Share

HAMPIR CELAKA

Sebuah taksi berhenti di depan sebuah indekos. Karmila turun, lalu melangkah ke arah pintu gerbang. Sebelum sempat langkah kaki memasuki ke halaman, terlihat olehnya dua orang lelaki kekar sedang berbicara serius dengan Lisa.

Dari kejauhan, Karmila cukup mengenali siapa dua orang lelaki tersebut. Mereka adalah bodyguard yang sempat Karmila temui di tempat pesta semalam. Karmila balik arah dan beruntung taksi yang ditumpangi barusan, belum beranjak pergi. Dia pun mengetuk kaca taksi.

‘Tok … tok … tok’

Kaca taksi terbuka, Pak Sopir menoleh ke arah Karmila. “Ya, Neng, ada barang tertinggal?” tanyanya.

“Aku ikut lagi, Pak.”

Karmila masih menoleh ke arah belakang karena khawatir ada yang mengikuti. “Silakan, Neng,” ucap Pak Sopir. Karmila segera membuka pintu belakang lalu masuk taksi.

“Pertokoan Genteng Biru ya, Pak.”

“Baik, Neng,” sahut Pak Sopir.

Karmila menyalakan ponsel dan bermaksud menghubungi seorang teman. Benda pipih tersebut menyala bersamaan dengan panggilan masuk. Sebuah nomor tak dikenal tertera di layar. Beberapa kali panggilan tak dihiraukan, akhirnya Karmila memberanikan diri menjawab.

“Hallo, selamat pagi,” ucap Karmila ragu-ragu.

“Karmila Ardiana? Lu di mana? Gua Nadio, yang nolongin lu semalam,” sahut seseorang di ujung telepon.

“Nadio? Ehm ...,” sejenak Karmila mengingat sesuatu, “oh ya, eh lu! ... Mau ngapain lagi?”

“Lu di mana sekarang?” tanya Nadio lagi, dengan nada cemas.

Karmila memberikan sebuah nama rumah makan. Selama perjalanan wanita ini hanya diam. Dia bingung dengan situasi yang sedang dialaminya sekarang. Mau menyalahkan siapa lagi atas kejadian semalam, Karmila hanya bisa menyalahkan diri sendiri.

Dia yang terlalu percaya kepada Lisa dan nyaris celaka. Sekarang wanita muda ini mencoba berpikir jernih, agar dapat jalan keluar terbaik. Hari ini, dia harus berangkat kerja, sementara sekarang, nggak bisa pulang ke indekos.

*****

Tersisa suapan terakhir, saat Nadio Mahatma memasuki rumah makan. Mata Karmila terbelalak dengan penampilah sang pria yang maskulin, jauh berbeda dengan saat dirinya meninggalkan rumah mewah tersebut. Nadio menghampiri Karmila.

“Kaki lu, gimana? Kita harus ke dokter!” Tatapan Nadio tajam ke arah manik mata Karmila, sukses membuat jantung sang wanita berdebar lebih kencang.

“Gua nggak sakit, gua sehat. Kenapa harus ke dokter? Gila lu!” Karmila pikir kesakitan yang dideritanya bisa disembuhkan dengan pergi ke tukang pijat, tak perlu konsultasi dokter. Itu berarti dia tak perlu cuti kerja.

Tanpa berucap sepatah kata, Nadio melangkah ke meja kasir lalu membayar semua tagihan Karmila. Hanya satu yang ada di pikiran Nadio, mereka harus ke dokter. Dia melirik kaki kanan Karmila yang bengkak.

Meskipun dia tak tahu persis penyebab kaki Karmila jadi bengkak, tetapi dia harus bertanggung jawab. Entahlah, kenapa semalam dirinya menjadi khilaf, saat melihat tubuh Karmila yang molek. Hingga kaki Karmila cidera demi mempertahankan diri.

“Kenapa lu kaga pulang? Takut? Kalo perlu gua yang ngomong ke orang tua lu," tegas Nadio, tetapi bernada khawatir.

“Gua merantau di sini, gua indekos. Tadi sempat pulang, tapi teman gua yang jebak semalam, ada bersama bodyguard yang ngejar gua.” Tatap mata Karmila yang menyiratkan ketakutan, tak urung membuat hati Nadio tereyuh.

“Ikut gua, sekarang!” Nadio menarik tangan Karmila tanpa menoleh dan segera beranjak pergi.

“Ke mana?” tanya Karmila berusaha melepas pegangan Nadio, tetapi sia-sia. Sang pria semakin mempererat pegangannya. Karmila terpaksa mengikuti langkah kaki Nadio, meski dengan tertatih-tatih. Dalam keadaan bingung, Karmila dibonceng Nadio ke arah pusat kota.

“Pegangan yang kencang!” teriak Nadio sembari menarik tangan Karmila ke arah pinggangnya.

Mau nggak mau, Karmila berpegangan erat, karena motor dalam kecepatan tinggi. Sekitar dua puluh menit berkendara, motor berhenti di depan sebuah klinik kesehatan. Nadio sibuk menghubungi seseorang dengan ponselnya.

“Ayo turun! Niat sembuh, kan? Mau pakai kursi roda?” tanya Nadio sembari memasukkan ponsel ke kantung celana. Pria ini tampak tersenyum penuh arti.

Karmila yang masih kesal dengan aksi penculikan Nadio turun perlahan. Kaki kanan semakin terasa nyeri dan berasa berat. Tampak kakinya besar sebelah karena bengkak.

“Auch!” jerit Karmila tertahan, tetapi jelas terdengar oleh Nadio.

“Sakit? Maaf!” ucap Nadio seketika membopong tubuh Karmila.

“Apa-apaan, sih? Turunin gua!” teriak Karmila sambil memukul dada Nadio dengan dua tangannya.

Bukannya diturunkan, Ario bahkan dengan santai melangkah ke arah lobby. Kemudian, seorang suster datang membukakan pintu. “Selamat pagi, Pak Nadio. Silakan masuk. Anda sudah ditunggu dr. Angga,” sapa wanita berseragam putih tersebut.

“Selamat pagi. Bisa minta tolong, ambilkan kursi roda? Stok terbaru,” pinta pria berambut gondrong tersebut sambil membuka handle pintu ruang pemeriksaan.

“Silakan tunggu di dalam, Pak. Segera saya antar. Permisi,”jawab wanita tersebut mengangguk hormat lalu beranjak pergi.

“Turunkan gua! Sekarang ...!” teriak Karmila dengan nada kesal. Nadio menatap wajah Karmila lalu tersenyum.

“Yakin?” tanya pria masih dengan senyum tersimpan di kedua pipi. Karmila mengangguk mantap.

“Baiklah,” ucap Nadio sambil membungkuk lalu menurunkan tubuh Karmila.

“Aauch ...!” pekik Karmila yang spontan memegang punggung Nadio dan sang pria segera membopongnya ke pundak.

“Dibilangin kaga percaya,” ujar Nadio gegas memasuki ruangan dengan tubuh Karmila menelungkup di pundak. Badan Nadio yang kekar bagai tak terbebani.

“Selamat pagi, Dio,” sapa dokter yang telah menyambut mereka dengan senyum simpul.

“Selamat pagi, Ga. Tolong obati sampe sembuh,”balas Nadio yang langsung menidurkan Karmila di pembaringan. Wanita berambut ikal ini meringis kesakitan, seraya berusaha duduk.

Nadio berdiri di samping pembaringan. Peluh bercucuran dari dahi dan lehernya. Dia mengambil sapu tangan dari saku celana lalu mengusapnya.

“Coba gua periksa. Calon bini?” tanya dr. Angga sambil mengerling ke arah pria berambut gondrong tersebut.

“Ngaco! Gua tabrak dia,” sanggah Nadio segera sambil menjauh lalu duduk sambil memainkan ponsel. Sementara itu, Karmila beberapa kali merintih saat dr. Angga memeriksa kakinya.

“Perlu dirontgen ini. Agar tepat penanganan,” ujar dr. Rontgen lalu beranjak ke arah meja pemeriksaan dan duduk berhadapan dengan Nadio.

“Parahkah sakit saya, Dok?” tanya Karmila khawatir. Wanita ini memandangi bagian kakinya yang bengkak.

“Kita bisa tahu dari hasil rontgen.” Pria berjas putih menjawab sambil menulis berkas lalu menyodorkan kepada Nadio. “ Bawa ke tempat rontgen,” pinta dr. Angga.

Tak lama kemudian, suster masuk ruangan dengan mendorong sebuah kursi roda. “Permisi. Mau dipake sekarang?” tanya wanita berseragam putih tersebut. Karmila tersenyum ke arah suster dan bergerak hendak turun.

“Saya bantu Nona,” ucap suster sigap mendekatkan kursi roda lalu membantu Karmila turun lalu duduk di kursi roda. Wanita berambut ikal ini tampak meringis menahan sakit sambil memegang paha kanan.

“Gua langsung cabut,” ucap Nadio gegas mendekat ke arah Karmila.

“Habis rontgen, ke sini lagi,”balas dokter muda.

“Okey. Kami cabut dulu,” ucap Nadio. Pria berambut gondrong ini segera mendorong kursi roda menuju tempat rontgen.

Ponsel Karmila berdering dari dalam tas. Wanita ini pun segera mengambil lalu mengangkat telepon. “Selamat pagi, Kak,” jawab Karmila menerima panggilan.

“Selamat pagi. Lu, masih ingat hari ini ada rapat? Udah siapin berkas?” tanya seorang wanita dari seberang telepon.

“Ingat, Kak. Berkas udah gua siapin dari kemarin,” balas Karmila dengan hati berdebar.

Dia berharap rapat dilaksanakan di lantai dasar, bukan di atas. Wanita ini membayangkan betapa ribetnya, kalau dirinya harus ke lantai atas dengan berkursi roda. Karmila bertekat akan masuk kerja full tanpa cuti, agar dapat bonus akhir tahun. Namun, dengan keadaannya yang sekarang, menjadi cukup sulit.

“Lu ada di mana, sih? Gua cari ke meja lu kaga ada barusan,”sahut wanita tersebut.

“Maaf, Kak. Gua masih periksa gigi. Sebelum jam 9, pasti udah nyampe. Meeting jam 10, kan?” tanya Karmila memastikan.

Sementara senyum mengembang di bibir Nadio memegang sebuah kartu nama. Tertera Karmila Ardiana ( Divisi advertising) PT Hutama Manggala.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status