Ruangan Violet begitu gelap. Gadis itu sulit melihat, hanya dapat melihat samar-samar karena cahaya bulan purnama yang masuk melalui celah-celah gorden jendela yang tidak tertutup rapat.
Gadis itu yakin kalau dia tidak berada di kamar inapnya yang tadi siang dia tempati. Tapi brankar kasur ini yang membuatnya masih yakin kalau dia tetap berasa di rumah sakit. Tapi itu tetap tidak mengurangi rasa takutnya.
Selain tidak dapat melihat dengan jelas, Violet juga tidak dapat bergerak. Saat bangun, tahu-tahu tangan dan kakinya sudah diikat kencang dengan tali. Suaranya bahkan sudah serak karena daritadi terus berteriak memanggil seseorang, tapi tetap tidak ada yang datang. Violet takut, sebenarnya dia ada di ruangan apa, sih?
"Lo tahu ini ruangan apa?"
Suara itu lagi. Kali ini Violet tidak akan menjawab suara aneh itu.
"Lo dibawa ke bagian kejiwaan. Mereka semua ngira kalau
Suara air yang jatuh dari langit beradu dengan tanah itu sangat berisik. Tapi El menyukai udara sejuk akibat hujan ini. Pria itu berdiri dengan segelas wine ditangan, menghadap jendela yang terbuka lebar. Baju bagian depannya sudah lembab akibat hujan yang memaksa masuk dari jendelanya. Tapi dia tidak peduli, dia hanya ingin menikmati ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan ini. Pria itu meminum wine nya. Ah, benar. Rasanya sudah lama sekali dia tidak sesantai ini. Dia selalu pusing memikirkan takdir macam apa yang terikat antara dirinya dan Violet. Tapi beberapa hari ini sungguh menenangkan tanpa rasa sakit yang menderanya seperti seminggu yang lalu. "Benar, Violet. Kamu tidak seharusnya banyak tingkah." Gumamnya pada angin yang membawa hujan. Tangan kekar itu mengangkat gelas wine ke atas, lalu dia menggerakkan tangan dan kakinya. Pria itu menari. Seperti menari dengan seseorang, tapi nyatanya dia hanya
"Bobi!"Bobi yang merasa terpanggil pun menoleh. Ternyata si aneh El yang memanggilnya. "Kenapa?""Kamu saja yang ajak dia keliling sekolah." Suruh El sambil menunjuk Lucy dengan dagunya.Lucy pun merengut masam. "Kan lo yang disuruh anterin gue keliling sekolah." Rengek gadis itu.Bobi malah tersenyum senang. Pria itu menaik-turunkan alisnya saat menatap Lucy, "Eneng Lucy sama akang Bobi aja. Si El itu anaknya aneh."El tampak tak peduli. Dia malah pergi ke kantin ingin membeli sesuatu untuk dijadikan cemilan. Kalau dia mengantar gadis itu berkeliling yang ada dia tidak dapat bersantai. Tapi langkahnya terhenti begitu saja karena Lucy menarik tangannya."Lo engga ingat, ya? Gue yang lo tabrak kemarin di rumah sakit." Gadis itu menunduk, memperhatikan sepatunya. "Sebagai permintaan maaf, kenapa ngga lo aja yang ajak gue keliling sekolah?"&
Hari-hari Violet lalui hanya dengan berdiam diri. Dia hanya mau berkomunikasi dengan psikiater nya. Kegiatan lainnya adalah dia makan teratur dan minum obat, lalu saat perawat sudah pergi dia muntahkan obat itu. Orangtuanya seperti yang sudah diberi tahu, tidak boleh menjenguknya. Selain itu kerjanya hanya melamunkan nasibnya. Violet kini sudah menganggap kesepian itu sebagai bagian dari dirinya. Tidak ada suara misterius yang menemaninya, membuat Violet merasa lebih tenang daripada sebelumnya. Dia masih tidak habis pikir mengapa El membantunya. Gadis itu yakin sekali kalau El tidak membantunya secara gratis. Rasa takut akan apa yang harus dia bayar menghantuinya sedikit. Suara kunci yang terbuka membuat Violet mengalihkan pandangannya dari dinding. Langkah kaki terdengar mendekat, membuatnya melirik siapa yang memasuki ruangannya. Walau dia tahu siapa itu. "Waktunya minum obat."
Mobil sedan berwarna hitam itu melaju dengan pelan. Membelah jalanan yang dipenuhi hujan. Alam seolah tidak begitu senang menyambut kepulangan Violet dari rumah sakit. Karena begitu dia menginjakkan kakinya di teras rumah sakit, hujan begitu lebat pun turun membasahi bumi.Suasana di mobil ini sedikit canggung. Tapi Violet tidak peduli dan sibuk berkelana dengan pikirannya. Benar kata El, tepat 10 hari setelah mereka ciuman, tidak ada suara aneh yang menganggu serta dia benar-benar dipulangkan ke rumahnya."Vio mau makan apa?" Tanya Erik berusaha memecahkan keheningan yang membuat mereka makin canggung.Tapi gadis itu enggan menjawab dan memilih melihat pemandangan dari kaca mobil. Jarinya memainkan embun yang ada di kaca jendela itu. Membuat pola abstrak di sana."Kenapa kalian nggak jenguk aku?" Tanya gadis itu akhirnya, masih membuat pola abstrak di kaca jendela.&nb
Tepat beberapa saat setelah bel istirahat pertama berbunyi, Violet langsung menarik lengan El dari tempat duduk mereka tanpa berkata sepatah kata pun dengan raut wajah dingin. Teman-teman sekelas mereka masih sibuk menggoda status baru mereka, bahkan saat Violet yang menarik tangan El pun teman-teman sekelasnya heboh bukan main."Kamu mau ajak saya kemana?" Tanya El santai, masih mengikuti Violet yang menarik tangannya dengan terburu-buru.Gadis itu hanya diam, tidak mau menjawab. Kepalanya sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri mencari tempat yang sepi. Lalu kembali berjalan ke arah gudang yang dulu menjadi tempat Andre bunuh diri.Violet mendorong El ke dinding dan mengurung pria itu dengan kedua telapak tangan yang dia tempelkan di dinding, tepat di samping tubuh El. El tertawa keras melihat tampang serius Violet, dan sepertinya ada marahnya juga?"Apa tujuan lo yang sebenarnya?!" Be
"Lo keterlaluan!" Anya berteriak marah pada Violet, dan bentakan itu membuat Violet merasa terkhianati. Bukankah seharusnya Anya lah yang paling tahu sebagai teman dekatnya kalau Violet tidak akan melakukan hal itu kalau tidak ada yang memulainya? Senyuman sinis terbit di bibir Violet. Melihat senyum sinis itu pun Anya kian marah. Jari telunjuknya dia angkat untuk menunjuk Violet dengan marah, "Lo--" "Apa?" Potong El cepat. Pria itu merangkul Violet, dan Violet sendiri entah mengapa tidak terkejut dengan hal itu. Sementara tangannya yang lain menepis jari telunjuk Anya. Marah Anya semakin memuncak, jadi kini Violet ingin berlindung di balik punggung pacarnya? Anya mendengus geli, "Gue baru tahu sifat lo. Udah kayak ular aja lo." Violet tertawa kecil. Ibu jari dan telunjuknya dia letakkan ke dagu, seperti sedang berpikir keras. "Hmm... Berarti gue kalau ngomo
Pagi ini terasa begitu tenang. Tidak ada suara ayam yang berkokok dan tidak ada suara burung yang berkicau di pagi hari, membuat Violet ingin terus mendengarkan keheningan ini. Hatinya begitu tenang rasanya. Bisa dibilang ini adalah pertama kalinya Violet merasa begitu tenang semenjak kejadian 'itu'? Tapi hal ini juga membuat Violet risau, seolah-olah badai akan datang dengan tiba-tiba dan memporak-porandakan hatinya yang semula tenang. Seperti air sungai yang tenang, padahal ada buaya yang siap menerkam di bawahnya. Suara ketukan pintu membuat Violet membuka matanya. Ya, yang pasti dia tidak akan bisa menikmati keheningan tadi untuk waktu yang lama, bukan? "Sayang, yuk sarapan." Ajak Vina pada putrinya yang sudah siap dengan seragam sekolahnya sedari tadi. Violet mengangguk sebagai jawaban dan langsung mengikuti langkah sang ibu ke ruang makan. Tapi langkah Violet berhenti di ten
Memalukan. Memalukan sekali.Violet tidak tahu dia akan dibawa kemana oleh gadis-gadis yang berseragam sekolah seperti dirinya itu. Suara tawa menggema di sepanjang koridor gedung sekolah yang sudah lama tidak digunakan ini. Yang mana hal itu membuat suasana kian mencekam.Kuku-kuku para gadis itu menancap di kulit lengan Violet, membuat kulitnya mengeluarkan darah. Mereka terus menyeret paksa Violet sambil memaki dan sekaligus tertawa mengejek."Tolong! Gue mohon lepasin gue!" Mohon Violet pada gadis-gadis itu.Tapi respon mereka malah,"Lemah banget, sih!""Diem, lo! Jijik tahu denger lo ngerengek kayak bayi.""Biasanya aja belagu."Itu hanya beberapa cacian yang Violet dengar dari mereka. Dia sudah menangis dan memohon, tapi mereka masih terus menyeret Violet tidak tahu kemana. Violet takut.Tadi saat jam istirahat dan Violet sedang sendirian, tiba-tiba ada 4 orang gadis dari kelas 10 meminta b