Bergegas aku meraih gagang pintu lalu menekannya ke bawah berkali-kali, namun pintu tak kunjung terbuka.
"Pintu terkunci!" geramku. Kuremas jemariku, berharap mampu sedikit saja memberikan ketenangan lalu aku bisa berpikir dengan jernih.Kutempelkan lagi gendang telinga pada daun pintu, tapi sudah tak terdengar lagi suara dari dalam sana. Padahal aku tadi sempat menangkap suara desahan yang saling bersahut-sahutan.Karena tak kunjung mendapatkan ide, akhirnya aku memilih ....Brak!Kutendang kuat-kuat pintu kamar, namun masih tertutup dengan sempurna.Brak!Brak!"Risa! Buka pintunya!"Brak!Brak!Brak!Aku terus menggebrak daun pintu dengan begitu kerasnya, tak kupedulikan rasa panas yang menjalar di area telapak tanganku."Risa! Buka pintunya!"Suara seseorang berusaha memutar anak kunci terdengar dari arah dalam, hingga sepersekian detik kemudian sosok wanita yang tengah mengenakan pakaian tidur dengan rambut digelung ke atas berdiri di hadapanku."Ada apa, Bu? Maaf, saya tadi tertidur. Ibu butuh sesuatu?"Cih! Manis sekali mulut perempuan ini.Aku menelisik wajah cantik wanita itu.Ya, memang kuakui, Risa adalah wanita yang cantik. Namun kurasa ia masih tak bisa mengungguli kecantikanku."Dimana Bapak?""Loh, kenapa Ibu nyari Bapak di sini? Ibu baik-baik saja kan?" Wanita muda itu memasang wajah bingung.Tanpa menjawab ucapannya, gegas aku merangsek masuk. Kutabrak tubuh wanita itu hingga membuatnya terhuyung. Ah, harusnya aku menabraknya lebih keras lagi agar dia terjatuh lalu kuinjak kepalanya kuat-kuat.Aku langsung mencari keberadaan suamiku di balik pintu, namun kosong."Bu Rahma kok aneh sekali nyari Bapak kesini?"Tak kupedulikan ucapan wanita itu. Aku langsung mengacak-acak seisi kamar yang sebenarnya tak begitu luas ini. Di dalam lemari dan kolong ranjang pun tak luput dari pencarianku."Bapak dimana? Katakan!" Kali ini nada suaraku mulai meninggi, geram sekali rasanya. Padahal jelas-jelas kudengar suara Mas Arjuna di dalam kamar ini. Lalu kenapa begitu aku masuk tak ada siapapun di dalam sini? Hanya Risa seorang!"Bu, saya kan sudah bilang kalau Bapak tidak ada di sini. Lagian Bu Rahma ini lucu sekali sih masa nyari Bapak ke sini." Wanita itu terkekeh. Lebih tepatnya pura-pura tertawa yang hanya untuk menutupi kegugupannya.Aku kembali memindai ke segala penjuru. Tak ada apapun yang digunakan untuk tempat sembunyi di dalam kamar ini.Hingga sepasang manik hitamku tertuju ke arah dua buah ventilasi yang melengkapi ruangan kamar."Tidak mungkin jika Mas Arjuna keluar lewat sana," batinku sembari menatap ventilasi kamar yang panjangnya tak lebih dari 30 cm dengan lebar yang hanya 15 cm.Aku menoleh ke arah Risa, sempat kulihat senyum sinisnya terbit di bibir bergincu merah merona. Namun begitu menyadari tatapanku berpindah ke wajahnya, senyum itu musnah dengan seketika."Nggak ada kan, Bu? Barangkali ibu mimpi buruk sampai terbawa-bawa kayak gini. Tapi gapapa kok, Bu. Saya memaklumi." Wanita berusia 25 tahun itu menampilkan senyum polos.Aku menghembuskan nafas kasar.Saat aku ingin melangkah keluar kamar, tiba-tiba saja kedua netraku melihat sebuah Cd laki-laki yang menyembul dari bawah bantal.Saat aku ingin mengambilnya, suara ketukan pintu terdengar dari arah depan. Risa melongokkan kepalanya keluar kamar, dan dengan cepat kuambil cd itu lalu kumasukkan ke dalam baju tidurku.jijik sebenarnya, tapi aku ingin memastikan siapa pemilik kain berbentuk segitiga itu."Itu kayaknya Bapak baru pulang, Bu. Saya buka pintunya dulu.""Nggak perlu!" Cepat aku menjawab, membuat Risa yang hendak melangkah menjadi diam."Baik, Bu." Wanita itu masih berusaha bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.Sekilas aku melirik jam yang menggantung di dinding. Dimana jarum jam menunjukkan hampir pukul setengah dua belas malam. Setelahnya, gegas aku melangkah keluar dan menuju ke arah depan.Di sepanjang perjalanan berkali-kali kuhela nafas dalam-dalam lalu ku keluarkan secara perlahan, berharap mampu sedikit saja meredakan gejolak emosi di dalam dada.Begitu aku sampai di balik pintu, dua buah kunci rumah masih menggantung di tempatnya."Assalamualaikum, Sayang." Suara Mas Arjuna terdengar saat pintu kubuka.Aku sedikit merasa bingung, bagaimana bisa Mas Arjuna keluar dari kamar Risa lalu saat ini sudah berada di luar rumah. Pakaian kerjanya masih membalut rapi tubuh lelaki itu."Waalaikumsalam," ucapku dengan pikiran yang terus menebak dan menerka-nerka.Mas Arjuna mengulurkan tangan kanannya agar kucium–seperti kebiasaan setiap harinya. Namun aku pura-pura tak tahu lalu melangkah terlebih dahulu sambil berucap, "Jam segini baru pulang, Mas?""Iya, Sayang. Tadi kan Mas sudah kabarin kamu kalau ada pertemuan mendadak," ucap Mas Arjuna, terdengar suara pintu ditutup lalu anak kunci kembali berputar.Seketika saja aku mengingat benda berbentuk persegi di dalam bajuku. Sengaja aku berhenti, menunggu langkah Mas Arjuna. Hingga pada akhirnya langkah kami sejajar. Kulingkarkan tangan kananku ke pinggang lelaki itu dan Mas Arjuna pun merangkul pundakku.Kami berjalan secara beriringan. Perlahan tanganku bergerak ke bawah, meraba area bokong Mas Arjuna. Dan benar saja, saat kuraba, tak kurasakan bokong Mas Arjuna berbalut kain segitiga.Fix!Ini adalah milik suamiku!"Mas, kamu pergi kerja kok nggak pakai celana dalam?"Langkah Mas Arjuna seketika terhenti. Ia menatapku dengan gugup, terlihat dengan jelas saat ia menelan saliva dengan susah payah."Kenapa gugup? Apa pertanyaanku salah? Aku raba kok kayak nggak pakai dalaman? Masa sih kamu berangkat kerja nggak pakai itu?" ucapku. Dalam hati aku bersorak-sorai kala melihat wajah gugupnya.Mas Arjuna seperti ingin berbicara, namun tak tau apa yang akan dikatakan olehnya."Pakai kok, Sayang. Masa iya kerja nggak pakai itu? Aneh dong." Mas Arjuna tertawa, tawa yang terkesan dipaksakan."Oh ya? Coba deh lihat, kok tadi tanganku nyentuh bokong kamu kayak polosan ya?""Ih, apa-apaan sih. Masa iya kamu suruh aku copot celana di sini. Nanti ada yang lihat.""Lah memang kalau ada yang lihat kenapa? Kita kan suami istri. Ada yang salah? Kan aku cuma memastikannya saja."Wajah Mas Arjuna semakin terlihat gugup. Kedua manik hitamnya bergerak kesana-kemari, seperti tengah berusaha mencari alasan yang tepat untuk diungkapkannya."Yaudah kalau nggak mau di sini, kita ke kamar saja. Biar aku nggak penasaran."Lagi, terlihat Mas Arjuna menelan salivanya meski pada akhirnya mengangguk juga.Akhirnya kami pun melangkah menuju kamar. Namun, begitu pintu kubuka, tiba-tiba Mas Arjuna berucap, "Bentar ya, perutku mules."Brak!Suamiku itu menutup pintu dengan begitu kerasnya, setelahnya dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju kamar mandi.Aku mengikutinya, namun begitu Mas Arjuna masuk, secepat kilat ia kembali membanting pintu kamar mandi dengan begitu kerasnya, membuat putraku yang tertidur pulas kini menangis meraung-raung."Pintar sekali kamu, Mas."Akhirnya aku pun melangkah menuju ranjang, meraih tubuh mungil itu lalu menimang-nimangnya dan kuberikan Asi agar putraku kembali tenang.****"Capek sekali rasanya." Suamiku menghembuskan napas berat. Setelahnya ia membaringkan tubuh di atas ranjang."Memang habis ngapain, Mas?"Pandangan lelaki itu yang semula tertuju pada langit-langit kamar seketika berpindah ke arahku begitu mendengar pertanyaanku."Ya habis kerja lah, Sayang. Memang habis ngapain lagi?""Oh, kirain.""Kenapa memang? Apa ada sesuatu?" tanya Mas Arjuna."Enggak," jawabku dengan singkat.Kemudian aku merubah posisi menjadi telentang. Kupejamkan kedua netraku, padahal isi kepalaku terus berkeliaran.Puluhan menit telah berlalu, suara dengkuran halus menelusup gendang telinga. Dengkuran halus yang berasal dari bibir Mas Arjuna. Aku memalingkan wajah agar bisa melihat keberadaan lelaki itu, dan ternyata kedua kelopak matanya telah terpejam.Aku tersenyum sinis, bisa-bisanya ia tidur di saat ia yang hampir kepergok olehku bermain dengan pembantu. Hingga tak terasa, jarum jam terus berputar. Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, dan kedua mata ini masih saja terjaga.Kejadian tadi benar-benar mengganggu otakku. Sampai-sampai rasa ngantuk yang tadi sangat terasa, kini terasa sirna.Akhirnya, aku memilih untuk memainkan ponsel. Dan yang kubuka pertama kali adalah aplikasi W******p. Kutekan menu status, dan ada nomor Risa baru saja update status satu menit yang lalu.[Baru saja bertemu, tapi harus pergi. Cobaan seperti apa ini, Tuhan?]Di akhir kalimat, terdapat rentetan emoticon seperti seseorang tengah menangis. Tak bisa dipungkiri, jantung seperti terasa berdetak lebih kencang. Dada terasa berdebar-debar.Baru saja status itu terpampang di depan mataku, tulisan yang dibuat oleh Risa itu langsung hilang. Aku yakin jika Risa telah menghapus status yang baru saja ia buat beberapa menit yang lalu.Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud
Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan
"Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar
"Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Rahma begitu melihat Risa dan Arjuna melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Risa menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Risa mendekat ke arah Rahma yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Risa dengan begitu lancarnya. Ia mengibaskan tangannya, seolah tengah menunjukkan beberapa perhiasan yang menghiasi jemarin dan pergelangan tangannya. Bahkan sebelum memutuskan menemui Rahma yang sudah di depan, Risa langsung mengeluarkan kalung dari balik kaos agar terlihat di manik hitam milik Rahma.Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, dan sepagi itu Rahma sudah kembali dari pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat pesanan. Setelah membawa masuk semua barang belanjaannya, Rahma melangkah menuju ke arah kamar. Melihat keadaan sang bayi yang ditunggu oleh salah satu tetangga Rahma. Singkat cerita, 100 kotak nasi sudah siap. Segera Rahma membawa keluar lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Gapapa kan, Bude, kalau Bude ikut antar buat gendong Rendy? Perjalanannya lumayan jauh, kasihan kalau aku dudukkan sendiri," ucap Rahma dengan nada sedikit tidak enak. Berbanding terbalik dengan tetangganya yang tersenyum dengan tulus. "Gapapa, Mbak Rahma. Ayo berangkat, biar nggak buru-buru nanti di jalan," ucap Bude Sumi. Rahma mengangguk, selanjutnya kedua perempuan dewasa itu pun melangkah menuju dimana mobil terparkir. Lalu detik kemudian, kendaraan roda empat itu mulai bergerak dan melaju membelah ramainya jalan raya. "Kalau Mbak Rahma banyak pesanan, Bude mau kok kalau
Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Rahma telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Rahma mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Rahma berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan dengan senyum merekah dan perasaan lega."Semoga saja sidang berikutnya Arjuna nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Ma?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Rahma berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap kalau se