Share

bab 2

Author: Fahira Khanza
last update Last Updated: 2024-04-04 09:46:06

"Aw ... geli, Sayang. Aduh ...."

"Biarin, salah sendiri. Pulang-pulang disambut dandanan kayak gini. Rasain kamu, ha ha ha."

"Jangan gitu, geli tau."

Seketika langkahku terhenti di anak tangga terakhir saat kudengar suara Risa– Asisten rumah tanggaku yang terdengar begitu manja. Apalagi suara Risa bersahut-sahutan dengan suara yang amat aku kenali. Suara suamiku– Mas Arjuna.

"Udah, Sayang. Cukup, dong. Geli tau ...."

Suara sosok lelaki kembali tertawa terbahak-bahak. Aku menajamkan pendengaran. Akan tetapi, sudah tak terdengar lagi suara tawa dari dalam sana.

"Tapi aku suka sekali melihat tubuhmu yang meliuk-liuk kegelian seperti ini."

Kulanjutkan langkahku, menuruni anak tangga terakhir lalu mendekat ke arah kamar yang ditempati oleh Art-ku yang berusia 25 tahun. Tak bisa dipungkiri, saat ini jantungku seperti berdetak lebih kencang.

Kuhentikan langkah ini tepat di depan pintu. Kutajamkan pendengaranku lalu kutempelkan daun telinga pada pintu. Hingga terdengar lagi suara dari dalam sana. Lirih, tapi mampu kudengar dengan jelas di setiap katanya.

"Ayolah, malam ini saja ...."

"Aku capek, Sayang. Marahin perempuan tua itu, masa iya kasih aku tugas yang berat banget!" Nada suara Risa begitu ketus. Apakah yang dimaksud perempuan tua itu aku? Tanpa sadar, tanganku terangkat lalu meraba wajahku sendiri.

"Ya mau gimana lagi, kalau aku larang Rahma agar tidak memberikanmu pekerjaan yang berat, pasti dia akan curiga."

"Halah! Yaudah, kalau begitu belikan aku rumah, lalu kita bisa tinggal di sana. Nggak capek-capek kayak gini! Nggak perlu sembunyi-sembunyi kayak gini lagi," cerocos Risa.

Namaku Rahma Larasati, biasanya dipanggil Rahma. Umurku 30 tahun. Seorang ibu rumah tangga yang telah dikarunia seorang anak lelaki, yang saat ini tengah berusia 6 bulan. Seorang anak yang baru hadir saat usia pernikahan kami menginjak di angka 10 tahun. Oleh sebab itulah di usia pernikahan kami menginjak angka 5 tahun, kami memutuskan untuk mengadopsi anak yang kini kami berikan nama Manda.

Ya, selama itu. Selama itu kami menunggu hadirnya sang buah hati.

Sebenarnya, dulu, waktu usia pernikahan kami baru menginjak angka 2 tahun, kami sudah melakukan pemeriksaan. Tak ada masalah kesehatan pada kami berdua, semua normal. Kata dokter, tinggal menunggu waktunya saja. Dan ternyata, aku berhasil positif hamil saat usia pernikahan kami 9 tahun lebih 4 bulan. Oleh sebab itu, bulan kelahiran putraku dengan hari jadi pernikahan kami sama. Sama-sama di bulan Oktober.

Arjuna Aditama Narendra, itulah nama suamiku. Sosok lelaki berusia 35 tahun yang saat ini menjabat sebagai seorang manajer di perusahaan yang sejak dulu ia mencari nafkah.

Akan tetapi, Mas Arjuna meminangku saat dirinya masih berstatus seorang karyawan biasa. Mungkin karena prestasi yang diraih oleh Mas Arjuna, hingga membuat pemilik perusahaan tak ragu untuk menaikkan jabatan suamiku menjadi seorang manajer. Apalagi suamiku adalah sosok karyawan yang disiplin.

"Iya, doakan biar segera dapat bonus, nanti langsung kucarikan rumah untuk kamu."

Seketika suara yang persis seperti suara Mas Arjuna membuyarkan ingatanku. Apa maksudnya? Mas Arjuna akan membelikan rumah untuk Risa? Memang apa hubungan di antara mereka?

Masih teringat dengan jelas saat Mas Arjuna membawa wanita yang saat ini bekerja sebagai asisten rumah tanggaku itu.

"Dia kerabat dekat dari ayahku, sayang. Orangtuanya sedang terlilit oleh hutang, ayah-nya pun sedang sakit keras. Jadi hanya dia-lah yang menjadi tulang punggung saat ini. Apa kamu tega membuat Risa hidup terlunta-lunta di kota ini nyari kerjaan? Kamu kan juga perempuan, pasti jauh lebih tau ketakutan-ketakutan jika hidup di kota tanpa siapapun ...." Mas Arjuna terus mengeluarkan pendapatnya agar aku mau menerima wanita itu sebagai ART di rumah kami.

Sejenak aku melirik ke arah wanita yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan posisi kepala menunduk sembari memainkan kesepuluh jemarinya. Lalu kembali menatap ke arah wajah Mas Arjuna yang menghiba.

"Tapi kenapa kamu nggak bicarakan ini dulu sama aku, Mas? Jangan asal ambil keputusan sendiri dong," protesku dengan nada lirih tapi penuh dengan penekanan di setiap katanya, tak ingin wanita itu mendengar penolakanku, sebab jarak kami tak begitu jauh, hanya terhalang tirai pembatas antara ruang tengah dan juga ruang tamu.

"Mas pun nggak ada rencana demikian, tadi Mas lihat dia jalan di tepi jalan raya sambil nenteng tas-nya, Mas hampiri dia, lalu dia cerita soal masalahnya. Dia minta tolong ke Mas buat nyarikan dia pekerjaan. Katanya sebagai seorang ART pun nggak masalah," ucap Mas Arjuna menjelaskan. Aku mendesah pelan. Aku tahu betul bagaimana perangai suamiku, selagi ia sudah membuat keputusan, maka beribu alasan akan ia kemukakan agar sang lawan bicara bisa menerima keputusannya.

"Ayolah, Rahma. Apa kamu tidak kasihan melihat perempuan di luar sana hidup terlunta-lunta? Kalau keluarganya tau, aku ngerasa nggak enak. Ada kerabat butuh bantuan, kok malah pura-pura buta." Sorot mata Mas Arjuna penuh dengan permohonan. Aku menghela napas dalam-dalam.

"Sebentar lagi kamu melahirkan, tentu akan membutuhkan bantuan bukan? Tak mungkin kamu bisa mengurus rumah dan bayi seorang diri." Aku memikirkan apa yang Mas Arjuna katakan.

Memang ada benarnya, aku pun sudah memiliki pemikiran seperti itu sejak jauh-jauh hari, akan tetapi aku membutuhkan seorang ART yang sudah paruh baya. Setidaknya usianya di angka 50 tahun. Bukan apa-apa, sekarang banyak sekali kasus pelakor, aku hanya mengantisipasinya saja.

"Benar kan apa yang Mas katakan? Kamu pasti akan membutuhkan seorang ART." Mas Arjuna kembali bersuara. Padahal satu patah kata pun belum keluar dari mulutku.

"Apa kamu keberatan karena dia masih muda?" Lelaki itu menatap dengan sorot mata menyelidik. Aku mengangguk malas, akan tetapi malah membuat Mas Arjuna tertawa terbahak-bahak.

"Ada yang lucu?" Seketika tawa lelaki itu terhenti.

"Ya lucu aja, masa iya kamu mencurigaiku bakalan ada main dengan dia? Hey, Rahma ... pikiran konyol macam apa itu?" seru Mas Arjuna. Kali ini lelaki itu menatap lekat tepat di kedua manik hitamku dengan kedua telapak tangan menyentuh pundakku.

"Apa kamu meragukan kesetiaanku? Bukankah semua sudah terbukti? Kamu tau betul gimana Mama memintaku untuk menikah lagi karena kamu tak kunjung memberikan aku keturunan, apa selama ini aku melakukannya? Enggak kan? Aku selalu setia menemanimu, di sampingmu hingga akhirnya Tuhan benar-benar mempercayakan buah hati tumbuh di rahimmu, Sayang ...." Lelaki itu berucap dengan nada penuh kelembutan. Melihatku yang terdiam, lelaki itu tersenyum lembut.

"Percaya sama Mas, ya. Jangan pernah meragukan kesetiaan dan kasih sayang yang Mas berikan ...."

"Janji, ya. Pokok Maksimal bulan depan aku udah keluar dari rumah ini. Males banget jadi pesuruh istrimu itu!" Suara Risa kembali terdengar, dan saat ini aku hanya bisa menghembuskan napas dengan kasar.

Berada di posisi ini, benar-benar membuat otakku tiba-tiba saja bodoh. Aku tidak tahu harus berbuat seperti apa.

"Iya, Sayang. Tapi malam ini harus puasin Mas seperti malam-malam sebelumnya ...."

Deg!

Jantungku berpacu lebih cepat lagi. Apa-apaan ini?

Apa maksud Mas Arjuna mengatakan kalimat menjijikkan itu?!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau rahma. merawat diri aja g mau padahal kau punya babu. cuma mengangkang aja yg kau mampu njing. ngapain kau mengintip dengar disitu dasar g waras dan menye2 kau njing. g pernah simpati pada wanita lemot
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 83

    Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 82

    Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 81

    "Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 79

    "Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Rahma begitu melihat Risa dan Arjuna melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Risa menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Risa mendekat ke arah Rahma yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Risa dengan begitu lancarnya. Ia mengibaskan tangannya, seolah tengah menunjukkan beberapa perhiasan yang menghiasi jemarin dan pergelangan tangannya. Bahkan sebelum memutuskan menemui Rahma yang sudah di depan, Risa langsung mengeluarkan kalung dari balik kaos agar terlihat di manik hitam milik Rahma.Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 79

    Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, dan sepagi itu Rahma sudah kembali dari pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat pesanan. Setelah membawa masuk semua barang belanjaannya, Rahma melangkah menuju ke arah kamar. Melihat keadaan sang bayi yang ditunggu oleh salah satu tetangga Rahma. Singkat cerita, 100 kotak nasi sudah siap. Segera Rahma membawa keluar lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Gapapa kan, Bude, kalau Bude ikut antar buat gendong Rendy? Perjalanannya lumayan jauh, kasihan kalau aku dudukkan sendiri," ucap Rahma dengan nada sedikit tidak enak. Berbanding terbalik dengan tetangganya yang tersenyum dengan tulus. "Gapapa, Mbak Rahma. Ayo berangkat, biar nggak buru-buru nanti di jalan," ucap Bude Sumi. Rahma mengangguk, selanjutnya kedua perempuan dewasa itu pun melangkah menuju dimana mobil terparkir. Lalu detik kemudian, kendaraan roda empat itu mulai bergerak dan melaju membelah ramainya jalan raya. "Kalau Mbak Rahma banyak pesanan, Bude mau kok kalau

  • ADA SUARA PAPA DI KAMAR EMBAK, MA.   Bab 78

    Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Rahma telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Rahma mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Rahma berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan dengan senyum merekah dan perasaan lega."Semoga saja sidang berikutnya Arjuna nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Ma?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Rahma berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap kalau se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status