Share

RUPANYA DIA!

“Lu harus cuti,” ucap Nadio saat mereka keluar dari ruang perawatan.

“Gua harus kerja.”

“Pake kursi roda macam itu?” tanya Nadio tak percaya. Karmila mengangguk dengan mantap. Jari Karmila lincah mengetik di keypad. Tepat saat keduanya sampai di tempat parkir, ponsel Karmila berbunyi.

“Selamat pagi,” sapa Karmila kepada sang penelepon.

“Selamat pagi, Bu. Saya sudah sampai depan rumah sakit. Di mana posisi Ibu?” tanya seseorang yang ternyata sopir taksi online.

“Saya tunggu di tempat parkir, Pak,” jawab Karmila lalu kedua mata awas ke arah gerbang rumah sakit. Sesaat kemudian, ponsel dimatikan.

“Lu, kerja dengan pakaian kayak gini? Kaga mandi?”tanya Nadio dengan ekspresi tercengang.

“Gua cuci muka di warung tadi. Gua harus kerja apa pun keadaan gua,” jawab Karmila lantang, tetapi di telinga Nadio bernada memelas.

“Okey, itu mau lu. Ini buat jaga-jaga kalo perlu ambulans,”sahut Nadio sambil memasukkan sebuah amplop cokelat ke tas Karmila. Kemudian, pria tersebut gegas menuju motor dan mengendarai meninggalkan Karmila yang terpaku.

Nih, orang. Kaga punya hati. Apa rugi, tunggu gua sampe naik taksi. Dia juga yang bikin gua celaka. Kirain nyesel dengan perbuatan semalam, batin Karmila senewen dengan sikap Nadio yang seenaknya.

Akhirnya taksi yang ditunggu pun datang. Dengan dibantu sopir, Karmila bisa masuk taksi. Sementara kursi roda disimpan dalam bagasi. Kendaraan tersebut mulai meninggalkan tempat. Nadio memarkir motor tak jauh dari rumah sakit, segera memacu motor setelah taksi melewatinya.

Itu bukannya Nadio? Kok kenceng? Pasti bukan. Dia udah duluan tadi, batin Karmila masih menatap tajam ke arah pengendara motor sport yang tampak punggungnya sekilas.

Dua puluh menit berlalu, akhirnya taksi telah sampai di depan kantor. Karmila turun dari taksi dengan tertatih-tatih. Sopir taksi cekatan mengambil kursi roda dari bagasi lalu membantu Karmila sampai bisa duduk.

“Terima kasih banyak, Pak,” ucap Karmila sembari mengulurkan selembar uang warna merah kepada sang sopir.

“Ibu udah bayar pake aplikasi,” balas sopir menolak pemberian uang.

“Bukan, Pak. Ini bonus. Terima kasih udah bantuin saya,” ucap Karmila sambil mengulurkan kembali uang tersebut.

“Terima kasih banyak, Bu.” Sopir tersebut mengangguk dan berniat mendorong kursi roda sampai ke lobby, tetapi dilarang oleh Karmila.

“Saya bisa sendiri, Pak. Permisi,”ucap Karmila sambil mengatur tuas pengontrol mengarah ke lobby kantor.

Sesampai di dalam, Karmila bertegur sapa dengan sekuriti dan beberapa karyawan di kantor depan lalu menjelaskan alasan dia memakai kursi roda. Kemudian, wanita berambut ikal tersebut langsung menuju finger print untuk absen.

Jam menunjukkan pukul 8.30 pagi. Beruntung Karmila tadi sempat minta izin ke Vivian—kepala divisi—untuk datang telat karena periksa gigi dulu. Wanita ini segera melenggang ke arah ruangan HRD untuk memberikan surat keterangan dari dokter lalu menuju ruangan kerjanya.

Masih ada waktu sejam lebih buat persiapan rapat, batin Karmila sambil merogoh ponsel dari dalam tas. Beberapa saat mengklik nomor Vivian, akhirnya bisa terhubung.

“Lu udah sampe mana?” tanya kepala divisi tersebut.

“Udah di lobby, mau ke ruangan. Rapat di mana?” tanya Karmila sambil berharap doanya terkabul.

“Kita hari ini rapat dengan direktur utama. Lu belum pernah ketemu dia. Langsung ke lantai atas,”jelas Vivian yang seketika membuat hati Karmila patah hati. Dia memikirkan cara membawa berkas dan laptop untuk keperluan rapat.

Selama ini Karmila belum pernah bertemu dengan direktur utama tersebut, yang menurut teman-temannya masih lajang dan berwajah tampan. Akhirnya sekarang, dia berkesempatan bertemu langsung dengan beliau.

Dengan susah payah, Karmila sampai di ruangan rapat. Semua divisi, termasuk kru advertising sudah siap dengan berkas-berkas yang akan dirapatkan. Semua pandangan mata tertuju ke arah Karmila, terutama kursi roda yang menopang tubuhnya.

“Kata lu sakit gigi. Ini kenapa kaki digips? Lu kecelakaan?” tanya Vivian beruntun sambil mengambil alih berkas dan laptop.

“Kaki terkilir saat turun dari bus waktu pulang kerja kemarin. Udah diobati juga,” jawab Karmila sambil mengatur tuas pengontrol.

Mereka berjalan beriringan menuju meja kru advertising. Lisa yang melihat kedatangan Karmila, buru-buru menghampiri.

“Lu ke mana aja semalam? Kecelakaan gini, ngapain lu kaga telepon gua?” sapa Lisa tanpa merasa bersalah.

“Lu tanya ke mana? Gua telepon lu? Buat mulusin niat busuk lu? Hah!” jawab Karmila dengan emosi.

“Ada apa lagi dengan kalian?” tanya Vivian sambil membantu menyingkirkan kursi guna memberi tempat untuk Karmila.

“Kaga usah dibahas, Kak. Gak penting,” balas Karmila dengan ekspresi jengkel.

“Lu kenapa Mila? Gua cariin elu semalaman. Gua telepon berkali-kali. Tau-tau dimatiin. Gua khawatir,” kilah Lisa mau mendekat ke arah Karmila, tetapi dicegah oleh Vivian.

“Buruan balik ke meja!” pinta Vivian sambil mengajak Lisa menyingkir. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, rapat segera dimulai.

Direktur utama masuk ke ruang rapat dan alangkah kaget hati Karmila saat melihat Nadio. Demi menjaga rasa profesionalisme, Karmila menutupi rasa keterkejutannya dengan sebaik-baiknya. Nadio sempat tersenyum tipis ke arah Karmila.

Rapat berlangsung sekitar satu jam. Sebelum Nadio keluar ruangan, dia sengaja mendekat ke tempat duduk Karmila lalu berucap,”Kita perlu bicara soal proposal barusan. Saya tunggu di ruangan.”

Karmila seketika kaget untuk kedua kalinya. Vivian ikut terkejut dengan ucapan sang direktur utama. Baru kali ini sang direktur utama bertemu Karmila, tetapi bereaksi tak mengenakkan seperti barusan.

Rapat telah usai dengan menyisakan tanda tanya besar bagi seluruh anggota rapat. Saat Karmila sedang sibuk dengan berkas-berkas pembuatan iklan, Vivian datang menghampiri.

“Mila? lu udah pernah ketemu sebelumnya ama Pak Nadio?”tanya Vivian memandang heran ke Karmila.

“Enggak, Kak. Kenapa?”

“Ada apa, ya? Proposal yang lu bikin udah bagus. Semua divisi salut ama kinerja kita, terutama lu. Pak Nadio pun kaga ada masalah waktu lu presentasi. Dia maklum juga, waktu lu izin sampein proposal sambil duduk,” papar Vivian yang tak terima, atas reaksi sang dirut.

“Ya, mungkin ada yang kaga bener di mata beliau, Kak,”balas Karmila dengan perasaan berkecambuk tak karuan.

“Betewe, lu disuruh menghadap Pak Nadio. Sekarang juga.beres. Gua jadi gemeter, tauk,” ucap sang kepala divisi sambil menepuk punggung Karmila pelan.

“Gak papa, Kak. Gua segera menghadap,” balas Karmila dengan degup jantung bergemuruh. Wanita berambut ikal ini, penasaran dengan panggilan khusus dari Nadio.

Karmila benar-benar dibuat bingung oleh sikap Nadio. Saat di tempat parkir klinik kesehatan, mereka tak ada masalah. Bahkan Nadio sempat memberikan amplop yang diperkirakan oleh Karmila berisi uang yang cukup banyak. Namun, belum sempat dibukanya.

Apa mungkin dia marah gara-gara gua tolak semalam? Uang ini buat bayaran gua? Dia pengen paksa gua? Karmila bergulat dengan pikirannya sambil menyelipkan amplop cokelat di antara berkas.

Gua harus buat perhitungan dengan elu, Nadio! Gua lebih baik resign daripada nuruti nafsu lu, Bajingan! umpat Karmila dari dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status