Satu minggu telah berlalu. Sejauh ini Rahma tidak mendapatkan satu bukti apapun yang menyatakan ada perselingkuhan di antara mereka.
"Apa mereka melakukan pertemuan di luar ya?" lirih Rahma menerka-nerka."Sepertinya iya, setelah malam itu Risa sering sekali berpamitan pergi keluar. Apalagi kepulangan Mas Arjuna dengan Risa hanya selisih hitungan puluhan menit." Secara Diam-diam dan tanpa sepengetahuan mereka, Rahma mengamati.Rahma pun kembali memutar otak, mencari cara yang tepat untuk menjebak sang suami dan asisten rumah tangganya.Rahma sudah berusaha mencari bukti di ponsel, namun nihil. Ia tak mendapati apapun.DretDretPonsel yang ada di atas nakas bergetar. Ada panggilan masuk. Gegas Rahma meraih ponselnya. Bibir wanita itu mengulas senyum saat melihat nomor sang sahabat terpampang sebagai pemanggilnya."Assalamualaikum, Sa." Rahma mengucapkan salam begitu panggilan dari Elisa terhubung."Waalaikumsalam, Ma. Bagaimana?""Apanya?""Ya itu, yang kemarin. Apa kamu sudah mendapatkan bukti perselingkuhan mereka?" tanya Elisa.Rahma menghembuskan napas kasar. Hingga tanpa perlu harus memberikan jawaban, Elisa bisa menarik kesimpulan."Rasa-rasanya mereka masih enggan untuk melakukan hal menjijikkan itu di rumah, mengingat kamu hampir saja memergoki mereka. Aku kok kepikiran kalau mereka melakukan pertemuan di luar ya," ucap Elisa yang ternyata memiliki pemikiran yang sama dengan Rahma."Aku juga mikirnya gitu, Sa. Seminggu ini sih semua aman-aman saja. Hanya saja setelah kejadian itu, Risa sering sekali pamit keluar bertepatan dengan jam istirahat Mas Arjuna," ucap Rahma."Kalau pun nggak siang waktu istirahat, pasti sore hari waktu Mas Arjuna pulang dari kantor. Dan jika Risa keluar sore, pasti pulangnya nggak berselang lama dengan kepulangan Mas Arjuna.""Fix! Mereka ketemu di luar!" Seruan dari Elisa terdengar begitu kencang, membuat tangan Rahma secara refleks menjauhkan ponsel dengan daun telinga."Kenceng banget, Sa. Berdengung ini telingaku." Mendengar ucapan Rahma, seketika tawa Elisa meledak begitu saja."Rahma, tapi kamu sudah mengamankan semuanya kan?"Kening Rahma berkerut, lalu ia pun berucap, "Mengamankan apa maksud kamu, Sa?""Semua harta kalian. Jangan sampai harta itu jatuh ke tangan suamimu. Kamu harus mengamankan semua harta itu untuk masa depan Rendy dan Manda, Ma. Jangan sampai selingkuhan suamimu itu menikmati setiap hak milik kedua anakmu."Rahma menepuk pelan jidatnya."Ah, bagaimana bisa aku melupakan hal sepenting itu? Untung saja kamu mengatakannya, Sa. Kalau enggak, entahlah," ucap Rahma.Sungguh, ia sama sekali tidak memikirkan soal harta itu, yang ada di kepalanya hanya lah ingin memergoki suami dan selingkuhannya yang merupakan art di rumah mereka.Untunglah Rahma memiliki sahabat yang mengingatkan soal mengamankan harta."Sambil kamu menyelediki suamimu, kamu mulai saja mengurus semuanya, Ma. Mending kamu bikin saja surat perjanjian, dimana surat perjanjian itu bertuliskan kalau seluruh harta akan jatuh ke tangan pihak yang dikhianati."Rahma masih terdiam, mencerna setiap kata yang ia dengar."Kamu paham kan maksudku?""Ya, aku paham Sa. Kalau hanya kusimpan sertifikat rumah dan BPKB mobil beserta motor, itu terlalu beresiko. Masih bisa digugat dan dituntut sebagai harta gono gini. Sepertinya idemu sangat cocok. Apalagi kalau surat perjanjian itu ditandangani oleh Mas Arjuna dan bermaterai. Pasti lebih kuat di mata hukum.""Nah, tepat sekali! Cepat-cepat saja kamu siapkan semuanya, nanti kamu atur saja gimana caranya agar bisa mendapatkan tandatangan suamimu tanpa sepengetahuannya. Karena ... kalau dia tau kamu membuat perjanjian itu, tentu dia akan menolaknya. Iya kan?" ucap Elisa yang lagi-lagi dibenarkan oleh Rahma."Makasih ya, lain kali jika aku membutuhkan masukan darimu, jangan pernah bosan ya.""Haha, gampang. Bagaimana pun juga kamu sudah kuanggap lebih dari seorang sahabat. Aku nggak mau kalau kamu dan kedua anakmu hidup menderita. Enak aja, suamimu seneng-seneng sedangkan kalian menderita."Tiba-tiba saja suara derap langkah sayup-sayup terdengar di telinga Rahma."Aku matikan dulu ya, Sa. Sepertinya Risa baru saja pulang.""Iya, gapapa. Sehat-sehat ya, jangan gegabah dan hancur. Ada Manda dan Rendy yang lebih membutuhkanmu."Rahma tersenyum penuh haru, meskipun Elisa yang berada di seberang sana tak bisa melihat senyuman di bibirnya.Di saat Rahma kembali memastikan jika sang bayi masih tertidur, Rahma berjalan mengendap-endap untuk masuk ke dalam rumah.Wanita berjaket coklat dengan celana kulot panjang itu bernapas lega saat berhasil melewati ruang tamu. Sejenak ia mendongak–menatap ke arah tangga–memastikan jika tak ada yang melihat kedatangannya."Huh, aman!" batin Risa sembari menepuk pela dadanya yang berdebar-debar.Akan tetapi, saat Risa akan kembali mengayunkan kaki, tiba-tiba saja suara Rahma kembali membuat dada Risa berdebar-debar."Baru pulang belanjanya, Ris?" tanya Rahma sembari menuruni anak tangga satu per satu, hingga akhirnya sampailah ia berada di anak tangga terkahir."Iya, Bu. Maaf kalau lama, tadi harus muter-muter pasar buat cari bahannya. Waktu mau pulang, nunggu ojek juga nggak datang-datang," ucap Risa berusaha setenang mungkin."Kan saya sudah bilang kalau ke pasar bawa motor saja. Gapapa loh motor saya dipakai." Kali ini Rahma berjalan mendekat ke arah Risa yang tampak gugup, namun perempuan itu berusaha untuk bersikap tenang. Namun meski demikian, ditangkap pada kedua iris hitam milik Rahma ketika wajah Risa semakin tampak pucat."Kamu belanja apa saja? Coba saya cek, barangkali ada yang kurang."Rahma ingin mengambil kantong kresek merah yang ditenteng oleh Risa. Akan tetapi, Risa langsung menjauhkan kantong kresek itu."Ada ikannya, Bu. Kalau dibuka di sini takutnya bau amis.""Halah gapapa. Cuma dibuka aja kok."Rahma kembali ingin mengambil kantong itu, namun lagi-lagi Risa menahannya."Ris! Berikan!" Nada suara Rahma begitu menyentak."Ba–baik, Bu. Maaf ...." Risa menyerahkan kantong tersebut. Lalu dengan cepat Rahma mengambilnya dan membukanya."Loh, kok isinya kayak gini?!" Rahma menatap isi kantong kresek yang ternyata hanya berisi bekas-bekas kantong kresek yang jumlahnya banyak."Ris? Apa ini?" Rahma mengeluarkan satu per satu kantong itu sembari sesekali menatap penuh selidik ke arah Risa.Lagi-lagi Rahma hanya bisa menggeleng saat mendapati bongkahan batu berada di bagian paling bawah.Sebenarnya Rahma sudah menebak, jika Art-nya itu tak hanya pergi ke pasar. Namun Rahma juga curiga jika Risa bertemu dengan suaminya di luar sana. Mengingat Risa pergi lebih dari 2 jam. Apalagi ada sebuah hotel bintang tiga yang jaraknya tak jauh dari pasar. Hanya saja ia cukup terkejut karena pergi ke pasar hanyalah alasan belaka."Ma–maaf, Bu. Itulah sebabnya kenapa saya tadi tidak memberikan kantong kresek ini ke Ini. Di jalan tadi saya baru menyadari jika kantong ini tertukar dengan pemilik toko, Bu. Ah, iya. Begitulah, Bu. Kantong itu tadi tertukar.""Oh, ya? Masa kamu tidak menyadari sih?""Beneran, Bu. Soalnya itu ada batunya, jadi sama beratnya."Rahma mencebik, kemudian ia tersenyum sinis."Yaudah, kamu mau ambil kembali barang belanjaanmu sekarang?""Kan kalau jam segini udah tutup, Bu. Jadi besok Risa baru bisa mengambilnya."Sebenarnya Rahma ingin membuat Risa mati kutu dengan pertanyaan-pertanyaannya. Akan tetapi, Rahma memilih untuk pura-pura percaya saja.Belum sempat Rahma berucap, tiba-tiba suara tangisan Rendy terdengar. Bergegas Rahma melangkah lalu menaiki setiap anak tangga."Huh, syukurlah, selamat ...." Lagi, Risa mengusap dadanya yang berdebar-debar.Bergegas ia melangkah tergopoh-gopoh menuju kamar, tentu setelah memasukkan kembali seluruh kantong kresek yang tadi dikeluarkan oleh Rahma tadi.Begitu masuk kamar, Risa langsung mengunci pintu. Wanita muda itu bergegas melangkah menuju ranjang.Ia lepaskan satu per satu jaket dan celana kulot yang dipakainya tanpa menyadari ada sosok yang memantaunya melaluinya sambungan cctv."Astaga ... benar-benar niat banget ini orang," lirih Rahma. Ia menggelengkan kepala, sebab begitu celana kulot dan jaket dilepaskan, ternyata Risa hanya memakai kaos merah yang ketat dengan belahan dada rendah. Bahkan, karena terlalu ketat dan rendahnya, dua benda kenyal di dada Risa menyembul dengan begitu jelasnya.Tak hanya itu, kes3ksian Risa ditambah dengan dirinya yang hanya memakai celana levis yang panjangnya tak lebih dari 30 cm.Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud
Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan
"Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar
"Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Rahma begitu melihat Risa dan Arjuna melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Risa menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Risa mendekat ke arah Rahma yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Risa dengan begitu lancarnya. Ia mengibaskan tangannya, seolah tengah menunjukkan beberapa perhiasan yang menghiasi jemarin dan pergelangan tangannya. Bahkan sebelum memutuskan menemui Rahma yang sudah di depan, Risa langsung mengeluarkan kalung dari balik kaos agar terlihat di manik hitam milik Rahma.Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, dan sepagi itu Rahma sudah kembali dari pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat pesanan. Setelah membawa masuk semua barang belanjaannya, Rahma melangkah menuju ke arah kamar. Melihat keadaan sang bayi yang ditunggu oleh salah satu tetangga Rahma. Singkat cerita, 100 kotak nasi sudah siap. Segera Rahma membawa keluar lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Gapapa kan, Bude, kalau Bude ikut antar buat gendong Rendy? Perjalanannya lumayan jauh, kasihan kalau aku dudukkan sendiri," ucap Rahma dengan nada sedikit tidak enak. Berbanding terbalik dengan tetangganya yang tersenyum dengan tulus. "Gapapa, Mbak Rahma. Ayo berangkat, biar nggak buru-buru nanti di jalan," ucap Bude Sumi. Rahma mengangguk, selanjutnya kedua perempuan dewasa itu pun melangkah menuju dimana mobil terparkir. Lalu detik kemudian, kendaraan roda empat itu mulai bergerak dan melaju membelah ramainya jalan raya. "Kalau Mbak Rahma banyak pesanan, Bude mau kok kalau
Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Rahma telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Rahma mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Rahma berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan dengan senyum merekah dan perasaan lega."Semoga saja sidang berikutnya Arjuna nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Ma?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Rahma berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap kalau se