POV 3
"Ris, sini. Ada yang ingin saya tanyakan," panggil Rahma pada sang pembantu yang tengah membersihkan hiasan guci yang ada di sudut ruang makan.Di sana, mereka tak hanya berdua. Ada Arjuna juga. Lelaki itu masih menyelesaikan sarapannya yang belum selesai. Sebenernya hanya tinggal tiga suap saja sepiring nasi itu habis."Ada apa, Bu?" tanya Risa ketika ia sudah berada di depan sang Majikan."Kemarin saya menemukan celana dalam laki-laki ada di kamar kamu."Deg!Seketika jantung Risa terasa seperti berhenti berdetak. Sekilas, Risa melirik ke arah Arjuna yang tampak menunduk dalam."Kata suami saya, kamu habis memasukkan laki-laki ke dalam kamar ya? Siapa? Kekasih kamu?" tanya Rahma yang bersikap pura-pura tidak tau.Risa terlihat gugup, ia sampai tak bisa berpikir jawaban apa yang harus ia katakan. Risa kembali melirik ke arah sang kekasih, dan detik berikutnya tampak Arjuna memberikan kode agar Risa mengangguk saja."I–iya, Bu. Saya minta maaf." Dengan perasaan kesal sekaligus gugup, Risa menjawab."Jangan seperti itu lagi. Saya tidak bisa mentolerir andai kamu ketahuan melakukan itu lagi. Ngerti?" Tegas, Rahma berucap. Dan Risa pun hanya mampu memberikan respon dengan anggukan kepala saja."Ya sudah, kembali bekerja.""Baik, Bu," jawab Risa. Kemudian, perempuan itu berbalik dan hendak menyelesaikan pekerjaan yang sempat terganggu karena panggilan dari sang Majikan.Setelah selesai sarapan, Arjuna pun berpamitan berangkat kerja. Sedangkan Rahma berjalan ke arah kamar untuk menemui putranya yang masih tertidur lelap di atas ranjang.***Rahma terduduk di tepi ranjang, memikirkan segenap rencana yang akan ia lakukan. Rencana untuk menguak suatu kebenaran. Penemuannya malam ini benar-benar membuat kepala perempuan itu berdenyut sakit. Mulai dari suara sang suami yang terdengar dari dalam kamar sang Pembantu, lalu disusul oleh mendapati celana dalam milik sang suami berada di sana. Dan kini ditambah oleh status sang ART yang tiba-tiba dihapus setelah dibaca oleh Rahma.Ada satu hal yang saat ini memenuhi isi kepala Rahma, yaitu mengenai bagaimana sang suami bisa keluar dari kamar sang pembantu, sedangkan ia berdiri di depan pintu. Rahma benar-benar merasa penasaran. Oleh sebab itulah Rahma memutuskan akan mencari tau secepatnya. Ia ingin mencari jawabannya."Sepertinya aku harus memasang cctv. Tapi tidak mungkin aku memasangnya saat Risa ada di rumah," lirih Rahma sembari sesekali melirik ke arah Rendy yang tengah tertidur pulas.Tok!Tok!Tok!Suara ketukan pintu membuat Rahma menoleh ke arah sumber suara."Bu, ini saya Risa.""Masuklah," titah Rahma. Hingga tak berselang lama derit pintu terdengar seiring daun pintu yang mulai terbuka.Terlihat Risa berjalan mendekat ke arahnya setelah menutup kembali pintu kamar."Ada apa, Ris?" Kali ini Rahma berusaha untuk bersikap biasa saja. Meski pada faktanya ia ingin sekali menjambak dan mencabik-cabik wajah cantik milik sang Art."Bu, apa boleh saya keluar sebentar? Teman-teman saya yang kebetulan merantau di kota ini ngajak untuk bertemu."Tepat sekali!Sepertinya Tuhan mendukung rencana Rahma untuk segera memasang kamera pengintai. Bibir Rahma tersenyum samar, setelahnya ia berucap, "Semua kerjaan sudah selesai?""Sudah, Bu.""Ya sudah, pergilah. Jangan pulang larut malam." Rahma memberi peringatan.Mendengar ucapan sang majikan tentu saja membuat kedua sudut bibir Risa tertarik ke atas."Baik, Bu. Paling lambat mungkin jam 8. Soalnya acara kumpul-kumpulnya jam 6 sore. Kebetulan acara ini diadakan di rumah teman Risa. Dia meminta bantuan untuk menyiapkan segala keperluannya. Kami harus belanja dulu lalu masak-masak," jelas Risa panjang lebar."Ya, pergilah.""Baik, Bu. Terima kasih, saya pergi sekarang ya, Bu."Rahma mengangguk.Setelah mendapatkan respon dari sang majikan, Risa melangkah pergi. Hingga akhirnya Rahma kembali memikirkan soal rencananya untuk memasang cctv.Nama Elisa seketika muncul di ingatannya. Rahma menepuk-nepuk kepalanya, bagaimana bisa dia baru ingat jika sahabatnya itu menjual aneka peralatan elektronik termasuk cctv.Bergegas Rahma mengambil ponsel yang tergeletak di atas bantal. Jemarinya dengan tergesa-gesa mencari kontak bernama Elisa–salah satu teman dekatnya dari SMA hingga saat ini.Begitu ketemu, Rahma langsung menekan menu panggil."Assalamualaikum, Rahma. Halo, ada apa?" Suara wanita dari seberang sana terdengar begitu panggilan diangkat setelah dering ketiga."Sa, bisa kirim karyawanmu untuk pasang cctv di rumahku?""Loh, bukankah rumahmu baru beberapa bulan yang lalu ganti cctv? Rusak lagi?""Enggak sih. Mau aku suruh pasang di kamar, Sa.""Di kamar? Buat apa? Jangan-jangan ....""Ish! Jangan mikir yang aneh-aneh kamu, Sa. Aku butuh cctv yang kecil sekali. Pokok yang membuat orang tidak menyadari jika ada cctv di kamar itu.""Kenapa? Apa kamu mencurigai suamimu dengan pembantu di rumahmu?"Telak!Tebakan Elisa tak meleset."Ya."Hembusan napas kasar terdengar dari seberang sana."Jangan bertindak gegabah, selidiki dan main cantik.""Iya, Sa. Makanya aku mau pasang cctv di kamar pembantuku itu. Pokoknya yang kecil saja ya. Kalau bisa suruh datang segera, takutnya Mas Arjuna keburu pulang," ucap Rahma sembari melirik sekilas ke arah jam yang menunjukkan pukul 1 siang."Iya, beres. 15 menit orang suruhanku bakalan tiba.""Oke, Sa. Makasih ya."Panggilan diputus setelah salam perpisahan.Kali ini Rahma bisa sedikit bernapas lega."Sudah, Bu. Sudah saya sambungkan sekalian ke ponsel ini." Lelaki yang merupakan karyawan Elisa menyerahkan ponsel Rahma kepada pemiliknya. "Baik, Mas. Terima kasih, ya. Kwitansinya mana?" Diserahkannya selembar nota pembelian kepada Rahma, dan bergegas wanita itu memberikan sejumlah uang yang tertera pada nota pembelian. Tak lupa ia juga menambahkan satu lembar uang pecahan 100 ribuan sebagai upah atau bonus atas tenaganya.Setelah lelaki itu pergi, Rahma melangkah masuk menuju kamar Risa. Kepala Rahma mendongak, mencari keberadaan benda kecil yang akan mengungkap kebusukan dua manusia tak berakhlak. Dua pasang cctv terpasang dengan sempurna. Satu menyorot langsung bagian ranjang, dan satunya mencakup satu ruangan."Pasti mereka tidak akan tau kalau ada cctv di dalam sini," ucap Rahma dengan bibir tersenyum puas. ****Bibir bergincu merah maroon itu tersenyum kala melihat sang kekasih sudah terduduk di salah satu kursi yang ada di cafe tempat mereka melakukan janjian. Bergegas R
Satu minggu telah berlalu. Sejauh ini Rahma tidak mendapatkan satu bukti apapun yang menyatakan ada perselingkuhan di antara mereka. "Apa mereka melakukan pertemuan di luar ya?" lirih Rahma menerka-nerka."Sepertinya iya, setelah malam itu Risa sering sekali berpamitan pergi keluar. Apalagi kepulangan Mas Arjuna dengan Risa hanya selisih hitungan puluhan menit." Secara Diam-diam dan tanpa sepengetahuan mereka, Rahma mengamati. Rahma pun kembali memutar otak, mencari cara yang tepat untuk menjebak sang suami dan asisten rumah tangganya. Rahma sudah berusaha mencari bukti di ponsel, namun nihil. Ia tak mendapati apapun. DretDretPonsel yang ada di atas nakas bergetar. Ada panggilan masuk. Gegas Rahma meraih ponselnya. Bibir wanita itu mengulas senyum saat melihat nomor sang sahabat terpampang sebagai pemanggilnya. "Assalamualaikum, Sa." Rahma mengucapkan salam begitu panggilan dari Elisa terhubung. "Waalaikumsalam, Ma. Bagaimana?" "Apanya?""Ya itu, yang kemarin. Apa kamu sudah
"Pantas saja jika Mas Arjuna tertarik, pakaian Risa saja seperti itu. Benar-benar cocok! Mas Arjuna seperti sampah dan Risa adalah penampungnya." Rahma tersenyum sinis."Ternyata seleramu begitu menjijikkan, Mas," lirih Rahma. Selanjutnya, wanita itu menutup aplikasi rekaman cctv lalu kembali merebahkan tubuhnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia teringat perihal ucapan Elisa yang menyangkut perjanjian pernikahan. Rahma bangkit dari ranjang, setelahnya ia berjalan keluar dan langsung menuju ke ruang kerja sang suami yang letaknya persis di samping kamar mereka. Rahma bergegas masuk, tak lupa ia mengunci pintu ruangan kerja sang suami. Kemudian, ia pun melangkah dan mendudukkan bokongnya di kursi yang didepannya telah tersedia meja kerja berikut dengan komputer dan alat printer.Cepat, Rahma mengetikkan huruf demi huruf hingga terangkai menjadi kalimat. "Bismillah, semoga saja rencanaku berhasil," lirih Rahma sembari menatap layar komputer. Ia kembali membaca kalimat yang ia tulis. M
Setelah semuanya selesai, Rahma memutuskan untuk segera merapihkan meja komputer seperti sedia kala, dan selanjutnya ia kembali ke kamar.Perempuan itu terus berjalan dengan sesekali menatap ke arah lembaran kertas dan senyum tipis terpahat di bibir itu, sesampainya di kamar, wanita itu gegas mendudukkan bokong di tepi ranjang setelah mengambil ponsel yang ada di dalam sakunya. Sejenak Rahma memandangi wajah sang bayi, dan seketika saja dada wanita itu terasa begitu sesak. Tangan Rahma terulur, mengusap lembut kepala sang anak dengan perasaan hancur. "Maafkan Mama ya, Nak, jika setelah ini kamu akan tumbuh tanpa kehadiran sosok Papa. Tapi Mama janji, kamu tidak akan merasa kekurangan kasih sayang. Mama akan menjadi Mama sekaligus Papa untuk kamu." Rahma berucap pelan, tanpa sadar kedua kelopak matanya mulai berkaca-kaca seiring rasa sesak yang kian mendera. Ah, air mata memang tidak bisa menyembunyikan sedalam apa rasa sakit yang dirasa. Rahma menghela napas dalam-dalam, setelahn
Dret DretPonsel yang sedari tadi berada di tangan Risa bergetar, ada sebuah pesan masuk. Dan begitu dibuka olehnya, sang kekasihlah si pengirim pesannya. [Masukkan semua serbuk itu ke dalam teh.] Sebuah pesan yang dikirim oleh Arjuna membuat Risa tersenyum. Belum sempat ia membalas pesan Arjuna, terdengar suara ketukan pintu dan suara sang majikan yang memanggil namanya. Gegas Risa bangkit dari pembaringan lalu melangkah menuju pintu. "Ada apa, Bu? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Risa begitu pintu terbuka. Nada suaranya begitu hormat dan patuh, selayaknya seperti seorang pembantu yang menghormati majikan."Ris, tolong buatkan kopi sama teh hangat ya. Sekalian tolong antarkan ke kamar." "Baik, Bu." Begitu sang majikan pergi, Risa kembali masuk ke dalam kamar. Wanita itu menyingkap kasurnya lalu mengambil obat yang berupa serbuk yang sejak tiga hari yang lalu diberikan oleh Arjuna padanya. Rahma tersenyum sinis, bayangan dirinya akan kembali mereguk kenikmatan di atas ranj
Mendengar kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibir Rahma, membuat jantung Risa dan Arjuna berdegup kencang. Dua manusia tak berhati itu pun tak lagi bisa menyembunyikan kegugupannya, bahkan mereka terlihat salah tingkah. Dan pemandangan itu tertangkap di kedua iris hitam milik Rahma. Tentunya membuat Rahma tersenyum samar. Risa akhirnya lebih memilih untuk beranjak dari tempat duduknya, dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju kamar."Mas berangkat dulu ya, Sayang. Udah siang," ucap Arjuna sembari melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Belum Rahma menjawabnya, Arjuna langsung beranjak dari kursi–mengulurkan tangan ke arah Rahma–lalu melangkah pergi setelah sang istri mencium punggung tangannya."Mas, tunggu!" Kembali dada Arjuna berdebar-debar.Langkah lelaki itu terhenti, lalu dengan ragu memutar tubuh, dan terlihatlah sang istri yang melangkah ke arahnya dengan memasang wajah datar. "A–ada apa, Sayang?" Tergugup Arjuna bertanya. "Aku nanti mau pergi sama
"Apa?" tanya Elisa dengan cepat. Ia penasaran dengan ide yang terbersit di dalam otak Rahma."Kasih aja minuman pencuci perut. Nah, nanti kan si Arjuna pasti terus-terusan mengalami sakit perut tuh. Nah, di saat dia ingin ke toilet, mintalah tanda-tangannya."Rahma terdiam sesaat, hingga tak butuh waktu lama untuk bibir itu tersenyum sembari menatap ke arah Elisa. "Idemu bagus juga. Sumpah, aku nggak kepikiran sama sekali loh," ucap Rahma dengan begitu antusias. Elisa pun tersenyum mendengar sahabatnya kembali menerima masukan darinya. "Kamu setuju?" Rahma mengangguk cepat dan mantap. "Yaudah, kalau begitu sekalian aja kita mampir ke toko obat buat beli itu. Nggak mungkin dong kamu bakalan nyuruh pembantu bahenolmu untuk belikan obat sakit perut?" "Ha ha ha, ya enggak lah. Kita berhenti saja sekalian. Di depan sana kayaknya ada toko obat di seberang jalan." Elisa mengangguk-angguk, hingga beberapa menit kemudian, kendaraan roda empat itu mulai menepi dan berhenti di tepi jalan.
"Aku punya niat untuk menggerebek Mas Arjuna saat begituan sama Risa. Kalau mereka janjian di luar, pasti aku geraknya kesusahan. Tau sendiri kan, aku ada bayi. Nggak bisa keluar sesuka hati. Jadi aku akan melakukan cara ini di rumah saja." Sontak saja Elisa menoleh ke arah Rahma. Beberapa pertanyaan muncul di benak wanita itu, namun ia memilih untuk diam terlebih dahulu. Mendengar setiap kata dan kalimat yang keluar dari bibir Rahma."Rencananya, setelah aku mendapatkan tandatangan Mas Arjuna, mengambil alih semua perhiasan milik Risa, aku akan memberikan serbuk obat pe rang sang ini ke minuman keduanya. Kalau mereka tak tahan, pasti melakukannya di rumah." Rahma selanjutnya menceritakan perihal Risa yang memberikannya obat tidur agar bisa leluasa bercinta dengan suaminya. "Aku yakin, dia akan memberikan aku minuman yang ada obat tidurnya itu. Nah, setelah aku tertidur, pasti mereka akan melakukannya di rumah. Kan nggak kuat kalau harus keluar cari hotel."Elisa mengangguk-angguk, mu