“Lu harus cuti,” ucap Nadio saat mereka keluar dari ruang perawatan. “Gua harus kerja.” “Pake kursi roda macam itu?” tanya Nadio tak percaya. Karmila mengangguk dengan mantap. Jari Karmila lincah mengetik di keypad. Tepat saat keduanya sampai di tempat parkir, ponsel Karmila berbunyi. “Selamat pagi,” sapa Karmila kepada sang penelepon. “Selamat pagi, Bu. Saya sudah sampai depan rumah sakit. Di mana posisi Ibu?” tanya seseorang yang ternyata sopir taksi online. “Saya tunggu di tempat parkir, Pak,” jawab Karmila lalu kedua mata awas ke arah gerbang rumah sakit. Sesaat kemudian, ponsel dimatikan. “Lu, kerja dengan pakaian kayak gini? Kaga mandi?”tanya Nadio dengan ekspresi tercengang. “Gua cuci muka di warung tadi. Gua harus kerja apa pun keadaan gua,” jawab Karmila lantang, tetapi di telinga Nadio bernada memelas. “Okey, itu mau lu. Ini buat jaga-jaga kalo perlu ambulans,”sahut Nadio sambil memasukkan sebuah amplop cokelat ke tas Karmila. Kemudian, pria tersebut gegas menuju moto
Karmila gegas menyelesaikan tugas. Namun, dia sudah beberapa kali menghapus dan mengetik ulang data di komputer. Berapa lembar kertas dia pakai menuliskan kembali kata-kata yang terlupa. Namun, itu pun sering kali diremas dan berakhir di keranjang sampah. Nadio melihat semua tingkah laku Karmila dari jendela dan gemas juga dibuatnya. Karmila tak sadar ada sepasang mata elang sedang mengawasinya. Dia sedang iseng putar-putar bolpoin di jari jemari lalu tiba-tiba terlempar dekat pintu. Saat dia menggerakkan kursi roda dan akan mengambil, akhirnya pandangan mata mereka bertemu. Nadio tersenyum telah berdiri depan pintu. Pria itu mengambil bolpoin lalu melangkah menghampiri meja Karmila. Seketika wanita ini duduk terpaku, raut wajahnya bersemu merah. “Hmm ... ada apa, Lu? Gelisah banget?” tanya Nadio tepat di depan meja. Karmila jadi kikuk, tak sanggup harus ngomong apa? Hanya bisa tersipu malu karena tingkahnya ketahuan Nadio. Namun juga ada rasa marah di hatinya. “Beresin berkas lu
Nadio seketika tersadar dan buru-buru melangkah menuju mobil lalu masuk. Dia mengambil botol air mineral dari dalam tas, membuka tutupnya lalu meminum separuh isinya. Tampak pria berparas oriental itu mengembuskan napas dan memandang taksi yang membawa Karmila telah menjauh. Di otak Nadio sekarang, hanya ada satu keinginan. Dia harus berbicara empat mata dengan Karmila. Keputusannya mengajak makan siang di luar dan membahas hal tersebut, tak tepat. Ponsel Nadio berbunyi, dia melihat nama penelepon. “Ya, gimana pesanan saya?” Seorang wanita dari seberang telepon berkata,”Sudah saya packing, Pak. Maaf, boleh tahu nomor telepon penerima?” “Okey, saya kirimkan alamatnya. Tolong dirahasiakan nama saya,” jawab Nadio yang memutuskan hubungan langsung. Jemari tangannya segera mengetik nama dan nomor kontak lalu mengirimkannya. Tak berapa lama pesan telah dibaca dan dibalas. Kini, Nadio gegas masuk mobil lalu memacunya ke arah kantor. Sesampai ke tempat parkir, Nadio melihat mobil yang men
“Apaan sih, gua kaga bisa napaass ...!” teriak Karmila sambil mengurai dekapan Nadio. “Lu tau, gua marah karena apa?” tanya Nadio sambil mendorong kursi roda ke arah sofa. Kemudian, Nadio mengunci kursi roda dan duduk tepat di hadapan Karmila. Pandangan pria ini mengintimidasi tepat ke manik mata Karmila.Rasa sakit pada kaki dalam balutan gips, terkalahkan kejengkelan hati Karmila atas kelakuan Nadio sedari pagi. Wanita ini benar-benar dalam posisi siap meledak. Bagai magma gunung berapi aktif yang siap meletus. Itu tergambar jelas bagai ikan berenang dalam aquarium. Ekspresi wajah Karmila tak main-main soal ini.Nadio bukan tak menyadari hal tersebut. Namun, jiwa otoriter pria berparas oriental tersebut bergejolak. Dia harus bisa menguasai Karmila sebagai bawahan dan tak akan biarkan kesenangannya berakhir. Karmila tak boleh resign, dengan cara apa pun.“Stop! Gua resign detik ini juga. Permisi!” Karmila membuka kunci tuas dan segera memutar kursi roda ke arah pintu. ‘’Tiiit ...!
Gila bener! Si bos, lengkap betul belinya. Berasa seserahan. Dari ujung kaki sampe kepala, batin Vivian yang semakin merasa aneh.“Bukannya pertemuan dengan klien, ya?” tanya Karmila sambil menenteng mini dress dengan tali spaghetti. Vivian seketika kaget melihat barang yang ditenteng di depan matanya. Wanita bertubuh subur tersebut segera mengirim pesan kepada sang bos, daripada dia salah jawab.[Maaf, Pak. Karmila tanya, benar mau meeting? Mini dress tali spanghetti, tak terlalu seksi?]Sementara itu, Karmila masih menunggu jawaban dari Vivian. Wanita berambut ikal tersebut menempelkan pakaian bermotif bunga sakura ke tubuhnya. Dia pun geleng-geleng kepala dengan mulut berdecak. Pakaian itu pun diletakkan di meja.“Tau kaga. Hari ini adalah teraneh buat gua, Kak. Kirain bos doang, kaga taunya, lu juga,” ucap Karmila lalu memutar kursi roda akan ke pintu.“Lu, mau ke mana? Tunggu bentar! Gua masih tanya tema meeting. Kayaknya salah info,” jelas Vivian gugup sambil menatap layar ponse
Brengsek! Umpat Karmila dalam hati. Keinginan resign wanita ini semakin kuat. Sehabis meeting, dia akan mengutarakan langsung kepada Nadio dan akan pulang ....Karmila baru tersadar bahwa dia harus segera pindah indekos. Keselamatannya terancam, jika masih sekamar dengan Lisa. Aku mau ke mana? Tanya Karmila dalam hati dan buliran bening pun menetes dari kedua sudut mata.Namun, wanita berambut ikal tersebut buru-buru menghapus air matanya. Saat dilihatnya, Nadio telah masuk bersama Sofie.“Okey, Sof. Thanks, ya. Gua langsung cabut,” pamit Nadio sembari menghampiri Karmila.Sofie tersenyum menggoda lalu berucap,”You ‘re welcome. Kalian bisa pesan gaun pengantin dimari. Harga spesial, deh.”“Tukan, mau, lu. Otak dagang!” seru Nadio gegas mengangkat tubuh Karmila. Wanita ini pun kaget dan langsung menjerit. Namun, Nadio hanya tersenyum tipis menatap Karmila sekilas. Pria berparas oriental tersebut beranjak keluar dengan membopong tubuh Karmila. “Bay, bay, Cantik. Gua tunggu fitting gaun
“Terima kasih kembali. Gak usah diganti, Bu. Okey, saya tinggal ke lobby kembali. Kalo ada apa-apa, bisa hubungi saya pake telepon paralel,” jelas sekuriti.“Okey, Pak. Terima kasih,” balas Karmila dan ditanggapi anggukan oleh sekuriti. Pria berambut cepak ini pun beranjak pergi.Wanita berambut ikal ini mulai sibuk kembali dengan tugasnya. Beberapa saat kemudian, seorang kurir pengantar makanan datang dengan diantar sekuriti. Begitu barang telah diterima Karmila, kurir dan sekuriti berpamitan. Sebuah goodie bag besar penuh makanan dari resto ternama telah berada di hadapan Karmila.Dia kini hanya bisa termenung, memikirkan apa yang ada dalam otak si bos. Akhirnya, dia pun bergelut dengan tugas kembali. Berkas selesai dikerjakan bersamaan dengan kedatangan Vivian. Kepala divisi advertising tersebut tampak tersenyum lebar, begitu pintu dibuka oleh Karmila.“Enak, ya, meeting dalam kamar penuh makanan gini. Berasa liburan,” sindir Vivian saat kedua bola mata menangkap penampakan goodie
“Ya, Pak. Saya minta maaf. Baru mau telepon minta izin, udah keduluan Bapak,” jawab Vivian salah tingkah. Karmila tersenyum simpul karenanya, meski tak kalah gemetar. “Okey. Saya tunggu, kalian ke mess saya. Saya pengen tahu,” tegas Nadio. Sambungan telepon terputus dan meninggalkan Vivian yang tertegun. Mematung. Karmila menatap heran ke arah atasannya tersebut. Dia mendekat lalu menggerak-gerakkan telapak tangan tepat di depan kedua mata Vivian. “Kak! Lu kenapa?” tanya Karmila cemas. Kedua tangan segera memegang bahu Vivian lalu menggoyang-goyangkan. “Kaaak ...!” “Eh, iya, ya ... hm,” sahut Vivian layaknya orang bingung. “Lu, kenapa, Kak? Bentar.” Karmila segera mengambil aroma terapi dari dalam tas. Kemudian mengusapkan sedikit di ujung hidung dan kedua pelipis Vivian. “Terima kasih. Gua bingung. Bos suruh gua ke sana sama karyawan baru. Gimana caranya? Orang bohong kaga enak, kalo kena jebak,” keluh Vivian. Tak lama kemudian, terdengar ponsel Vivian berbunyi. Kedua matanya lan