Violet terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi pipi membuat beberapa anak rambutnya menempel di sana. Nafasnya terengah-engah seolah sudah berlari berkilo-kilo meter jauhnya.
Gadis itu terduduk, lalu melihat ke sekelilingnya.
"Gue...di kamar..?" Tanyanya entah pada siapa. Tatapannya beralih pada kasur yang kini dia duduki, lalu pada piyama yang ia kenakan.
Gadis itu merasakan kerongkongannya kering, "Gue yakin gue masih di gang dekat sekolah. Kok sekarang bisa ada di kamar?"
Diambilnya jam weker yang terletak di atas nakas. Sekarang sudah pukul satu dini hari rupanya.
"Jadi...mimpi..?"
Violet meletakkan jam wekernya ke tempat semula. Lalu duduk termenung sambil memikirkan mimpinya, yang terasa begitu nyata.
Dia yakin sekali saat itu masih berada di area sekitar sekolahan. Tapi masalahnya dia tidak bisa mengingat jelas apa yang terjadi saat itu.
Atau ini memang benar-benar mimpi?
***
Mata bulat Violet menyipit kala menatap langit pagi yang terik itu. Panas tentu saja, apalagi dia berlari menuju gerbang sekolahnya yang sudah tertutup rapat dan membuatnya berkumpul di luar bersama manusia-manusia dengannya. yang bernasib sama
Kalau bukan karena mimpi aneh itu Violet pasti tidak akan terlambat seperti ini. Ini adalah pertama kalinya dia terlambat di sekolah ini. Catat! Untuk pertama kalinya!
Guru kedisiplinan siswa menatap malas para murid-murid yang berjongkok di hadapannya. Itu lagi-itu lagi. Ditelusurinya wajah murid itu satu-persatu, sambil mendengus dia malah menatap Violet.
Guru yang masih muda itu menatap kesal Violet yang masih memandangi langit, "Heh, Violet! Kok telat, sih?"
Mendengar namanya disebut, gadis itu langsung menurunkan pandangannya dan menatap gurunya, kaget karena ditegur saat sedang melamun, "Eh, itu, Bu, anu--"
"Anu-anu! Kamu kira apaan. Kamu itu kan ketua kelas, kok malah telat, sih?" Potong si guru kedisiplinan siswa.
Suara tawa yang tertahan serta tatapan-tatapan yang tidak bisa Violet artikan tertuju padanya pagi itu karena ucapan sang guru yang tidak ber-filter. Memangnya ketua kelas itu bukan manusia apa? Kepala sekolah mereka saja sering telat, kok, tidak pernah kena marah tuh. Guru-guru mereka juga sering terlambat.
Violet ingin mengatakan itu tapi tetap dia tahan. Karena dia tahu kalau dirinya sebagai siswa pasti sudah selalu salah.
"Nah, sekarang kalian lari keliling lapangan. Sepuluh putaran buat perempuan dan dua puluh putaran buat laki-laki. Nah-nah ayo lari sana."
Violet semakin terkesiap mendengar hukumannya. Guru olahraganya saja tidak pernah menyuruhnya lari sebanyak itu. "Bu, itu enggak kebanyakan, Bu?" Protesnya.
Wanita muda yang menjabat sebagai guru kedisiplinan yang awalnya tersenyum melihat murid-muridnya lari ogah-ogahan itu perlahan pudar mendengar protesan salah satu siswinya, "Dikit kok itu,"
"Bu, kurangin dong Bu. Saya enggak kuat, Bu. Nanti kalau pingsan di tengah-tengah lapangan gimana Bu? Saya nggak punya cowok buat gendong saya ke UKS kayak di drama-drama atau di sinetron. Ibu nggak lihat ini badan saya kerempeng kayak gini?" Cerocosnya tanpa henti sambil memasang wajah memelas yang dibuat-buat.
Guru itu menatap datar Violet, "Kalau kamu pingsan saya biarin aja kamu di sana biar jadi ikan asin. Saya udah liat badan kamu, banyak lemak! Pergi sana, lari keliling sepuluh putaran."
"Tapi bu---"
"Udah sana! Udah untung enggak saya tambahin."
Mau tak mau, rela tak rela, ikhlas tak ikhlas, akhirnya Violet memaksakan kakinya berlari mengitari lapangan. Sekali lagi, sebelum dia berlari, gadis itu menatap langit yang semakin terik.
Tapi sesuatu di rooftop sekolahnya membuatnya mempertajam penglihatannya.
Ada seseorang yang sedang berdiri di ujung rooftop, atau di pagar pembatas lebih tepatnya. Menatap ke bawah seolah tengah mengamati sesuatu dari atas sana.
Disaat Violet ingin melihatnya lebih jelas lagi, suara guru yang menghukumnya itu kembali terdengar, membuatnya menoleh ke samping.
"Kamu tunggu apa lagi, sih? Udah sana!"
"Iya, Bu. Sabar dong."
Walau berkata seperti itu, kakinya tak kunjung juga melangkah. Di saat dia ingin memastikan apa yang dilihatnya, bayang-bayang manusia itu sudah hilang tak berbekas. Seolah hanyalah halusinasi Violet seorang kalau dia melihat ada seseorang diatas sana.
Atau Violet memang berhalusinasi?
***
Keringat bercucuran keluar melalui pori-pori tubuh Violet. Seragam yang tadinya tampak rapi kini sudah kusut dan separuh basah karena keringat. Wajah yang tadinya bersih sehabis mandi kini kusam karena air keringat dan sinar matahari. Bau keringat menguar, dan tidak ada lagi semangat untuk sekolah.
Semuanya luntur karena lari sepuluh putaran.
Gadis yang tampak kelelahan sehabis berlari itu memijat-mijat kaki yang sedang dia luruskan, "Harusnya gue dulu rajin lari pagi ikut Papa."
Diangkatnya botol kosong yang terletak di samping kakinya. Padahal dia masih haus, kenapa airnya harus habis sih?
Karena masih lelah Violet memilih duduk sebentar lagi sebelum pergi ke kelasnya. Sambil menunggu lelahnya hilang, Violet mengambil ponselnya dari dalam tas untuk mengecek notifikasi grup kelas apakah ada yang penting atau tidak.
XI MIPA 4
Cherry: *send a picture*
Cherry: Itu kelompok biologi ya, guys
Fanya: Ok
Sherly: Sip
Colin: Mau change kelompok. Blh g?
Juna: Gw jg
Bobi: Gue sih seneng bae
Anya: KOK GUE SM BOBI SIH?!
Bobi: Gak usah ngegas dong sayang
Cherry: GK ADA TUKER²AN KELOMPOK TITIK
Robbin: Santuy Bu sekretaris
Anya: Yaahh:(
Bobi: Yess:)
Violet meletakkan ponselnya dengan kesal. Kesal bukan main karena satu kelompok dengan si biang onar. Belum lagi si batu prasasti. Aduh, kelompok macam apa sih ini?
Violet menutup wajahnya dengan tangan. Pasti tidak akan ada yang namanya kerja kelompok besok.
***
Sabtu pagi yang begitu cerah, Violet habiskan untuk membersihkan kamarnya yang berantakan. Kamarnya memang sangat berantakan, bahkan ada makhluk hidup kecil lain tinggal di kamarnya yang bernama kecoak.Violet benci kecoak, tetapi dia sangat malas untuk menyingkirkan makhluk itu. Jadi dengan beralasan kemanusiaan dia membiarkan kecoak itu tinggal di kamarnya. Tapi sekarang kecoak itu tidak boleh tinggal di kamarnya lagi, kecoak harus mencari rumah baru.Gadis cantik itu mengelap keringat yang ada di dahinya, "Akhirnya bersih juga. Pantes mama ngomel mulu pas ngebersihin ni kamar, udah mirip kek kandang babi, sih." Ujarnya pada diri sendiri saat melihat kamar yang telah bersih dan rapi.Membersihkan kamar adalah hal yang paling malas Violet lakukan. Biasanya Ibunya lah yang akan membersihkan karena sudah tidak tahan dengan kamar anak gadisnya yang begitu kotor, sambil mengomel tentu saja. Tapi karena hari ini Violet akan ada kerja kelompok dengan teman-temannya,
"Saya akan menolong kamu."Violet terdiam. Tidak ada lagi suara isakan yang tadi keluar dari bibirnya. Tapi gemetaran karena takut itu masih ada, malah bertambah. Ya, dia menyadari perubahan menyeramkan itu."E-El?" Panggilnya terbata-bata pada El yang sedang berjalan menuju jasad ayahnya dan kemudian berjongkok di depannya. Awalnya hanya memperhatikan, tetapi lelaki itu malah mencolek darah sang ayah dengan jari telunjuknya.Violet beringsut mundur kala El berjalan menghampirinya sambil menjilati telunjuk penuh darah ayahnya itu. Ketakutan menyergapnya."P-pergi," usir gadis itu, tapi tak dihiraukan dan El malah berjalan semakin cepat ke arahnya.El mencengkeram bahu gadis itu dengan kuat, membuat Violet tak dapat bergerak. Bahkan dapat Violet rasakan kalau kuku-kuku milik lelaki bermata merah darah di depannya saat ini sudah menusuk kulit bahunya.El melebarkan seringaiannya, "Tadi bukannya kamu minta tolong?"Violet diam, tidak ber
Gelak tawa yang riang begitu terdengar jelas di telinga Violet. Mungkin biasanya dia akan langsung tertawa hanya karena mendengar temannya tertawa, tapi hari ini perasaan was-was, takut, dan marah mendominasi hati dan pikirannya.Violet tidak ingin mempercayai mimpi itu adalah sebuah kenyataan, karena secara logika itu saja tidak masuk akal. Namun kejadian tadi pagi sampai sesaat sebelum dia menelepon Bobi persis seperti di dalam mimpi. Seolah sedang memutar film yang sama.Sebuah tepukan pelan di bahu membuat gadis itu benar-benar terperanjat. Bahkan nafasnya langsung putus-putus.Bobi itu tertawa melihat reaksi berlebihan yang ditunjukkan Violet, "Lebay amat dah, lo. Jadi ga ini ke rumah si El?"Bobi menghentikan tawanya kala mendapat tatapan sinis dari Violet. Tidak, ini bukan tatapan sinis yang biasa Violet tunjukkan padanya. Tatapan ini, seperti ada rasa sedih sekaligus amarah besar
Violet menghela nafas entah untuk yang ke berapa kalinya. Ditatapnya isi kertas itu berulang kali, berharap isinya dapat berubah hanya dengan tatapan mata. Tapi tentu saja tidak mungkin.Kertas itu berisi kontrak yang harus Violet patuhi jika ingin keinginan tidak masuk akalnya El penuhi. Isinya:1. Pemohon tidak boleh mati dengan cara apapun, kalau peraturan itu dilanggar maka permohonan akan dibatalkan.2. Pemohon tidak boleh memberi tahu identitas si pengabul atau akan ada denda yang harus pemohon bayar.3. Pemohon tidak boleh menceritakan hal-hal tidak masuk akan yang dialami kepada siapapun kecuali ke pengabul.4. Kontrak berlaku seumur hidup.5. Bayarannya adalah kebahagiaan sang pemohon.El menatap kesal Violet yang masih saja memegangi kertas itu dengan wajah ragu, "Isinya tidak akan berubah meskipun kamu tatap seperti
Ruangan ini gelap dan violet seperti sedang duduk di sebuah kotak transparan. Rasanya tidak ada oksigen di dalam kotak ini membuat Violet sulit bernafas.Tok! Tok!"Siapapun keluarin gue dari sini!" Teriaknya tak lupa sambil terus memukul kotak yang mengurungnya. Sayangnya di dalam keadaan gelap ini tidak ada yang dapat terlihat oleh Violet. Apa benar hanya dia sendiri di sini?Tiba-tiba muncul sebuah lampu gantung, membuat atensi Violet mengarah ke sana. Tapi bukannya mendapati hati lega, malah jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika melihat jasad kedua orang tua yang tergeletak tak berdaya di bawah cahaya lampu itu.Tangan gadis itu bergetar menyentuh dinding transparan kotak, "M-mama...? Papa...?" Berusaha memanggil, namun suaranya sulit untuk keluar.Violet semakin panik. Terkurung di dalam kotak sempit ini membuatnya tidak dapat berpikir jernih. "MAMA!! PAPA!!
"APA YANG UDAH LO LAKUIN KE ANDRE?!"Gendang telinga El rasanya ingin pecah mendengar teriakan seorang gadis yang terduduk lemas di depan pintu gudang itu. El tidak berbicara, tapi dia hanya memperhatikan Violet yang kini menangis meraung-raung.El berdecak, "Apa kamu tidak lelah dari tadi menangis terus?"Violet bangkit, walau kakinya masih sangat lemas, namun dia paksa untuk dapat berdiri di depan El. Gadis itu menunjuk dada pria itu dengan keras, "Jawab gue, apa yang udah lo lakuin ke Andre?" Tanyanya dengan penekanan disetiap katanya.El tertawa pelan, "Dia hanya membayar apa yang semestinya dia bayar.""Lo brengsek!""Brengsek?" El berdecih, "Kalian yang serakah, tapi kamu mengatai saya brengsek?" Pria itu marah. Dengan kasar dia mengambil lengan Violet membuat gadis itu berdesis kesakitan. Tidak peduli, El menjentikkan jarinya.&n
Suara jangkrik menemani malam Violet yang sunyi. Tidak ada yang menemaninya disaat dia merasa begitu butuh teman. Kedua orangtuanya pergi melayat saudara jauh yang baru saja berpulang, sementara dirinya ditinggal seorang diri di sini.Mata gadis itu sudah terlalu kering untuk diajak menangis, jadi yang bisa dia lakukan hanya duduk termenung di balkon kamarnya. Sesekali matanya menatap jalanan kompleks yang sepi."Percuma lo minta orang tua lo buat hidup lagi, tapi mereka enggak peduli sama lo."Suara itu lagi.Violet muak mendengar suara itu, namun kepalanya tetap ia tolehkan ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara. Tapi tetap saja, nihil. Tidak ada siapa-siapa."Keluar lo!" Teriak Violet marah pada suara itu.Bukannya memunculkan diri, tapi suara itu malah tertawa mengejek membuat Violet semakin meradang."Lo hidup de
Bulan berganti matahari, tanda hari buruk kemarin sudah berlalu. Tapi bukan berarti kejadian kemarin terlupakan begitu saja oleh Violet. Gadis itu masih sangat ketakutan setiap melihat cermin, seolah kejadian semalam menimbulkan trauma baru untuknya.Hari baru pukul 6 pagi, saat matahari baru muncul dengan malu-malu. Namun, mata indah milik Violet seakan enggan menutup lebih lama.Dihelanya nafas pelan, kesal karena tidak dapat tidur kembali di hari libur nasional yang seharusnya dia nikmati dengan bersantai seperti biasanya. Merasa haus, gadis itu pun terpaksa beranjak dari tempat tidur menuju dapur.Melongok kan kepalanya ke seluruh penjuru rumah berharap mendapati sang ibu yang biasanya sudah sibuk membersihkan rumah atau merawat taman belakang, tapi tidak ada. Mungkin tidur, pikirnya.Mengedikkan bahu, dia berjalan ke arah dispenser. Menekan tombol dispenser dan menampung air dengan g