"Ma, tadi Papa di kamar Embak," ucap putri angkatku yang kini sudah berusia lima tahun. Ia aku adopsi ketika usianya baru satu minggu. Lebih tepatnya, dia adalah anak dari sosok perempuan yang masih memiliki hubungan kerabat denganku.
Meski Manda hanyalah anak angkat, tapi aku begitu sayang selayaknya anak kandung. Manda begitu dekat denganku. Hal sekecil apapun yang ia tau, pasti dikatakan padaku. Dan aku sangat suka kebiasaannya itu."Oh ya? Ngapain Papa di kamar Embak?"Embak adalah panggilan dari putriku untuk asisten rumah tangga di rumah ini. Risa namanya."Nggak tau, Ma. Pintunya ditutup sih," jawabnya tanpa menoleh ke arahku. Anak gadisku tengah fokus memainkan boneka mixue kesayangannya. Entah kenapa mendengar ucapannya tadi membuatku merasa tertarik untuk terus menanggapi."Terus kok Manda tau kalau Papa di kamar Embak?" tanyaku lebih detail lagi. Bukankah anak kecil adalah makhluk paling polos? Dia mengatakan apa yang dia lihat dan dia dengar."Iya, Manda denger suara Papa di kamar Embak.""Memang suaranya gimana? Mungkin Manda salah dengar," ucapku."Aduh, Sayang, ah ah ah. Lagi dong.""Astaghfirullah!" Aku memekik, kedua bola mataku membelalak ketika mendengar ucapan Manda yang begitu polos. Karena terlalu tidak percayanya, secara refleks tanganku sampai menutup mulut.Mendengar aku yang memekik karena terkejut, Manda langsung menoleh ke arahku dengan kening berkerut."Kenapa, Ma?" tanya Manda."Nggak apa-apa, Sayang. Manda yakin itu suara Papa, Nak?" tanyaku dengan nada suara berusaha untuk setenang mungkin, meski pada faktanya jantung ini terasa berdetak lebih kencang."Iya, Ma," ucapnya dengan mengangguk yakin."Kapan itu?""Tadi pagi waktu Mama ngajak jalan-jalan Adek."Aku hanya bisa beristighfar di dalam batin. Mungkinkah yang dikatakan oleh Manda adalah benar?"Oh ya, Sayang, jangan katakan apapun yang Manda dengar tadi ke orang ya. Nggak baik, dosa," peringatku seraya memasang wajah serius, dan Manda menanggapinya dengan anggukan kepala."Ya sudah, sudah malam. Manda tidur ya sekarang. Besok harus sekolah," titahku."Iya, Ma."Segera kuberikan ciuman di kening Putriku, kemudian kubantu ia untuk berbaring di atas ranjangnya. Kubenarkan letak selimut, lalu kuelus puncak kepala dengan lembut– sesuai kebiasaan Manda setiap menjelang tidur yang selalu minta dielus kepalanya.Setelah memastikan Manda sudah tertidur, bergegas aku berjalan keluar kamar, dan kini aku melangkah menuju ke kamar. Dan begitu pintu terbuka, terlihat Risa tengah menemani putraku yang tengah tertidur. Aku tadi meminta Risa untuk menemani Putraku di saat aku tengah bersama Manda.Menyadari kedatanganku, Risa tampak menoleh ke arahku. Dan seketika membuat ucapan yang tadi Manda katakan kembali terngiang-ngiang di telinga."Sudah, Bu?" tanya Risa sembari turun dari ranjang."Sudah," jawabku dengan singkat seraya melangkah lebih masuk ke dalam kamar.Setelahnya, tampak Risa berjalan keluar. Ingin sekali aku menghentikannya lalu menanyakan soal aduan Manda, namun aku merasa ragu. Salah satunya karena tak memiliki bukti. Aku tidak mau gegabah, aku harus memiliki bukti terlebih dahulu, lalu mengkonfirmasi semua itu pada mereka. Aku tidak ingin mereka menganggap semua itu lelucon belaka karena menganggap celotehan dan aduan dari bocah kecil yang usianya baru genap lima tahun tepat lima hari yang lalu.Sepeninggalan Risa dari kamarku, bergegas kedudukkan bokong di tepian ranjang. Aku termenung, ucapan Manda benar-benar mengganggu pikiranku saat ini.****Mataku mengerjap pelan, dan tak kulihat suamiku tidak ada di tempatnya. Aku menoleh ke arah jam di dinding, dimana jarum jamnya menunjukkan pukul sebelas malam. Kemudian, pandanganku beralih ke arah meja yang ada di sudut kamar, meja yang biasanya digunakan untuk Mas Arjuna meletakkan tas kerja. Namun, ketika aku melihatnya, tak kutemukan tas miliknya."Sepertinya Mas Arjuna lembur lagi," ucapku dengan lirih. Kemudian, bergegas kuambil ponsel yang tergeletak di atas nakas yang ada di samping ranjang. Begitu kutekan tombol kecil yang ada di sisi samping ponsel, terlihat ada dua pesan masuk. Dan nomor Mas Arjuna lah yang terpampang sebagai pengirimnya.[Sayang, aku lembur. Mungkin jam sebelas baru pulang.] Pesan tersebut dikirim sejak pukul lima sore.[Sudah tidur?] pesan kedua baru kubaca, dan pesan itu dikirim sejak tiga puluh menit yang lalu.Astaga, karena terlalu sibuknya dengan kedua bocah itu, aku sampai mengabaikan ponsel. Hingga tidak tau jika Mas Arjuna mengirim pesan.Ditambah waktu memberikan ASI pada putraku, aku ikut tertidur.[Mas, pulang jam berapa?] balasku yang aku tau sangat terlambat.Kutunggu lima menit, tak ada balasan. Dan aku memutuskan untuk menuju ke dapur hendak mengambil air minum sebab tenggorokan yang terasa begitu kering.Perlahan aku turun dari ranjang, lalu dengan langkah mengendap-endap aku berjalan menuju ke arah pintu. Anak tangga demi anak tangga aku turunin, hingga akhirnya ...."Aw ... geli, Sayang. Aduh ....""Biarin, salah sendiri. Pulang-pulang disambut dandanan kayak gini. Rasain kamu, ha ha ha.""Jangan gitu, geli tau."Seketika langkahku terhenti di anak tangga terakhir saat kudengar suara Risa– Asisten rumah tanggaku yang terdengar begitu manja. Apalagi suara Risa bersahut-sahutan dengan suara yang amat aku kenali. Suara suamiku– Mas Arjuna."Aw ... geli, Sayang. Aduh ...." "Biarin, salah sendiri. Pulang-pulang disambut dandanan kayak gini. Rasain kamu, ha ha ha.""Jangan gitu, geli tau."Seketika langkahku terhenti di anak tangga terakhir saat kudengar suara Risa– Asisten rumah tanggaku yang terdengar begitu manja. Apalagi suara Risa bersahut-sahutan dengan suara yang amat aku kenali. Suara suamiku– Mas Arjuna."Udah, Sayang. Cukup, dong. Geli tau ...." Suara sosok lelaki kembali tertawa terbahak-bahak. Aku menajamkan pendengaran. Akan tetapi, sudah tak terdengar lagi suara tawa dari dalam sana. "Tapi aku suka sekali melihat tubuhmu yang meliuk-liuk kegelian seperti ini." Kulanjutkan langkahku, menuruni anak tangga terakhir lalu mendekat ke arah kamar yang ditempati oleh Art-ku yang berusia 25 tahun. Tak bisa dipungkiri, saat ini jantungku seperti berdetak lebih kencang.Kuhentikan langkah ini tepat di depan pintu. Kutajamkan pendengaranku lalu kutempelkan daun telinga pada pintu. Hingga terdengar lagi suara dari da
Bergegas aku meraih gagang pintu lalu menekannya ke bawah berkali-kali, namun pintu tak kunjung terbuka."Pintu terkunci!" geramku. Kuremas jemariku, berharap mampu sedikit saja memberikan ketenangan lalu aku bisa berpikir dengan jernih. Kutempelkan lagi gendang telinga pada daun pintu, tapi sudah tak terdengar lagi suara dari dalam sana. Padahal aku tadi sempat menangkap suara desahan yang saling bersahut-sahutan.Karena tak kunjung mendapatkan ide, akhirnya aku memilih ....Brak! Kutendang kuat-kuat pintu kamar, namun masih tertutup dengan sempurna. Brak!Brak!"Risa! Buka pintunya!"Brak!Brak!Brak!Aku terus menggebrak daun pintu dengan begitu kerasnya, tak kupedulikan rasa panas yang menjalar di area telapak tanganku. "Risa! Buka pintunya!" Suara seseorang berusaha memutar anak kunci terdengar dari arah dalam, hingga sepersekian detik kemudian sosok wanita yang tengah mengenakan pakaian tidur dengan rambut digelung ke atas berdiri di hadapanku. "Ada apa, Bu? Maaf, saya tad
POV 3"Ris, sini. Ada yang ingin saya tanyakan," panggil Rahma pada sang pembantu yang tengah membersihkan hiasan guci yang ada di sudut ruang makan. Di sana, mereka tak hanya berdua. Ada Arjuna juga. Lelaki itu masih menyelesaikan sarapannya yang belum selesai. Sebenernya hanya tinggal tiga suap saja sepiring nasi itu habis. "Ada apa, Bu?" tanya Risa ketika ia sudah berada di depan sang Majikan. "Kemarin saya menemukan celana dalam laki-laki ada di kamar kamu." Deg!Seketika jantung Risa terasa seperti berhenti berdetak. Sekilas, Risa melirik ke arah Arjuna yang tampak menunduk dalam. "Kata suami saya, kamu habis memasukkan laki-laki ke dalam kamar ya? Siapa? Kekasih kamu?" tanya Rahma yang bersikap pura-pura tidak tau. Risa terlihat gugup, ia sampai tak bisa berpikir jawaban apa yang harus ia katakan. Risa kembali melirik ke arah sang kekasih, dan detik berikutnya tampak Arjuna memberikan kode agar Risa mengangguk saja. "I–iya, Bu. Saya minta maaf." Dengan perasaan kesal seka
"Sudah, Bu. Sudah saya sambungkan sekalian ke ponsel ini." Lelaki yang merupakan karyawan Elisa menyerahkan ponsel Rahma kepada pemiliknya. "Baik, Mas. Terima kasih, ya. Kwitansinya mana?" Diserahkannya selembar nota pembelian kepada Rahma, dan bergegas wanita itu memberikan sejumlah uang yang tertera pada nota pembelian. Tak lupa ia juga menambahkan satu lembar uang pecahan 100 ribuan sebagai upah atau bonus atas tenaganya.Setelah lelaki itu pergi, Rahma melangkah masuk menuju kamar Risa. Kepala Rahma mendongak, mencari keberadaan benda kecil yang akan mengungkap kebusukan dua manusia tak berakhlak. Dua pasang cctv terpasang dengan sempurna. Satu menyorot langsung bagian ranjang, dan satunya mencakup satu ruangan."Pasti mereka tidak akan tau kalau ada cctv di dalam sini," ucap Rahma dengan bibir tersenyum puas. ****Bibir bergincu merah maroon itu tersenyum kala melihat sang kekasih sudah terduduk di salah satu kursi yang ada di cafe tempat mereka melakukan janjian. Bergegas R
Satu minggu telah berlalu. Sejauh ini Rahma tidak mendapatkan satu bukti apapun yang menyatakan ada perselingkuhan di antara mereka. "Apa mereka melakukan pertemuan di luar ya?" lirih Rahma menerka-nerka."Sepertinya iya, setelah malam itu Risa sering sekali berpamitan pergi keluar. Apalagi kepulangan Mas Arjuna dengan Risa hanya selisih hitungan puluhan menit." Secara Diam-diam dan tanpa sepengetahuan mereka, Rahma mengamati. Rahma pun kembali memutar otak, mencari cara yang tepat untuk menjebak sang suami dan asisten rumah tangganya. Rahma sudah berusaha mencari bukti di ponsel, namun nihil. Ia tak mendapati apapun. DretDretPonsel yang ada di atas nakas bergetar. Ada panggilan masuk. Gegas Rahma meraih ponselnya. Bibir wanita itu mengulas senyum saat melihat nomor sang sahabat terpampang sebagai pemanggilnya. "Assalamualaikum, Sa." Rahma mengucapkan salam begitu panggilan dari Elisa terhubung. "Waalaikumsalam, Ma. Bagaimana?" "Apanya?""Ya itu, yang kemarin. Apa kamu sudah
"Pantas saja jika Mas Arjuna tertarik, pakaian Risa saja seperti itu. Benar-benar cocok! Mas Arjuna seperti sampah dan Risa adalah penampungnya." Rahma tersenyum sinis."Ternyata seleramu begitu menjijikkan, Mas," lirih Rahma. Selanjutnya, wanita itu menutup aplikasi rekaman cctv lalu kembali merebahkan tubuhnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia teringat perihal ucapan Elisa yang menyangkut perjanjian pernikahan. Rahma bangkit dari ranjang, setelahnya ia berjalan keluar dan langsung menuju ke ruang kerja sang suami yang letaknya persis di samping kamar mereka. Rahma bergegas masuk, tak lupa ia mengunci pintu ruangan kerja sang suami. Kemudian, ia pun melangkah dan mendudukkan bokongnya di kursi yang didepannya telah tersedia meja kerja berikut dengan komputer dan alat printer.Cepat, Rahma mengetikkan huruf demi huruf hingga terangkai menjadi kalimat. "Bismillah, semoga saja rencanaku berhasil," lirih Rahma sembari menatap layar komputer. Ia kembali membaca kalimat yang ia tulis. M
Setelah semuanya selesai, Rahma memutuskan untuk segera merapihkan meja komputer seperti sedia kala, dan selanjutnya ia kembali ke kamar.Perempuan itu terus berjalan dengan sesekali menatap ke arah lembaran kertas dan senyum tipis terpahat di bibir itu, sesampainya di kamar, wanita itu gegas mendudukkan bokong di tepi ranjang setelah mengambil ponsel yang ada di dalam sakunya. Sejenak Rahma memandangi wajah sang bayi, dan seketika saja dada wanita itu terasa begitu sesak. Tangan Rahma terulur, mengusap lembut kepala sang anak dengan perasaan hancur. "Maafkan Mama ya, Nak, jika setelah ini kamu akan tumbuh tanpa kehadiran sosok Papa. Tapi Mama janji, kamu tidak akan merasa kekurangan kasih sayang. Mama akan menjadi Mama sekaligus Papa untuk kamu." Rahma berucap pelan, tanpa sadar kedua kelopak matanya mulai berkaca-kaca seiring rasa sesak yang kian mendera. Ah, air mata memang tidak bisa menyembunyikan sedalam apa rasa sakit yang dirasa. Rahma menghela napas dalam-dalam, setelahn
Dret DretPonsel yang sedari tadi berada di tangan Risa bergetar, ada sebuah pesan masuk. Dan begitu dibuka olehnya, sang kekasihlah si pengirim pesannya. [Masukkan semua serbuk itu ke dalam teh.] Sebuah pesan yang dikirim oleh Arjuna membuat Risa tersenyum. Belum sempat ia membalas pesan Arjuna, terdengar suara ketukan pintu dan suara sang majikan yang memanggil namanya. Gegas Risa bangkit dari pembaringan lalu melangkah menuju pintu. "Ada apa, Bu? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Risa begitu pintu terbuka. Nada suaranya begitu hormat dan patuh, selayaknya seperti seorang pembantu yang menghormati majikan."Ris, tolong buatkan kopi sama teh hangat ya. Sekalian tolong antarkan ke kamar." "Baik, Bu." Begitu sang majikan pergi, Risa kembali masuk ke dalam kamar. Wanita itu menyingkap kasurnya lalu mengambil obat yang berupa serbuk yang sejak tiga hari yang lalu diberikan oleh Arjuna padanya. Rahma tersenyum sinis, bayangan dirinya akan kembali mereguk kenikmatan di atas ranj