Bobi dengan keras, "Lo serius dikit napa? Udah ditolak masih aja keras kepala. Jadi kita kerja kelompok di rumah siapa?" Tanya Violet, yang juga entah untuk ke berapa kalinya. Sesekali dengan resah gadis itu melihat jam dinding yang ada di belakang kelas untuk mengecek pukul berapa sekarang, takut ketinggalan bus.
Bobi mencibir, "Kan gue bilang rumah gue nggak bisa."
Anya mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, "Gue juga nggak bisa,"
Violet menghela nafas lelah, lalu melirik ke samping dimana El yang sedari tadi hanya fokus pada ponselnya ketimbang memberi solusi, "Rumah lo bisa gak, El?"
Mendengar namanya disebut, cowok itu berhenti memainkan ponselnya lalu melirik malas 'teman-teman sekelompoknya yang rempong' itu lalu menjawab:"Nggak."
Satu kata, disertai dengan bumbu ketus cukup membuat Violet marah tapi tak bisa diungkapkan. Dengan marah dia memukul meja dihadapannya lalu berdiri, "UDAH RUMAH GUE AJA!" Teriaknya marah dan pergi begitu saja meninggalkan teman-temannya yang diam-diam merasa lega.
Helaan nafas kesal keluar dari bibir Violet saat kembali mengingat percakapan di kelas semalam. Dibantingnya tubuh yang lelah ke atas kasur yang baru saja dia bersihkan. "Wah, enak ya nggak ada pasir-pasirnya." Gumamnya sambil berguling-guling di atas kasur.
Niat ingin mampir sebentar ke dunia mimpi, tiba-tiba saja pintu dibuka dengan keras yang membuat niatnya sirna begitu saja.
"Sayaang, itu temennya udah pada datang." Ucap sang ibu dengan riangnya. Riang karena kamar si anak gadis akhirnya bisa bersih tanpa perlu dia yang turun tangan meskipun mulut menjadi lelah karena harus mengomel terlebih dahulu.
Violet membuka matanya lalu menatap sang ibu yang memakai celemek, "Iya, ma." Lalu bangkit dari kasur dan berjalan ke bawah, menemui Anya dan Bobi yang sudah duduk anteng di gazebo belakang rumahnya.
"El mana?" Tanya gadis itu langsung, yang hanya dijawab tidak tahu oleh dua manusia itu.
Mata Violet kembali memperhatikan barang bawaan Anya dan Bobi. Hanya ada tas yang Violet yakini tidak berisi bahan tugas mereka. "Kalian nggak bawa apa yang gue suruh?"
Anya dan Bobi kompak menggeleng, dan kompak jawab: "Lupa," disertai cengengesan tak bersalah.
Violet menepuk jidatnya. Duo curut ini memang benar-benar membuatnya kesal.
Violet ingin mengomeli kedua manusia itu, tetapi sebuah notifikasi dari ponsel menghentikannya.
El: Jemput saya di playground. Saya tersesat.
Violet mendongak, menatap Anya dan Bobi sudah sibuk makan cemilan yang disediakan oleh ibunya dengan lahap. "Kalian harus beli bahannya sekarang. Gue mau jemput El di playground."
Bobi meletakkan makanan yang dia pegang, "Tapikan tempatnya jauh, Vi." Protesnya yang diangguki oleh Anya.
Mendengar itu Violet menatap mereka tajam, "Gue nggak mau tahu. Kalian udah gue kasih tugas dan harus diselesaiin sekarang juga." Lalu berjalan keluar rumahnya, meninggalkan Anya dan Bobi yang juga bersiap-siap untuk pergi.
Violet berjalan dengan lambat menuju playground kompleks rumahnya, malas adalah alasannya berjalan dengan lambat. Sambil berjalan, dia juga sibuk mengenang masa kecilnya di kompleks perumahan ini. Sudah lama dia tidak mengunjungi playground yang dulu selalu dia datangi bersama ayahnya.
Dari kejauhan, gadis itu sudah dapat melihat sosok El yang menggunakan pakaian serba hitam sedang duduk di salah satu ayunan. Sangat mencolok sebenarnya, ditengah hari yang panas seperti ini apa dia tidak kepanasan dengan pakaian serba hitam seperti itu? Kata orang kita akan lebih cepat hitam bila menggunakan pakaian gelap dibawah teriknya matahari.
Karena malas berjalan lebih jauh, Violet memilih meneriaki El dan menyuruhnya datang di tempat dia berdiri. Toh, sama saja kan? Nanti mereka juga akan melewati tempat yang Violet pijaki ini, jadi daripada membuang tenaga lebih baik El saja berjalan kearahnya yang hanya berjarak beberapa meter.
El pun mengikuti instruksi Violet, berjalan cepat kearah gadis itu dengan kaki jenjangnya dan tak lupa tangan kiri yang dimasukkan ke dalam saku celana jinsnya. Violet berdecak kagum, El sudah seperti seorang model yang sedang memperagakan busananya di atas panggung.
"Kenapa melamun?" Suara datar itu membangunkan Violet dari halusinasinya, membuat dia mengerjap beberapa kali.
Melihat Violet yang tingkahnya aneh, El kembali mengeluarkan suaranya, "Ayo jalan."
Violet berdecak, tapi tak membalas perkataan El. Gadis itu berjalan didepan El, membawa lelaki itu ke rumahnya.
Hanya ada suara daun kering yang bergesekan dengan aspal, atau suara mesin mobil dan motor yang samar-samar mengisi kekosongan mereka. Dan itu membuat keadaan canggung. Yah, setidaknya itulah yang Violet pikirkan.
Bersyukurlah pada rumah bertingkat dua milik ayah dan ibunya yang sudah kelihatan. Untung saja jarak Playground dengan rumahnya tidak jauh.
"Yuk, masuk." Ajaknya pada El saat sudah tiba di depan pagar rumahnya.
Tapi El tetap berdiri di tempat enggan beranjak. Diam seperti patung.
Violet yang merasa aneh pun bertanya, "Kenapa diem aja? Tadi ngotot mau cepet-cepet kerja kelompok."
"Kamu duluan," ucapnya dingin. Bahkan lebih dingin dari yang tadi. Violet yang merasa tidak enak pun langsung masuk saja.
Sebelum membuka pintu, gadis itu melirik sebentar ke arah garasi. Motor Bobi sudah tidak ada, berarti mereka sudah pergi.
Saat pintu dibuka, semuanya tampak gelap seolah tidak ada orang di dalamnya. Apa ayah dan ibunya pergi? Jendela-jendela yang tadinya terbuka untuk mendapatkan udara segar kini tertutup rapat.
Heran, Violet memutuskan untuk melangkah lebih dalam. Gadis itu semakin bingung ketika televisi yang menayangkan serial kartun masih hidup.
Tidak ingin menghiraukan itu, Violet memilih mematikan televisi dan berjalan ke atas untuk mencari ayah dan ibunya.
Violet mengetuk pintu kamar ayah dan ibunya terlebih dahulu, tapi tidak ada jawaban. "Ma? Pa?" Panggilnya berulang kali, tapi tetap juga tidak ada jawabannya.
Kalau televisi masih hidup, berarti kedua orang tuanya masih ada di rumah. Mobil mereka juga ada di garasi. Mana mungkin orang tuanya ikut Bobi dan Anya pergi dengan menggunakan sebuah motor.
Perasaan tidak enak tiba-tiba merasuki pikiran dan hatinya. Ada apa sebenarnya?
"Vio buka ya pintunya?" Izinnya, tapi lagi-lagi dia tidak mendapatkan jawaban.
Pintu dia buka, tidak terkunci rupanya. Tapi yang dia lihat pertama kali membuatnya langsung terduduk lemas begitu saja.
Yang dia cium pertama kali adalah aroma amis darah yang menguar keluar. Yang dia lihat pertama kali adalah darah yang keluar dari tubuh ayahnya.
"PAPA!!" Air matanya keluar bersama erangan keras yang terdengar memilukan keluar dari bibirnya. Tidak berani mendekat, tidak juga ingin menjauh dari jasad ayahnya.
Mata sang ayah memang terbuka, tetapi darah yang mengucur keluar dari kepalanya mengatakan kalau pria itu sudah tidak bernyawa. Juga leher yang terdapat garis panjang yang mengeluarkan darah. Baju putih yang Violet lihat tadi pagi kini berubah warna menjadi merah darah.
Tubuh Violet menggigil. Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Air mata terus mengucur dengan deras seolah tak dapat dihentikan.
Gadis itu terdiam, karena tiba-tiba teringat sang ibu. Tapi saat matanya menjelajahi kamar itu, sang ibu juga terkapar tak berdaya di depan pintu kamar mandi dengan luka yang sama dan juga baju yang compang-camping.
"Kenapa? KENAPA!!" Teriaknya histeris.
Gadis itu menutup telinganya kuat-kuat, dan berteriak sejadi-jadinya seolah ingin menyampaikan penderitaannya pada dunia.
"Enggak!! Enggak!!" Racaunya lagi.
Ditengah keterkejutannya, dia sadar kalau dia harus menghubungi seseorang. Dengan tangannya yang bergetar, Violet mengambil ponsel dari saku celananya. Beberapa kali jarinya salah menekan nomor, bahkan ponselnya jatuh tapi gadis itu mengambilnya dan berusaha kembali.
Suara sepatu terdengar, membuat Violet semakin kalut dan takut. Tubuhnya yang sudah gemetar semakin bergetar. Ponsel yang sudah susah payah ia genggam kini terjatuh. Tubuhnya semakin lemas.
Saat si pemilik sepatu tiba di depannya. Violet menutup wajahnya sambil beringsut mundur. Dia berteriak sejadi-jadinya saat sebuah tangan menyentuh bahunya.
"PERGI!!" Usirnya pada orang itu berulang-ulang.
"Ini saya."
Violet tidak memberontak lagi saat mendengar suara familiar itu dan menurunkan tangannya takut-takut. Dia mendongak, tapi tangisnya semakin menjadi.
"E-El...t-tolong...ma..ma..pa..pa..." Ucapnya terbata-bata sambil memegang kaki El yang sedang berdiri sambil menatapnya datar.
Mata datar yang gelap itu, berubah menjadi merah darah dengan seringaian yang akan Violet ingat untuk untuk seumur hidupnya. Menyeramkan, menjijikkan, mengerikan. Violet bersumpah tidak akan melupakan tatapan dan seringaian itu untuk seumur hidupnya.
"Saya akan menolong kamu."
"Saya akan menolong kamu."Violet terdiam. Tidak ada lagi suara isakan yang tadi keluar dari bibirnya. Tapi gemetaran karena takut itu masih ada, malah bertambah. Ya, dia menyadari perubahan menyeramkan itu."E-El?" Panggilnya terbata-bata pada El yang sedang berjalan menuju jasad ayahnya dan kemudian berjongkok di depannya. Awalnya hanya memperhatikan, tetapi lelaki itu malah mencolek darah sang ayah dengan jari telunjuknya.Violet beringsut mundur kala El berjalan menghampirinya sambil menjilati telunjuk penuh darah ayahnya itu. Ketakutan menyergapnya."P-pergi," usir gadis itu, tapi tak dihiraukan dan El malah berjalan semakin cepat ke arahnya.El mencengkeram bahu gadis itu dengan kuat, membuat Violet tak dapat bergerak. Bahkan dapat Violet rasakan kalau kuku-kuku milik lelaki bermata merah darah di depannya saat ini sudah menusuk kulit bahunya.El melebarkan seringaiannya, "Tadi bukannya kamu minta tolong?"Violet diam, tidak ber
Gelak tawa yang riang begitu terdengar jelas di telinga Violet. Mungkin biasanya dia akan langsung tertawa hanya karena mendengar temannya tertawa, tapi hari ini perasaan was-was, takut, dan marah mendominasi hati dan pikirannya.Violet tidak ingin mempercayai mimpi itu adalah sebuah kenyataan, karena secara logika itu saja tidak masuk akal. Namun kejadian tadi pagi sampai sesaat sebelum dia menelepon Bobi persis seperti di dalam mimpi. Seolah sedang memutar film yang sama.Sebuah tepukan pelan di bahu membuat gadis itu benar-benar terperanjat. Bahkan nafasnya langsung putus-putus.Bobi itu tertawa melihat reaksi berlebihan yang ditunjukkan Violet, "Lebay amat dah, lo. Jadi ga ini ke rumah si El?"Bobi menghentikan tawanya kala mendapat tatapan sinis dari Violet. Tidak, ini bukan tatapan sinis yang biasa Violet tunjukkan padanya. Tatapan ini, seperti ada rasa sedih sekaligus amarah besar
Violet menghela nafas entah untuk yang ke berapa kalinya. Ditatapnya isi kertas itu berulang kali, berharap isinya dapat berubah hanya dengan tatapan mata. Tapi tentu saja tidak mungkin.Kertas itu berisi kontrak yang harus Violet patuhi jika ingin keinginan tidak masuk akalnya El penuhi. Isinya:1. Pemohon tidak boleh mati dengan cara apapun, kalau peraturan itu dilanggar maka permohonan akan dibatalkan.2. Pemohon tidak boleh memberi tahu identitas si pengabul atau akan ada denda yang harus pemohon bayar.3. Pemohon tidak boleh menceritakan hal-hal tidak masuk akan yang dialami kepada siapapun kecuali ke pengabul.4. Kontrak berlaku seumur hidup.5. Bayarannya adalah kebahagiaan sang pemohon.El menatap kesal Violet yang masih saja memegangi kertas itu dengan wajah ragu, "Isinya tidak akan berubah meskipun kamu tatap seperti
Ruangan ini gelap dan violet seperti sedang duduk di sebuah kotak transparan. Rasanya tidak ada oksigen di dalam kotak ini membuat Violet sulit bernafas.Tok! Tok!"Siapapun keluarin gue dari sini!" Teriaknya tak lupa sambil terus memukul kotak yang mengurungnya. Sayangnya di dalam keadaan gelap ini tidak ada yang dapat terlihat oleh Violet. Apa benar hanya dia sendiri di sini?Tiba-tiba muncul sebuah lampu gantung, membuat atensi Violet mengarah ke sana. Tapi bukannya mendapati hati lega, malah jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika melihat jasad kedua orang tua yang tergeletak tak berdaya di bawah cahaya lampu itu.Tangan gadis itu bergetar menyentuh dinding transparan kotak, "M-mama...? Papa...?" Berusaha memanggil, namun suaranya sulit untuk keluar.Violet semakin panik. Terkurung di dalam kotak sempit ini membuatnya tidak dapat berpikir jernih. "MAMA!! PAPA!!
"APA YANG UDAH LO LAKUIN KE ANDRE?!"Gendang telinga El rasanya ingin pecah mendengar teriakan seorang gadis yang terduduk lemas di depan pintu gudang itu. El tidak berbicara, tapi dia hanya memperhatikan Violet yang kini menangis meraung-raung.El berdecak, "Apa kamu tidak lelah dari tadi menangis terus?"Violet bangkit, walau kakinya masih sangat lemas, namun dia paksa untuk dapat berdiri di depan El. Gadis itu menunjuk dada pria itu dengan keras, "Jawab gue, apa yang udah lo lakuin ke Andre?" Tanyanya dengan penekanan disetiap katanya.El tertawa pelan, "Dia hanya membayar apa yang semestinya dia bayar.""Lo brengsek!""Brengsek?" El berdecih, "Kalian yang serakah, tapi kamu mengatai saya brengsek?" Pria itu marah. Dengan kasar dia mengambil lengan Violet membuat gadis itu berdesis kesakitan. Tidak peduli, El menjentikkan jarinya.&n
Suara jangkrik menemani malam Violet yang sunyi. Tidak ada yang menemaninya disaat dia merasa begitu butuh teman. Kedua orangtuanya pergi melayat saudara jauh yang baru saja berpulang, sementara dirinya ditinggal seorang diri di sini.Mata gadis itu sudah terlalu kering untuk diajak menangis, jadi yang bisa dia lakukan hanya duduk termenung di balkon kamarnya. Sesekali matanya menatap jalanan kompleks yang sepi."Percuma lo minta orang tua lo buat hidup lagi, tapi mereka enggak peduli sama lo."Suara itu lagi.Violet muak mendengar suara itu, namun kepalanya tetap ia tolehkan ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara. Tapi tetap saja, nihil. Tidak ada siapa-siapa."Keluar lo!" Teriak Violet marah pada suara itu.Bukannya memunculkan diri, tapi suara itu malah tertawa mengejek membuat Violet semakin meradang."Lo hidup de
Bulan berganti matahari, tanda hari buruk kemarin sudah berlalu. Tapi bukan berarti kejadian kemarin terlupakan begitu saja oleh Violet. Gadis itu masih sangat ketakutan setiap melihat cermin, seolah kejadian semalam menimbulkan trauma baru untuknya.Hari baru pukul 6 pagi, saat matahari baru muncul dengan malu-malu. Namun, mata indah milik Violet seakan enggan menutup lebih lama.Dihelanya nafas pelan, kesal karena tidak dapat tidur kembali di hari libur nasional yang seharusnya dia nikmati dengan bersantai seperti biasanya. Merasa haus, gadis itu pun terpaksa beranjak dari tempat tidur menuju dapur.Melongok kan kepalanya ke seluruh penjuru rumah berharap mendapati sang ibu yang biasanya sudah sibuk membersihkan rumah atau merawat taman belakang, tapi tidak ada. Mungkin tidur, pikirnya.Mengedikkan bahu, dia berjalan ke arah dispenser. Menekan tombol dispenser dan menampung air dengan g
Violet menatap pintu hitam di hadapannya. Rasa takut menghampiri hati, membuatnya ragu untuk memencet bel. Gadis itu menggigit bibirnya, haruskah dia pulang saja? Tapi sisi lain hatinya berkata, dia sudah datang jauh-jauh kemari, setidaknya dia harus membunyikan bel, bukan?Tangan gadis itu meraih bel, namun dia turunkan lagi. Naikkan, lalu turunkan, naik, turun, begitu terus. Akhirnya gadis itu frustasi sendiri bahkan sampai menjambak rambutnya."Gue gini amat, sih." Keluhnya pada diri sendiri."Gini amat?"Violet mendongak. Menatap sepasang iris gelap dari seseorang yang sedari tadi ingin dia temui. Mata pria itu begitu gelap, berbeda dari 'hari itu'.Sesaat, Violet tenggelam oleh iris gelap itu."Kamu bukannya ingin menemui saya?"Violet mengerjap kaget. Refleks gadis itu menyisir rambutnya ke belakang. Me